Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

47. Insiden Cumbuan

Kamu bayangkan, Ri.

Bayangkan aja dulu.

Itu Satria masih pake celana aja beuuuh!

Mulut kamu aja udah ileran.

Apalagi kalau dia nggak pake celana?

Mungkin ... mungkin ... mungkin bukan lagi mulut atas kamu yang ileran.

Tapi ....

"Ri. Eri. Kamu ngerasa mual lagi? Atau apa? Please. Jangan sampe muntah di sini. Nyusahin orang aja."

Dooong!

Mata Eriana membuka. Menatap dengan sorot kosong pada mata Satria. Kedua tangan pria itu menangkup pipinya.

"Apa? Kamu ngerasa apa? Pusing? Sesak napas?"

Ya, Sat.

Lebih baik kita berdebat aja kayak gini.

Itu lebih baik ketimbang ....

Glek.

Mata Eriana mengerjap beberapa kali. Lalu kepalanya menggeleng.

"Nggak. Aku nggak apa-apa," jawabnya lirih seraya menurunkan tatapan matanya. Entah mengapa kali itu ia merasa tak mau membalas apa pun yang dilakukan oleh Satria. Mungkin efek lemas. Tapi, yang pasti adalah jangankan perkataan, bahkan sekadar tatapan pun Eriana tidak ingin mendebatnya.

Eh ...?

Itu apaan yang nonjol-nonjol di balik handuk?

Sementara itu, mendapati jawaban Eriana yang seadanya justru membuat Satria bingung. Bagaimanapun juga gelagat wanita itu tampak beda. Alih-alih membalas perkataannya, Eriana justru hanya memberikan jawaban seadanya.

Aneh.

Semua alien juga tau gimana dia yang nggak mau kalah kalau lagi ngomong.

Ini? Cuma 'aku nggak apa-apa'?

Mana dari tadi dia nunduk aja.

Biasanya dia melotot ngeliat aku.

Masih menahan wajah Eriana, Satria lantas berkata.

"Sini kamu."

"Eh?"

Eriana merasakan bagaimana tangan Satria mengangkat wajahnya. Mau tak mau membuat tatapan wanita itu terarah pada matanya.

Aiiih!

Kan aku mau ngeliatin yang di bawah.

Ck.

Wajah Eriana cemberut. Mengerutkan dahi dan mendengkus dengan kesal.

"Apa sih, Sat?"

Satria mengamati Eriana. "Kamu yakin udah nggak apa-apa?" tanyanya khawatir. "Aku nggak mau kamu masuk rumah sakit gara-gara baru abis nikah sama aku."

Napas Eriana berembus panjang. Yang mana tanpa ia sengaja justru menyapu kulit wajah Satria.

"Aku nggak apa-apa," jawabnya lagi.

Satria diam. Alih-alih bicara, pria itu justru terlihat seperti memaku tatapan mata Eriana. Mungkin ingin melihat kalau saja ada seberkas kebohongan di sana. Tapi, di lain pihak ... Eriana justru merasakan sesuatu.

Nah!

Ini pasti efek infus mulai bekerja.

Kenapa aku jadi beneran sesak napas?

Ya Tuhan.

Infus itu ....

Benar.

Tadi aja aku tanpa sadar mau ngeliat ke bawah terus.

Dan sekarang?

Udah ngeliat ke atas ... aku kok malah ....

Mata Satria yang dari tadi tak berkedip, mendadak saja menggerakkan kelopaknya secara refleks sebanyak dua kali. Gerakan spontan ketika ia menyadari bagaimana layaknya ia yang menangkup kedua pipi Eriana dengan tangannya, maka wanita itu pun melakukan hal yang sama.

Eh?

Ini cewek ngapain?

Satria berusaha melirik melalui sudut matanya. Mendapati kedua tangan Eriana telah berada di masing-masing pipinya.

"Ri?"

Satria lantas kembali melihat pada Eriana. Mendapati tatapan yang tak mampu ia artikan. Tampak kosong dan fokus untuk waktu yang bersamaan. Tanpa sadar membuat pria itu mengernyitkan dahinya.

"Eri .... Kamu---"

Ucapan Satria terhenti di udara. Mata melotot dan nyawanya mengancam akan pergi meninggalkan dirinya. Tepat ketika ia mendapati bagaimana tangan Eriana balas menarik wajahnya. Dan tak hanya itu. Sepasang mata wanita itu lantas menutup ketika ia memutus kata-kata Satria dengan satu sentuhan tepat di bibir pria itu.

"Emmmuuuach!"

Glek.

Jakun Satria naik turun saat ia spontan meneguk ludahnya di saat mendengar suara kecupan itu. Syok, ia hanya bisa melongo ketika di detik selanjutnya Eriana mengurai bibir mereka berdua. Dan tangannya pun jatuh lemas tak berdaya melepaskan pipi wanita itu.

"Huh!"

Desah Eriana dengan ekspresi yang beragam. Lagipula itu bukan seperti Satria yang masih bisa memedulikan segala macam ekspresinya. Alih-alih, Satria lantas bertanya dengan terbata.

"Ka-ka-kamu udah sembuh?"

Eriana mengembuskan napasnya. Lalu ekspresi wajahnya berubah lagi. Tampak meringis.

"Makanya lain kali kalau aku sakit jangan diinfus," keluhnya putus asa. "Nggak tau kenapa. Tapi, setiap diinfus aku ngerasa imajinasi mesum mulai berkeliaran di otak aku."

Lagi-lagi Satria terpaksa meneguk ludah gara-gara pengakuan yang satu itu.

Eriana mengangkat tangannya. Memegang kepalanya dan meremas rambutnya dengan geregetan.

"Waktu itu juga. Gara-gara diinfus, aku pasrah aja dicium sama kamu."

Anehnya, di saat itu ternyata otak Satria masih bisa bekerja dengan sempurna. Ajaib sekali hingga ia bisa menyanggah perkataan itu.

"Tapi, kita ciuman di atas meja kerja aku kemaren juga nggak pake infus kok."

Sreeet!

Eriana melayangkan tatapan tajam pada Satria. Wajahnya mengeras.

"Itu pasti karena mineral-mineral infusnya udah bersatu dengan setiap sel darah merah aku." Lantas ia terkesiap. "Dan darah yang membawa mineral infus itu diedarkan ke otak. Makanya aku jadi mesum kayak gini."

Pemikiran lainnya berkelebat di benak Satria.

"Kamu lupa kamu ngeremas bokong aku kapan? Dan itu bahkan tanpa infus," sanggah Satria lagi. "Tanpa infus pun kayaknya kamu udah mesum, Ri."

Mata Eriana horor menatap Satria.

"Karena itu, Sat, masalahnya. Tanpa infus aja aku udah mesum. Apalagi kalau ditambah infus."

"Eh?"

Eriana menatap mata Satria. Entah sadar entah tidak, tapi wanita itu lantas melakukan gestur yang teramat mengundang.

Lidahnya keluar. Mengusap bibirnya perlahan. Mengamati Satria dengan sorot mengintai. Sementara itu ... di mata Satria tentu saja pergerakan itu membuat ia lagi-lagi meneguk ludahnya.

Maksud ini cewek apaan sih?

Dari tadi nggak ada berenti-berentinya buat aku syok!

Dan selagi pemikiran itu bertanya-tanya di benaknya, di detik selanjutnya Satria justru mendapati Eriana yang bertanya.

"Kalau aku jadi mesum beneran gimana?"

Mulut Satria otomatis langsung membuka. Tapi, sialnya ia justru tak bisa berkata apa-apa. Syok bukan lagi kata yang mampu untuk menggambarkan perasaan pria itu.

"Be-bentar, Ri," kata Satria menarik napas dalam-dalam. Lalu matanya melirik pada tiang infus di sisi tempat tidur itu. "Kayaknya kita emang perlu konsul ke dokter Entang perihal infus ini. Mungkin memang ada mineral di dalamnya yang berbahaya untuk kamu."

"Itu urusan besok. Sekarang ...," desah Eriana kemudian.

Tubuh wanita itu bergerak perlahan. Sedikit bangkit dari duduknya. Mengambil posisi berlutut sehingga memaksa Satria untuk menengadahkan wajahnya.

"... kita pikirkan dulu gimana caranya biar efek infus sialan ini cepat lenyap, Sat."

Satria ingin mengatakan pada Eriana bahwa ia bukanlah orang kedokteran. Walau sebenarnya pemikiran imajinasi mesum yang diakibatkan infus itu benar-benar tidak masuk akal –astaga, itu garam mineral dan bukan obat perangsang-, hanya saja Satria tidak ingin gegabah.

Risiko terburuk. Ia tau bahwa setiap tindakan harus melihat risiko terburuknya terlebih dahulu. Dan risiko terburuk bila imajinasi mesum Eriana berkembang semakin liar adalah ....

Tangan Satria bergerak dengan cepat ke balik pinggang Eriana. Teramat cepat hingga membuat Eriana yang dalam posisi berlututnya hendak menghampiri Satria justru menjadi tercekat karenanya. Membuat tubuhnya goyah. Tapi, bukan berarti ia akan menolak untuk bertahan pada pria itu.

Eriana mengerjapkan matanya sementara kedua tangannya sudah mendarat di pundak Satria yang kokoh. Sekarang ia bisa merasakan bagaimana kulit itu terasa lembab di bawah sentuhannya. Dan kala itu pula ia menyadari bahwa titik-titik air di tubuh polos pria itu perlahan mulai mengering. Lebih dari cukup untuk menyadarkan dirinya bahwa mereka berdua sudah lumayan lama berada dalam posisi itu. Berbincang, membicarakan hal yang aneh, sementara Satria belum sempat mengenakan pakaiannya.

Lalu tatapan keduanya bertemu. Hanya sedetik. Waktu yang terlalu singkat hingga Eriana merasakan tangan Satria di pinggangnya kembali bergerak. Semakin menarik dirinya. Dan di saat itu, Eriana pikir tak ada hal yang lebih tepat selain menundukkan wajahnya. Menempelkan bibirnya di bibir Satria dan ... mereka lantas saling bergulat dalam ciuman yang panas.

Sampai di titik itu, Satria pikir mungkin saja infus itu memang memberikan efek berbeda bagi Eriana. Mungkin saja. Atau malah memang benar. Karena bagaimanapun, dirinya tak pernah menduga bahwa Eriana benar-benar akan bertindak seperti itu padanya.

Dengan sedikit akal sehat yang masih bisa berpikir, Satria ingat sekali bahwa sebenarnya Eriana memiliki kecenderungan untuk selalu membalas ciumannya. Hal yang ia sadari walau mungkin itu akan dielak oleh Eriana. Tapi, tetap saja. Membalas ciuman dengan berinisiatif untuk memulai ciuman adalah hal yang berbeda. Maka sudah bisa dipastikan bahwa sensasinya pun berbeda.

Tangan Eriana yang semula memegang pundak Satria bergerak. Mencari tempat di belakang tekuk pria itu dan mengalungkannya. Dan di lain pihak, tangan Satria yang lainnya menyusul untuk turut mendarat di belakang tubuh Eriana. Bergerak dengan instingnya. Merayap dan menjelajahi bagian punggung hingga pinggang Eriana dengan tanpa henti.

Mendapati rabaan di sepanjang tubuhnya menyulut Eriana. Membangkitkan sisi primitifnya. Merasakan bagaimana ia terdorong oleh desakan tak kasat mata untuk mencicipi lebih lagi.

Bibir keduanya bergerak. Saling memanggut dan melumat secara bergantian. Di satu waktu, Eriana merasakan bagaiman Satria mengecup bibirnya dengan teramat kuat. Hingga membuat ia seperti merasakan panggilan yang memaksa untuk semakin menempelkan dirinya pada pria itu.

Tangannya yang mengalung di leher Satria pun makin mengerat. Terutama ketika ia merasakan bagaimana kedua tangan Satria lantas bergerak. Menuntun dan membawa dirinya untuk mendarat dalam pangkuan pria itu.

Tiang infus bergeser.

Tapi, itu tak lagi dipedulikan oleh Eriana. Yang ia pedulikan adalah bagaimana sentuhan itu tetap berlanjut. Karena jelas sekali, saat lidah Satria membelai bibirnya, ia merasa gelenyar yang membuat ia bergetar hingga ke ujung kaki.

Eriana membuka mulutnya. Mempersilakan Satria untuk menjelajahi ruang hangat di dalam sana dengan lidahnya.

Lidah keduanya bertemu. Beradu. Dan saling menyapa dalam sentuhan yang teramat menggoda. Hingga menyulut Satria untuk melakukan hal yang lebih. Menggeser sedikit posisi duduknya, ia semakin menenggelamkan Eriana dalam rengkuhannya.

Tiang infus kembali bergeser.

Satu tangan Satria naik. Menahan tekuk Eriana saat lidahnya semakin mendesak. Lalu pada saat yang tepat, ia pun menarik lidah wanita itu dalam satu isapan yang begitu sensual. Lantas, ciuman pun tidak lagi menjadi sekadar ciuman.

Ada tangan Eriana yang lantas meremas rambut lembab Satria. Ia mengerang. Merasakan sensasi yang teramat memusingkan kepalanya saat Satria mempermainkan lidahnya sesuka hati pria itu.

Melumatnya. Mencecapnya. Bahkan memberikan gigitan kecil di sana.

Hal yang lantas membuat Eriana tanpa sadar menggerakkan tubuh bagian bawahnya. Bersamaan dengan ketika ia merasakan dorongan yang menuntun dirinya untuk menempatkan diri tepat di atas sesuatu yang ada pada diri Satria. Sesuatu yang membuat ia tercekat. Terasa keras dan asing, anehnya justru membuat ia penasaran.

Satria melepaskan lidahnya. Pun dengan ciuman mereka. Tapi, bukan berarti semuanya selesai sampai di sana. Nyatanya ia lantas melarikan tangannya pada tempat lainnya. Meraih tepian gaun tidur yang wanita itu kenakan.

Memejamkan matanya, Eriana mendongakkan wajahnya. Membiarkan bibir Satria turun ke sisi leher. Membuai kulitnya di sana sementara tubuhnya kian menegang. Terutama ketika ia merasakan bagaimana satu tangan Satria perlahan merayap. Pelan-pelan masuk. Mengabaikan gaun tidur yang ia kenakan, jemari itu lantas menyentuh kulitnya di dalam sana.

Tiang infus lagi-lagi bergeser.

"Aaah ...."

Eriana mendesah. Dorongan yang tak mampu ia tahan ketika merasakan ada sesuatu yang menangkup payudaranya di dalam sana. Dan tak hanya itu. Tangkupan menggetarkan tersebut dengan cepat berubah menjadi satu remasan yang membuat ia semakin mendesah-desah karenanya.

Satria semakin tak mampu menahan dirinya sendiri. Bibirnya semakin liar bergerak di sepanjang leher Eriana. Melabuhkan kecupan-kecupan yang dengan cepat menjelma menjadi warna-warna merah di kulit mulus wanita itu.

Tiang infus makin bergeser.

"Sat ...."

Suara lirih nan sensual Eriana menyapa indra pendengaran Satria. Menyadarkan dirinya sendiri bahwa bukan hanya ia yang menikmati itu. Hal yang terang saja membuat Satria semakin berani. Kalau tadi hanya satu tangannya yang masuk, maka kali ini giliran tangannya yang lain yang berperan.

Godaan untuk menangkup payudara Eriana tanpa ada penghalang sedikit pun melintas di benak Satria. Benar-benar tak mampu ia elak. Maka satu tangannya bergerak. Ke punggung wanita itu. Menemukan pengaitnya. Lantas, Satria bisa merasakan bagaimana bra itu mengendur di dalam sana. Tak membiarkan waktu untuk terbuang percuma, Satria dengan segera menyusupkan tangannya untuk menyentuh kelembutan payudara Eriana. Menangkupnya dan lalu bergerak dalam remasan yang---

"Kruuukkk ...."

Satria tertegun sejenak dan refleks menghentikan cumbuannya. Hal yang tentu saja dirasakan oleh Eriana. Tapi, wanita itu tak peduli. Daripada mempersoalkan bunyi aneh itu, ia lebih tertarik untuk menggesek-gesekkan tubuh bagian bawahnya yang terasa resah.

"Kruuukkk ...."

Mata Eriana mengerjap. Sekali. Lantas ia sedikit menelengkan wajahnya. Melabuhkan kecupan di sisi kepala Satria. Merasakan keharuman rambut pria itu dengan hidungnya.

"Kruuukkk ...."

Lagi-lagi suara itu terdengar. Hingga mau tak mau membuat Eriana sedikit menarik dirinya. Dahinya berkerut ketika menyadari bagaimana perutnya terasa bergetar saat itu. Tapi, ketika matanya beradu dengan mata Satria, entah apa yang lantas berada di pikiran mereka berdua sehingga mereka mengabaikan bunyi itu. Detik selanjutnya, wajah keduanya malah bergerak lagi. Saling menyambut satu sama lain. Tapi ---

"Kruuukkk ...."

Kembali bunyi yang menggetarkan itu terdengar. Sontak membuat kedua anak manusia itu mengurungkan niatnya. Saling pandang dengan sorot menunggu. Mungkin sebentar lagi suara itu tidak akan terdengar lagi dan mereka bisa melanjutkan aktivitas menyenangkan yang tertunda itu. Mungkin atau malah sebaliknya.

Bisa saja bunyi itu akan kembali terdengar. Karena mungkin bunyi itu adalah peringatan untuk keduanya.

"Kruuukkk ...."

Mata Eriana mengerjap. Pun dengan Satria. Dalam diam mereka seperti sama-sama terpekur dengan kenyataan itu. Kenyataan di mana perut Eriana seakan ingin berkata seperti ini pada mereka berdua.

"Kalian pikir mau mesraan itu nggak pake tenaga heh? Makan dulu! Baru abis itu tempur! Kalian nggak mau kan pingsan dalam keadaan ehem-ehem?! Mau dibawa ke rumah sakit dengan diagnosa 'pingsan akibat kekurangan tenaga saat bercinta'?!"

Dan seperti belum cukup dengan gemuruh yang perut Eriana timbulkan dari tadi, sebagai penutup semuanya mendadak saja satu bunyi yang teramat kencang terdengar lagi.

"Kruuuuuuuuuuukkkkkkkkkk ...."

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro