Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

38. Bentuk Bahagia

"Ma .... Mama nggak serius kan?"

Mega mendelik besar. "Harusnya kamu pikirkan keseriusan kamu untuk menikahi Eri kalau kau sudah nggak bisa ngontrol diri kamu sendiri!"

"Tan .... Tante jangan ngasih keputusan kayak gini dong."

Mega mengangkat tangan. Mengepal seakan ingin menjitak Eriana hingga gadis itu tampak meringis takut. Tapi, tangan itu tertahan di udara. Lantas turun kembali ke pangkuannya.

"Harusnya kamu praktekkan kelas etika kamu, Eri. Kamu tau bukan gimana harusnya kamu bersikap menghadapi pria yang sebenarnya belum ... belum ..." Mega mencoba menarik napas dalam-dalam. "Aaargh ...."

"Mama!"

"Tante!"

Eriana dan Satria yang duduk mengapit Mega di dua sisi tampak panik seketika melihat wanita paruh baya itu mengerang seraya mendekap dada kirinya. Terlihat berusaha menarik napas dalam-dalam. Kembali berupaya untuk menenangkan dirinya.

"Kalian benar-benar harus menikah Jum'at ini!" tegas Mega lagi. "Nggak pakai tawar menawar sampai bulan depan!"

Glek.

Dua anak manusia itu tampak pucat pasi wajahnya. Seperti tak ada lagi aliran darah yang beredar di tubuh masing-masing. Lantas, Satria berusaha untuk bicara.

"Ta-ta-tapi, Ma. Kita belum ... lamaran."

"Harusnya kamu mikir itu sebelum kamu ... sebelum kamu ...." Mega meneguk ludahnya yang terasa bergumpal. "Ya Tuhan. Apa salah hamba sampai harus melihat perilaku Satria seperti itu?!"

Syok tidak lagi mampu menggambarkan bagaimana persisnya ekspresi wajah Satria saat itu. Terlebih lagi ketika dilihatnya Mega tampak meraih majalah di tangan Satria. Tanpa peringatan memukul benda itu pada putranya.

"Percuma Mama mendidik kamu selama ini, Sat! Kalau kamu mau ngapa-ngapain Eri, kamu nikahi dia dulu!" bentaknya.

"Ma."

Satria berusaha menutupi wajahnya. Tapi, Mega tampak masih geram dengan Satria hingga terus memukul putranya itu. Di lain pihak, melihat hal tersebut justru membuat Eriana merasa iba juga. Berusaha menahan tangan Mega.

"Tante, ini bukan salah Satria sepenuhnya. Aku ju---"

"Yang ngomong ini cuma salah Satria siapa?!" jerit Mega. "Kamu itu juga salah!"

Napas terasa tercekat di pangkal tenggorokan Eriana. Tubuhnya membeku dan seperti tidak bergerak lagi.

Mega menarik napas dalam-dalam. "Ya Tuhan, Eri. Kamu itu nggak seharusnya membiarkan Satria melakukan hal itu ke kamu. Tapi, karena kamu ngebiarkan ... itu artinya kamu juga mau kan?"

Eh?

Mata Eriana mengerjap-ngerjap.

"Ya kalau kalian sama mau, ya sudah. Kepalang nikah ajaaa!" jerit Mega.

Bahkan untuk sekelas Mega yang terkenal selalu bisa menjaga pembawaan dirinya di mana pun berada, pada akhirnya ia tetap hanya wanita biasa yang bisa mendadak emosional pula. Terutama ketika harus menghadapi kelakuan putra dan calon menantunya itu. Membuat keduanya hanya bisa mengerjap-ngerjapkan mata tanpa ada suara lagi. Ciut. Dan yang pastinya karena mereka memang merasa bersalah dan malu.

"Malam nanti kita lamaran!"

Perkataan Mega membuat keduanya langsung mengangkat wajah dengan kompak. Menatap pada Mega yang justru menatap lurus ke depan tanpa kedip. Tangannya bersedekap dengan punggung yang tegap. Satria tau, ibunya benar-benar sudah mengambil keputusan yang tidak akan bisa diganggu gugat lagi.

"Kita nggak punya banyak waktu," lanjut Mega lagi. "Dari sini Mama akan ngubungi Papa. Sepertinya kepergian Papa ke Samarinda harus ditunda."

Eriana dan Satria saling pandang. Masih memilih untuk diam. Hingga kemudian Mega mengeluarkan ponselnya. Sedetik kemudian ia sudah dalam percakapan lainnya.

"Siapkan semuanya, Pak. Hubungi langsung catering, percetakan, hotel, dan semuanya. Satria akan menikah hari Jum'at besok. Dan malam ini kita akan melamar Eri. Pokoknya aku nggak mau tau. Semuanya harus beres tanpa cela."

Lalu sambungan telepon itu berakhir dengan Mega yang menarik napas berulang kali dengan menggebu. Tak bicara untuk beberapa detik lamanya, lantas wanita itu berpaling ke kanan dan ke kiri secara bergantian. Ia berkata dengan nada sengit.

"Sekarang kalian berdua siap-siap dan ikut Mama pulang!"

Eriana dan Satria saling tatap dan kompak ketika berkata.

"Siap!"

*

Malam itu ... entahlah.

Entah senang, entah bingung.

Entah bahagia, entah curiga.

Entah penuh tawa, entah penuh rasa tak percaya.

Di lain sisi, orang tua mana yang tidak senang kalau anak perempuannya dilamar? Tapi, di sisi lainnya, orang tua mana yang tidak bingung kalau anak perempuannya mendadak dilamar?

Tanpa ada pemberitahuan sebelumnya. Tanpa ada persiapan sebelumnya.

Maka sudah bisa dipastikan bahwa itulah yang terjadi pada Rozi sekeluarga. Tepat tadi siang ketika ia mendapat telepon dari Eriana, pria paruh baya itu menganggap bahwa putri tertuanya itu tengah bercanda. Ia ingat sekali ketika Eriana berkata.

"Pak, mungkin sore nanti akan ada orang yang akan datang ke rumah. Mereka orang-orang keluarga Satria yang akan mempersiapkan rumah kita."

"Mempersiapkan?" tanya Rozi bingung kala itu. "Maksudnya?"

"Satria mau melamar aku malam ini, Pak."

Rozi terkekeh seketika. "Kamu jangan main-main, Ri."

Tapi, tak ada bantahan Eriana. Hal yang seketika saja membuat Rozi dan keluarganya panik seketika.

Sekarang keluarga itu hanya bisa melongo bagaimana setidaknya ada sepuluh orang pelayan tampak datang ke rumahnya. Dengan gesit dan cekatan bekerja demi menyulap rumahnya menjadi lebih rapi dan siap untuk acara lamaran itu. Lebih dari itu, ternyata orang suruhan Mega pun tak luput untuk mempersiapkan pakaian untuk mereka semua. Termasuk di dalamnya penata rias yang turut membantu mereka untuk bisa berpenampilan dengan mewah malam itu.

Nyaris bisa dikatakan bahwa Rozi dan keluarganya tak melakukan apa-apa untuk menyambut lamaran itu. Sebaliknya, bahkan untuk hidangan yang akan disajikan pun telah dipersiapkan oleh pihak pria. Mereka memang hanya duduk melihat bagaimana para pelayan itu bekerja dengan sangat cepat. Dan kehebohan itu tentu saja menarik rasa penasaran orang di sekitar rumah Eriana.

Melamar di malam Rabu?

Sontak saja hal itu menjadi bisik-bisik tetangga.

Pemilihan waktu yang tidak tepat kan?

Tapi, apa mau dikata. Pada akhirnya, menjelang malam itu rombongan keluarga besar itu tiba. Dan dibutuhkan usaha untuk warga sekitar mengarahkan mobil yang berarak-arak itu untuk bisa parkir di gang jalan yang tergolong sempit tersebut.

Dan mungkin ... cukup jarang terjadi di kehidupan sehari-hari. Wanita yang akan dilamar justru datang ke rumahnya sendiri bersama dengan rombongan keluarga pria. Hal yang lagi-lagi membuat orang jadi geleng-geleng kepala.

Maka begitulah yang terjadi selanjutnya. Dengan segala keterbatasan waktu dan persiapan, pada akhirnya acara lamaran itu benar-benar terjadi. Di mana untuk pertama kalinya kedua keluarga benar-benar bertemu dan justru langsung membicarakan soal pernikahan yang akan digelar pada hari Jum'at. Hanya berselang dua malam. Hal yang lagi-lagi membuat orang jadi geleng-geleng kepala.

Syok?

Itulah yang dirasakan oleh Rozi dan Nanik.

"Ha-hari Jum'at?" tanya Nanik tak percaya. Melirik pada Eriana dan lalu pada Mega. "Ha-hari Jum'at besok?"

Mendahului jawaban dengan satu senyumannya, Mega lantas berkata.

"Ibu nggak perlu khawatir. Semuanya akan kami atur. Yang penting Ibu dan Bapak bersedia."

Nanik melirik Rozi. Wajahnya tampak begitu cemas.

"Tapi, ini ... cepat sekali," kata Rozi kemudian. "Satria ... baru datang Minggu kemaren."

Sigit menganggukkan kepalanya. "Memang. Tapi, sebenarnya kami sudah dari lama membicarakan hal ini dengan Eriana. Dan mereka berdua sudah setuju untuk segera menikah."

Segera menikah?

Dalam waktu dua hari?

Satu bayangan kemungkinan yang buruk melintas seketika di benak Rozi dan Nanik. Hal yang membuat keduanya membeku.

Tidak mungkin pernikahan bisa terjadi secepat itu seandainya ....

Mereka berdua kompak melihat pada Eriana yang malam itu tampil anggun dengan kebaya bewarna ungu pastel. Dengan riasan sederhana pada rambutnya, gadis itu tampak begitu cantik. Dan pada saat itu, Eriana menundukkan wajahnya. Benar-benar tak melihat ke manapun sepanjang acara lamaran itu berlangsung.

Seperti menangkap dugaan buruk itu, maka lantas Mega dengan segera berkata.

"Nggak ada hal buruk yang terjadi pada Eri. Dia benar-benar gadis yang baik dan sopan. Dan ini sebenarnya murni karena keinginan aku."

Nanik dan Rozi kembali berpaling pada Mega.

"Satria adalah satu-satunya anak yang aku miliki. Melihat dia menikah pasti akan sangat membahagiakan. Apalagi karena wanita pilihannya juga mencintai dia," lanjut Mega. "Jadi seharusnya kita para orang tua ya nggak menghambat niat baik mereka kan?"

Tapi, tetap saja insting seorang ibu yang dimiliki oleh Nanik berkata lain. Hanya saja Nanik tau, dengan perkataan Mega barusan ia bisa sedikit mengangkat wajahnya.

Hingga lantas acara itu berakhir dan para undangan ala kadarnya yang meliputi Pak RT dan beberapa tetangga Eriana pulang, percakapan santai itu pun mengalir. Sigit tampak duduk santai ditemani oleh Rozi. Sementara Nanik dengan kikuk menemani Mega.

"Aduh aduh aduh! Aa' sekarang kelas berapa?"

Nanik tersenyum melihat Bagas yang duduk di sebelahnya. Tampak membelai kepala anak cowok satu-satunya yang ia miliki itu.

"Kelas 2 SMA, Bu," jawab Bagas.

Mega memandangi satu persatu adik Eriana. Tangannya melambai pada Dinda. Dan gadis itu pun mendekat.

"Teh Dinda sudah tamat kuliah kan?"

Dinda mengangguk. "Iya, Bu."

"Rencananya mau kerja?" tanya Mega. "Atau mau lanjut kuliah lagi seperti Teh Eri?"

Mata Dinda mengerjap. "Lagi mau nyoba daftar beasiswa dulu, Bu. Kalau lolos, mudah-mudahan mau lanjut lagi."

"Wah wah wah!" Mega geleng-geleng kepala dengan raut takjub. Beralih pada Nanik. "Aku ngurus Satria seorang saja sudah kewalahan, Bu."

Teringat bagaimana Satria yang ternyata memang benar-benar bisa membuat ia kewalahan membuat Mega merasakan panas di dadanya. Bayangan yang sekejap mata itu seperti membuat senyum wanita itu tampak kaku.

"Ini lima orang anak. Pintar dan sopan-sopan semuanya," kata Mega kemudian berusaha mengalihkan pikirannya sendiri. "Pasti nggak mudah."

Nanik tersenyum. Makin lama makin merasa lebih santai seiring waktu berjalan karena sikap Mega yang tampak hangat pada dirinya. Hingga kemudian, di saat yang tepat, wanita paruh baya itu berhasil menyeret Eriana ke kamar. Membawa putri sulungnya itu untuk percakapan serius.

"Kamu ... hamil?" tanya Nanik pelan-pelan seraya meremas kedua tangan Eriana. "Iya?"

Duduk di tepi tempat tidur bersama ibunya, Eriana tampak tidak terkejut mendapati pertanyaan itu. Hal yang sangat wajar untuk ditanyakan oleh ibu manapun di berbagai dunia kalau berada di posisi Nanik. Lantas, Eriana menggeleng.

"Belum, Bu," jawabnya. Lalu ia tersadar sesuatu. "Maksudnya nggak, Bu."

Nanik menarik napas dalam-dalam. "Ibu tau, kalian nggak mungkin nikah secepat ini kalau nggak ada apa-apa."

Eriana tak menjawab, melainkan hanya menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Hal yang membuat Nanik geleng-geleng kepala.

"Tapi, seenggaknya Ibu Satria cukup baik dengan menutup kejadiannya," katanya. "Itu artinya dia adalah orang yang baik."

Untuk hal yang satu itu, Eriana mengangguk. "Tante memang baik kok, Bu. Walau dia terkesan kaku, tapi dia orangnya penyayang."

"Iya iya." Nanik menganggukkan kepalanya. "Mereka masih keluarga ningrat kan? Itu wajar. Tapi, dia pasti bakal menjaga dan mengajari kamu dengan baik."

Eriana mengangguk. Tak mengatakan apa-apa lagi. Begitupun dengan Nanik yang pada akhirnya memilih untuk diam juga.

Lantas ..., setelah beberapa menit waktu berlalu dengan keheningan, terdengar pula tarikan napas Nanik.

"Tapi, Ibu ya nggak percaya saja kalau sebentar lagi kamu bakal nikah," katanya. "Ini terlalu cepat dan ...."

Eriana mengangkat wajahnya. Melihat wajah Nanik yang sudah tampak menua dimakan usia. Terutama keadaan keluarga mereka yang tak memungkinkan dirinya untuk mendapatkan perawatan, nyaris menghadirkan kerutan lebih cepat dari seharusnya.

"Seandainya Ibu tau kamu bakal nikah secepat ini," lanjut Nanik seraya menarik napas dalam-dalam. "Ibu pasti bakal sering nyuruh kamu pulang ke rumah. Kamu terlalu sibuk belajar dan kerja. Dan ibu malah biarkan aja kamu nggak pulang-pulang ke rumah. Sekarang? Sebentar lagi kamu benar-benar nggak bakal balik ke rumah ini."

"Ibu ...."

Rasa pahit mendadak saja hadir di tenggorokan Eriana. Melihat bagaimana dua bola mata itu bergenang air. Tampak berlinang melihatnya.

"Sebentar lagi ... Satria yang memiliki kamu, Ri."

Ucapan polos seorang ibu yang menyadari bahwa sebentar lagi putrinya akan menjadi milik orang lain. Sesuatu yang manusiawi, tapi bukan berarti bisa diterima tanpa air mata. Rasanya bahagia, tapi tentu saja. Ada rasa kasih ibu yang selalu merasa tak siap menyerahkan anaknya pada orang lain.

Hal yang kemudian membuat Eriana tak mampu menahan dirinya untuk memeluk ibunya. Merengkuhnya dengan kuat dan merasakan balasan yang serupa.

"Tapi, kan aku tetap anak Ibu," katanya. "Bukan berarti aku nggak bakal balik ke rumah lagi. Walau aku nikah, aku selalu jadi anak Ibu."

Di lekuk pundak putrinya, Nanik mengangguk. Tersenyum, tapi juga menangis. Mencoba menyadari bahwa memang seperti itulah kehidupan. Pun ketika putrinya menikah, bukan berarti ia akan kehilangan. Ia hanya merasa terlalu bahagia karena ... putrinya menemukan pria yang akan menjaga dirinya.

Ibu mana yang tidak akan mensyukuri hal itu?

"Kamu harus sering balik ke sini," ujar Nanik di sela tangisnya. "Walaupun kamu nikah, kamu tetap anak Ibu, Ri."

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro