Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

11. Sempurna

Entah Eriana harus merasa bersyukur atau justru sebaliknya menghadapi situasi ketika ia kembali ke ruang pertemuan setelah dari toilet tadi. Ternyata di sana sudah ada Mega yang terlihat sekali sedang menunggu dirinya. Bagaimanapun juga, itu dibuktikan dengan Mega yang memilih kursi di sebelah kursi Eriana. Terutama ketika Mega melayangkan tatapan menunggu pada gadis itu. Membuat Eriana pada akhirnya memang duduk kembali di tempatnya yang semula.

Setelah beberapa saat kemudian, Eriana menyadari bahwa kehadiran Mega justru sedikit memberikan udara segar bagi dirinya. Mega membuat kondisi di sana lebih terkendali. Bahkan beberapa kata-kata tajam yang ia dapati tadi tidak muncul lagi. Seketika membuat Eriana menyadari sesuatu. Sistem hirearki memang berlaku di sana. Mereka semua bersikap dengan sangat sopan pada Mega. Namun, walaupun demikian tak urung juga di dalam diri Eriana mampu melihat bahwa tanpa sistem itu pun Mega terlihat berwibawa. Dan kali itu, Eriana menyadari bahwa kalau semalam ia terpesona dengan suara Mega, maka kali ini ia terpukau dengan pembawaan wanita itu. Anggun dan berkelas. Membuat sesuatu di dalam Eriana menjadi tak bisa berkata apa-apa.

Apa itu karena cara bicaranya?

"Pak Herman, tolong tehnya."

Apa itu karena cara perhatiannya?

"Jessy ini sebenarnya sangat pintar belajar bahasa. Kenapa kamu nggak mendalaminya?"

Apa itu karena cara dia memerhatikan lawan bicaranya?

"Jadi, bagaimana ceritanya, Tania?"

Itu terlihat sekali berbeda. Pembawaan yang benar-benar lain dari pada yang lain. Bahkan untuk wanita-wanita lain yang berada di ruangan itu, Eriana jelas bisa melihat perbedaan yang sangat jauh.

Ketenangan, tutur katanya yang teratur, dan kata-kata yang keluar pun terasa tidak berlebihan. Sama tidak berlebihannya dengan penampilan wanita paruh baya tersebut. Tak ada perhiasan yang menonjol di sana. Tatanan rambut pun terlihat sederhana walaupun jelas berkelas. Dalam hati Eriana mengakui, Mega adalah refleksi dari wujud orang yang memesona.

"Jadi, Eriana ini lulusan College London University. Baru tamat tahun lalu," kata Mega kemudian setelah menyesap tehnya untuk ke sekian kalinya. "Iya kan?"

Eriana mengerjapkan matanya dengan dahi yang sedikit berkerut. Di dalam hati ia bertanya-tanya.

Apa aku ada ngasih tau camer kapan aku tamat ya?

Tapi, walau demikian Eriana tetap menjawab dengan anggukannya. "Iya."

"Memangnya sekarang berapa usia Eriana, Mbak?" tanya Tania kemudian.

Mata Mega melirik Eriana sekilas. "Dua puluh delapan tahun." Dan setelah menjawab itu, Mega tau pembicaraan itu akan mengarah ke mana.

Kesiap tertahan meluncur begitu saja dari beberapa mulut. Terkejut dengan fakta tersebut.

"Dua puluh delapan tahun?" tanya Tania pada Eriana. "Kamu ambil jurusan apa? Kamu terlambat lulus atau bagaimana?"

Kali ini Eriana yang tanpa sadar melirik pada Mega, namun wanita itu terlihat tenang-tenang saja. Sama layaknya Mega, pertanyaan itu bisa membuat Eriana menerka ke mana pembicaraan itu menuju. Penghakiman dirinya lagi.

Eriana mengembuskan napasnya terlebih dahulu sebelum menjawab.

"Saya nggak terlambat lulus kok, Tante. Tepat waktu, tapi ... itu karena saya yang kuliahnya terlambat." Mata Eriana mengerjap ketika wajahnya sedikit menunduk. Namun, sedetik kemudian wajah itu terangkat kembali. "Saya pernah sekali gagal mengikuti tes wawancara LPDP dan karena itu saya kembali mencoba di tahun berikutnya. Saya lanjut pendidikan memang lumayan terlambat, itu karena semula saya pikir saya cukup dengan sarjana saja."

"Oh," lirih Wita dengan embusan napas yang diperuntukkan memberikan kesan mencemooh pada Eriana. "Memang sih. Kamu jelas butuh beasiswa untuk bisa lanjut kuliah."

"Tapi, pertama saya pikir Eriana ini benar-benar pintar loh, Mbak. Ternyata dia nggak terlalu pintar ya? Pernah gagal loh," sambung Tania. "Aku rasa lebih pintar Melani."

Eriana melirik pada Melani, sepupu Satria yang terlihat cantik dengan bibir tipis dan hidung mancung mungil itu. Di saat yang bersamaan, ternyata Melani pun melihat pada dirinya. Membuat Eriana mengerjapkan mata dan lebih memilih melihat kembali pada sepotong kuenya yang belum tersentuh. Namun, ucapan Mega di sebelahnya membuat Eriana pada detik selanjutnya justru berpaling pada wanita itu.

"Orang pintar banyak, Tania. Tapi, yang memiliki sikap pantang menyerah itu yang penting. Lagipula, terakhir kali aku lihat ternyata Maudy Ayunda juga mendapatkan beasiswa."

Tania dan Wita tampak saling lirik dengan rasa tak nyaman.

"Zaman sekarang, mendapat beasiswa bukan hal yang memalukan. Alih-alih adalah sebuah kebanggaan. Bukan sembarang orang yang bisa mendapatkannya."

Kata demi kata yang diucapkan oleh Mega membuat raut wajah Eriana yang semula redup menjadi cerah kembali. Pelan-pelan senyum terkembang di wajahnya. Bahkan senyum itu tidak memudar tatkala Mega balas berpaling pada Eriana. Ia berkata.

"Eriana, ada sesuatu yang mau Tante ..."

Tante?

"... bicarakan berdua. Ayo ikut dengan Tante."

Eriana mengangguk-angguk. Memberikan permisinya pada mereka yang masih berada di ruangan tersebut sebelum mengikuti langkah kaki Mega yang telah berjalan terlebih dahulu.

Di luar, Eriana menjaga jarak yang tak seberapa. Di sebelah Mega, namun tidak benar-benar berada pada garis jalan yang sejajar. Dan di belakang mereka berdua, ada Herman yang terus mengikuti. Hingga kemudian pria tersebut membukakan satu pintu ruangan untuk mereka berdua.

Mega dan Eriana masuk tanpa Herman yang ternyata justru menutup pintu itu dari luar. Sepeninggal Herman, Mega memutar tubuh. Melihat pada Eriana dari atas hingga bawah. Tak diduga oleh gadis itu, Mega mendekati dirinya. Memegang kedua lengan atasnya dan berkata.

"Jangan biarkan pundak kamu turun."

Kedua tangan Mega menegapkan pundak itu. Eriana kaget, tapi mau tak mau melakukan hal tersebut. Setelahnya, satu tangan Mega justru berpindah pada dagu Eriana. Mengangkatnya sedikit.

"Jangan menunduk," sambungnya. "Seorang wanita harus tangguh. Tunjukkan bahwa di balik senyum lembut ada kekuatan. Bukan karena penampilan itu penting, namun karena orang pertama yang harus menghargai diri kamu adalah kamu sendiri."

Dahi Eriana berkerut. "Ma-maksudnya?"

Mata Mega menatap lurus pada Eriana. "Satria adalah putra semata wayang. Satu-satunya anak yang kami miliki. Dari kecil Tante sudah hapal dengan semua sifatnya, termasuk ketika ia memilih sesuatu. Walau sedikit pemalu, tapi ia adalah pria yang keras kepala, keukeuh, tak tergoyahkan. Dan ketika ia memilih kamu, Tante nggak tau harus merasa senang atau sebaliknya."

Eriana memilih diam. Karena jujur saja, saat itu ia masih meraba maksud pembicaraan tersebut.

"Kamu jelas bukan dari kalangan yang sama dengan kami. Tapi, mempermasalahkan kehadiran kamu juga nggak bakal menyelesaikan semuanya. Karena itu, daripada Tante mempersoalkan hal yang sudah terjadi, lebih baik Tante mengubah yang bisa Tante lakukan."

Eriana semakin bingung.

Apa yang ingin diubah?

Pertanyaan yang bergema di benak Eriana seketika langsung mendapat jawabannya. Itu adalah ketika terdengar suara pintu yang terbuka. Herman masuk, namun bersama dengan kehadiran tiga orang asing.

Herman membawa kedua tangannya ke depan. Menjaga sikap sopannya. "Nyonya, ini pengajar yang sudah saya siapkan."

Pengajar?

Mega mengangguk. Berpaling pada Eriana. "Kalau kamu menjadi wanita yang dipilih Satria, maka jangan permalukan dia. Jadilah wanita yang pantas untuk dibanggakan Satria di manapun dia berada." Wanita itu menarik napas sekali sebelum melanjutkan perkataannya. "Mulai besok, setiap dari kantor kamu harus pulang ke sini bersama dengan Satria. Tante sudah menyiapkan tiga kelas untuk kamu, Ri."

"Ke-kelas?" tanya Eriana bingung.

Ini aku disuruh kuliah lagi atau gimana sih?

"Kelas apa?"

Mega melayangkan tatapan perintahnya pada Herman. Kepala pelayan tersebut langsung paham. Membawa satu tangannya dan ia langsung memperkenalkan ketiga orang yang ia bawa.

"Mrs. Roberts sebagai guru etiket."

Seorang wanita dengan sanggul rapi tersenyum pada Eriana dan dibalas gadis itu dengan senyum kaku.

"Pak Aldi sebagai guru tata krama."

Pria itu memberikan anggukan sopan pada Eriana. Gadis itu pun balas mengangguk.

"Dan Ibu Donda seabagai guru seni budaya."

What?!

Seni budaya?

Keterkejutan terpancar dari sepasang mata Eriana. Tapi, rasa kaget Eriana justru dibalas oleh senyuman ramah Donda.

Merasa bingung, Eriana berpaling pada Mega. "Ta ... nte, ini?"

"Kamu menerima lamaran kemaren kan?" tanya Mega.

Eriana angguk-angguk kepala.

"Kamu dan Satria akan menikah. Karena itu kamu harus banyak belajar supaya mampu membawa nama keluarga ini. Setelah menikah, kamu bukan hanya membawa nama kamu sendiri. Melainkan juga nama Satria dan keluarga besar kami. Seseorang yang Satria pilih nggak boleh sampai mempermalukan Satria. Lebih dari itu, Tante harap kamu bisa menjadi wanita yang paling sempurna di mata Satria."

Eriana meneguk ludah.

"Dan karena itulah Tante menyiapkan tiga kelas ini. Kamu harus belajar. Mempersiapkan diri sebaik mungkin sebelum kamu bertemu dengan keluarga besar kami."

Mata Eriana melotot.

Ke-keluarga besar?

Jadi, yang hari ini aku temui bukan termasuk keluarga besar?

Belum ketemu keluarga besar aja aku udah diserang, apalagi sampai ketemu?

Jangan-jangan aku ditembak pake rudal kali.

Ketakutan mendadak saja melingkupi diri gadis itu. Terutama ketika ia melihat lagi pada ketiga orang guru tersebut.

Etiket? Tata krama? Seni budaya?

Ini aku mau jadi mantu atau lagi ikut ajang pemilihan Putri Indonesia sih?

*

Satria bukannya tidak menangkap perubahan pada Eriana, tapi ia menahan lidahnya untuk bertanya. Lagipula, Satria bukannya tidak tau. Lebih dari itu, ia justru tau dengan pasti. Tadi Lina kembali melaporkan setiap hal yang terjadi ketika Mega turut bergabung di sana.

"Nyonya Besar akhirnya membantu Eriana, Tuan Muda."

Menjaga agar laju mobilnya untuk tetap stabil di atas aspal, Satria mencoba melirik singkat pada Eriana. Ketika itulah ia sadar bagaimana gadis itu tengah melongo seraya memegang sabuk pengaman di depan dada. Seolah sedang melihat matahari yang tampak mulai meninggi di langit.

"P-Pak."

Suara Eriana terdengar. Membuat Satria kali ini benar-benar menoleh.

"Apa?"

Meneguk ludahnya terlebih dahulu, Eriana dengan wajah datar juga menoleh. Menatap kosong pada Satria.

"Sebenarnya keluarga Bapak ini keluarga apa sih?"

Ada rasa geli yang entah dari mana asalnya mendadak datang. Seolah sedang menggoda perut pria itu. Namun, Satria tidak membiarkan kekehannya lolos begitu saja. Alih-alih, ia justru menyeringai.

"Mengapa?" balas bertanya Satria. "Kamu nyesal? Ingin mundur? Tinggal ngomong ke Mama kok."

Mulut Eriana membuka. Untuk beberapa detik ia tak mengatakan apa pun hingga terlihat Satria kembali membawa pandangannya ke depan. Pada jalanan yang ia lalui.

"Nyesal?"

Suara Eriana terdengar setelah beberapa saat lamanya.

"Mundur?"

Suara gadis itu terdengar lagi. Dan tepat ketika lampu lalu lintas yang berubah menjadi merah, Satria menginjak pedal rem. Setelah mobil itu berhenti dengan sempurna, ia berpaling pada Eriana dengan sedikit kerutan di dahinya.

"Saya pernah gagal, Pak, tapi mundur itu jelas bukan tipe saya banget."

Mata Satria membesar. Tak percaya dengan apa yang gadis itu katakan. Namun, perkataan Eriana selanjutnya semakin membuat ia syok.

"Saya nggak mungkin mundur, apalagi mundur dalam mempertahankan cowok yang jelas-jelas cinta sama saya, Pak."

"Hah?!"

Eriana menyorotkan tekad tak terpatahkan di kedua bola matanya saat menatap pada Satria. "Saya nggak bakal mungkin menyia-nyiakan perasaan Bapak ke saya."

Wajah Satria tampak kaku dan berubah-ubah ekspresinya. Bingung, syok, mual-mual, dan entah apa lagi yang pria itu rasakan.

"Eh? Kamu ini benar-benar ya? Dari kemaren ngomong saya ada perasaan sama kamu. Kamu ... kamu ..." Satria terlihat kesulitan bicara. "Wah! Memangnya kapan coba saya pernah ngomong kayak gitu?"

"Bapak emang nggak pernah ngomong secara langsung, tapi kita bisa mengambil kesimpulan dari tindakan Bapak."

Satria mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri. "Kalau begitu, kamu jelas mengambil kesimpulan yang salah."

"Bukan cuma saya loh yang ngambil kesimpulan malam itu, Pak. Ini kalau di penelitian ada tiga suara dari tiga responden loh, Pak. Valid."

Pria itu memaksa untuk menahan sejenak napas di dadanya. Menjaga agar ia tetap bisa tenang. Tapi, semakin sulit karena di detik selanjutnya Eriana kembali mengemukakan pemikirannya.

"Makanya, Pak. Sebenarnya Bapak nggak perlu malu buat ngakuin perasaan Bapak. Nggak perlu ditutupi lagi." Eriana memasang ekspresi penuh pemakluman. Mengangguk-angguk beberapa kali. "Lagian, saya udah tau kok kalau cowok itu gengsian buat ngaku cinta."

Satria meledak. "Gengsian my ass!"

"Wah!" Eriana terkesiap dengan umpatan Satria. Tak percaya dengan apa yang ia dengar. "Bapak bisa ngumpat juga?"

Satria mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Entah karena menyadari bahwa ia terlepas bicara sekasar itu pada seorang wanita atau justru sebaliknya. Mencoba bertahan agar tidak ada kata-kata kasar lainnya yang lolos dari mulutnya. Alih-alih, pria itu kemudian terlihat mengembuskan napas kasarnya.

"Bilang ke saya," kata Satria kemudian.

"Apa?"

"Kamu mau uang berapa?"

"Eh?" Eriana melongo.

"Kamu melakukan ini semua gara-gara uang kan?" tanya Satria kemudian. "Katakan pada saya, kamu mau berapa? Akan saya berikan. Biar semua kekacauan antara kita bisa selesai secepatnya."

Mata Eriana mengerjap-ngerjap. Lalu, ia menggeleng. "Saya nerima lamaran Tante bukan karena uang kok, Pak."

"Terus?" tanya Satria dengan kesal. "Kamu nggak mungkin kan mendadak yang punya perasaan dengan saya sehingga nerima lamaran kemaren?"

"Ya emang karena Bapak kok saya nerima lamaran itu," jawab Eriana dengan sorot polosnya. "Coba Bapak pikir deh. Di mana lagi coba saya bisa dapat suami dengan bokong semontok Bapak?"

Kalau bisa, mungkin saat itu Satria sudah meloncat dari duduknya dan menembus atap mobil. Tapi, untuk kali ini mata Satria yang terlihat seperti akan keluar dari rongganya. Terutama ketika Eriana justru menutup mulutnya dengan ekspresi kaget.

"Ya ampun. Malah keceplos lagi."

Jakun Satria naik turun. Tangannya terangkat dan menunjuk pada gadis itu. "Ka ... ka ... kamu?"

Eriana lantas menurunkan tangannya. Seraya menggigit bibir bawahnya sekilas, Eriana justru menatap kedua tangannya. Pada sepuluh jari yang membuka.

Satria menarik diri hingga punggung lebarnya mentok di pintu mobil. Itu adalah ketika ia melihat bagaimana sepuluh jari itu bergerak-gerak. Terutama ketika dilihatnya Eriana menggigit bibir bawahnya dengan gestur menggoda.

Kyot! Kyot!

Eriana melihat jarinya yang bergerak-gerak. Dengan polosnya ia berkata.

"Bokong Bapak ... benar-benar sempurna!"

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro