Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

10. Bahagia dan Luka

10

Bahagia dan Luka

"Orang-orang begitu bahagia dengan mencinta. Namun kita tak pernah bisa mencintai tanpa terluka."

🍃🍃🍃

.

Bandung, Januari 2014.

Ujian akhir semester sudah berakhir, kini para mahasiswa sedang dalam masa tenangㅡentah tegangㅡmenunggu hasil nilai UAS yang akan diberikan oleh dosen mereka.

Fatimah sendiri jarang ke kampus jika tidak ada kegiatan penting, hari ini pun ia datang karena harus rapat tentang seminar yang akan diadakan kurang lebih satu minggu lagi. Dan lagi, Fathir memberitahunya kalau hari ini ia datang ke kampus karena ada urusan penting. Memicu semangatnya untuk berangkat ke kampus.

Fatimah tidak bertanya urusan apa, ia tidak ingin terlalu ikut campur. Biar saja ia melakukan aktivitasnya sendiri. Namun, Fatimah juga menjadi gugup jika nanti bertemu dengannya. Setelah percakapan di malam hujan waktu ituㅡserta ungkapan perasaannya, perlakuan Fathir memang lebih manis dan perhatian padanya. Namun, ia belum pernah bertemu lagi dengan pria itu.

"Aduh!" Fatimah mengaduh karena seseorang menepuk punggungnya keras. Ia menoleh pada sahabatnya. "Apa sih, Ris?"

Risa memutar bola mata. "Kamu lagi mikirin apa sih? Dari tadi aku ngoceh nggak kamu anggep, sebel deh!"

Fatimah nyengir sambil menggaruk kepala yang tidak gatal, "Eh, uhm... sorry. Emang kamu ngomong apa?"

Helaan napas kasar keluar dari mulut Risa. Ya, ia sudah biasa dicuekkin oleh sahabatnya itu. Tapi tetap saja rasanya menyebalkan. "Nggak jadi," ketusnya.

Fatimah memeluk Risa. "Jangan ngambek dooong...."

Risa menahan tawa, jarang-jarang Fatimah seperti ini. "Apa sih, gak usah peluk-peluk. Aku lagi kesel!"

Fatimah semakin cemberut. "Maaaff...," sesalnya. Ia sadar, ia seringkali tak mengacuhkan orang sekitarnya. Karena itu ia merasa sangat bersalah.

"Aku mau maafin kamu tapi kamu harus bilang apa yang lagi kamu pikirin."

Fatimah melepas tangannya dari Risa. "Aku traktir bakso deh!"

"Ck! Hari ini udah ada yang mau nraktir aku tahu! Kasih tahu apa susahnya, sih?" Risa berkacak pinggang.

Fatimah menunduk, sepertinya Risa benar-benar sudah kesal padanya. Apa boleh buat, ia harus menebus kesalahannya. "Hari ini Kak Fathir ke kampus," ujar Fatimah pelan. Menggantung. Risa menunggu ucapan selanjutnya dengan sabar, tapi Fatimah tak kunjung bicara.

"Lalu? Memangnya kenapa?" tanyanya tak sabar.

"Nggak papa sih, cuman lagi gak mau ketemu ...."

Menggantung lagi. Risa jadi gregetan. Ia menatap Fatimah curiga. "Kenapa? Kalian lagi marahan?"

"Ha? Eng-nggak. Bukan begitu...."

"Terussss kenapaaa? Aku cium juga nih!"

"Emm..., kamu bilang ... aku harus ngasih tahu perasaan aku sama dia."

Risa mengelus dada, ia benar-benar diuji kesabarannya hari ini. "Lalu...?" tanyanya mencoba bersabar.

Fatimah kembali menunduk, "Aku ... udah bilang sama dia."

Risa terdiam sejenak lalu sejurus kemudian ia mengerti maksud perkataan sahabatnya itu. Ia membekap mulutnya sendiri, dramatis. "Kamu seriuss?!"

Fatimah mengangguk. Risa langsung loncat-loncat heboh. "Waaah sebuah kemajuan hebat! Terus sekarang gimana? Kalian jadian?"

"Eng...nggak," ujar Fatimah tersenyum kikuk.

"Arrggh! Kamu lebih milih HTS?" Risa greget.

"HTS?" ulang Fatimah bingung.

Risa memutar bola mata. "Hubungan Tanpa Status! Duh yaa, kamu ini. Kamu mau digantung tanpa ada kepastian kayak gitu, huh?"

Fatimah mengerutkan kening. Diam. Berpikir. Sampai seseorang memanggil Risa. Mereka menoleh.

"Aku tungguin, malah ngobrol di sini," ujar pria yang tadi memanggil Risa.

Risa nyengir. "Sorii, keasyikan ngobrol tadi," ujarnya. Lalu ia menyadari tatapan Fatimah, Risa pun segera mengenalkannya. "Oh ya, ini temen aku Fatimah. Yang sering aku ceritain."

Ceritain? Fatimah mengulang dalam hatinya.

"Oh ini," ujar pria itu tersenyum lebar nampak ramah. "Gue Reyhan, pacarnya Risa. Panggil aja Rey." Rey mengulurkan tangan.

Fatimah terbelalak lalu menatap sahabatnya tajam. Risa nyengir lalu berbisik, "Nanti aku cerita."

Fatimah mengabaikan sahabatnya, kembali menatap Rey. Ia menelungkupkan tangan lalu berujar, "Fatimah."

Rey menarik kembali tangannya yang tak terbalas, tersenyum canggung. Ia beralih pada Risa. "Jadi, nggak?"

"Jadi dong!" seru Risa. Lalu beralih pada Fatimah. "Kita pergi dulu ya, Fat. Kamu bisa sendiri kan?"

Fatimah mendengus. "Aku bukan anak kecil."

Risa tertawa. "Ya udah kalo gitu. See you!"

"Sampai ketemu lagi, Fatimah," ujar Rey tersenyum.

Fatimah balas sekadarnya. Dan mereka pun pergi dari hadapan Fatimah. Ia menatap keduanya yang nampak asyik mengobrol dan saling menggoda satu sama lain. Ia menghela napas.

Anak itu..., semudah itukah ia jatuh cinta?

"Ckckck..., kasian ditinggalin," sebuah suara mengagetkan Fatimah.

Fatimah menoleh dan mendapati Fathir tersenyum padanya. Tubuhnya mendadak kaku dan perutnya mulas. Lagi-lagi!

"Makanya cari pacar juga, biar ada yang nemenin. Jadi gak ngenes ditinggalin sahabat jalan ama pacarnya."

Fatimah mendengus membuat Fathir tertawa. "Bercanda kok."

"Sejak kapan Kak Fathir di sini?" tanya Fatimah was-was. Takut Fathir mendengar obrolan ia dengan Risa sebelumnya.

"Baru aja kok, kenapa?"

Fatimah menghela napas lega. Bersyukur dalam hati. Melihat itu, Fathir curiga. Tiba-tiba ia mendekatkan wajahnya ke wajah Fatimah. "Kamu ngomongin aku, ya?"

Fatimah terbelalak, kaget. Jaraknya terlalu dekat. Ia refleks menjauh dengan berjalan mundur, hampir terjerembab jika saja Fathir tidak menahan lengannya yang justru membuat Fatimah semakin panik. "Hei! Hati-hati, kamu bisa jatuh," serunya ikut terkejut atas refleks Fatimah.

Fatimah menghempaskan tangan Fathir lebih kasar dari yang ia kira. Ia pun merasa bersalah, karena Fathir hanya bermaksud menahannya agar ia tidak jatuh.

"M-maaf," ujarnya tertunduk. Fatimah meremas jemarinya.

Hening sejenak. Fathir tiba-tiba terkekeh. "Kamu lucu banget si."

Fatimah menatap Fathir bingung, tidak paham bagian mana yang lucu. Melihat ekspresi Fatimah yang seperti itu, Fathir kembali tertawa. "Astaga Fatimah, wajah kamu lucu banget, gemes aku jadinya. Aku foto ya?" ujarnya mengambil ponsel dari saku celana.

"Ihh! Kak Fathir apaan sih!?" Fatimah menutup muka, menolak untuk difoto.

"Sekali aja Fatimah, pasang ekspresi yang tadi. Kali aja kecoa pada takut kalo lihat fotomu nanti." Fathir tersenyum jahil.

Fatimah menurunkan tangan dan mendesis kesal. Lalu ... Cekrek! Fatimah terbelalak. Fathir berhasil mengambil foto Fatimah yang sedang menatapnya kesal.

"Yes! Dapet!"

"Kak Fathiiir! Hapus gak!?" Fatimah mencoba meraih ponsel Fathir, namun percuma, tinggi mereka jauh berbeda.

"Nggak mau. Wajah kamu lagi kesel luci tapi nyeremin juga hahaha. Kayaknya bukan cuma kecoa, hantu aja takut lihat nya." Fathir tertawa lagi dan terus menghindari tangan Fatimah yang berusaha meraih ponselnya.

"Kaaak, hapus!"

Fathir malah tertawa senang mengusili Fatimah. Lalu dengan gerak cepat ia kembali memasukkan ponsel ke saku celana. Fatimah pun berhenti. Sementara Fathir menyeringai melihat Fatimah tidak berani merogoh sakunya.

Fatimah menatap Fathir kesal. "Aku nggak mau tahu, pokoknya hapus! Kalo enggak, aku gak mau bicara sama Kak Fathir lagi," tukasnya lalu berjalan cepat.

"Loh! Kok aku ditinggal? Hey, Fat! Tunggu dong," serunya menyejajarkan langkah dengan Fatimah. "Maaf, maaf, jangan ngambek gitu dong. Ini kan cuma foto. Tenang aja, nggak bakal aku guna-guna kok!" Fathir mencoba membujuk.

Fatimah tak menggubris. Mengabaikan Fathir sepenuhnya.

Fathir menyerah. "Iya, iya, aku hapus."

Akhirnya Fatimah berhenti dan menghadap Fathir. "Aku lihat."

Fathir menggerutu sebal. Ia mengeluarkan ponsel, mengotak-atiknya sebentar lalu memperlihatkan kepada Fatimah kalau dia menekan tombol delete. "Sudah, puas?"

"Sudah," ujar Fatimah lalu kembali berjalan.

"Kamu nyebelin. Kan buat kenang-kenangan. Bentar lagi aku wisuda loh!"

Memangnya aku pantas untuk dikenang? Fatimah membatin. Tentu ia tidak berani mengatakan hal itu.

"Untung saja hari ini aku lagi bahagia, jadi aku gak bakal marah."

Fatimah memelankan langkah lalu menoleh. "Bahagia kenapa?" tanyanya penasaran.

Fathir tersenyum lebar. "Soalnya bisa ketemu kamu," ujarnya sambil menatap Fatimah jenaka.

Blush ... Fatimah blushing. Dan Fathir kembali tertawa. "Kak Fathir ih! Pulang sana!"

"Bercanda, bercanda, ya ampun! Hahaha lucu banget sumpah, bawa pulang boleh gak sih?"

"Gak!" Fatimah merenggut sebal. Kembali berjalan cepat.

Fathir kembali mengejarnya. "Jangan cepet-cepet dong, mau denger gak? Serius deh."

Fatimah berhenti berjalan. "Jadi?"

"Coba tebak," ujar Fathir masih saja usil.

Fatimah menghela napas tapi ia berpikir juga. Tidak mungkin 'kan Fathir ke kampus cuma karena ingin bertemu dengannya? Dan bahagia karena hal tersebut? Itu konyol sekali. Fatimah memikirkan hal yang lebih masuk akal, ia ingat beberapa waktu lalu Fathir bilang kalau ia sudah punya judul baru untuk skripsinya.

"Hmm, ngajuin proposal?" tebak Fatimah.

"Gotcha! Seratus! Wah, kamu bisa baca pikiran aku ya?"

Fatimah tertawa kecil. "Cuma nebak. Jadi bener? Terus gimana? Diterima?"

"Yap!" sahut Fathir tampak sangat senang. "Makanya aku lagi bahagia banget. Walau baru di acc."

"Alhamdulillah ... semoga dimudahkan selalu."

"Aamiin. Thanks, tapi aku gak bohong kok soal seneng bisa ketemu kamu," ujar Fathir lagi tersenyum. Sementara Fatimah hanya diam. "Kamu tahu gak apa yang bakal bikin aku lebih bahagia dari sekedar diterima proposal skripsi?"

Fatimah menoleh. "Apa memangnya?"

"Kalau nanti proposal lamaranku diterima ayah kamu," ujarnya tersenyum lagi.

Jantung Fatimah mendadak menggila. Hari ini Fathir terlalu banyak tersenyum dengan tatapannya yang meluluhkan. Dia ini benar-benar ....

"Dasar tukang gombal," ejek Fatimah sedikit terkekeh, berusaha tidak hanyut dalam perasaannya sendiri.

"Kalo beneran, gimana?"

Fatimah mengedikkan bahu. "Kan masih kalau."

Fathir menggaruk belakang kepala. "Iya sih...," ujarnya tersenyum lebar. "By the way, kamu mau ke mana sih?"

"Mau kumpul sama anak-anak KURMA."

"Ohh. Ada apa emangnya? Mau ngadaian kegiatan?"

"Iya, kita mau adain seminar. Acaranya seminggu lagi. Jadi kita sering adain rapat evaluasi sekarang."

Fathir mengangguk paham. "Seminar apa? Kok aku baru tahu?"

"Hmm, judulnya pacaran setelah menikah."

Fathir nampak berpikir. "Kayaknya menarik."

Fatimah tersenyum. "Dateng aja. Pembicaranya juga Kak Fahmi."

"Fahmi? Serius?"

Fatimah mengangguk. "Dia kan emang sering ngisi acara-acara kayak gini, apalagi kalau audience nya anak-anak remaja. Selain tema yang memang menarik, Kak Fahmi juga jadi daya tarik, soalnya kan dia lumayan populer juga, pasti banyak peminat. Setahu aku Kak Fahmi juga belum pernah pacaran dan memegang prinsip S3."

"S3?" Fathir menyela. "Senyum Salam Sapa?" tanyanya bingung.

Fatimah terkekeh. "Ya bukanlah! Tapi, Singel Sampai Sah," ujar Fatimah tersenyum lebar. "Jadi, dia bakal cocok banget ngisi ini. Aku juga gak sabar sama acaranya nanti."

"Gak sabar sama acaranya atau gak sabar lihat Fahmi?" sinis Fathir.

Dengan santainya Fatimah bilang, "Hmm, keduanya mungkin?"

Fathir merenggut. Tiba-tiba mood nya jadi buruk. Fatimah menyadari perubahan itu karena Fathir jadi diam saja. Tapi ia enggan bertanya kenapa.

"Kamu suka sama Fahmi?"

Lagi-lagi, Fatimah tampak berpikir. "Mungkin? Siapa juga yang tidak suka, Kak Fahmi itu sosok yang mendekati sempurna. Panutan banget pokoknya."

Fathir mendengkus. "Kalian sering ketemu?"

"Hm, ya ... setidaknya, seminggu sekali kita ketemu di Aliyah karena sama-sama ngisi mentoring."

Fathir kembali mendengkus keras. Fatimah sampai menoleh heran. "Kenapa sih?"

"Aku cemburu tahu." Fathir cemberut sambil melipat tangan di dada, nampak kesal.

"Hah?" Fatimah melongo sejenak melihat Fathir, lalu tawanya berderai, begitu lepas.

Fathir tertegun. Baru kali ini ia melihat Fatimah tertawa seperti itu di hadapannya. Dan itu karenanya. Karena ia cemburu. Apa hal itu memang selucu itu? Fathir mengulum senyum. Melihatnya tertawa seperti itu. Kenapa bisa semembahagiakan ini?

Saat tawa Fatimah mulai reda, Fathir pura-pura memasang wajah kesal. "Puas? Memangnya lucu?"

Fatimah menghela napas. "Maaf, maaf ... abis wajah Kak Fathir tadi lucu banget si. Ada-ada aja deh."

"Jangan bicarain dan puji pria lain di hadapanku. Karena aku cemburu."

Fatimah terdiam. Ia menatap Fathir yang nampak serius mengatakan hal itu. Fathir tiba-tiba tersenyum. "Aku jadi penasaran. Kamu beneran suka aku pas lagi di gunung itu?"

Fatimah memalingkan muka. Pertanyaan macam apa itu? Batinnya merutuk.

"Tidak tahu," jawab Fatimah pendek. Ya, ia tidak tahu. Hanya saja, saat itu ia melihat sosok Fathir yang berbeda dan entah mengapa begitu berkesan di hatinya. Seperti yang ia katakan sebelumnya, sosok itu jatuh seperti gelombang yang kuat dalam hatinya. Lalu mengguncangnya dengan begitu hebat. Ia pun tak mengerti kenapa.

Fathir mengagetkan Fatimah dengan berdiri di depannya dan mencondongkan wajah ke depan wajah Fatimah. Sontak saja, Fatimah langsung mundur. "Kak Fathir apaan sih?" protesnya tidak suka.

"Habisnya kamu malah jadi bengong, aku kira kamu kesambet."

Fatimah berdesis dan Fathir terkekeh. "Sering-sering tertawa kalau sama aku, ya."

Fatimah menatap Fathir dalam diam, sedikit bingung.

"Aku suka," ujar Fathir lagi tersenyum manis. Membuat perut Fatimah serasa diisi kupu-kupu berterbangan. Ia sudah menunduk menyembunyikan wajah memerah dan senyuman malunya.

Fathir menatap Fatimah yang tertunduk lama. Seperti tengah memikirkan sesuatu. Tatapannya sendu. "Apa kamu sudah baik-baik saja?" ucapnya lirih seperti bisikan.

Fatimah yang tak terlalu mendengarnya pun mendongak. "Ya?"

"Eh? Eng..., bukan apa-apa," Fathir mengibas-ngibaskan tangan sambil tersenyum canggung. "Kumpulannya kapan?"

Fatimah menepuk jidat seolah baru tersadar. Ia pun beristigfar, bagaimana bisa ia sampai lupa. "Harusnya sekarang," ujarnya menggigit bibir.

Fathir terkekeh kecil. "Ya udah gih, aku juga mau ketemu sama temen-temen."

Fatimah mengangguk lalu pergi setelah beruluk salam. Dalam perjalanan itu, ia terus menerus menahan senyum. Ia tidak ingin disangka gila karena senyum-senyum sendiri.

Fathir menatap Fatimah yang semakin menjauh, ia tersenyum lirih, "Aku harap kamu selalu baik-baik saja." Setelah mengucapkan itu, Fathir berlalu dengan membawa perasaan baru di hatinya.

Sementara Fatimah menghadiri rapat dengan senyuman yang membekas di paras ayunya. Sampai-sampai rekan satu komunitasnya merasa heran, karena Fatimah tidak pernah terlihat sebahagia itu.

Tanpa ada yang tahu, ada seseorang yang sejak tadi memerhatikan mereka. Seseorang yang selalu mencinta dalam diam. Meredam rasa yang menurutnya tak layak 'tuk diungkapkan ataupun diumbar. Ia hanya bisa percaya dan yakin akan perasaannya sendiri.

Ada begitu banyak jenis cinta di dunia ini. Ada  yang saling jatuh cinta, ada yang diam-diam jatuh cinta. Ada yang merasa jatuh cinta sendiri. Hal yang sama adalah, mereka merasakan sebuah rasa bernama cinta.

****

Usai kumpul dengan anak KURMA, Fatimah merasa lapar, jadi ia putuskan untuk mengisi perut dulu di kantin. Walau sebenarnya ia tidak biasa makan sendiri. Ia tidak suka, karena hal itu membuatnya seperti tidak punya teman, menyedihkan. Ya, temannya memang tidak banyak. Hanya Risa yang betah berlama-lama dengannya.

Sekarang Risa sudah memilki pacar baru, waktu kebersamaan mereka akan tersita. Risa pasti akan sering bersama pacarnya. Fatimah tertawa sendiri. Ia tampak seperti pencemburu, takut miliknya direbut orang lain.

"Bi, siomay nya satu ya." Fatimah memesan kepada bibi penjual yang sudah cukup akrab dengannya, berkat Risa.

"Siap, Neng. Ditunggu ya," ujarnya. "Tumben gak bareng Neng Risa."

"Iya, dia lagi ada acara sama temennya," jawab Fatimah sekadarnya.

Bibi itu mengangguk. "Eneng duduk aja dulu, nanti dianterin. Banyak yang beli soalnya."

Fatimah tersenyum mengangguk lalu berjalan menuju meja yang kosong. Sambil menunggu, ia membuka ponsel, hanya untuk membuat ia tampak sibuk. Tiba-tiba ia mendengar suara tawa yang familiar. Ia mendongak, dugaannya benar. Ada Fathir bersama teman-temannya yang baru datang, ada Anita juga di sana. Sepertinya pria itu tak melihat keberadaannya, Fatimah pun sedang tak ingin bertegur sapa.

"Mangga Teh," pria dengan tubuh gembil menyimpan siomay pesanan Fatimah.

"Makasih, Jang."

Jajang, anak sulung Bibi tersenyum lebar lalu kembali.

Fatimah pun mulai menikmati jajanannya, namun obrolan Fathir dan teman-temannya menarik perhatian Fatimah. Karena ia mendengar namanya disebut-sebut.

"Tadi pagi gue lihat lo sama si Fatimah, kayaknya udah deket banget nih!" seru Rizki heboh.

"Iya, gimana perkembangannya? Kalian jadian?" tanya yang lain.

"Belum," jawab Fathir. "Kayaknya sih gak bakal pernah. Kalian tahu lah, dia kan anti sama yang namanya pacaran."

Teman-temannya mengangguk. "Naif banget."

"Tapi gue berhasil dong, dapetin dia. Nih," Fathir menunjukkan pesan Fatimah yang mengungkapkan perasaannya. Teman-temannya berseru heboh.

"Wihh bahasanya, man! Penulis emang beda, ya! Hahaha. Ternyata lo udah menarik perhatiannya sejak di Cikuray. Gila!"

"Emang ya! Lo jago kalo soal cewek! Hahaha. Fatimah yang anti aja, bisa jatuh cinta sama lo," ujarnya disambut tawa dari yang lain.

Fatimah meremas garpu yang ia gunakan. Ia terus menajamkan pendengarannya. Laparnya hilang seketika.

"Kalian tuh ya! Jangan mainin perasaan cewek, gak kasian apa dia dijadiin bahan taruhan gitu!" Anita buka suara, tampak kesal.

Fatimah tertegun. Jantung nya berdebar hebat. Apa maksudnya? Bahan taruhan?

"Eh siapa yang mainin perasaan orang!" seru sebuah suara tak terima. "Kita cuma penasaran ama si Fatimah yang anti cowok itu bisa jatuh cinta apa nggak kalo gencer di deketin."

"Ya sama aja bego!" sungut Nita. "Lo juga, Fat! Ngapain sih lo make ikutan segala? Jadi subjek lagi."

"Yee! Blang aja lo mah cemburu!"

"Kalo iya emang kenapa? Tapi gue sebagai cewek kasihan sama Fatimah. Kalo dia beneran suka sama Fathir, terus tahu Fathir cuma main-main, kalian kira gimana perasaannya?"

Sesaat tak ada yang bersuara. Lalu, "Ya jangan sampai dia tahu lah! Kalo mereka sampai jadian, ya tinggal putus. Kalo nggak, ya udah. Tujuan kita kan cuma pengen tahu dia bisa jatuh cinta apa nggak. Napa lo yang sewot sih?!"

Anita memalingkan muka dan berdecak. Sementara Fathir hanya diam.

Fatimah tidak tahan lagi. Ia meninggalkan uang di meja untuk membayar siomay dan berniat pergi. Namun, tubuhnya gemetar hebat. Hingga saat akan melangkah, ia tak sengaja menginjak gamisnya sendiri.

Bruk!

Fatimah terjatuh dan meringis. Semua mata beralih tertuju padanya. Ada yang menertawakannya diam-diam, ada yang menatap kasihan.

Fathir dan teman-temannya tercengang. Tidak menyangka jika ada Fatimah. Dengan jarak sedekat itu, ia pasti bisa mendengar obrolan mereka. Celaka!

Fathir segera bangun, berlari menghampiri Fatimah. Ia berniat membantunya bangun. "Kamu gak papa?" tanya Fathir mengulurkan tangan.

Fatimah tak menyahut ataupun menyambut uluran tangannya. Dia bangun sambil tertunduk dan melewati Fathir begitu saja.

"Fat," panggil Fathir. Fatimah tak acuh, ia berjalan cepat kemudian berlari.

Fathir mengejarnya dan berhasil berdiri di depan Fatimah dengan susah payah. Lalu ia tertegun. Gadis di depannya kini berurai air mata.

"Fat ...."

"Minggir," suara Fatimah parau, bergetar. Tatapannya tajam. Penuh kebencian.

"Fat, kamu ... denger?"

"Minggir."

"Tunggu. A-aku bisa jelasin," Fathir mencoba meraih tangan Fatimah namun Fatimah dengan cepat menghindar. Ia mundur, menatap Fathir nanar dan keji.

"Puas?" tanyanya dengan senyum satir. Namun air matanya tak bisa berhenti jatuh.

"Fat ...."

"Jangan mendekat!" Fatimah berteriak, menarik perhatian orang-orang di sekitar. Tatapannya menghujam pada pria di depannya.

"Mungkin ini maksudnya, orang yang paling kamu suka bisa menjadi orang yang paling kamu benci."

Fathir tak berkutik. Tatapan terluka dari Fatimah membuatnya tak berdaya. Sampai gadis itu berlari dari hadapannya pun, ia masih terpaku.

Fatimah berlari tanpa arah, tapi ia sampai di taman. Ia duduk di sebuah pohon Akasiaㅡyang ia pikir sudah puluhan tahun usianyaㅡmenangis tersedu. Hampir setiap mahasiswa menganggap pohon ini angker saking besarnya. Jadi ia tenang, karena tahu tak akan ada yang datang mendekat.

Aku tidak mengerti kenapa rasanya sesakit ini?

Tanpa ia tahu, seseorang terus memerhatikannya. Menatap gadis itu sendu dari balik kaca matanya. Pria itu menghubungi seseorang.

"Ris, kamu di mana?"

"Kenapa?"

"Fatimah membutuhkanmu sekarang."

"Maksudmu? Fatimah kenapa?"

Pria itu tidak menjawab. "Datang saja, jangan bawel. Taman kampus, dia di bawah pohon seperti biasa," ujarnya lalu menutup panggilan.

Pria itu berjalan mendekati Fatimah, tanpa berkata apa-apa, ia menyimpan sapu tangan di samping Fatimah dengan secarik kertas yang di atasnya disimpan kerikil agar tidak terbang, lalu pergi. Membiarkan gadis itu meluapkan rasa sakitnya.

Ah, ya. Jatuh cinta memang tak pernah bisa tanpa terluka. Aku yang mencintainya dalam diam pun. Masih sering terluka. Sakit hati karena melihatnya bersama orang lain.

****

TBC.

Assalamu'alaikum...! Akhirnya update dengan bab yang panjaaaang 😅 karena seminggu kemarin gak up #gaadaygpeduli wkwk.

Selamat menikmati.

Salam rindu 💙

Tinny Najmi.

Subang, 1 Desember 2018

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro