2. Perjuangan Sekretaris
Eriana bangkit dari duduknya ketika mendengar suara pintu ruangan Satria yang terbuka. Sekilas melihat pada jam di layar komputernya, Eriana mengetahuinya. Satria akan pulang karena jam kantor telah berakhir. Walau ia belum bisa pulang sekarang, setidaknya ada dua berkas yang harus ia rapikan sebelum ia serahkan pada Satria hari Senin mendatang.
Satria berjalan ke meja Eriana dengan menenteng tas kerjanya.
"Undangan untuk acara amal besok," katanya kemudian, "sudah kamu siapkan?"
Eriana mengangguk. "Tentu, Pak. Sudah saya siapkan di dalam tas kerja Bapak."
"Oke. Dan saya ingatkan sekali lagi. Kamu jangan sampai datang terlambat. Jam tujuh malam kamu sudah harus ada di sana."
"Baik, Pak."
"Perhatikan baik-baik pakaian yang akan kamu kenakan. Jangan sampai mempermalukan saya di acara itu."
"Baik, Pak."
Lantas, setelah mengucapkan hal tersebut, Satria langsung berlalu tanpa mengatakan apa-apa lagi. Hingga membuat Eriana tak bisa melakukan apa-apa, selain mengembuskan napas panjang.
Eriana terduduk kembali di kursinya. Menatap satu undangan mewah yang berada di atas meja kerjanya. Tangannya terulur, meraih undangan itu. Satu undangan acara amal yang rutin dihadiri oleh perusahaan Aksa Bhumi. Dan karena itulah, mau tak mau Sabtu malam besok Eriana akan menemani Satria.
Senyum miris tersungging di bibir Eriana. Menyadari bahkan di Sabtu malam yang merupakan waktu untuk beristirahat harus ia korbankan demi pekerjaan.
Hiks.
Demi gaji besar, pikirnya.
Dan Eriana pun melanjutkan pekerjaannya. Karena ia menyadari, kalau ia tidak ingin membuat Satria murka dengan penampilannya, maka ia harus cepat menyelesaikan pekerjaannya dan pulang. Ia harus mampir ke butik atau semacamnya demi mencari gaun yang tepat. Menghadiri pesta acara amal, ehm ... bagaimana pun juga tidak pernah Eriana lakukan seumur hidupnya.
Eriana berpikir.
Tentunya bukan gaun bewarna hitam atau pun merah kan?
Maka dari itu Eriana pun menyelesaikan pekerjaannya secepat mungkin hingga sekitar lima belas menit sebelum jam enam sore, ia pun keluar dari kantor. Menyapa seadanya pada satpam yang berjaga di pintu dan mencegat satu taksi. Menuju ke satu-satunya butik yang ia ketahui seumur hidupnya. Dan itu juga karena pemilik butik itu masih tercatat sebagai temannya.
"Eri! Kamu nggak salah ngomong?"
Eriana tidak heran bila itu adalah hal yang pertama kali ditanyakan oleh Belinda. Bagaimana pun Eriana sudah terkenal di kalangan teman-temannya sebagai wanita yang lebih memilih untuk mengalokasikan uang yang ia miliki untuk membeli berbagai macam cake dibandingkan harus membeli sehelai gaun –yang kemungkinan hanya sekali ia pakai dan seterusnya akan menjadi pajangan di lemarinya.
Ehm ... Tapi, Eriana berpikir bahwa mungkin nanti ia bisa mencoba menawarkan gaun itu di aplikasi jual beli orange atau hijau. Siapa tau ada yang minat kan?
"Dengar." Eriana memejamkan matanya dengan dramatis sebelum pada akhirnya menatap kembali pada temannya itu. "Aku baru aja keterima jadi sekretaris."
"Wah!" Belinda tercengang. "Selamat. Berarti nggak sia-sia dong LPDP membiayai S2 kamu di Inggris sono."
Eriana mencebik. "Intinya adalah aku baru dua minggu bekerja dan Sabtu malam besok aku harus menemani Bos aku buat menghadiri pesta gitu. Yah ... semacam acara amal yang rutin diselenggarakan setiap tahun."
Belinda manggut-manggut. "Jadi, kamu mau nyari gaun nih?"
"Ehm ...." Eriana mendehem seraya membawa kedua tangannya untuk bersedekap di depan dada. Memasang tampang serius dan berkata setelah menggeleng sekali. "Nggak."
"Eh? Terus?"
"Aku nyari kain kafan di sini."
Belinda sontak tertawa. "Hahahaha."
"Ya kali, Bel. Masa aku mau ke pesta dan datang ke butik pake acara ditanyain mau nyari gaun atau bukan. Pertanyaan nggak guna banget."
"Hahahaha." Belinda mengusap matanya yang berair. "Kamu ini emang nggak berubah."
Eriana hanya memonyongkan bibirnya sekilas sebelum Belinda menyeret dirinya. Mengajak ia untuk melihat ke gaun-gaun yang dipajang. Entah itu digantung ataupun yang dipakaikan pada patung yang tersedia.
"Ada gaun khusus yang kamu mau?" tanya Belinda.
Eriana terlihat tidak yakin. "Sepertinya yang penting adalah gaun itu tidak bewarna hitam atau pun merah."
"Bisa dijelaskan kenapa? Karena menurut aku hitam dan merah adalah dua warna gaun paling aman untuk dibawa ke acara mana aja."
Bola mata Eriana berputar dengan dramatis. "Karena Bos aku ini cerewet banget, Bel. Terakhir kali aku ke kantor pake baju warna merah, kamu tau apa yang dia bilang?"
Belinda menggeleng. "Nggak. Apa?"
"Dia bilang aku kayak drum bensin yang kena sulutan api. Membara di tengah padang pasir."
"Hahahaha." Lagi-lagi, Belinda tertawa.
"Dia ngomong kalau aku tuh kayak lagi yang berkobar-kobar sampai membuat mata dia silau," tambah Eriana dengan cemberutan di wajahnya. "Dan aku nggak mau ngambil risiko memakai gaun warna hitam."
Mata berair Belinda melihat pada Eriana.
"Aku khawatir ntar dia bakal ngomong gini: Ini emang acara amal, tapi bukan acara pemakaman. Kenapa kamu pakai warna hitam?"
"Hahahaha."
Tangan Eriana naik sekilas. "Percayalah. Bos aku ini beneran cerewet menyebalkan setengah mati."
"Hahahaha. Iya iya iya." Belinda berusaha untuk menghentikan tawanya. "Walau tanpa warna hitam atau pun merah, kamu tenang aja. Aku punya banyak pilihan warna lainnya untuk kamu."
Wajah Eriana terlihat pasrah. "Aku bergantung sama kamu, Bel."
Belinda tersenyum. "Kamu bisa mengandalkan aku."
Pada akhirnya Eriana benar-benar memasrahkan diri pada setiap gaun yang ditawarkan Belinda pada dirinya. Dengan berbagai model dan warna, Eriana benar-benar tak mengira bahwa ia akan mengenakan satu di antara gaun-gaun yang cantik itu.
Hingga ketika untuk yang ke sekian kalinya Eriana keluar dari ruang ganti dan Belinda menyambutnya dengan mulut menganga takjub, Eriana mengulum senyum.
"Yang ini cantik ya?" tanyanya seraya beranjak ke satu cermin besar yang tersedia di sana.
Belinda menghampiri dirinya. Memegang kedua tangan Eriana dan turut memandang ke cermin.
"Cantik banget," puji Belinda. "Warna ungu pastelnya pas banget di kulit kamu yang nggak terlalu putih."
Eriana mengangguk. Mengakui perkataan Belinda.
"Dan kamu nggak perlu khawatir bakal mendapat celaan dari bos kamu. Nyatanya potongan gaun ini juga sopan kok."
Mata Eriana menyusuri potongan gaun yang melekat di tubuhnya saat itu. Dengan bagian bawah yang bermodel duyung, gaun itu meramping di bagian perutnya dan menopang payudaranya dengan sepasang cup di dalam sana. Desainnya yang halus dengan sukses menyembunyikan kesan kemben pada gaun itu. Terlihat begitu sempurna. Dan sebagai pelengkap, bagian pundaknya yang polos berpotongan sabrina diimbangi oleh lengan yang panjang dengan desain terompet. Ornamen benang emas tampak menghiasi pinggiran gaun tersebut dalam ukiran yang cantik.
"Ini?" tanya Belinda kemudian. Walau pada dasarnya, dari binar-binar di mata Eriana, tentu saja ia bisa menerka jawabannya.
Eriana mengangguk dengan pasti. "Ya. Aku pikir gaun ini cocok untuk aku."
"Pilihan yang tepat," ujar Belinda. "Dan kemudian ... untuk sepatu?"
Eriana memalingkan wajahnya. Menatap Belinda. "Ah, kamu benar. Menurut kamu, untuk gaun ini, sepatu apa yang cocok?"
Kali ini Belinda yang bersedekap. "Aku ingat banget kalau kamu lebih milih jalan nggak pake sepatu ketimbang disuruh pake sepatu berhak tinggi."
Eriana mengembuskan napas panjang. "Asal kamu tau aja, Bel. Awal mula aku kerja, aku pake cone atau kitten heels. Tapi, kamu tau apa komentar si Bos?"
Mata Belinda mengerjap sekali. "Apa?"
"Bunyi haknya menggema di kantor. Dan itu ngebuat dia nggak suka."
"Hahahaha. Jadi kamu ceritanya udah bisa pake heels nih?"
Bahu Eriana naik sekilas. "Bisa nggak bisa sebenarnya. Tapi, yang namanya profesionalisme dalam bekerja, apa pun harus dilakukan. Termasuk mengenakan heels, alih-alih sepatu kets kayak pas aku kuliah dulu."
"I see ...."
"Tapi, nggak mungkin kan gaun secantik ini pake cone atau pun kitten?"
Belinda melotot. "Ya nggak mungkin dong. Ada-ada aja kamu."
Eriana meringis. "Terus? Pilihan apa yang aku punya?" tanya Eriana tak berdaya. "Seminggu ini aku nyoba pake pump setinggi tujuh sentimeter dan itu sumpah! Ngebuat kaki aku pegal."
"Ehm .... Sudah barang tentu stiletto bukan pilihan buat kamu."
Kali ini mata Eriana yang melotot. "No! Walaupun aku mengakui cewek selalu jadi nambah cantik kalau pake stiletto, tapi bukan berarti aku bisa make sepatu setan itu. Salah-salah itu sepatu bisa copot pas aku jalan."
"Sepatu setan. Sembarangan aja kalau ngomong," kata Belinda geli. Lalu, tangan Belinda terulur. Mengajak Eriana untuk beranjak ke bagian lain dari butiknya. Kali ini menuju ke bagian alas kaki.
Eriana langsung mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan itu. Terpukau dengan sepatu-sepatu cantik dengan berbagai model dan tinggi. Hingga Belinda menyodorkan sepasang pada dirinya.
"Spesial buat yang nggak terlalu bisa pake sepatu tinggi," katanya. "Gimana kalau stiletto t-strap?"
Eriana mengerutkan dahinya. Sebenarnya sepatu itu cantik. Hanya saja ia tak yakin. Memakai pump saja ia kewalahan, apalagi stiletto.
Seolah menyadari pertimbangan di benak Eriana, Belinda pun menjelaskan. "Ini haknya emang modelan stiletto, tapi tingginya cuma tujuh sentimeter. Dan karena ada t-strap di belakang punggung kaki jadi kamu nggak perlu khawatir ini sepatu bakal copot pas kamu lagi jalan. Kalau menurut aku sih sepatu ini aman untuk kamu pake."
Eriana menatap pada Belinda. "Kamu yakin?"
"Apa sih yang nggak bisa ditaklukkan seorang Eriana?"
Eriana meringis. Jelas mengingat bahwa itu adalah motto hidupnya selama bertahun-tahun. Dan kali ini Belinda melontarkan motto itu untuk membuat ia tak berkutik. Tapi, pada akhirnya Eriana mengulurkan tangannya. Menyambut sepatu itu.
Dan yah!
Sepatu itu cantik.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro