Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

24. Bukan Sakit Jiwa

Rasanya ... pas!

Tepat ketika belahan bibir bawah Eriana berada di antara kedua belah bibir Satria, rasa itu mendera. Seperti ada kepingan puzzle terakhir yang berhasil menyatu untuk menyempurnakannya. Dan ketika kepingan itu sudah menyatu, apa mungkin akan terpisah lagi?

Mungkin itu adalah tindakan paling fatal yang pernah dilakukan Satria seumur hidupnya. Atau mungkin itu adalah hal yang paling tak terduga yang dialami Satria selama ini. Nyatanya ... satu sentuhan itu membuat tubuhnya benar-benar terasa tegang. Sentuhan itu membuat ia merasa ... tak ingin berhenti.

Maka itulah yang terjadi sedetik kemudian, Satria semakin menarik tekuk Eriana. Bergerak lebih berani untuk mengecup bibir gadis itu. Yang mana pada mulanya Satria hanya ingin merayu Eriana saja dengan satu kecupan singkat, tapi ...? Sepertinya yang terjadi selanjutnya berbeda jauh dengan rencana 'kecupan singkat' Satria semula. Tak ada yang singkat ketika kedua bibir itu sudah menyatu dalam sentuhan yang tak terduga oleh keduanya.

Semenit kemudian, Eriana tampak dengan susah payah berusaha mengangkat satu tangannya yang bebas. Menekan pada dada Satria. Menciptakan sedikit celah di antara mereka hingga mau tak mau bibir Satria lepas dari bibir gadis itu. Celah yang kemudian digunakan oleh Eriana untuk melirih.

"Sat ... ria ...."

Suara pelan nan lembut itu justru terasa seperti membelai bibir Satria yang membuka. Mungkin Eriana bermaksud untuk menyadarkan pria itu, tapi yang terjadi justru sebaliknya.

Mana ada pria waras yang mampu berpikir ketika ada bibir merah muda membuka mengilap di depan matanya? Terutama ketika ada suara serak yang menerpa gendang telinganya?

Oh, hanya Tuhanlah yang tau persis bagaimana dua hal tersebut mampu menggoda pria paling waras sekalipun. Dan masalahnya, mungkin saat ini jangankan untuk waras, Satria justru bisa dikatakan tak mengerti arti waras itu apa.

Mata Satria mengerjap sekali sebelum menatap lurus pada mata Eriana. Sorot mata gadis itu tidak terbaca. Kebingungan, panik, syok, dan tak percaya ..., mungkin adalah empat hal yang membentuk kombinasi sorot di matanya.

Eriana berusaha untuk tetap menghirup napas dalam-dalam hingga membuat dadanya tampak kembang kempis. Walau Satria tau persis, itu bukan karena asma seperti iklan di televisi. Tapi, nyatanya yang terjadi saat itu ... ya! Mereka seperti memang sedang menderita asma secara bersamaan.

"Satria ...."

Eriana meneguk ludahnya. Mengerjapkan matanya berulang kali dan berusaha untuk tetap menahan dada Satria. Hal yang membuat ia sadar bahwa saat itu ada sesuatu yang riuh di balik jas mahal yang Satria kenakan.

"Eri ...."

Astaga!

Satria menutup mulutnya sedetik setelah suaranya keluar dalam rangka menyebut nama gadis itu.

Itu tadi suara aku?

Kenapa yang kayak ada biji kedondong nyangkut di tenggorokan aku?

Dan di saat Satria masih sibuk dengan pikirannya sendiri, Eriana justru memecah keheningan beberapa detik itu.

"Ki-kita harus balik ... ke ruangan ...."

Ruangan?

Mata Satria berputar dengan cepat seolah ia lupa di mana ia sekarang berada.

Pantry.

Ada Eriana di depan aku.

Jarak yang nggak seberapa dengan bibir yang baru saja aku cium.

Sepertinya Satria butuh waktu untuk membuat kesadaran dirinya kembali lagi. Hal yang justru membuat pria itu mengerutkan dahi dengan perasaan resah. Merasa ada yang asing dengan dirinya sendiri.

Tapi, ketika Satria baru memikirkan hal apa yang bisa ia katakan untuk keluar dari situasi itu, ia justru mendapati Eriana yang sudah bangkit dari duduknya. Mengambil kesempatan dari kelengahan beberapa saat Satria untuk menarik tangannya melepas dari genggaman pria itu.

"Ehm .... Aku duluan, Sat ...."

Tangan Satria terangkat. "Eri ...."

Tapi, Eriana sudah keburu berlari dari sana. Meninggalkan Satria yang membeku di tempatnya duduk.

Semenit ....

Dua menit ....

Satria mengembuskan napas seraya geleng-geleng kepala. Mengusap wajah dengan kedua tangannya dan bergumam rendah.

"Tuh kan .... Dia kabur terbirit-birit."

Satria meneguk ludah. Bangkit dari duduknya dan mengeluarkan satu botol air mineral dingin dari dalam kulkas. Menuangkan isinya ke dalam gelas dan meminum isinya dengan cepat.

Setelah rasa dingin itu menyebar di dalam dadanya, Satria merasa lebih tenang. Maka tak heran bila setelah meneguk habis dua gelas air dingin itu, satu senyum tampak menyungging di wajahnya.

"Baru aja aku cium sekali, eh ... dia udah yang kayak nggak bisa ngebedain mana dunia mana akhirat lagi kan?"

Satria meletakkan gelasnya. Terkekeh, lalu mendengkus geli, kemudian terkekeh lagi seraya menyugar rambut dengan kelima jari tangannya. Dengan mata menyipit yang mengarah ke pintu pantry, Satria kembali bergumam.

"Baru sekali aku cium ... udah kayak gitu. Gimana kalau dua kali?"

Satria kembali terkekeh.

"Awas kamu ya, Ri. Aku pastikan ciuman kedua nanti kamu bahkan nggak bakal bisa lari lagi."

Kepala Satria menggeleng sekali.

"Nggak," ralatnya kemudian. "Jangankan lari, kamu bahkan bakal ngerasa udah nggak sanggup berdiri lagi."

Seringai terbentuk dalam satu janji yang tersirat.

"Aku janji."

*

Eriana menundukkan pandangannya. Melihat pada proposal yang membuka di atas meja sekretarisnya. Berusaha untuk terlihat begitu natural ketika berpura-pura sedang berkonsentrasi membaca deretan angka-angka di sana. Yaitu ketika ia merasakan Satria mendekat ke arahnya.

Butuh kekuatan yang lebih besar dari yang Eriana duga untuk ia tetap menunduk ketika di detik selanjutya gadis itu mendapati satu gelas air putih mendarat di mejanya. Dan saat itulah Eriana tanpa sadar meruntuhkan benteng yang sudah ia bangun dengan dasar tak ingin berhadapan dengan Satria setelah kejadian di pantry tadi.

Eriana tau dia bukanlah anak SMA yang baru melepas ciuman pertamanya, tapi ... tetap saja.

Siapa yang nggak syok kalau abis kena tampar malah langsung dicium?

Tapi, sepertinya usahanya harus mengalami kegagalan lebih cepat dari yang ia perkirakan sebelumnya. Ketika Satria berkata setelah meletakkan segelas air putih itu, Eriana menyadari dirinya benar-benar payah.

"Kamu tadi mau minum kan? Ini aku bawain minumnya. Jangan lupa diminum."

Ya Tuhan.

Satria lantas berlalu dari sana. Meninggalkan Eriana dan segelas air putih dingin yang sama-sama tak bergerak di tempat masing-masing.

"Astaga ...."

Eriana mengembuskan napas panjang –yang tanpa sadar ia lakukan adalah menahan napasnya ketika Satria menghampirinya tadi-. Beruntung sekali Satria tidak berlama-lama di sana. Oh, kalau sampai lima menit ... tentu saja itu artinya Eriana tidak bernapas selama itu!

Memandang pada segelas air itu, Eriana mendengkus dengan nada kesal.

"Emangnya siapa lagi yang masih mikirin air segala macam?"

Mata Eriana menyolot melihat pada pintu ruangan Satria.

"Dia semacam psikopat atau gimana sih?" tanya Eriana tak habis pikir. "Di mana ada ceritanya cowok abis cium cewek malah ngasih segelas air."

Eriana membuang napas dengan mulutnya.

"Dia nggak mungkin mikir aku yang semacam syok gara-gara ciuman dia kan? Sampe-sampe butuh air untuk menenangkan gejolak diri aku?"

Dan setelah pertanyaan itu terlontar dari bibirnya, Eriana meraih selembar kertas kosong. Meremasnya dalam tujuan menahan rasa geram.

"Argh ...."

Eriana memejamkan matanya. Membuang asal kertas itu yang sudah berubah kusut dan lantas mengepalkan kedua tangannya dengan geram, alih-alih berusaha untuk meremas rambutnya dengan kesal.

"Itu dia kenapa yang mendadak cium aku coba?" tanya Eriana pada akhirnya. "Mana meluk aku? Ngompres pipi aku?"

Otak Eriana terasa pening ketika teringat hal itu. Ingin melupakannya pun percuma. Ingatan gadis itu benar-benar tidak diragukan kali dalam bekerja. Bahkan kalau ingin menambahkan efek dramatis, Eriana bisa ingat pada episode dan menit ke berapa Gong Hyo Jin dan Kang Ha Neul ciuman untuk pertama kali di drama yang berjudul When Camellia Blooms.

Mata Eriana melotot.

"Bukan berarti aku bakal ingat selamanya kalau aku dan dia ciuman untuk pertama kalinya di pantry kantor pada tanggal 18 Juli 2020. Tepat di pukul 14.25 WIB."

Eriana terkesiap horor.

"Aku beneran ingat. Ya Tuhan. Kenapa aku beneran bisa ingat? Harusnya kamu ingat isi buku pasal aja, Ri. Bukannya malah ingat hal yang kayak gitu."

Frustrasi dengan dirinya sendiri, Eriana meraih gelas minuman yang dibawa oleh Satria tadi. Meneguk isinya dengan begitu rakus. Mungkin bukan karena dia mendadak kehausan, melainkan karena ia butuh sesuatu yang dingin untuk mendamaikan gemuruh panas yang menggelora di dalam dadanya.

Meletakkan gelas yang kosong itu kembali di atas meja, Eriana lantas menarik napas dalam-dalam. Sekarang, ia mulai merasakan bagaimana air dingin itu pelan-pelan bekerja di tubuhnya. Napasnya terasa lebih damai, rasa panas tadi perlahan memudar, dan Eriana yakin bahwa seiring waktu ... ia akan melupakan hal tersebut.

Tapi, bagaimana bisa Eriana melupakan peristiwa ciuman itu? Karena yang terjadi selanjutnya adalah Satria justru melakukan hal yang membuat rencana Eriana gagal total.

"Kamu duduk di belakang saja dengan saya, Ri. Saya butuh mendiskusikan beberapa hal dengan kamu."

Eriana melongo. Gadis itu ingin sekali menganggap bahwa telinganya salah mendengar atau lidah Satria yang salah berucap. Namun, sore itu ketika pulang dari kantor Satria benar-benar melakukan apa yang ia katakan.

Satria telah masuk ke dalam kursi penumpang mobil itu. Dari dalam, ia melirik pada Eriana sementara sopir Satria yang bernama Yanto tampak masih menahan pintu penumpang. Melihat pada Eriana. Jelas menunggu sampai gadis itu masuk dan duduk di sana.

Berusaha mengabaikan beberapa pasang mata di sekitaran mereka, Eriana lantas masuk ke kursi penumpang. Duduk dan pintu segera menutup. Bersamaan dengan Yanto yang beranjak ke kursi kemudi, Satria justru menekan satu tombol. Dan seketika pelan-pelan sekat pembatas pun bergerak memisahkan akses bagian kemudi dan penumpang. Hal yang membuat Eriana langsung berpaling.

"Satria .... Ini kenapa pake acara naikin sekat?" tanya Eriana langsung.

Satria mengembuskan napas panjang sekali. Terlihat melepas satu kancing di jas yang ia kenakan. Menyantaikan duduknya di sana sementara ia melirik pada Eriana yang jelas saja terlihat panik saat itu.

"Nggak apa-apa sih," jawab Satria enteng. "Cuma biar kamu bisa nyantai juga di sini."

"A-apa?"

Seperti aku yang butuh waktu untuk nyantai aja?

"Ehm .... Tapi, ini nggak enak sama Pak Yanto."

Satria menoleh. Bisa melihat bagaimana Eriana yang benar-benar terlihat tegang di tempat duduknya. Bahkan sekilas Satria melihat, ia mendapati bagaimana bokong Eriana yang duduk nyaris benar-benar di tepi kursi. Bokongnya---

Satria mengerjapkan matanya sekali. Kembali membawa fokus matanya pada Eriana. Kali ini ia menambahkan senyuman dalam perkataannya. Senyuman yang anehnya justru membuat Eriana waspada.

Ya ampun.

Seharian ini dia udah berapa kali senyum coba?

Jangan-jangan tsunami bakal sampe ke Jakarta lagi.

Gawat.

Hal yang jelas berbeda seratus delapan puluh derajat dengan apa yang dirasakan oleh Satria.

"Tenang aja. Kamu nggak perlu khawatir dengan Pak Yanto. Dia kan udah tau tentang kita dan dia nggak bakal ngomongi kita yang macam-macam dengan orang-orang."

Mata Eriana membesar. "Berusaha pulang tiap hari bersama kamu tanpa kepergok dengan karyawan yang lain aja udah bagus dan ini kamu malah nyuruh aku duduk bareng sama kamu?" tanya Eriana. "Aku bener-bener nggak mau orang mikir aku dan kamu ada hubungan apa-apa."

Dooong!

Perkataan yang seketika membuat Satria menduga rotasi Bumi mendadak berhenti. Waktu tak berputar lagi. Dan semua terasa seperti ia yang tengah berada di ruang hampa udara.

A-a-apa dia bilang tadi?

Dia nggak mau orang mikir dia dan aku ada hubungan apa-apa?

APAAA?!

Memangnya aku memalukan buat dia?

Satria menarik napas dalam-dalam. Menghitung hingga tiga untuk berusaha menenangkan dirinya yang lagi-lagi bergejolak.

Kalau tadi yang di pantry itu dia ngomong di belakang aku, itu masih bisa aku terima.

Tapi, kali ini?

Dia ngomong langsung di depan aku!

Dia nggak mau ada orang yang mikir kalau kami ada hubungan?!

Dia malu gitu kalau ada orang ngomongi dia ada hubungan dengan aku?!

WAH!

Dan selagi beberapa kemungkinan yang membuat gerah terasa menyesakkan dada Satria, di sebelahnya Eriana berkata lagi.

"Digosipin sama bos sendiri ... itu pasti nggak enak."

Mata Satria melotot. Tapi, ia mengembuskan napas panjang seraya tetap berusaha menahan kewarasan dirinya yang masih tersisa dalam kapasitas yang begitu sedikit. Nyaris saja Satria ingin memperturutkan emosinya, namun ia teringat sesuatu.

Nggak ada cewek yang bakal klepek-klepek sama cowok kasar, Sat.

Kamu mau buat Eriana terpesona sama kamu kan?

Maka bertingkahlah layaknya gentleman di era penjajahan Belanda dulu.

Lantas itulah yang dilakukan oleh Satria. Mengabaikan bagaimana Eriana yang sewaktu-waktu tampak bisa saja tersungkur dari duduknya –karena posisinya yang begitu di tepi-, Satria meraih satu tangan Eriana. Mau tak mau membuat Eriana menoleh pada pria itu. Melirik dan dalam waktu yang cepat mata Eriana berubah membesar. Itu adalah ketika Satria melabuhkan satu kecupan hangat-hangat lembab di punggung tangannya.

Seeerrr!

"Satria ..., kamu ...."

"Oke," kata Satria cepat. "Kalau memang itu yang kamu mau. Aku nggak akan maksa kamu buat duduk bareng aku lagi kalau balik dari kantor."

Tak ada perdebatan yang Eriana dapatkan. Dan harusnya sih Eriana merasa senang karena mendengar hal itu, tapi .... Mata Eriana melihat pada tangan kanannya yang masih belum dilepaskan oleh Satria. Alih-alih, pria itu malah menimang-nimang tangannya.

Ya ampun.

Kayaknya sakit jiwa aku udah nular ke dia deh.

Bukan hal yang berlebihan mengingat bagaimana Satria menimang tangan Eriana seraya bersenandung pelan.

"Oh .... Inikah cinta? Oh .... Inikah cinta? Cinta pada jumpa pertama."

Eriana menggeleng.

Salah.

Ini dia bukan lagi sakit jiwa.

Tapi, pasti jiwanya udah nggak ada lagi!

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro