Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

57. Tentang Perasaan

"Yang pasti pernikahan ini untuk aku cuma punya satu tujuan .... Membuat kamu jatuh cinta ke aku."

Suara Satria yang mengatakan hal itu terngiang-ngiang di benak Eriana. Seolah ingin menyadarkan wanita itu akan sesuatu yang penting. Hal yang tak semestinya terlupakan oleh dirinya.

Aku pikir semuanya udah berubah.

Ternyata ....

Eriana menyandarkan punggungnya di pintu. Merasakan tubuhnya yang gemetaran hingga butuh untuk berpegangan.

"Nyonya ...."

Mata Eriana mengerjap sekali. Suara Lina terdengar begitu jelas di telinganya. Tentu saja, mereka berdua hanya dipisahkan oleh sepapan pintu.

"Nyonya ...."

Eriana kembali mendengar suara Lina. Tapi, wanita itu hanya mengembuskan napas panjang. Tak menjawab panggilan pelayan pribadinya itu layaknya ia yang tak mendengar apa pun.

Hingga pada akhirnya Eriana menyadari bahwa tak ada lagi suara Lina di balik pintu kamarnya. Cukup menjadi tanda bahwa Lina sudah beranjak dari sana. Untuk beberapa alasan yang tak ia mengerti, ia justru merasa lega karena ketiadaan Lina. Mungkin untuk saat itu Eriana hanya tidak ingin ada orang yang melihat ia dalam keadaan yang terlihat menyedihkan.

Tubuh Eriana merosot di pintu. Pelan-pelan jatuh terduduk di lantai. Pundak wanita itu tampak lunglai. Begitupun dengan wajahnya yang menunduk seolah tanpa daya. Rambutnya yang kala itu terurai serta merta terjatuh menutupi pandangannya.

Lagi-lagi, kemudian napas panjangnya berembus.

Kenapa aku sampe melupakan hal itu coba?

Ya Tuhan, Eri.

Kamu bener-bener memalukan.

Kamu cewek yang benar-benar memalukan.

Eriana menghabiskan beberapa lama waktunya hanya untuk merasakan dingin lantai. Hingga kemudian, ketika rasa lelah itu semakin menjadi-jadi, Eriana berusaha untuk bangkit.

Ia berjalan layaknya seorang zombi yang gagal mendapatkan mangsa terakhir. Langkah terseok-seok, nyaris terjerembab di atas tempat tidur yang empuk itu. Maka adalah hal yang aneh ketika pada beberapa menit kemudian ia tampak berhasil menyelinapkan diri di balik bed cover. Berusaha mencari posisi yang nyaman. Tapi, ketika ia mencoba untuk menutup mata, ia tak bisa. Suara Satria mendadak terngiang kembali. Bahkan ketika ia memejamkan dengan lebih rapat, maka suara itu akan mengiang dengan lebih kuat lagi.

"Yang pasti pernikahan ini untuk aku cuma punya satu tujuan .... Membuat kamu jatuh cinta ke aku."

Dan kalaupun ia ingin menepis suara itu, maka perkataan Satria yang lainnya yang akan terdengar.

"Kalau kamu tau dia nggak ada perasaan ke kamu .... Ngapain kamu nikahi dia?"

"Ya menurut kamu untuk apa lagi? Ya tentu aja untuk ngebuat dia jatuh cinta ke aku. Keenakan dia dong kalau dia nggak ngerasa apa-apa sama aku."

Memikirkan perkataan Satria dan Andika berulang kali ternyata membuat Eriana semakin gelisah di tempat tidur. Alih-alih bisa tidur, yang terjadi justru ia merasakan gundah. Benar-benar tidak nyaman.

"Nyonya ...."

Mata Eriana berkedip sekali. Mengatupkan rapat-rapat mulutnya, berusaha mencegah agar ia tidak terlepas untuk menyahuti panggilan Lina tersebut. Dan kemudian, suara itu kembali menghilang.

Mengembuskan napas lega, Eriana yang merasa dirinya bisa kembali tenang tanpa suara-suara Lina justru merasa menegang seketika. Itu adalah ketika ia mendengar suara halus pintu yang dibuka. Tanpa melihat, Eriana bisa menebak bahwa yang masuk adalah Satria.

Sebenarnya mudah bagi Eriana menduga seseorang itu adalah Satria. Alasannya tentu karena tidak mungkin ada yang berani masuk ke kamar itu tanpa izinnya, kecuali mereka berdua. Tapi, kalaupun saat itu dia tidak berada di kamar ... maka Eriana akan tetap akan tau. Sederhana saja, sekarang tubuhnya seperti memiliki sensor terhadap keberadaan Satria. Karena ketika langkah itu mendekat, Eriana pun dengan jelas merasakan jantungnya yang menjadi berdebar-debar tak karuan.

Lalu hal itu terjadi begitu saja. Tatapan mereka bertemu. Saling memaku untuk beberapa saat lamanya. Hingga kemudian sisi tempat tidur itu melesak di saat Satria memilih untuk duduk.

Eriana melihat bagaimana Satria akan mengulurkan tangannya, tapi ia keburu bangkit terlebih dahulu. Duduk. Mengerjapkan matanya sekali. Walau jelas, mata itu terlihat kosong menatap pada Satria. Lalu ia pun melayangkan pertanyaan itu.

"Kamu beneran nikahi aku cuma buat aku jatuh cinta sama kamu, Sat? Cuma karena itu?"

Embusan napas Satria mengalun panjang. Terlihat dari ekspresi wajahnya, jelas pria itu sama sekali tidak terkejut dengan pertanyaan yang Eriana berikan padanya. Lebih dari itu, rautnya malah seakan menunjukkan bahwa ia memang menunggu hal tersebut.

Ternyata yang tadi itu emang Eri.

Dan dia pasti dengar apa yang aku bilangin dengan Andika.

Sekali, mata Satria berkedip pelan. Seiring dengan tarikan dadanya untuk menghirup oksigen ke dalam paru-parunya. Dan untuk beberapa saat pria itu tetap tak bersuara. Mungkin sedang menunggu kalau Eriana akan kembali lanjut mengatakan hal lainnya. Atau ... mungkin karena ia sedang berpikir.

"Eri ...."

Satria melirihkan nama itu dengan pelan. Matanya lantas mendapati bagaimana mata Eriana yang tampak sendu. Sedikit menyentuh rasa iba Satria sejujurnya.

"Seharusnya kamu nggak dengerin omongan kami tadi," lanjut pria itu. "Aku---"

"Sat!"

Eriana memutus perkataan Satria. Dan tak hanya itu, tangan wanita itu tanpa sadar telah berpindah tempat. Meraih tangan suaminya dengan begitu tiba-tiba.

Mata Satria membesar. Melihat bagaimana wajah Eriana yang terangkat demi bisa menatap padanya.

"Kamu lupa apa yang aku bilang waktu itu ke kamu?" tanyanya. "Di telepon?"

Dahi Satria mengerut. "Telepon?"

"Di malam sebelum pernikahan kita."

Satria melihat bagaimana manik mata Eriana tampak mencari-cari. Seperti ingin menebak isi pikiran pria itu.

"Aku ingat."

Jawaban Satria membuat Eriana tertegun. Masih dengan memegang tangan pria itu, Eriana mengembuskan napas panjang. Tepat ketika Satria kembali bersuara.

"Aku bohong kalau ngomong nggak ngerasa apa pun," katanya. "Itu kan ... yang kamu bilang malam itu?"

Pelan, Eriana mengangguk sekali.

"Jadi ...," lanjut Satria hati-hati. "Apa yang kamu pikirkan saat mendengar omongan aku dan Andika tadi?

Eriana menahan napasnya ketika mendapati pertanyaan itu. Merasakan bagaimana kata demi kata yang Satria lontarkan padanya membuat ia menjadi terasa lemas seketika. Tak mampu dicegah, air mata wanita itu merebak. Menggenangi kelopak matanya. Hingga mau tak mau justru membuat Satria memasang sikap waspada. Antisipasi untuk semua kemungkinan yang akan terjadi. Mungkin---

"Aku cinta kamu."

Satria membeku.

Di hadapannya, Eriana mengatupkan mulutnya rapat-rapat setelah mengatakan satu kalimat itu. Mengeraskan wajahnya hingga kulitnya yang putih berubah merah. Pun dengan tangannya yang mencengkeram tangan Satria tampak menguat. Sangat bertolakbelakang dengan setetes air mata yang terjatuh di pipinya itu.

"Itu kan yang kamu mau?" tanya Eriana kemudian. Tampak mendesak. "Kalau gitu bakal aku bilang. Aku cinta kamu."

Satria terdiam untuk beberapa saat. Fokusnya hanya untuk melihat ekspresi Eriana yang tampak keras. Lalu sekali, mata Satria mengerjap. Kemudian ... ia tertawa.

"Hahahahaha."

"Sat!"

Eriana mengguncang tangan Satria. Tampak kesal karena tawa pria itu. Bahkan matanya pun terlihat memerah.

"Sat! Kamu benar-benar nggak berperasaan!"

Membiarkan tubuhnya diguncang berulang kali oleh sang istri, Satria tetap saja tak mampu menahan tawanya untuk meledak. Hingga membuat wajahnya terangkat. Seolah ingin mengeluarkan semua rasa lucu yang mendadak saja terasa bagai menggelitik perutnya.

"Hahahahaha."

"Sat!"

Untuk kesekian kalinya Eriana menyebut nama itu dengan intonasi tinggi. Bahkan tak hanya sekali. Berulang kali setiap dilihatnya tawa Satria belum juga berhenti.

Hingga Eriana merasa tidak mampu bersabar lagi, ia pun melepaskan tangan Satria. Lalu tanpa diduga Satria, tangan Eriana langsung naik. Membekap mulut sang suami dengan mata yang melotot. Bahkan saat itu, entah bagaimana caranya, tapi air di mata Eriana tampak mengering. Tergantikan oleh sorot emosi.

"Berenti nggak?!"

Tapi, cicit tawa itu berhasil lolos berulang kali dari balik tangan Eriana. Hal yang tak hanya membuat kesal Eriana, melainkan juga dengan Satria. Walau dengan kesal yang berbeda.

"Astaga, Ri!"

Susah payah Satria menarik turun tangan Eriana. Ketika dirasakannya wanita itu akan menarik tangannya, ia justru memegang pergelangannya dengan lebih kuat. Berusaha untuk menahan wanita itu di hadapannya. Ia tak akan membiarkan Eriana beranjak darinya.

"Kayaknya aku nggak bakal pernah bisa ngerti jalan pikiran kamu."

Eriana yang semula memberontak, seketika berhenti. "Maksud kamu?"

"Hahahahaha." Satria tertawa lagi. "Jadi, itu yang kamu pikirkan setelah dengar omongan aku dan Andika tadi?"

Mata Eriana membesar.

"Jelas-jelas kamu nikahi aku untuk buat aku jatuh cinta sama kamu," ulang Eriana. "Terus apa lagi yang harus aku pikirkan selain fakta bahwa kamu menginginkan pengakuan cinta aku setelah kita nikah?"

Satria mengerjapkan matanya dengan penuh irama. Ekspresinya terlihat melembut dengan senyum yang pelan-pelan mengembang.

"Yah ... aku pikir emang seperti itulah kamu."

Eriana mengembuskan napasnya. "Kalau kamu emang mau pengakuan aku, kamu tinggal bilang ke aku, Sat. Ngapain kamu sampe cerita ke temen kamu?" Matanya melotot. "Kamu pasti bolos di kelas etika."

"Hah?" Satria menganga. "Kelas etika yang mana?"

"Dilarang menyebarluaskan urusan rumah tangga," kata Eriana mendelik. "Itu pelajaran pertama rumah tangga kayaknya."

"Oh." Satria mengerjap. "Ah ... itu ...." Lalu, ia merasa geli lagi. "Hahahahaha."

Mendengkus, Eriana sedikit beringsut. Berusaha untuk memposisikan duduknya dengan lebih nyaman dengan pergerakan yang terbatas. Bagaimanapun juga, Satria belum melepaskan tangannya.

"Padahal jelas-jelas malam itu aku udah ngomong. Eh, masih juga kamu mempersoalkan tujuan nggak jelas kamu itu."

Satria yang dari tadi masih tertawa, langsung berhenti. Tampak mengerutkan dahinya karena perkataan Eriana.

"Sorry? Tujuan nggak jelas aku?"

Eriana menoleh. "Itu .... Tujuan mau buat aku jatuh cinta," katanya dengan sewot. "Lagian, Sat, ya kali kamu mempersoalkan kayak gitu. Berasa kayak cowok apaan coba."

"Eh?"

Satria menarik tangan Eriana. Membawa mata mereka untuk bertemu di udara. Lantas ia mendengkus tak percaya.

"Berasa kayak cowok apaan?" tanya Satria syok. "Menurut kamu aja, Ri. Di mana ada cowok yang nggak berang kalau calon istrinya jelas-jelas ngomong kalau dia nggak ada perasaan sama sekali?"

Eriana tampak akan menjawab, namun urung. Yang terjadi justru wanita itu tampak mengembuskan napas panjang.

"Segitunya?"

Wajah Satria mengeras. "Segitunya."

Dengan satu kata itu, Eriana memutuskan untuk diam. Walau jelas, dari raut wajahnya terlihat bahwa ia merasa salah tingkah.

"Coba aku tanya. Emang dari awal kita ketemu, kamu nggak ngerasa terpesona gitu sama aku?"

Mata Eriana mengerjap dua kali. Lalu menggeleng. Hal yang memaksa Satria untuk menarik napas dalam-dalam. Mencoba menahan emosinya.

"Nggak merasa tertarik?"

Mengerjapkan matanya lagi, Eriana kembali menggeleng.

"Nggak yang terbayang-bayang tentang aku?"

Eriana tampak ingin menggeleng, namun ia justru terkesiap.

"Aaah! Kalau itu sih jelas, Sat. Tiap malam aku kebayang kamu terus."

Secercah rasa bahagia timbul di wajah Satria. "Benar?"

"Benar." Eriana mengangguk. "Setelah aku ngeremas bokong kamu malam itu, aku beneran nggak bisa tidur kalau nggak membayangkan bokong kamu dulu."

Dooong!

"Jadi ...." Satria meneguk ludahnya. "Kamu jatuh cinta dengan bokong aku?"

Kali ini Eriana yang tertawa. "Loh? Emang nggak boleh?"

Satria mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Seperti merasa diledek habis-habisan oleh wanita itu. Apalagi ketika di detik selanjutnya Eriana berkata.

"Lagian, Sat. Itu masih mending. Aku memang ada perasaan sama kamu walau kamu nganggapnya aneh atau gimana. Tapi, nyatanya aku nggak ada pernah ngeremas bokong cowok lain."

Mata Satria seketika melotot. "Jangan pernah kepikiran buat ngelakuin itu, Ri, kalau kamu masih mau hidup."

"Ck. Ini nih. Kebiasaan dari bujangan sampe nikah masih dibawa," decak Eriana. "Ngancam teruuus ...."

"Aku nggak main-main."

"Iya, Tuan. Aku tau kamu nggak pernah main-main," kata Eriana tampak kesal. "Yang aku nggak tau adalah kamu benar-benar nekat mempertaruhkan pernikahan cuma untuk ngebuat aku jatuh cinta sama kamu. Ego dan harga diri Tuan kamu itu memang sesuatu. Udah ah. Aku mau tidur a---"

"Ini bukan tentang ego dan harga diri, Ri."

Semula Eriana akan bangkit. Ingin ke kamar mandi sebelum benar-benar tidur seperti rencananya semula. Tapi, tangan dan ucapan Satria membuat ia menghentikan perkataan dan tindakannya.

Setengah berdiri, Eriana tertegun. Berpaling pada Satria yang menatapnya dengan sorot ragam emosi.

"Kamu tadi denger semua kan apa yang aku bicarakan dengan Andika?"

Eriana tak menjawab pertanyaan itu, melainkan membiarkan benaknya untuk mengingat.

"Ya menurut kamu untuk apa lagi? Ya tentu aja untuk ngebuat dia jatuh cinta ke aku. Keenakan dia dong kalau dia nggak ngerasa apa-apa sama aku."

Itu kalimat yang ambigu. Terkesan rancu. Maka bukan hal yang aneh bila Eriana bertanya.

"Kamu cinta aku?"

Jawaban yang Eriana dapatkan adalah berupa tarikan lembut Satria pada tangannya. Membawa wanita itu untuk kembali duduk di hadapannya. Hanya untuk melabuhkan satu ciuman di bibirnya.

Mata mereka memejam untuk sentuhan beberapa detik itu. Dan ketika bibir mereka terurai, Eriana kembali bertanya.

"Sejak kapan?"

Satria memulas satu senyum. "Mungkin sejak tiap malam aku kepikiran remasan tangan kamu di bokong aku."

"Kamu ..." Wajah Eriana memerah. "... nggak mau jujur?"

Kekehan lirih Satria berderai. Bahunya naik sekilas sebagai jawaban. Hal yang tentu saja membuat Eriana menjadi semakin ingin mendesak. Terdorong untuk mendapatkan jawabannya. Tapi, Satria sudah mengantisipasinya. Alih-alih membiarkan Eriana untuk kembali bertanya, pria itu justru mendaratkan kembali bibirnya. Melumatnya dengan dalam. Hingga beberapa menit berlalu, kedua bibir mereka masih setia untuk saling memijat satu sama lain.

"Kamu yakin?" tanya Satria saat menarik sebentar bibirnya.

Eriana buru-buru menarik udara. "Apa?"

"Sepuluh hari," jawab Satria. Lantas, bibir pria itu memanggut lagi.

"Hehehehehe." Eriana terkekeh. Membuat pagutan bibir mereka terjeda sejenak. "Kenapa?"

Satria menelengkan wajahnya ke satu sisi. "Itu lama. Apa normal?"

"Ehm ...." Tangan Eriana mengalungi leher Satria. "Normal. Aku udah periksa."

"Nanti kita konsul ke dokter Kim," lanjut Satria seraya mengecup sudut bibir Eriana.

Eriana memejamkan matanya. "Dokter Kim ... itu dokter umum?"

Ciuman terputus oleh kekehan Satria. "Dokter umum?"

"Maksud aku, kapan hari aku ditampar eh ... mau diperiksa dia. Sekarang untuk siklus aku juga konsul dengan dia?"

Satria makin terkekeh. Dan Eriana menarik leher Satria. Meredam tawa itu dengan bibirnya.

"Aku kepikiran dengan nifas kamu. Apa itu artinya bakal dua kali lebih lama?"

Tawa Eriana menyembur di bibir Satria. "Kalau begitu, tiga bulan loh, Sat. Hahahaha."

"Menurut aku, kamu emang perlu konsul."

"Hahahahaha."

Satria kembali mencecap bibir Eriana. "Itu mungkin nggak normal."

"Ehm ... normal. Tapi, ehm ... udahan ciumannya."

"Kamu khawatir kamu nggak tahan?"

"Bukan sebaliknya? Ehm ... kayaknya kamu perlu mandi malam ini."

"Nggak perlu ...."

"Ini ada yang perlu disiram air dingin loh. Hahahaha."

"Eri, tangan kamu ke mana?"

"Loh? Ini kancing aku kenapa udah pada lepas coba?"

"Ck. Kualitas baju zaman sekarang emang sudah menurun."

"Hahahahah. Sat! Tangan kamu!"

"Ya gigi kamu juga nggak usah gigit-gigit, Ri."

"Kalau sembilan hari ini aku balik ke unit aku gimana?"

"Kenapa? Ehm ...."

"Aku khawatir benar-benar makin stres dengan siklus ini."

"Hahahahaha."

"Jangan kuat-kuat ketawanya. Etika kamar. Nanti ada yang dengar."

"Nggak bakal ada yang dengar. Dan kalaupun ada yang dengar, itu nggak jadi masalah."

"Oh, itu bukan cerminan Tuan kita. Hahahahaha."

"Hahahahaha."

Dan sisa malam itu, ada banyak tawa yang mengalun dari kamar mereka. Yang mana ternyata kamar itu pun dengan ahlinya menahan suara itu agar tidak keluar dari sana. Karena bagaimanapun juga, tampaknya tak akan ada yang bisa tidur bila mereka mendengar derai tawa itu sepanjang malam. Entah apa saja yang mereka tertawakan. Mungkin tentang siklus nifas, rencana untuk langsung merapel kehamilan dengan teknologi bayi tabung –Satria berpikir mengandung kembar tiga sekaligus akan lebih efektif dan tentu saja Eriana menolak dengan terbahak-bahak-, atau tentang proses pengakuan perasaan yang tak biasanya.

Tapi ..., bukankah mereka memang pasangan yang tak biasa?

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro