Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Sugita Tomokazu: How to Cast Out His Boredom

Sugita Tomokazu x OC | [Mature] Drama | Warning: Short, Cheesy, Cliché, and Typos

Story by: T.M

The sequel of I'm Teaching Not Touching

🦐🦐🦐

"Mm—".

Katsumi menyerah. Ia tidak berbuat apa-apa kala tubuh pria itu mendekat dan menempel di punggungnya. Lengan laki-laki bernama lengkap Sugita Tomokazu memerangkap dirinya—seolah menolak memberi celah bagi Katsumi untuk pergi. Haha, kabur pun harus kemana? Rasanya ia tidak mampu hengkang kala sepuluh jemari Tomokazu bermain-main di atas perutnya. Sebuah sentuhan ringan cukup untuk membuat Katsumi mengerang karena tergelitik dan tak butuh waktu lama bagi pria itu untuk menyusup masuk dalam kemejanya. Pelan, Tomokazu mengusap permukaan kulit di area rusuk—dengan wajah terbenam dalam ceruk leher Katsumi, mengendus aroma wanita itu setelah menyingkirkan rambut panjangnya.

"—senpai...". Mulut Katsumi terbuka, memanggil pria yang tengah mendekapnya. "Hm?" deheman serak dengan nada rendah keluar sebagai respon, kompak dengan buangan napas hangat dari hidung bangir milik Tomokazu yang menjelajah tengkuknya. Katsumi hampir hilang akal. "—nas—". "—Apa?". Dengan susah payah, wanita itu memungut kesadarannya yang tercecer, menyusunnya perlahan hingga ia bisa membalas sahutan Tomokazu. Katsumi memegang tangan jahil pria itu dan dijauhkannya. Sejenak, ia bebas dari kurungan yang pria itu buat untuknya.

"... panas..." Katsumi mengulang tanpa berbalik. Ia hanya menunduk, menolak bersinggungan dengan seniornya untuk sementara. Langkah kaki terdengar tak lama kemudian, pria itu berjalan untuk meraih remote pendingin ruangan dan menyalakannya dengan suhu rendah. Hawa sejuk datang dan menggeser udara gerah yang mendiami kamar bertipe studio itu. "Sudah cukup dingin?" tanya Tomokazu, kembali memangkas jarak yang terpaut antara dirinya dan Katsumi. Wanita itu menaikkan alis, berusaha bersikap biasa.

"M—Mungkin?". Ia tidak berpindah tempat, hanya mengalihkan pandang dari wajah pria itu. "Hmm... aku bisa membantumu,". Telapak pucat Tomokazu mampir ke pipinya, mengangkat wajah Katsumi yang menunduk. Air mukanya terlihat bingung—bukan dengan apa yang akan Tomokazu lakukan, namun tidak mengerti harus bersikap apa sebagai reaksi atas tindakannya. Bibir keduanya terkatup rapat, mencegah omongan yang tidak perlu untuk keluar. Detik berikutnya, lengan pria itu lagi-lagi sudah melingkar di pinggangnya. Katsumi tidak protes saat Tomokazu membuat kakinya tak lagi menapak di lantai kamar, ia direbahkan di atas ranjang berselimut yang—demi apapun—terasa nyaman seraya pria itu merangkak naik.

"Sen—".

"Ssshh...". Desis pria itu membungkam panggilan Katsumi yang tak berdaya.

.

.

.

Demi Neptunus, apa yang telah aku lakukan?

🦐🦐🦐

.

.

.

'Kau kosong?'.

Demikian pesan dari Tomokazu pada Katsumi dalam pesan singkatnya yang diterima saat tengah hari. Ia baru saja akan memulai istirahat makan siang, kalau saja pesan pria itu tidak menginterupsinya. Butuh waktu beberapa detik sebelum ia membalas pesan tersebut dengan kepala penuh dengan rasa penasaran.

'Ya... ada apa?', balasnya tanpa pikir panjang.

Wanita itu menghela napas, berusaha bicara sebiasa mungkin dengan seniornya seraya berpikir. Nyaris setahun ia tidak melakukan kontak dengan seniornya—Sugita Tomokazu—setelah kejadian di perpustakaan waktu itu. Bukannya rindu atau apa, Katsumi hanya bertanya-tanya angin macam apa yang membuat pria itu menyapanya di siang bolong seperti ini?

Ayolah, ia paham mereka memang satu tempat kerja. Namun, divisi mereka yang berlainan membuat frekuensi tatap muka keduanya hampir tidak ada, bahkan interaksi media sosial pun jarang terjadi.

'Ingin bertemu?'. Oh, Tomokazu berhasil membuatnya menganga hingga pesan berikutnya muncul tak lama setelahnya. 'Aku bosan,'. Haha. Katsumi mendengus, dalam hati ia tertawa kecil sambil menatap layar ponsel—lalu mengetik balasan dengan cepat.

'Kemana aku harus pergi?'.

🦐🦐🦐

Hideaki Katsumi, kau memang sudah gila.

Sungguh naif untuk berpikir bahwa mereka hanya akan makan siang bersama dan kembali ke kantor untuk bekerja. Tentu, rute semacam itu tidak berlaku untuk seorang pria yang mengajak bertemu dengan alasan bosan. Suatu dalih murahan yang harusnya tidak Katsumi turuti, terlebih melihat kemana Tomokazu memintanya pergi—sebuah apartemen mewah yang berjarak beberapa blok dari tempatnya mencari nafkah dan bisa ia tempuh dengan jalan kaki, namun pria itu dengan baik hatinya memesankannya taksi. Astaga, betapa mudahnya ia menghamburkan uang untuk wanita seperti dirinya, yang dipanggil ketika ia jenuh.

Yup, pasti tidak mungkin tidak ada apa-apa.

Dan faktanya, Katsumi serupa ikan yang dengan sukarela memakan umpan dan menancapkan diri pada kail. Ia membiarkan Tomokazu menggandeng tangannya sepanjang jalan setelah makan siang, membawanya kembali menuju apartemen dan masuk ke ruang paling pribadi milik pria itu—kamarnya yang terletak di lantai empat belas. Seolah terhipnotis dengan tampilan Tomokazu hari itu, Katsumi bahkan sempat berpikir bahwa penampilan seniornya tidaklah buruk. Ia terlihat sangat berkelas dengan kemeja abu-abu dan jas hitam, ditambah salah satu sisi rambutnya yang disisir ke belakang—oh, sial. Apa semua pengacara memang memberi kesan seperti ini? Katsumi rasa tidak.

"Hideaki—hei—".

Cengkraman pelan di pipi gembil Katsumi menarik wanita itu kembali pada realita. Sadar akan posisi yang menghimpitnya, ia memilih memberi tatapan tanya pada Tomokazu dari pada buka mulut untuk menyahut. "Lihat aku,". Netra hitamnya mengunci pandangan perempuan berambut panjang itu, menghisap daya yang tersisa untuk mencegah pria itu berbuat lebih jauh. Katsumi tidak yakin mampu menghentikan Tomokazu setelah ini. Pria itu telah—lagi-lagi—membelenggu dirinya dalam perasaan yang tak menentu, membuat dirinya kepanasan dan bingung.

"Ngh—". Katsumi melunak, ia menggeliat kecil kala telapak hangat pria itu mengusap pipinya. Kelopak mata setengah turun, samar menyaksikan tubuh Tomokazu yang merapat turun—sebuah usaha untuk menihilkan jarak yang terbuat. Ibu jari kanan mengusap bibir wanita itu, menggodanya terlebih dulu sebelum memunculkan tanya serupa bisik,

"Can I kiss you?". Katsumi merinding, tidak menyangka akan mendengar kalimat yang biasanya diucapkan hero dalam komik perempuan itu keluar dari mulut seniornya. Dan lagi, dilakukan di depan daun telinga tidak membuatnya makin baik. Katsumi spontan menggeleng dan memajang wajah menolak. Matanya mengatup, merasa akan sangat malu kalau-kalau beradu tatap dengan seniornya itu.

"Kenapa?".

Kelopak mata memilih terbuka, mengintip Tomokazu yang belum berubah posisi. "Um—". Katsumi berpikir dalam kepala, mengira-ngira hal logis macam apa yang harus ia utarakan pada Tomokazu sebagai alasan. Ia rasa, kalimat semacam 'tidak ingin' belum cukup untuk memuaskan seniornya. Terlebih melihat bagaimana nakalnya kerling mata pria itu—Katsumi tenggelam dalam geming tanpa membalas Tomokazu yang menanti.

"Hmm?". Laki-laki itu kembali bersuara rendah, menagih jawaban perempuan yang terbaring pasrah di bawah kungkungan yang ia buat. Tomokazu tidak berhenti disitu, jemarinya kembali berulah—menggoda saraf-saraf wajah Katsumi hingga dua pipi wanita itu merona. "I—Itu—". Tomokazu mendengus melihat reaksi Katsumi yang baginya menyenangkan, ia tidak berbuat apapun selain merendahkan tubuhnya agar wanita itu tetap berada dalam jangkauannya. Kala kedua lengan telah membatasi kebebasan tubuh Katsumi—Tomokazu melakukan hal yang sama pada salah satu bagian wajah yang sejak tadi ia tuju.

Katsumi tidak (bisa) menghindar saat sebuah kecupan pelan Tomokazu mampir di atas bibirnya, bersentuhan dengan salah satu bagian yang ia jaga selama hidup. Dimiringkannya kepala untuk merampas lebih banyak lagi akal sehat Katsumi yang sudah berantakan. Tidak tanggung-tanggung, pria itu menggunakan lidahnya untuk turut membuatnya mabuk kepayang karena memang, tiada satupun bagian dari Tomokazu yang tidak menyebalkan.

Jujur, Katsumi kesal sebab ia terkejut bukan karena pria itu menciumnya secara tiba-tiba—namun, Katsumi tidak pernah menyangka bila bibir yang gemar meledeknya itu terasa sangat lembut dan hangat hingga ia bisa dibuat meleleh kalau berlama-lama beradu. Terlebih, ia sadar ada beberapa suara yang tak perlu, lolos begitu saja dari mulutnya. Ugh, terkutuklah kau, senpai.

Beberapa detik bertukar afeksi, Tomokazu menyudahi dan sedikit menjauh. Ia memberi ruang bagi Katsumi untuk mengisi kembali paru-parunya dengan oksigen seraya memandang puas wanita yang kepayahan dengan napasnya. Mulutnya menganga, dengan rakus meraup udara yang Tomokazu rebut lewat ciumannya. "Kau payah," katanya, mengejek. Wanita itu cemberut. "Ma—Mau bagaimana lagi—!" pekiknya, kemudian dibalas isyarat telunjuk pria itu yang tertempel di depan bibir, pertanda untuk tidak meninggikan suara.

Cepat-cepat Katsumi mengendalikan diri, kemudian membuang muka yang merah karena menelan malu. "Tadi itu—yang pertama, tahu..." akunya dengan suara yang lebih kecil setelah beberapa saat, telapak kanannya melindungi mulut. Ia merasa sangat bodoh telah membuat momen ciuman pertama jatuh pada manusia macam Sugita Tomokazu—orang yang memanggilnya hanya dengan alasan bosan. Bukankah hal seperti itu harusnya disimpan untuk orang yang kau cintai dan dilakukan dalam suasana yang romantis?

Yang benar saja, Katsumi.

Tak lama, kekehan terdengar dari pihak lawan. Tomokazu—dengan santainya—meraih dagu wanita itu dan meminta Katsumi untuk menatapnya, lagi. Disingkirkannya rambut yang menghalangi dahi wanita itu, sebelum ia mendekat dan memberi kecupan singkat di atasnya—entah dengan maksud apa. "He—Hei!" si empunya badan protes, ia mendorong pelan dada Tomokazu yang masih tertutup kemeja. Walau sedikit, ia membuat jarak yang cukup untuk membuat pria itu tidak dekat-dekat dengan wajahnya.

"Kau tidak suka?". Pria itu bertanya, persis dengan nada yang ia pakai saat mereka di perpustakaan setahun yang lalu. Alis Katsumi berkerut. Ia—lagi-lagi—belum bisa menjawab pertanyaan Tomokazu setelah tiga ratus enampuluh lima hari lewat dari kejadian itu. Cukup lama Katsumi terpaku dalam diam, membuat laki-laki yang lebih tua dua tahun darinya itu menarik kesimpulan dengan seenaknya. Ia melipir dari atas tubuh Katsumi yang berbaring, duduk di sampingnya seraya membenarkan kemejanya yang kusut. "Aku anggap itu sebagai iya," kata Tomokazu, melempar senyum pada Katsumi yang belum bangkit.

Ia sendiri tidak ada niat untuk meralat pemikiran Tomokazu mengenai respon yang ia beri—sebab pria itu tidak sepenuhnya salah. Ia tidak suka dengan tindakan pria yang kerap meledek dan mempermainkannya itu, seolah ia adalah sarana hiburan bagi Tomokazu pada masa-masa jenuhnya. Katsumi juga sebal karena pria itu dengan seenaknya menjamah apa yang menjadi harta bagi dirinya—siapa yang suka dengan hal seperti ini?

"Kalau aku meneruskan, mereka bisa menjeratku dengan pasal pelecehan,". Pria itu berbalik, kembali memandang Katsumi yang enggan bangun. Melihat wanita itu masih betah berlama-lama di atas selimut yang beraroma persis seperti dirinya—ia merasa akan kehilangan akal sehat kalau membiarkan Katsumi lebih lama disana. "Bangunlah. Aku akan mengantarmu ke kantor,".

.

.

.

Setelah kembali merapikan rambut dan pakaiannya, Katsumi melangkah mengikuti Tomokazu yang berjalan lebih dulu. Sepanjang jalan mereka kembali ke tempat kerja, wanita itu tiada henti-hentinya memikirkan apa yang baru saja dialaminya siang itu. Sebuah peristiwa bodoh, dimana ciuman pertamanya dicuri oleh seorang senior—yang memanggilnya setelah setahun tidak pernah tatap muka. Motivasi macam apa yang memicunya untuk datang dengan kesadaran penuh?

Dan

apa-apaan rasa kecewa yang terbesit karena Tomokazu tidak melanjutkan?

.

.

.

Selesai~ (atau enggak?)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro