Edisi Spesial Musim Hujan (Bagian 1)
Multipair
Warn: Very Short, Cheesy, Cliché and Typos.
Story by: T.M
[Note]: Pastikan membaca sampai akhir :)
@@@
Part One: Aforethought
.
"Kaji-kun! Kaji-kun, tunggu sebentar!".
Itu adalah sebuah sore yang diguyur hujan deras, yang bahkan basahnya membekas hingga lorong gedung sekolah. Itu juga hari yang sama, dimana Yuuki membatalkan langkahnya menuju area yang tak lagi terlindung kanopi, ia baru ingin pergi kalau saja suara itu tidak menghentikannya.
Yuuki kemudian melihat figur perempuan yang tidak asing tengah mendekat kearahnya. "Mikuri—".
"Maaf sebelumnya, Kaji-kun,". Sosok yang membuatnya tidak jadi melaju bicara lebih dulu, memotong sapaan Yuuki terhadapnya. Ia mengatur napas sejenak sebelum bicara lagi. Laki-laki itu kontan memasang wajah bingung. Alisnya naik, menyiratkan tanda tanya.
.
.
.
"Eh—menumpang?" responnya setelah mendengar permintaan perempuan itu. Ia mengangguk mengiyakan. "Aku harus ke stasiun sekarang, tapi aku lupa membawa payung. Makanya... aku ingin menumpang payungmu—kalau boleh," Mikuriya Midori menjawab keheranan Yuuki, seraya matanya melirik kearah payung biru tua yang belum dibuka oleh pemiliknya. Beberapa detik setelahnya, suasana dikuasai oleh hening sebab Yuuki tak kunjung menjawab.
Yang ada dipikiran Yuuki adalah, daripada memikirkan apakah ia akan meminjamkan payungnya atau tidak... ia bertanya-tanya mengapa perempuan itu memilihnya dibanding orang-orang lain yang juga memiliki payung.
"...maa, namun kalau dirasa merepotkan—". "Ti-Tidak apa-apa, kok! Payungku... cukup besar," kali ini Yuuki yang memotong duluan, setelah diam beberapa saat. "Lagi pula... ini tidak merepotkan," lagi, Yuuki melanjutkan. "Benarkah tidak apa-apa?". Laki-laki itu mengangguk tiga kali, berusaha meyakinkan lawan bicaranya yang kini mengulas senyum tipis. "Kalau begitu, aku sangat tertolong," balas Midori, kemudian melangkah maju dan berdiri di sebelah Yuuki. "Terima kasih, Kaji-kun,".
"Um... sama-sama,". Ia kemudian membuka payung dan membiarkan Midori berjalan di sisinya hingga mereka berpisah di stasiun kereta.
.
.
.
Sudah lewat seminggu sejak ia mengantar Midori ke stasiun dengan payungnya saat hujan deras. Yuuki seharusnya tidak perlu memikirkannya lagi—ya, harusnya seperti itu. Namun kontra dengan fakta yang ada, kepalanya enggan berkompromi bahkan sampai detik ini. Ingatannya secara kurang ajar memutar ulang kejadian itu layaknya sebuah film dengan setelan auto-rewind, membuat pipinya berkali-kali menghangat dan dadanya berkali-kali bergemuruh.
Ia masih bisa mengingat bagaimana seorang Mikuriya Midori mati-matian menahan dinginnya hujan, namun dengan bodohnya ia malah tersipu melihat wajah manisnya, bukannya memberikan jaket yang ia kenakan hari itu. Dan saat perempuan itu bercerita bagaimana payungnya tertinggal, juga apa yang harus ia lakukan setelah pergi ke stasiun—Yuuki masih bisa mengingatnya seolah baru terjadi kemarin.
"Kaji-kun, kau baik-baik saja?". Sebuah suara kembali membuyarkannya. Seorang guru menatapnya dari depan kelas, papan tulis telah penuh dengan catatan ketika ia sadar sepenuhnya. "A-Aku baik-baik saja, sensei," jawabnya malu, sebab ketahuan melamun saat kelas berlangsung.
.
.
.
Sore itu lagi-lagi diguyur hujan deras, seperti yang ramalan cuaca katakan tadi pagi. Tangan kanan Yuuki menggenggam payung yang akan membentenginya dari tumpahan air hujan. Begini-begini, ia ingin sampai di rumah dengan seragam yang kering.
"Kaji-kun!".
Oh, ia tidak salah dengar kan? "Kaji-kun, tunggu sebentar!". Yuuki merasa napasnya tercekat untuk sepersekian detik. Suara itu benar-benar menggema di tengah lorong yang nyaris tidak ada orang. Si pemuda bisa saja memilih untuk mengabaikan panggilan yang lagi-lagi menghentikan langkahnya untuk pulang. Namun, ia merasa sangat jahat kalau harus diam seolah tidak mendengar apa-apa.
"Mikuriya—". Ia berbalik dan betul sekali, ada Midori yang berjarak kurang dari lima langkah, sedang melambaikan tangan menyapanya. "Kau sudah ingin pulang?" tanya perempuan berambut sebahu itu. Ia memangkas jarak dengan Yuuki selagi menunggu laki-laki itu menjawab. "Ah... iya," balasnya dengan susah payah. Ia berharap pipinya yang pucat tidak mengeluarkan rona merah atau semacamnya.
"Kebetulan sekali... aku lagi-lagi akan merepotkanmu," ujarnya disertai kekehan kecil. Laki-laki itu berpikir sebentar. "Apa... ini soal payung?". Sesungguhnya ini adalah tebakan asal yang keluar dari mulut Yuuki tanpa sempat ia saring. Terkutuklah kalau dugaannya meleset. "Wow, jangan-jangan kau ini cenayang ya?" balas Midori dengan nada takjub, kemudian dilanjut dengan beberapa tawa di belakangnya. Yuuki yang melihatnya pun ikut tergelak, tertular tawa Midori yang baginya terlihat manis.
"Apa boleh?" Midori bertanya lagi untuk memastikan. Laki-laki itu benar-benar merasa lemah, sebab ia tak menemukan alasan untuk menolak permintaan Midori kali ini—selain karena tidak baik untuk kesehatan jantungnya, tentu saja. Yuuki akhirnya mengangguk dan membuka payungnya untuk perempuan itu. "Kalau begitu, Mikuriya-sensei. Silakan," ujarnya, disambut oleh rekahan senyum di atas bibir sang guru.
"Terimakasih, Kaji-kun,". Itu kali kedua Midori mengucapkannya. Sebuah kalimat yang mampu mengusir hawa dingin yang diciptakan hujan. Ah, naungan payung itu benar-benar terasa hangat bila bersamanya.
.
.
.
"Hei, apa kau melihat Mikuriya-san? Aku ingin memberitahunya sesuatu,". Salah satu pengajar wanita di ruang guru bertanya pada seorang pria yang tengah duduk membaca koran. "Kupikir ia baru saja pulang," balasnya dengan nada cuek.
"Hah?". Wanita itu tampak tidak terima dengan jawaban yang ia dapat. "Kau pasti bercanda," ia kemudian melihat kearah jendela yang menampakan cuaca hari itu—hujan deras.
.
"Aku melihat payung merahnya di atas meja, kok,".
@@@
Part Two: Accolade
.
Bermula dari pukul dua siang di hari dimana ia harusnya libur, ada seorang kawan yang mengajak Katsumi bertemu di salah satu toko buku. Ada rilisan novel baru katanya. Dengan iming-iming akan dibelikan makan sore, Katsumi pun (dengan susah payah) meninggalkan rumah dan pergi ke toko buku yang dimaksud dengan kereta bawah tanah. Namun, kala keluar dari tangga, trotoar yang basah didapatinya.
Rupanya hujan menyambut begitu ia turun dari kereta. "Bagus sekali,". Sebab ia tidak bawa payung dan merasa bodoh karena tidak membaca ramalan cuaca hari itu. Buangan napas Katsumi benar-benar kasar. Di kepalanya berlarian ide-ide gila untuk menembus hujan sebab waktu untuk bertemu kawannya tinggal sedikit lagi. Apa ia perlu membeli payung? Hmm, benar-benar membuang uang, pikirnya. Kembali lagi ke stasiun dan menghubungi kawannya kalau ia terhalang hujan deras? Betul-betul tidak gentle, ya kamu Hideaki Katsumi.
Lantas, apa yang harus ia perbuat?
.
.
.
"Ara—Katsumi-chan? Aku sudah bilang kalau pertemuannya batal kan?".
"Hah? Kapan kau bilang begitu?".
"Kau tidak baca LINE dariku?".
"...... ini baru masuk lima menit yang lalu, sialan,".
"Ahaha, pasti terhambat sinyal kereta bawah tanah, bukan begitu?".
Katsumi menghela napas. Padahal menembus hujan adalah rencana paling buruk dalam pilihannya hari itu. Dan ia melakukannya.
"Kau menyebalkan,".
.
.
.
Pesan akan batalnya pertemuan itu bahkan baru dilihatnya ketika Katsumi tiba di tujuan, di depan toko buku saat ingin mengabari kawannya kalau ia telah datang. Si gadis Hideaki sampai dengan rambut yang basah dan kusut karena hujan berangin. Sepatunya tak lagi kering, begitupun dengan roknya. Di bawah kanopi depan toko buku ia memeluk diri, berusaha mengusir dingin yang mencoba hinggap pada kulitnya yang terkekspos.
Wajahnya benar-benar tidak ramah untuk sekarang, seolah bisa menggigit siapapun yang mencoba mendekat.
"—Katsumi?". Si pemilik nama masih sempat menangkap suara itu di tengah kondisi badannya yang gemetar menahan rendahnya suhu udara. Ia menoleh, mencoba mencari tahu siapa yang berani menyebut namanya di saat seperti ini. Dan tanpa menunggu, Katsumi sadar siapa sosok pria berpayung yang memanggil nama kecilnya itu.
"......Tomo—kazu?".
.
.
.
"Masuklah,". Seorang pria dengan nada ringan mempersilakannya melangkah ke sebuah flat yang tak jauh dari toko buku tadi. Katsumi mencoba berjalan walau merasa badannya kaku karena dingin, sementara banyak air menetes baik dari rambut ataupun roknya. Ia masih belum percaya. Bisa-bisanya laki-laki itu (baca: Tomokazu) mengajak Katsumi ke tempatnya tanpa canggung, seolah tidak pernah terjadi apa-apa diantara mereka.
"Sebaiknya ganti bajumu,". Terdengar hanya suaranya dari arah dalam. Katsumi belum beranjak dari pintu depan. Bahkan untuk melepas sepatu rasanya berat sekali. "Atau kau ingin flu? Terserah saja,". Gadis itu menengadah, melihat sosok bernama lengkap Sugita Tomokazu berjalan mendekat. Tiba-tiba, entah apa yang terjadi... tubuhnya menghangat. Ah, selalu saja begini.
"Kau ingin kemana dengan baju seperti itu?" tanyanya. "Huh...? Be-Bertemu temanku..." bibirnya terbata karena menggigil. "Hmm... kencan buta?". "Ja-jangan sembarangan!". "Berarti benar,".
Kastumi merengut. "Ka-Kau selalu saj—". "Ssh,". Tomokazu memangkas jarak lagi, lalu menyelimuti tubuh perempuan itu dengan handuk putih yang besar. "Aku sudah menyiapkan air hangat. Mandi sana,". Pria itu beranjak lagi setelah mengusap puncak kepala Katsumi yang terbalut fakbrik.
Ugh, ini benar-benar menyebalkan.
.
.
.
Katsumi tengah menggosok rambut dengan handuk di depan cermin, seraya melihat bagaimana baju pria itu kini membungkus tubuhnya. Sial, ini menyebalkan. Mendapat pembatalan sepihak adalah hal yang Katsumi tidak sukai—tapi bertemu Tomokazu,
adalah hal yang benar-benar tidak diinginkannya.
"Sampai kapan kau mau di sana?". Kepala Tomokazu secara instan sudah ada di antara pintu kamar mandi. Matanya tidaklah menatap kearah lain melainkan dirinya. "JA-JANGAN MENGINTIP DASAR MESUM!" teriak si gadis, malu. "Mesum apanya, kau kan sudah memakai baju,". "Te-tetap saja, dasar Tomobakazu!".
"Bakatsumi,". Pria itu menjulurkan lidahnya santai, benar-benar meledek.
Hideaki Katsumi tidak punya pilihan selain meledak.
"KA-KAU—!".
"Ups,". Tomokazu menangkap tinju tanpa tenaga milik Katsumi yang siap menghajar wajahnya. Ditariknya si gadis dari depan cermin dan menaruhnya dalam dekapan. "Jangan bilang kalau kau baru saja ingin menghancurkan wajah tampanku?". Katsumi tidak bicara, mulutnya terbungkam dalam dada pria itu. "Bercanda, hehe,".
.
.
.
Bunyi mesin pengering rambut telah terdengar beberapa menit lalu. Seolah terampil, Tomokazu menyisir rambut panjang gadis itu seraya mengeringkannya dengan hairdryer. Ia duduk di atas ranjang, sementara Katsumi menyilakan kaki di lantai yang telah dialasi karpet bulu. "Bagaimana kemampuanku?" tanyanya memecah hening. "Maksudmu?". "Aku. Mengeringkan rambutmu," balasnya, menyentuh lembut helai rambut milik si gadis. "... tidak buruk,". Katsumi menyahut pelan. "Berlatih dengan wanita lain?".
Tomokazu tertawa. "Kau sudah gila ya?".
Oh, dulu sekali Katsumi memang gila, sebab bisa-bisanya ia jatuh hati pada pria macam Sugita Tomokazu.
"Enak saja,".
"Kau sendiri?". Ganti pria itu yang menuding. "Hmm, tapi mana mungkin ya," ia menjawab sendiri pertanyaan yang ia beri. "Untuk apa bertanya, aho,".
Setelah Katsumi menyahut, tidak ada lagi yang memulai pembicaraan. Baik dirinya maupun Tomokazu sama-sama diam. Dirasa cukup, pria itu menghentikan aksinya dan menyisir kembali rambut Katsumi yang lurus. Masih dengan posisi punggung si gadis yang menghadap kearahnya, Tomokazu mengambil beberapa helai dan mengendus rambut Katsumi. Wangi shamponya—apel—tercium dari sana.
"Kau berbau se—". Ucapan Tomokazu terpotong oleh suara lain. Katsumi pun sampai dibuat heran hingga ia berbalik. "Apa-apaan itu?" tanyanya bingung, mulutnya nyaris saja mengeluarkan tawa. "... kau tahu? Aku belum sarapan," jawab pria itu santai, ia bahkan mengatakannya dengan senyuman. Bibir si tunggal Hideaki manyun layaknya bebek, kemudian mencibir.
"Dasar bodoh,".
.
.
.
Katsumi melongo kala melihat isi kulkas Tomokazu yang miskin nutrisi. "Sepengelihatanku, yang layak dimakan hanyalah ini saja," ia mengambil dua butir telur dari lemari pendingin dan membawanya ke dekat kompor. "Dengan uangmu harusnya kau bisa membeli makanan yang lebih baik," katanya sambil mengisi panci dengan air, berniat memasak ramen instan yang tadi ia temukan di lemari makanan. "Aku sudah melakukannya. Nyaris tiap malam aku makan di kedai seberang,".
"Bukan itu yang kumaksud, Tomobakazu,". "Lalu apa, Bakatsumi?".
Katsumi berbalik sambil menarik napas, memilih membelakangi Tomokazu yang masih duduk di kursi makan. "Belanja bahan makanan dan masaklah sendiri," jawabnya dengan suara kecil, entah sampai atau tidak ke telinga pria itu.
"... begitu, ya?" sahut pria bermarga Sugita. Dalam diamnya, Katsumi hanya mengangguk, mulai memasukan potongan ramen ke atas air mendidih. "Kurasa itu tidak perlu," ucapan Tomokazu terasa lebih dekat—dan begitu Katsumi sadar, pria itu telah mendekapnya dari belakang dengan kepala yang seenak jidatnya menyender pada bahunya. "Tomo—". Ia terlambat untuk membuat pertahanan.
"Bagaimana kalau aku mengatakan... aku ingin kau yang melakukannya?" pria itu menyela. "Aku ingin masakanmu setiap kali aku makan," lanjutnya lagi. Tomokazu masih dalam posisi yang sama, begitu pun dengan Katsumi yang enggan bergerak. "Apa kau baru saja memintaku menjadi asisten rumah tanggamu?".
Mendengar reaksi Katsumi ia pun tertawa kecil. "Jangan pura-pura, Bakatsumi,".
.
.
.
Jarak adalah alasan mengapa hubungan Katsumi dan Tomokazu merenggang. Tidak ingin kehilangan mata pencaharian merupakan dalih pria itu meninggalkannya, yang katanya demi menghidupi mereka berdua. Namun waktu Tomokazu kerap disita oleh pekerjaannya, sehingga hanya kecemasan yang menemani gadis itu setiap hari. Hingga ia bosan menunggu kekasihnya pulang, jengah dengan janji yang terus-menerus diingkari.
Katsumi merasa sendirian dalam perihal mencintai dan tak lama setelahnya, ia memutuskan untuk mengakhirinya.
"Seperti yang kau lihat, kulkasku kosong saat kau tidak ada,". Perlahan, pria itu membalik tubuh Katsumi agar melihat kearahnya. Si tunggal Hideaki menghela napas, sudah lama sekali ia tidak memandang wajah Tomokazu sedekat ini. Tangannya disentuh oleh telapak Tomokazu yang hangat, kemudian diletakan di atas area dada.
"Pun dengan tempat ini," katanya dengan mata sendu. "Setelah Katsumi pergi, semuanya tidak sama lagi,". Tomokazu menautkan jemarinya dengan milik gadis itu, membawanya pada sebuah genggaman yang erat. Ia mengulas senyum tipis. Sebuah mimik yang berhasil membuat Katsumi tergila-gila padanya, bahkan sampai sekarang. Detik dimana Tomokazu memintanya kembali menjadi kekasihnya. Oh, atau istrinya?
"Kalau kau ingin menolakku, sayang sekali aku hanya menerima 'ya' dalam pertanyaanku,".
"Kau bahkan tidak bertanya apa-apa, dasar bodoh,". "Katsumi, kau belum cukup umur untuk menderita Alzheimer,". "Ugh—kau menyebalkan!". "Tapi kau suka kan?".
Pipi Katsumi menggembung kesal. Tomokazu kalau sudah begini memang menyusahkan—sikap yang sengaja menggodanya itu membuat energinya tersedot untuk hal yang tidak perlu. Ia terlihat semakin bodoh karena dengan mudahnya tersulut.
"Eh—Katsumi?". Kini malah pria itu yang terkejut karena pinggangnya mendadak dipeluk si tunggal Hideaki. "Beri aku bukti,". "Berhenti berjanji,". Suara Katsumi yang berbisik nyaris tidak terdengar oleh telinganya. Namun yah—tentu Tomokazu mengerti.
Ia tidak boleh membuat kesalahan yang sama lagi.
.
.
.
Sehari sebelum berjumpa dengan Katsumi.
.
Telepon masuk ke ponsel Tomokazu tepat sebelum ia terlelap. Matanya memicing, melihat siapa yang tega-teganya menelpon di waktu malam menuju pagi seperti ini. "... halo?". Oh, pasti suaranya terdengar capek sekali. "Sugita-kun, selamat malam~ Maaf menelponmu malam-malam begini,". Astaga. Ada apa gerangan sampai-sampai atasannya menghubunginya selarut ini?
"Sacchou, bukankah ini terlalu malam untuk membicarakan pekerjaan?". "Aku tidak akan melakukannya. Justru, aku ingin memberikan hadiah atas kerja kerasmu, Sugita-kun!".
"... hadiah?". "Betul sekali. Besok sore pergilah ke toko buku dekat stasiun. Ah—bawalah payung bersamamu. Ramalan cuaca bilang besok akan hujan deras,".
"Kau serius?". "Semoga kau suka dengan hadiahnya~".
Lalu teleponnya diputus.
.
.
Jadi—berdirinya Katsumi dalam keadaan kuyup di depan toko buku dekat stasiun adalah hadiah dari atasannya?
"Yang benar saja,".
.
.
[akan dilanjutkan]
.
.
[a/n]: maafkeun segala ke-cringe-an ini, saudara sekalian. Sekian dan terima kasih.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro