Sakurai Takahiro/Yashiro Taku: Happiness
"Happiness"
Sakurai Takahahiro/Yashiro Taku X OC
Written by H.
Requested by Capek a.k.a ん
Selamat mempelajari bahasa mertua di tanah Jawa naq! Andir juga 😣
🍒🍒🍒🍒
"Tadaima!" Takahiro membuka pintu kamar yang berada di lantai dua.
Sudah beberapa kali dia mengucap salam, tapi dia tidak mendengar sahutan dari dalam. Padahal dia yakin kalau seseorang ada di dalam sana.
Dan benar, putri sulung yang ia harap membalas salamnya dengan itu tengah sibuk di depan monitor notebook-nya dengan kacamata anti uv yang masih ia pakai sejak Takahiro meninggalkan rumah pagi tadi.
Pria itu berjalan ke arah tempat tidur, lalu duduk pada bibir ranjang sambil memperhatikan anak gadisnya yang hanya menatapnya sejenak saat ia masuk tadi tanpa bicara sepatah kata pun.
"Aku bilang 'aku pulang'!" Ulang Takahiro sambil melempar boneka mini berbentuk tanuki|1| ke arah anak itu.
"Aku tahu!" Katanya pendek dengan nada sedikit kesal karena aktivitasnya terganggu.
"Setidaknya berikan jawaban pada ayahmu ini!" Takahiro mengerucutkan bibirnya kesal.
Gadis itu menoleh, lalu mengucapkan kata "Okaeri," dengan nada paling malas yang pernah Takahiro dengar, lalu segera mengembalikan konsentrasinya pada layar notebook.
Takahiro menghela napas panjang walaupun matanya tetap tertuju pada anak gadis yang kini memunggunginya itu.
Rasanya baru kemarin Takahiro menenangkannya dari tangis, sekaligus meyakinkan bahwa dia akan baik-baik saja tidur sendiri di kamar ini. Dan sekarang, punggung kecil yang Takahiro tinggalkan bertutup selimut waktu sudah berubah menjadi sosok lain yang membuat Takahiro merindukan saat-saat yang sangat berharga.
"Hari...," panggilnya. Menyebut nama anak gadisnya.
"Hm?"
"Kau benar-benar yakin ingin keluar dari rumah ini?"
Sebulan yang lalu, Hari, anak gadisnya yang kini menginjak tahun kedua di universitas itu berkata kalau dia ingin hidup mandiri. Dia menemukan apartemen yang cukup murah di dekat kampus, dan dia berniat untuk menetap disana selama masa kuliahnya berlangsung.
Takahiro tidak bingung dengan biaya tambahan yang kemungkinan dia keluarkan apabila Hari benar-benar tinggal di apartemen. Malah sudah hampir setengah tahun ini anak sulungnya itu tidak pernah meminta uang saku, dengan bekerja lepas sebagai seorang web designer. Namun, yang Takahiro khawatirkan adalah bungsu kembarnya.
Tidak ada orang lain lagi yang bisa mengurus mereka seandainya Hari pergi. Ibu mereka meninggal setelah kelahiran si kembar lima tahun lalu. Sejak saat itu Hari yang masih duduk di kelas tiga SMP harus menggantikan sebagian peran yang semula milik ibunya hingga saat ini. Takahiro masih ingat dia harus keluar dari pekerjaannya selama kurang lebih satu tahun sampai dia mantap untuk meninggalkan si kembar bersama Hari yang masih berkewajiban untuk pergi ke sekolah.
Mungkin Hari lelah dengan semua ini. Dan Takahiro bukan tidak menyadarinya. Belakangan anak gadisnya itu lebih sering uring-uringan karena masalah kecil. Bahkan tidak jarang dia hampir melampiaskan kemarahan itu kepada kedua adik kembarnya.
"Aku menerima brosur penitipan anak di dekat stasiun kemarin. Jadi ayah tidak perlu khawatir, Kaori dan Kaoru akan baik-baik saja," Masih berkutat dengan notebok-nya, Hari menjawab.
"Penitipan anak ya..." Takahiro menggumam. "Tapi aku masih berpendapat kalau membesarkan anak di lingkungan keluarga itu lebih baik."
"Apa boleh buat kan?"
"Kau kan masih bisa memikirkannya lagi."
Jemari gadis itu berhenti bergerak di atas keyboard notebook-nya. Dia terlihat menahan napas cukup lama sebelum membalas kalimat ayahnya. "Kalau Ayah masih bisa berpikir seperti itu, kenapa juga waktu itu Ayah membiarkan ibu meninggal?"
Takahiro terhenyak. Bukan pertama kali anak itu bertanya demikian perihal kematian ibunya.
Hari saat itu sudah cukup dewasa untuk mengetahui bahwa kanker yang pernah diderita sang ibu bahkan sebelum ia lahir sangat berpengaruh pada keselamatan ibunya. Tapi entah bagaimana cerita kedua orangtuanya justru memilih untuk memiliki anak lagi hingga nyawa ibunya sendiri yang menjadi korban.
Benar, Hari masih menganggap ibunya adalah korban dari keputusan bodoh mereka sendiri.
"Kau masih saja membicarakan hal itu," Takahiro mengehela napas, lalu melepas kacamata minusnya sejenak. Kemudian beberapa puluh detik setelah ia mengedip-ngedipkan kedua matanya ia memakai kacamata itu lagi.
"Apa aku salah? Aku hanya bicara kenyataan. Kalau saja Kaori dan Kaoru tidak la-"
"Jangan terus bicara seolah kau menyalahkan mereka berdua atas meninggalnya ibu kalian!"
Desibel suara Takahiro meninggi.
"Kalau begitu salah siapa? Apakah aku harus menyalahkan takdir?" Hari tak ingin kalah dengan menaikkan suaranya beberapa tingkat lebih tinggi. "Aku hanya ingin hidup normal seperti gadis seusiaku. Itu saja! Apa aku salah?!"
Takahiro bangkit dari duduknya. Matanya lurus menatap lekat kedua manik anak gadisnya yang mengkilat karena kemarahan.
"Salahku. Maafkan aku. Lakukan saja apa yang ingin kau lakukan."
Takahiro segera beranjak setelah selesai dengan kalimat terakhirnya, meninggalkan Hari yang tak lagi menyahut. Isi kepala gadis itu kosong. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Padahal sampai beberapa puluh menit lalu dia sempat terbayang akan atmosfef hidupnya yang akan segera berganti. Akhirnya dia akan bisa hidup normal selayaknya mahasiswi pada umumnya.
Tapi kalimat ayahnya tadi cukup berdampak, dan membekas pada otaknya yang kini mulai tak bisa berkonsentrasi. Jarinya tak lagi lancar menari di atas keyboard. Inspirasinya buntu. Padahal deadline pekerjaannya tinggal menghitung hari, tapi udara yang berputar di kamarnya ini terus mencekiknya detik demi detik.
Setelah berpikir singkat, Hari berdiri mengambil ransel dari atas lemari mini di ujung kamar. Dia mengemas notebook beserta beberapa jilid buku yang dia anggap penting untuk menyelesaikan pekerjaanya. Lalu setelah semua siap, dia segera menuruni tangga dan keluar dari rumah.
Malam belum cukup larut, namun lampu kamar ayahnya yang juga biasa dipakai bersama adik-adiknya sudah gelap.
Pagi tadi ayahnya pergi ke tempat nenek dari pihak ibunya yang berada jauh di pinggiran untuk mengantar Kaori dan Kaoru. Seperti liburan musim panas di tahun-tahun sebelumnya, mereka biasa melewatkan masa itu di tempat sang nenek. Namun tahun ini Hari harus absen karena pekerjaan, juga karena menurutnya dia sudah cukup dewasa untuk melakukan hal yang biasa dilakukan oleh anak-anak SD macam itu.
Hari sempat berharap kalau dengan ketidakberadaan kedua adiknya, dia bisa lebih fokus pada pekerjaan. Tapi ternyata tidak. Dia harus berjalan selama dua puluh menit dengan menempuh jarak sekitar dua kilometer untuk mencari tempat yang bisa membuatnya cukup tenang. Walaupun ketenangan yang ia dapatkan itu berarti, dia harus mengusik ketenangan orang lain.
Hari bisa melihat kernyit tidak nyaman itu bahkan hanya sesaat setelah pemilik apartemen yang pintunya ia ketuk itu keluar.
"Ada apa?" Tanya pemuda yang kini memakai kaus tanpa lengan itu, belum mempersilakannya masuk.
"Aku butuh tumpangan!" Jawab Hari.
"Eeh?! Malam-malam begini?"
"Mau membiarkanku masuk atau tidak?"
Hari memikirkan tempat yang harus ia datangi berikutnya kalau pemuda itu tidak meminjami sedikit ruang di apartemennya. Mungkin bermalam di net caffe lebih baik. Harganya pun cukup murah dibanding ia harus pergi ke sebuah penginapan. Ditambah, dia tidak datang untuk segera tidur. Pekerjaan tengah menantinya.
Pemuda itu sempat mendecak lirih sebelum minggir selangkah, memberi ruang padanya untuk masuk ke dalam.
"Terima kasih." Ucap Hari singkat.
Yashiro Taku, begitu nama pemuda ini. Dia adalah temannya dalam sebuah circle di kampus. Meskipun Hari tidak bisa bilang kalau dia cukup akrab dengannya, tapi bukan hanya kali ini dia datang ke apartemen Taku untuk melarikan diri dari pertengkaran kecil dengan ayahnya, atau dari kekesalan pada kedua adiknya.
"Kali ini apa lagi?" Tanya Taku. Dia duduk di sofa sementara Hari suda mulai stand by dengan meminjam meja belajar milik pemuda itu yang berada tak jauh dari tempat tidur.
"Tidak apa-apa."
Taku tahu sedikit-banyak tentang kompleks yang ada pada temannya ini. Karena itu dia memilih menunggu sampai gadis itu mau bercerita alih-alih menanyakan secara intens tentang apa yang terjadi padanya.
"Kau jadi pindah ke apartemen itu?" Lalu untuk sekedar memecah kesunyian, Taku memilih pertanyaan itu untuk ia lontarkan.
"Tentu saja. Aku sudah membereskan sebagian barang di kamarku," gadis itu menjawab.
"Kenapa kita tidak tinggal bersama saja?"
Jari tangan Hari yang hampir saja menyentuh permukaan keyboard terhenti. Dia menoleh ke arah pemuda yang kini tampak salah tingkah.
"Mm-maksudku, bukankah kamarku ini luas untuk ditinggali berdua?" Taku menambahkan.
Kedua alis Hari nyaris bertaut meskipun ia membenarkan bahwa kamar ini memang luas. Namun bukan berarti dia bisa tinggal di sini juga, padahal kalau dipikir secara ekonomis mereka bisa lebih hemat dengan membagi uang sewa.
"Luas sih. Tapi kenapa aku harus tinggal sekamar denganmu?!" Hari setengah bercanda.
"Pertanyaanmu itu membuatku ingin balik bertanya tentang 'kenapa kau selalu datang kemari setiap butuh tumpangan'."
Gadis itu terkekeh.
Memang dibanding mendatangi teman-teman wanitanya yang kadang sangat persisten menanyakan hal yang tidak ingin dia jawab, Hari lebih senang mendatangi Taku yang menurutnya tidak terlalu banyak ingin tahu.
"Ah ngomong-ngomong, kau bisa memakai kamar ini sesukamu sampai dini hari nanti karena aku ada part time!" Setelah mengatakan itu Taku beranjak, mengambil baju ganti di lemari pakaian, kemudian berganti di kamar mandi. Tak lama setelah itu, Taku keluar dari apartemennya dengan menitipkan kunci pada Hari.
Sialnya, Hari justru tak bisa mendapatkan konsentrasinya kembali setelah Taku pergi.
🍒🍒🍒🍒
"Kau saja yang bilang padanya!" Ujar salah satu rekan paruh waktu Taku di Izakaya|2| saat koki sekaligus atasan mereka bertanya kapan pelanggan di meja paling ujung itu akan pulang.
Pria berkacamata dengan rambut sedikit berantakan yang duduk sendirian itu mungkin sudah tenggelam oleh alkohol dari bergelas-gelas bir yang diminumnya.
"Minum berapa gelas dia?" Tanya Taku, menyikut pinggang rekan kerjanya.
"Eh, delapan? Atau mungkin sembilan."
Taku menggelengkan kepala setelah melihat jarum jam yang sebentar menunjuk angka tiga. Dini hari. Mereka harus membereskan semua tempat sebelum menutup kedai, satu pelanggan yang tersisa ini pasti akan merepotkan mereka.
Dengan berat hati Taku menghampiri meja di ujung ruangan, lalu mencoba membangunkan pelanggan yang kedua matanya tertutup sempurna itu dengan menepuk sebelah bahunya.
"Okyaku-sama!"
Si pelanggan mengerjap, merespon panggilan Taku dengan dengan cepat. Pemuda itu memberi sinyal pada rekannya di dekat konter sushi, memberitahukan kalau pelanggan itu sudah bangun.
"Ah, baito-kun?"|3| Mata sipit si pelanggan itu belum sepenuhnya terbuka saat ia mengangkat setengah badannya.
"Okyaku-sama, anda baik-baik saja?" Taku bertanya setelah sepersekian detik sebelumnya ia menangkap punggung lelaki yang sedikit oleng itu.
"Ah, baito-kun. Kebetulan sekali, aku butuh teman yang bisa mendengarkannku!"
"Eeh? Tapi-"
"-sudah, dengarkan saja cerita sedihku ini!"
🍒🍒🍒🍒
Kemudian, Taku hampir lupa bagaimana kronologi sampai akhirnya dia memustuskan untuk membawa lelaki mabuk ini berjalan menyusuri tangga, menuju apartemennya. Yang jelas intuisinya mengatakan kalau sesuatu yang baik mungkin terjadi kalau dia membawa laki-laki ini ke apartemen. Walaupun, pasti Hari akan marah-marah lebih dulu.
"Padahal kau bisa melihat kartu pengenal di dalam dompetnya, lalu meminta supir taksi mengantar sampai rumah," rekan kerjanya sempat memberi ide itu.
"Tidak sopan membuka dompet seseorang tanpa ijin!" Taku membalas.
Satu anak tangga lagi hingga mereka mencapai lantai dimana kamar apartemen berada. Taku merasa pinggangnya begitu pegal karena harus menopang lelaki itu sepanjang perjalan. Dan perjuangannya itu disambut oleh raut Hari yang otomatis menjadi masam ketika melihat sosok yang dibawanya.
Benar 'kan!
Saat menceritakan perihal putrinya yang berniat meninggalkan rumah di kedai tadi, pikiran Taku langsung tertuju pada Hari yang kurang lebih memiliki masalah yang sama dengan keluarganya.
"Jadi benar ini ayahmu?" Taku bertanya, memastikan.
"Kalau kau tidak yakin kalau dia bukan ayahku, apa kau akan membawanya kemari?"
Taku mengangkat kedua bahunya, memperhatikan gadis itu yang sudah kembali pada notebook-nya setelah menyempatkan diri untuk melepas kacamata ayahnya yang kini tertidur di tempat tidur milik Taku.
"Kau benar-benar ingin pindah ke apartemen itu?" Mendengar racauan yang menghabiskan banyak waktunya di kedai tadi, Taku akhirnya memutuskan untuk tidak lagi diam.
Tetapi sepertinya Hari sudah cukup muak dengan pertanyaan repetitif yang biasa ia dengar dari ayahnya. Karena dia sudah memantapkan diri untuk hidup sendiri. Dan dia tidak butuh pertanyaan itu diulang berkali-kali.
"Kau tahu?" Hari menatap lurus ke arah pemuda itu. "Aku kabur kesini karena ayah menanyakan hal itu untuk yang kesekian kalinya hingga kami kembali bertengkar. Lalu kau menanyakan itu juga sekarang?"
"Aku ingin mendengar jawabanmu."
Decak kecil terdengar dari gadis itu. Dia sempat melengos, namun detik berikutnya kedua maniknya sudah kembali pada Taku. "Aku ingin hidup mandiri. Sudah cukup?"
"Aku ingin kau memikirkannya lagi."
Hari tidak menyangka kalau temannya itu bisa berkata demikian. Padahal, apa yang pemuda itu tahu selain bahwa dia banyak beradu pendapat dengan ayahnya akhir-akhir ini?
"Kenapa kau berkata seperti itu?"
"Dia menyayangimu. Dan kupikir dia lebih membutuhkanmu daripada kau membutuhkan dirimu sendiri."
"Bukankah wajar kalau orangtua menyayangi anaknya? Dan cepat atau lambat, aku pun pasti akan meninggalkan mereka."
"Itu lain cerita!"
Dahi Hari mengerut membentuk kernyitan dengan seribu tanda tanya yang tersirat di benaknya.
Ini adalah hidupnya. Dia punya hak untuk memilih. Tapi kenapa ayahnya, bahkan Taku tidak membiarkan ia menentukan pilihannya sendiri?
"Apa ayahmu pernah memberitahu perihal mengapa ibumu bersikukuh untuk melahirkan lagi, bahkan meskipun dia tahu kalau nyawanya mungkin tak akan terselamatkan?"
Jika harus menelusuri hari demi hari yang sudah dia lewati bersama ayahnya, memang, Hari tidak pernah mendengar alasan yang bisa membuatnya menerima semua dengan lapang. Pada akhirnya sang ayah hanya akan diam setiap mereka mulai saling sanggah, lalu minta maaf.
"Agar kalian tidak sendirian," Taku menyambung. Dia tidak memberi jeda bagi gadis itu untuk sekedar menjawab pertanyaan yang ia lontarkan sebelumnya. "Kalau berdua lebih baik daripada sendirian saja, maka beramai-ramai pasti lebih menyenangkan. Itu yang ibumu pikirkan setelah mengetahui bahwa umurnya tidak akan panjang."
Mmungkin itu benar. Hari mewarisi sifat ayahnya yang mudah merasa kesepian. Salah satu alasan tersembunyi kenapa Hari selalu datang kemari pun tak lain karena dia merasa nyaman dengan keberadaan Taku yang selalu membuatnya tak lagi merasa sendiri. Tapi, kenapa?
"Kenapa dia bisa bercerita seringan itu padamu sementar padaku, dia hanya bisa minta maaf?"
Menyebalkan.
"Karena dia mabuk, mungkin."
Ah, Hari sempat lupa kalau menanyakan hal rahasia pada ayahnya hanya cukup dengan membuatnya mabuk. Tapi tetap saja, rasanya ia begitu kecewa tidak medengar hal yang seharusnya langsung terucap dari mulut ayahnya.
Gadis itu menutup layar notebook yang sudah masuk mode tidur, lalu memasukannya ke dalam tas yang ia bawa tadi. "Sepertinya aku butuh waktu untuk menyendiri."
Dan ucapan itu membuat Taku menganga sebelum dia membalas, "Ini sudah cukup larut. Kau mau kemana?"
"Kemana saja," Hari mejawab pendek. Dalam waktu singkat dia sudah menggendong ranselnya, lalu mulai melangkah menuju pintu.
Dia sempat mendengar pemuda itu mendecak kesal. Hari tahu, kalau mereka bertukar posisi sekarang, pasti dia juga akan merasa kesal.
"Hari!"
Gadis itu tak berniat menoleh, karena itu dengan cepat Taku menyambar tangannya sampai dia sendiri terkejut sengan apa yang sedang dia lakukan.
Posisi mereka berdekatan dengan dinding yang memisahkan ruang apartemen dengan apartemen lainnya. Karena itu mudah bagi Taku untuk menarik gadis itu dan menghimpitnya di sana.
"Apa yang kau lakukan?" Hari mulai naik pitam. Tapi suaranya masih pada desibel yang sama seperti sebelumnya.
"Mencegahmu pergi," jawaban pendek Taku membuat bola mata gadis itu hampir berputar, kesal.
"Aku sudah cukup bermasalah, jadi aku tidak ingin menambahnya, denganmu!"
"Bukan tidak ingin menambah. Kau hanya ingin melarikan diri dari keadaanmu yang sekarang!"
Melarikan diri.
Satu frase yang sontak membuat darah Hari seketika naik ke ubun-ubun.
"Semua itu tidak ada hubungannya denganmu. Jadi berhentilah bertindak seolah yang kau lakukan sekarang ini bisa membuat apa yang terjadi padaku jadi lebih baik!"
Beberapa detik berlalu dengan keheneningan. Tatapan Hari terfokus, lurus ke arah manik hitam mengkilat milik pemuda di depannya. Napasnya memburu, menahan kemarahan yang tidak bisa lagi dia tahan.
Tetapi keadaan itu hanya berlangsung sejenak, sampai akhirnya dia merasakan napasnya tertahan oleh detak jantung yang berpacu ketika tiba-tiba pemuda itu menariknya mendekat, dan merebut bibirnya dalam waktu beberapa detik.
"Kau hanya tidak tahu bagaimana aku memikirkanmu hampir di setiap waktu yang aku lewati. Karena itu juga, aku tidak ingin kau menukarkan kehidupanmu yang sekarang dengan kebahagiaan semu seperti yang aku jalani sampai saat ini."
Hari bisa merasakan detak jantung Taku yang ikut berpacu dengan ritme kurang lebih sama dengan miliknya saat pemuda itu memeluk, dan berkata di dekat telinga kanannya dengan suara lirih.
Butuh waktu bagi Hari untuk bisa kembali menguasai dirinya sendiri. Sampai akhirnya dia mendorong pemuda itu menjauh, lalu berlari keluar apartemen.
🍒🍒🍒🍒
"Irasshaimase-"|4|
Entah sudah berapa puluh kali telinga Hari mendengar kata itu dari pekerja konbini yang tetap siaga meskipun jam sudah menunjuk angka empat, dan Hari masih duduk di pojok khusus dimana dia bisa sedikit bersantai sambil meminum kopi. Tadinya dia ingin pergi ke net caffe untuk menghabiskan sisa malam ini. Tapi dia urungkan karena dia pun tahu, kalau dia pasti tidak akan bisa tidur sampai pagi benar-benat datang.
Selama beberapa waktu dia hanya menatap ruang kosong di balik kaca konbini dengan kepala nyaris tak berisi. Tapi, kaca bening yang memantulkan cahaya dari dalam konbini mebuat wajahnya juga terlihat di sana. Pucat dengan bagian bawah mata yang sudah sedikit menggelap, membuatnya menyadari kalau dia benar kurang tidur.
Dan Taku menciumnya dengan wajah seperti itu.
Hari menjatuhkan kepala ke atas meja setelah otaknya kembali membuat kejadian beberapa jam yang lalu itu terproyeksi di angannya.
"Ah, rasanya aku ingin mati saja," keluhnya.
Kemudian dering panggilan pada ponselnya membuatnya bangkit lagi, untuk memeriksa siapa yang menelpon. Hari bersumpah akan mematikannya apabila itu Taku.
Tapi bukan. Nomor neneknya terlihat pada layar ponselnya dengan jelas.
"Moshi-moshi, Obaa-chan?"|5|
"Nee-chan?"|6|
Alih-alih mendengar suara neneknya, Hari justru mendengar adik bungsunya, Kaori yang menjawab telepon. "Kaori?"
"Kaoru mengeluh tidak bisa tidur sejak tadi malam," kata anak itu dari seberang. "Karena aku tidak memakai telepon di rumah nenek, jadi aku diam-diam memakai ponselnya yang ditaruh di ruang tengah."
"Tidak boleh! Jangan lakukan itu lagi!" Hari segera menyahut.
"Kapan Nee-chan datang kemari?"
"Bukankah aku sudah bilang kalau aku tidak akan datang kesana?"
"Tapi Kaoru tidak bisa tidur tanpa Nee-chan."
Hari menghela napas. Rupanya sifat ayah yang juga penakut itu menurun ke hampir semua anaknya. Padahal Kaoru satu-satunya anak laki-laki di keluarga mereka, tapi dia yang paling mudah terkena homesick juga paling banyak menangis saat ia sendiri.
Kali ini pun, pasti dia yang meminta Kaori untuk menelponnya, karena dia tahu kalau Hari akan memarahinya jika dia sendiri yang datang menelpon.
"Mau aku minta ayah untuk menjemput?"
Padahal itu juga tidak mungkin karena pertama, ayahnya mabuk. Dan kedua, Hari tidak mungkin tiba-tiba bicara seolah tidak terjadi apa-apa sebelumnya.
"Aku memasukan pemutar musik di salah satu tas kalian. Kau ingat lagu yang biasa aku putar? Coba perdengarkan itu pada Kaoru sementara aku berpikir selanjutnya. Dan jangan lupa, kembalikan ponsel nenek sekaligus minta maaf padanya!"
Setelah mendapat jawaban "ya" dari adik bungsunya, Hari menutup telepon. Dia menekan kedua pelipisnya pelan, memikirkan apa yang harus dia lakukan selanjutnya.
Kamar yang biasa mereka tempati di rimah neneknya terlalu luas jika hanya ditempati oleh dua bocah yang bahkan belum genap berusia lima tahun. Nenek biasa tidur sendiri setiap mereka datang, karena sampai tahun lalu pun Hari masih menyertai mereka. Ayahnya mungkin lupa bilang kalau Kaoru mudah sekali terkena homesick, hingga neneknya membiarkan mereka hanya tidur berdua.
Setelah cukup lama menimbang, Hari membereskan meja di mana dia menghabiskan berapa jam waktunya. Setelah itu dia segera melesat keluar konbini.
Kereta pertama menuju distrik dimana rumah neneknya berada berangkat pukul lima, kalau dia mampu berlari sekitar lima belas menit sampai stasiun, berarti dua jam lagi dia akan tiba di kampung halaman ibunya itu.
🍒🍒🍒🍒
Bunyi fuurin|7|, juga deru angin musim panas bercampur penuh nostalgia yang kadang membuat Haru mengingat setiap musim panas yang ia lewatkan sebelum kedua adiknya lahir.
Dia selalu datanh ke desa ini bersama sang ibu. Membantu nenek merawat ladang mentimun dan tomat. Dan kadang bermain di pematang sawah bersama anak-anak seusianya.
Sekarang dia hanya bisa duduk di engawa|8| dengan notebook di pangkuan sementara adik-adiknya berlarian di halaman belakan sambil bermain pistol air bersama beberapa anak-anak tetangga kakek mereka yang sudah mulai akrab sejak musim panas tahun lalu.
Rasanya enak sekali kalau Hari juga bisa menarik selang yang tersambung dengan keran air, yang biasa nenek gunakan untuk menyiram bunga lalu ikut bermain bersama mereka. Tapi, pekerjaannya tidak mentoleransinya untuk itu.
Hari melirik ponselnya yang dia letakkan terbalik. Sudah dua hari ini dia mematikannya, dan saat dinyalakan kembali, puluhan pesan datang beruntun dan sebagian besar datang dari Taku yang menanyakan di mana dia, apakah baik-baik saja, dan berbagai pertanyaan sejenis lainnya.
Tanpa sadar kedua sudut bibirnya terangkat saat ia membuka satu demi satu pesan yang masuk.
Hari mengumpulkan niat untuk menyentuh nomor Taku yang terdaftar di kontak ponselnya. Dan beberapa detik berikutnya, panggilan sudah tersambung dengan sambutan gugup dari pemilik nomor itu.
"Ha-hari?" Dia terdengar memastikan.
"Iya ini aku," gadis itu menjawab.
"Ah, syukurlah tidak terjadi apa-apa denganmu. Kau di mana sekarang?"
"Di tempat nenekku."
"Hah? Ayahmu mencarimu kemana-mana dua hari ini!"
Suara pemuda itu terdengar setingkat lebih tinggi. Membuat Hari tersenyum meskipun ada sedikit rasa bersalah di hatinya.
"Ah, iya. Bagaimana dengan ayahku setelah malam itu?"
"Dia hampir membunuhku karena sepertinya dia sadar dan sempat melihat ketika aku menciummu waktu itu."
Mendengar kata "mencium" yang diucapkan tanpa ragu itu membuat Hari tidak bisa menyahut dan mereka diam selama beberapa detik sampai akhirnya Taku memulai pembicaraan lagi.
"Maafkan aku."
"Hah?"
"Tidak seharusnya aku melakukan itu tanpa memastikan perasaanmu padaku lebih dulu."
Hari tidak tahu harus menjawab apa, dan yang terlontar dari bibirnya justru sebuah pertanyaan yang kemungkinan telah dia ketahui jawabannya. "Apa kau menyukaiku?"
"Hah?"
"Apanya yang 'hah'?"
"Sudah pasti 'kan?!"
"Mana aku tahu! Kau kan tidak pernah mengatakannya padaku!"
"Bahkan walaupun aku sudah mengajakmu tinggal bersama?!"
Ah, jadi itu alasannya dia berkata demikian malam itu?
"Taku..."
"Ya?"
"Maafkan aku..."
Hening.
"Aku ingin kau mengatakan itu di saat kita bertemu lagi. Dan jangan lupa bawakan cincin Tiffany paling mahal untukku ya!"
"Hah?!"
Sepertinya Taku ingin membalas kelakarnya itu, tapi Hari sudah terlanjur memutus sambungan telepon. Dan saat dia bermaksud kembali mengambil notebook, anak-anak kecil yang semula bermain pistol air itu sudah berjajar memangku dagu sambil tersenyum menatap Hari yang masih menyisakan senyum di bibirnya.
-FIN-
🍒🍒🍒🍒
Note:
1. Tanuki: nama hewan
2. Izakaya: kedai makan yang biasanya mennyediakan minuman
3. Baito-kun: anak yang lagi part time
4. Irasshaimase: selamat datang
5. Moshi-moshi, obaachan: hallo, nenek
6. Nee-chan: panggilan buat kakak perempuan
7. Fuurin: lonceng angin
9. Engawa: semacam teras di halaman belakang
Kurang lebihnya saya mohon maaf.
Bandung, 26 Juli 2018
Bersama:
YUI
to mother
・
Fukuyama Masaharu
誕生日には真っ白な百合を
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro