Furukawa Makoto: Melted Then Lose Oneself
Furukawa Makoto x OC || Romance & Drama || R-15 || Cliché, Cheesy and Typos
Story by t.m
⛸⛸⛸
Hari ini adalah malam sebelum kompetisi dimulai. Malam dimana seharusnya ia bersantai dan menenangkan diri—menyiapkan tubuh agar prima kala hari berganti. Biasanya itu yang akan Hiroki lakukan. Namun, ia khawatir hal tersebut tidak lagi terjadi setelah sahabatnya—Makoto—mengajaknya untuk berjalan-jalan malam itu. Kemana pun Hiroki tidak tahu.
"Ikut saja," katanya, menambah bingung gadis berusia 19 tahun itu. Mereka tidak seharusnya berkeliaran—terlebih diam-diam seperti ini—namun entah apa yang membuat Hiroki tidak menolak ajakan pemuda yang setahun lebih tua darinya itu. Kakinya pasrah mengekori Makoto yang berjalan riang di atas trotoar, mengabaikan dinginnya cuaca yang merundung kota.
"Kita mau kemana?". Hiroki tidak bosan penasaran. Lima menit berselang menjauh dari tempat mereka menginap, gadis itu bertanya lagi pada Makoto yang hanya memulas senyum. Jawabnya, "Nanti kau juga tahu,". Tentu, mana bisa Hiroki puas dengan balasan seperti itu? Akhirnya perempuan itu mengalah, memilih ikut kemana laki-laki itu melangkah. Matanya sesekali memperhatikan deretan gedung tinggi yang mengelilingi mereka berdua, juga orang-orang sibuk yang baru saja pulang kerja. Samar-samar telinganya mendengar jingle natal dari beberapa toko, mengingat hari suci itu akan tiba sebentar lagi.
"Makoto," panggilnya, mulai bosan. Ternyata jalan mereka masih jauh.
"Ya?" pemuda itu menyahut singkat.
"... kita mau kemana?".
Makoto mendengus. "Kau nanti juga tahu. Sabar sedikit," balasnya, melihat ke arah Hiroki yang cemberut karena tidak mengerti.
"Sebaiknya ini tempat yang bagus atau—".
"Atau?" pemuda itu memotong, terdengar menantang.
"—atau kusentil jidatmu,".
"Dasar bocah," ledek Makoto, berusaha menahan tawa saat ia tahu Hiroki kesal. Ia memang cukup menyebalkan dalam skala tertentu—setidaknya itu yang dirasakan gadis berambut sepunggung yang telah menghabiskan separuh masa mudanya dengan laki-laki itu. Masih lekang dalam ingatannya, saat umur Hiroki baru lima tahun, pertemuannya dengan Makoto di atas es hari itu benar-benar mengubah semuanya.
Ogata Hiroki—untuk pertama kalinya—memiliki mimpi untuk menjadi seorang peluncur es paling hebat sedunia. Bertahun-tahun ia menempa diri, terbentur, jatuh dan luka berkali-kali. Ia sudah tidak bisa menghitung seberapa sering tubuhnya menjerit karena lelah, semua itu dilaluinya untuk mendapat gelar juara dari setiap kompetisi yang ia ikuti. Hiroki sudah lupa rasanya sakit, terlebih saat teman satu rinknya—Makoto—memutuskan untuk berbagi mimpi dengannya. Mereka yang tadinya ikut dalam disiplin figure skater tunggal, kini melebur dalam divisi pair skater tingkat senior.
Sudah banyak gelar juara yang mereka raih bersama. Dan besok—mereka akan bertanding melawan negara lain di kandang mereka sendiri. Hiroki tidak berpikir mereka akan gagal, tapi tidak bermain di negeri orang membuatnya lebih tertekan dari biasanya.
"Kita sampai,". Ucapan Makoto membuat lamunan perempuan itu buyar. Hiroki mengangkat wajahnya, melihat sekeliling. "Kau membawaku ke taman?" tebaknya dengan nada retorik, memandang juntaian lampu gantung yang remang, juga banyaknya bangku besi yang diisi oleh muda-mudi lain. "Menurutmu?" pemuda itu tertawa kecil sambil menyakukan tangan di mantel biru tuanya. Gadis itu menghela napas, uap-uap karbon pun menyembul dari lubang hidung. Tampaknya, ia terlalu percaya diri—mengharap laki-laki itu membawanya ke tempat yang tidak biasa. Ia melirik Makoto yang masih diam.
"Jadi—untuk apa kita ke taman di malam sebelum kompetisi,".
Sesaat, Makoto memusatkan pandangannya pada salah satu sudut taman, mencari keberanian yang terkikis oleh gugupnya sendiri. Ia ikut menghela napas, kemudian mengganti posisi—berdiri di depan perempuan itu. Alis Hiroki naik kala sadar pemuda itu ada di hadapannya. Dari pada kaget, ia lebih ke arah tidak mengerti.
"Ano—".
"Hiroki," Makoto memotong (lagi). Dipandangnya kedua mata gadis itu, lurus, seolah percaya dirinya telah kembali.
Sempat mengatup karena dijeda, Hiroki akhirnya buka mulut lagi. "Apa?".
Ia diam kurang lebih dua detik, lalu tangannya bergerak keluar dari saku mantel—menggenggam sesuatu yang gadis itu tidak tahu apa. "Aku ingin memberikan ini padamu," balasnya dengan suara rendah, tidak seperti biasanya. Hiroki yang menengadah akhirnya menunduk, ingin tahu benda apa yang ada di tangan pemuda itu.
Telapan tangan Makoto terbuka, ia bisa melihat kotak kecil berwarna merah marun membungkus barang yang dimaksud. "Apa ini?" tanya Hiroki, lalu mengambil benda itu dari Makoto. Laki-laki itu hanya menjawab, "Buka saja," sambil memberi ruang untuk gadis itu melepas tutup kotak marun tersebut. Hiroki bungkam sesaat setelah ia membuka pemberian Makoto—tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Ada sepasang anting perak mungil, bentuknya serupa bunga lima kelopak.
"Astaga—" tanpa sadar gadis itu berucap. Ia lagi-lagi memandang pemuda itu, meminta penjelasan atas hadiahnya. "Pakai ini untuk besok," kata Makoto seraya mengulas senyum. Salah satu tangannya meraih wajah Hiroki, mengusapnya pelan. "Kau akan terlihat hebat," sambungnya lagi, lalu menyelipkan helai rambut gadis itu ke belakang daun telinga.
Sekejap, Hiroki merinding bukan karena dingin yang mengelilinginya—namun karena denyut yang mendadak terasa lebih keras pada dadanya. Oh, gawat.
"Ka-Kau bisa memberikan ini di hotel,". Ia langsung mengalihkan pandangan, tidak ingin terlihat bodoh di depan Makoto. Perkataan gadis itu disambut gelengan dari pemuda itu.
"Tidak. Ini spesial. Tempatnya juga harus istimewa,".
"Tapi—ini taman,".
"Kita belum pernah ke taman ini,".
Hiroki lagi-lagi memilih mundur dari perdebatan, mendenguskan tawa kecil dari mulutnya. "Terserah kau saja,". Ia akhirnya menutup kembali kotak itu, setelah lama kagum dengan kemilau kecil yang dipancarkan anting-anting. "Omong-omong—mengapa tiba-tiba... memberiku...?". Tidak mungkin kan, Hiroki tidak penasaran? Belum pernah Makoto memberikannya hadiah mahal seperti ini.
Pemuda itu mengatur napas, menatap gadis itu lekat. "Kau ingat dengan perkataan pelatih?". Ia memulainya dengan pertanyaan. Hiroki membalas, "Soal?". "Memahami tema musim ini,".
Hiroki melongo.
Tema musim ini?
"Kita sepakat untuk menggunakan 'feelings' sebagai tema koreografi kita. Pelatih selalu berkata untuk memahami sedalam-dalamnya perasaan yang kau dan aku miliki, bukan? Agar gerakan kita menjadi alami dan harmoni dengan lagu yang kita pilih,". Hiroki mengangguk. Jelas, ia ingat dengan segala nasihat yang pelatih mereka berikan saat menyusun program untuk musim ini. Karena itu ia tidak mengerti—apa kaitannya dengan Makoto dan pemberiannya?
"Selama ini aku menahan perasaanku—agar kita terus selaras sebagai rekan satu tim. Namun, saat tema ini muncul, aku harus belajar untuk paham sebenarnya apa yang kurasakan. Pada keluargaku, mimpiku—
—dan kamu,".
Rasanya, Hiroki tidak ingin mendengar lebih jauh perkataan pemuda itu. Nalurinya memberi isyarat bahwa ini bukanlah sesuatu yang bisa membuat hatinya tenang untuk beberapa hari ke depan. Tapi apa daya, ia tidak bisa apa-apa selain termakan rasa penasaran yang begitu besar dan diam mendengarkan penuturan Makoto.
"Kita sudah bersama lama sekali. Kau, Ogata Hiroki, partner seluncur es ku yang sangat mahir membuat semua orang terkejut,".
Ucapan itu dibarengi dengan mendekatnya tubuh sang pemuda dan bertambahnya rasa gugup sang gadis. Hiroki tahu wajahnya memanas kala tatapan pemuda itu merajamnya tanpa ampun, seolah tidak memberinya kesempatan untuk bernapas sekali saja.
"Aku menyukaimu,".
Hiroki mau meledak. Tapi kalimat pemuda rupanya itu belum selesai. "... sangat menyukaimu,".
"Status yang kau sandang terlalu banyak. Sahabatku, keluargaku, rekan satu tim, partner—aku menyukai semuanya. Hiroki yang utuh—
—dirimu,". Penegasan yang dilakukan pemuda itu tidak jua membuat gemuruh di dadanya mereda. Ia merasa makin tidak karuan setelah Makoto jujur padanya soal apa yang ia rasakan—demi kompetisi yang mereka ikuti besok.
Ingatannya berputar cepat pada momen dimana ia dan laki-laki itu merumuskan tema untuk program pendek dan bebas mereka musim itu. Perasaan adalah sesuatu yang belum pernah mereka coba dan pelatih mendukung keduanya untuk memakai tema tersebut karena dinilai cocok dengan usia mereka saat ini. Daripada cinta, perasaan adalah sesuatu yang jauh lebih abstrak dan luas—namun Hiroki menilai bahwa perasaan adalah payung dari segala emosi yang dimiliki manusia dan beragam bentuknya.
Ia telah berulang kali merasa sangat cocok dengan Makoto. Terkadang mereka serupa cermin, namun ada kalanya konflik timbul dan memicu perselisihan—walau semua itu selesai dengan ucapan maaf dari keduanya. Hal yang tidak pernah Hiroki sangka adalah cara mereka memahami satu sama lain. Bagaimana keduanya belajar untuk menaruh rasa percaya, meletakkan nyawa mereka di atas tangan masing-masing pasangan, lalu bertaruh untuk menang di atas es.
Ia tidak menyadarinya—kalau ia juga selalu menahan perasaan itu—agar tidak mengacaukan harmoni yang telah susah payah mereka ciptakan dan pertahankan. Hiroki ingin menangis saat ia tahu, ia bukanlah satu-satunya orang di dunia ini yang melakukan hal itu.
Makoto ada bersamanya, dan akan selalu ada di sisinya. Sebagai sahabat, keluarga, rekan satu tim—sebagai Furukawa Makoto yang ia sukai, seutuhnya.
⛸⛸⛸
"Sebaiknya kita kembali," ujar Makoto setelah melihat arloji yang melingkar di tangan kiri. Malam telah larut saat mereka memutuskan untuk keluar dari taman. Ia menatap Hiroki sesaat, tersenyum tipis. "Sebelum semakin dingin," lagi, ia melanjutkan. Gadis itu memajukan bibir. "Aku tahu," balasnya jutek, lalu mengambil langkah untuk kembali ke hotel tempat mereka beristirahat. Bersisian dengan perempuan itu, Makoto perlahan meraih telapak tangan Hiroki, menggenggamnya tanpa izin.
Menyadari perbuatan pemuda itu, Hiroki pun tertawa dengan nada meledek. "Dasar bocah," katanya, mengubah genggaman tangan menjadi jari yang bertautan satu sama lain, sekaligus membalas ejekan pemuda itu sebelumnya. Makoto agak takjub melihat gadis yang mendadak proaktif itu, tapi ia membiarkan. Toh, ia menyukai ini.
"Sepertinya pelatih akan marah lagi," kata laki-laki itu di tengah jalan, mengingat bahwa keluar di malam sebelum kompetisi bukanlah hal bagus untuk dilakukan oleh mereka berdua. "Kau benar. Membayangkannya saja sudah malas," Hiroki membuang napas, pasrah dengan ocehan yang akan dilontarkan pelatih mereka yang terbilang galak.
"Tapi tenang saja—aku tidak akan kabur seperti hari-hari lainnya," lanjut gadis itu, memandang Makoto yang kebetulan menoleh. Sambil menahan senyum dan perasaannya yang membuncah, Hiroki menyelesaikan kalimatnya malam itu.
"Karena aku adalah partnermu, Makoto. Now and always,".
⛸⛸⛸
[end]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro