24. PESAN TERAKHIR AYAH (END)
Dua pekan berlalu, suasana rumah masih tetap sama, sunyi dan dingin. Tak ada suara ribut Abi, atau pertengkaran Neal dan Pandu. Semua benar-benar sepi. Setelah kepergian Rafiq, Pangestu memilih menetap di kontrakan bersama Neal. Meski sesekali akan datang dan menginap sebentar, pemuda itu sama sekali tidak berniat untuk tinggal. Ia sudah terlalu sakit melihat tatapan Abi pada Neal. Ia sudah terlalu kesal dengan sikap Pandu yang plin-plan.
Selama dua pekan kepergian Rafiq, baru dua hari lalu kakek dan nenek dari ayah mereka datang. Awal yang baik pikir Pangestu ketika pemuda itu melintas di depan teras, memandang heran pada dua orang paruh baya yang menatap lekat kediaman mendiang ayahnya.
Pangestu tahu, ia bukan anak baik di mata kakek dan neneknya, tetapi ia masih sadar untuk tidak kurang ajar pada mereka yang jelas jauh lebih tua. Ia hampiri kedua paruh baya itu dan menyalami kedua punggung tangannya bergantian. Tak lupa, Pangestu juga memberi sapa juha senyum seraya basa-basi karena memang tidak pernah terpikir sedikit pun sebelumnya.
Ia pandangi keduanya, walau sebenarnya ada rasa yang sulit dijelaskan dengan cara apa pun. Namun, tiba-tiba saja lengannya dirangkul erat oleh seseorang ketika pandangan matanya masih menatap lekat ke arah kakek juga neneknya.
Pangestu terkejut, ia pun menoleh ke belakang, lalu kembali memandang kakek dan neneknya yang juga sama terkejut, tetapi, kedua paruh baya itu justru memandang datar tanpa berkata apa pun.
"Mas," lirih suaranya membuat Pangestu mengusap pelan lengan yang kini semakin erat melingkar pada lengannya.
"Kamu sudah besar ternyata, siapa namamu?" tanya Kakek, lelaki paruh baya yang sama sekali belum pernah melihat Neal sejak anak remaja itu lahir.
Neal memandang ragu, anak itu juga menatap sejenak ke arah Pangestu, lalu kembali memandang ke arah kakek dan nenek setelah mendapat anggukan kecil dari Pangestu.
"Neal," balasnya pelan.
Nenek mengangguk, tetapi pandangannya beralih pada Pangestu yang diam seperti patung bernyawa. Pemuda itu seakan tak ingin membuang energi, walau hanya bertanya atau bertegur sapa jika akhirnya akan me
mbuat panas suasana hatinya.
"Di mana Diki? Dia di sini, kan?"
"Mas," pelan suara Neal tak pernah bisa membuat Pangestu tenang, pemuda itu akan menoleh walau tatapannya tidak pernah ramah.
Namun, belum sempat menjawab, suara lembut Diki terdengar dari arah belakang, bahkan lelaki yang tingginya hampir sama dengan Pangestu itu pun berjalan menghampiri mereka. Dengan senyum manis, lelaki itu menyalami punggung tangan kedua orang tuanya. Tak lupa, lelaki itu juga mencium kedua pipi ibunya dengan hangat dan memberi peluk rindu pada sang ayah.
Sementara Pangestu dan Neal hanya memandang saja, merasa jenuh, tetapi mereka tak mungkin pergi begitu saja tanpa pamit.
"Pa, Ma, kalian di sini? Dari tadi?"
Diki bertanya, tetapi kedua mata lelaki itu memandang lembut ke arah kedua keponakannya. Lalu kembali memandang orang tuanya bergantian, sambil menunggu jawab, lelaki itu juga memilih untuk menarik koper bawaan yang ada di sisi sang ayah.
"Kita ngobrol di dalam aja, yuk. Hari ini aku libur, sambil nyantai sama anak-anak juga, Mama sama Papa, mau menginap di sini, kan?"
"Aku pikir mereka tadi tetangga, ternyata mereka anak-anak Rafiq, tidak heran."
Diki hanya tersenyum, ia sangat tahu bagaimana ibunya yang kurang mendukung hubungan kakak dan juga kakak iparnya. Tetapi, di sisi lain, Diki merasa terluka juga kecewa setiap kali sang ibu menolak kehadiran anak-anak Rafiq. Padahal, wanita paruh baya selalu menanyakan kabar cucu-cucunya secara diam-diam lewat orang yang dia tugaskan ketika Diki tak ada.
"Ma, aku rasa ini bukan saatnya Mama menolak mereka. Mereka anak Bang Rafiq, cucu Mama sama Papa. Meski mereka lahir dari rahim wanita yang Mama tidak dukung hubungannya, tetap aja Ma, mereka keponakan aku, anak Bang Rafiq."
Mendengar suara tegas Diki, wanita paruh baya itu menghentikan langkahnya tepat di depan pintu utama kediaman mendiang Rafiq. Tatapannya yang tajam, membuat wanita itu semakin ditakuti, apalagi mendengar nada bicaranya yang ketus menusuk hingga ke hati, tak heran jika Pangestu tak begitu suka.
Ia bahkan memilih berdiri sedikit jauh, tak ingin mendengar apa pun meski telinganya tak bisa dibohongi untuk tidak mendengar.
"Mama heran sama kamu, Dik, mereka itu anak Abangmu, kenapa kamu se-sayang itu sama mereka dan berani menentang keputusan Mama?" tanyanya.
"Karena aku yang ikut mengurus mereka dari mereka kecil, disaat yang lain membutuhkan dukungan kedua orang tuanya, tapi Abang nggak melakukan itu. Padahal aku tahu, dia begitu kerepotan waktu ngurus empat orang anak sendirian. Apa Mama pernah tanya, gimana keadaan Abang waktu itu? Apa Mama pernah tanya, gimana keadaan anak-anaknya padahal, saat itu istrinya baru aja meninggal," jawab Diki.
Lelaki itu tak kuasa menahan sesak, sudah cukup lama setelah kepergian kakak iparnya, Diki sesekali datang bahkan menginap untuk membantu sang kakak dalam mengurus segala hal termasuk mengurus anak-anaknya. Ia tahu bagaimana repotnya Rafiq saat itu. Dan setiap kali mendengar ucapan sang Ibu, Diki kembali mengingat masa paling sulit yang pernah dialami oleh sang kakak.
Kepalanya seakan terhantam batu besar, begitu sakit dan begitu sesak, tetapi ia kembali memandang wajah ibunya yang kini terlihat tenang tanpa rasa bersalah apalagi sedih. Bahkan tak jauh berbeda dengan sang ibu, ayahnya pun demikian. Lelaki paruh baya itu sama sekali tak memalingkan wajahnya ketika memandang dua pemuda yang berdiri tak jauh dari tempat mereka.
"Ma, sekarang mereka udah nggak punya orang tua, bahkan kerabat dekat yang mereka punya pun di sini nggak ada, apa semarah itu Mama sama Bang Rafiq ? Apa Mama sangat kecewa sama Abang?"
Diki sudah tak lagi sanggup menahan gejolak di dada, ia juga sudah lelah melihat perang dingin antara Rafiq juga kedua orang tuanya, tetapi hatinya selalu menolak kebenaran. Padahal, sebenarnya Rafiq diam-diam selalu mengirimkan uang lewat rekeningnya yang selama ini Diki gunakan untuk kebutuhan rumah. Walau demikian Diki tahu, kalau kakaknya sama sekali tidak membenci apalagi marah pada kedua orang tuanya, ia hanya kesal, meski berakhir tak seindah yang dibayangkan.
Setelah mengatakan isi hatinya, Diki memilih meletakkan koper yang sempat ia bawa, lalu melangkah mendekat ke arah Neal dan Pangestu. Lelaki itu seakan tak lagi peduli apa yang akan orang tuanya katakan, meski hatinya begitu sakit, ia juga tak bisa mengabaikan keponakannya.
"Kita ke dalam aja, kalian istirahat kasihan Neal baru pulih," kata Diki.
Di sela obrolan kecil antara Diki dan kedua pemuda di depannya, Nida, Ibu dari lelaki itu pun berbalik sambil memegang ke arah tiga orang laki-Laki yang begitu akrab di sana.
"Apa aku sudah begitu jahat pada mereka, Pa?" tanyanya pelan. Walau tak menoleh, pria di sebelahnya hanya diam dan mendengarkan saja.
"Apa aku sudah begitu jahat, sampai mereka tumbuh besar seperti sekarang, aku tidak ada. Apa putraku masih bisa memaafkan aku?" katanya lagi.
Wanita itu menunduk, tanpa sadar air matanya mengalir begitu saja. Ia tahu, apa yang dilakukannya mungkin salah, tetapi ia tidak pernah membenci walau sedikit saja. Wanita itu hanya kesal pada dirinya yang tidak tahu caranya mengucap sayang, padahal sangat ingin.
"Nenek mungkin lupa, sebenarnya Ayah sama sekali tidak membenci Nenek, meski Ayah kecewa dengan keputusan Nenek, tapi Ayah tetap memilih Nenek sebagai cinta pertamanya."
Mendengar ucapan itu, Nida, menoleh ke belakang, wanita itu memandang sosok pemuda tampan yang wajahnya begitu mirip dengan Rafiq. Ia juga buru-buru menghapus jejak air matanya, tak hanya Nida, suaminya pun cukup terkejut, meski tak banyak bicara lelaki paruh baya itu tahu, kalau pemuda tampan yang kini sudah berada di antara mereka adalah anak sulung dari mendiang Rafiq.
"Maaf saya mengagetkan. Sudah lama tidak berjumpa, apa Kakek masih ingat dengan saya?" tanyanya seraya menyalami punggung tangan sang kakek.
"Cucuku, Pandu. Kamu sudah semakin dewasa saja," balasnya.
Pandu terkekeh, pemuda itu menggeleng, lalu menatap kedua paruh baya itu bergantian. Ia tidak tahu sudah berapa lama mereka berdiri di depan teras, tetapi ia sadar saat kedua matanya menangkap pemandangan lain di depannya.
"Saya rasa udara sore kurang baik untuk kalian, mari ke dalam, kita mengobrol. Om Diki juga sudah hampir dua pekan menginap," ucap Pandu. Ia juga menuntun kakek dan neneknya masuk hingga sampai di ruang tamu, Pandu mempersilakan keduanya untuk duduk.
"Duduk dulu, akan saya buatkan minuman segar, pasti Kakek dan Nenek lelah setelah perjalanan jauh," ucap Pandu.
Tak ada sahutan, hanya tatapan bingung juga takjub saat memandang kepergian Pandu, ketika pemuda itu melangkah meninggalkan ruang tamu.
"Bagaimana bisa?"
"Apa?"
"Bagaimana bisa Rafiq membangun rumah sederhana, tetapi begitu nyaman untuk ditinggali, bagaimana bisa Pa?"
Wanita itu terus berbicara, seakan tak habis pikir dengan kerja keras anaknya yang selama ini hidup tanpa dukungan sedikit pun dari mereka. Dan saat mereka datang, justru kabar duka yang didapat. Mereka. Begitu terkejut saat Diki mengabari, tetapi hati tidak bisa berbohong, kalau sebenarnya mereka begitu terluka apalagi selama ini Rafiq hidup jauh dari keluarga dan sanak saudara.
"Rafiq itu cerdas, dia tahu apa yang harus dia lakukan. Hidup sebagai duda menjaga empat buah hati, itu semua tidak mudah, tapi kita justru menganggapnya sebagai musuh. Aku pernah bertanya padamu, kan sebelumnya?'
Nida, wanita itu terdiam saat suaminya mulai angkat bicara. Padahal sejak tadi lelaki itu diam saja ketika Diki melayangkan amarahnya.
"Aku rasa, kamu belum terlalu tua untuk melupakan bagian penting dari putramu sendiri, Nida."
Tambahnya, lelaki itu mengambil napas panjang lalu ia embuskan perlahan. Lalu menoleh ke arah wanita cantik yang sudah tak lagi muda duduk di sebelahnya.
"Aku memang lelaki lemah, tidak seperti Rafiq. Bahkan, saat kamu sakit, rasanya setengah dari seluruh hidupku hilang begitu saja. Namun, saat aku melihat Rafiq yang begitu mencintai istirnya, aku sadar satu hal," katanya pelan.
Nida menoleh, memandang lekat ke arah suaminya yang kini tengah tersenyum manis saat memandangnya.
"Sehebat apa pun aku, Rafiq telah membuktikan kesetiaannya. Anak itu telah membuatku mengerti akan perjuangan, bahkan di saat istirnya berpulang, anak itu sama sekali tidak memikirkan hal lain apalagi untuk menikah. Dia berusaha menjadi orang tua tunggal bagi empat anak laki-laki yang luar biasa. Apa kamu tidak melihat tadi, ketika kita datang?"
"Apa?"
"Nida, apa kamu lupa, sebelum ini Rafiq datang ke rumah dan bicarakan soal putra bungsunya."
"Aku..."
"Tidak, Aku tahu kamu menyukai anak itu, bahkan kamu memintanya untuk tinggal bersama kita, tetapi apa? Rafiq menolak mentah-mentah dan mempertahankan anak itu hingga kini, anak itu tumbuh dewasa, apa kamu tidak lihat bagaimana perjuangan putramu?"
"Mas."
Lelaki itu menggeleng, lalu menggenggam tangan sang istri dengan lembut." Kali ini, biarkan aku bicara sesuatu tentang Rafiq, padamu."
Kedua mata Nida mulai terasa panas, seakan ada sesuatu yang masuk ke dalam matanya.
"Rafiq tidak pernah meninggalkan kita, bahkan setelah dia menikah, anak itu selalu berusaha untuk tetap ada bersama kita. Dia selalu datang dengan istrinya, sampai akhir hidupnya, Rafiq selalu bertanya, apa ibunya yang cantik ini sudah makan, atau bagaimana keadaan ayahnya. Dia tetap putra kita, dia tidak pernah lupa dengan rumahnya, tetapi kita lah yang justru membuatnya terbuang di saat dia membutuhkan. Kalau aku menjadi dia, mungkin aku sudah mati muda. Ingat Nida, mengurus empat anak seorang diri itu tidak mudah, tetapi anak kita berhasil mendidik mereka dengan baik. Apa kamu tidak ingin melihat cucumu memanggil nenek?"
"Tapi Mas?"
"Kali ini, tolong hilangkan semua rasa benci juga kecewamu itu. Bahkan jika kamu menolak pun, mereka telah hadir ke dunia, meski ibu mereka bukanlah pilihanmu. Tetap saja, darah yang melangit di tubuh mereka adalah darah Rafiq, dan mereka cucu kita."
Belum sempat menjawab, suara Pandu kembali terdengar seraya meletakkan dua cangkir teh hangat di atas meja. Pemuda itu pun ikut bergabung dan duduk bersebrangan dengan kakek dan neneknya.
"Silakan, selagi hangat, "kata Pandu pelan.
"Pandu, apa kamu ingin Neal tetap di sini?"
Tanya Nida tanpa basa-basi. Melihat Pandu rasanya ingin sekali langsung bicara. Padahal sejak tadi diam dan berbicara seperlunya saja dengan sang suami.
"Kenapa tiba-tiba, maksud saya kenapa Nenek bicara begitu?"
"Aku ingin membawanya pergi dari sini."
Tanpa berpikir, Nida langsung mengambil keputusan. Wanita itu juga tidak mengalihkan pandanganya dari Pandu. Pemuda itu menatap bingung, karena kali pertama Neneknya meminta. Dan itu untuk Neal.
"Nggak bisa!"
Lagi dan lagi, suara lain menyahut kali ini dari arah pintu utama dan juga dari arah tangga. Di sana ada Pangestu, Neal, Diki dann Abi. Pemuda satu itu baru saja turun dari kamarnya.
"Neal tetap tinggal di sini. Aku yang akan mengurusnya. Aku juga yang akan menjaganya, aku masih sanggup membiayai kebutuhannya. Aku rasa ini Pesan terakhir Ayah agar kami tidak pergi ke manapun."
Bantahan Pangestu membuat yang lain diam, begitu pun dengan Diki. Lelaki itu hanya bisa membuang napas kasar, karena sejak mereka di luar pun Pangestu terus berdebat. Bahkan pemuda itu tak segan untuk memukul Om-nya sendiri, beruntung Neal bisa melerai. Dan ketika mereka hendak masuk ke dalam rumah, suara Nida begitu mencuri perhatiannya.
"Kamu hanya anak kemarin sore, mana mampu?"
"Aku tahu aku nggak sehebat Ayah, tapi aku tahu caranya untuk menghargai pengorbanan tanpa harus menjatuhkan. Aku cuma mau membanggakan Ayah, bukan ingin mengecewakannya. Aku Kakaknya, aku berhak atas adikku."
Nida terkekeh, wanita itu menunduk sejenak, lalu berdiri dari tempatnya, tanpa menoleh, wanita itu memandang ke arah Abi.
"Dia Abiyu, anak ketiga putraku yang begitu pandai menyembunyikan wajahnya. Kalian harus tahu, tiga hari sebelum Ayah kalian meninggal, Abi datang menemui ku. Dia yang memintaku untuk menjemput Neal," katanya.
Sementara Abi membeku di tempatnya. Ia ingat, ia juga tahu apa yang dilakukannya saat itu karena terbawa emosi. Namun, ia tidak pernah tahu kalau kejadiannya akan separah saat ini. Belum lagi, ketika dirinya memandang ke arah Pangestu yang juga menatap ke arahnya dengan penuh amarah.
"Aku memang datang, sama seperti dulu saat Ayah kalian datang pada kami. Hal yang sama telah aku lakukan. Meminta Neal agar anak itu bisa hidup nyaman di rumah kami," katanya pelan.
"Tapi, aku tahu anak itu tak akan mampu bertahan lama karena jauh dari saudaranya, apalagi kamu, Pangestu. Kamu pemuda gila kerja yang selama ini selalu membuatku heran. Kamu sama seperti ibumu, keras kepala," lanjutnya.
Nida pun menoleh, memandang wajah Pangestu yang begitu kesal, bahkan pemuda itu terus menggenggam tangan adiknya yang kini berdiri di balik punggung tegap Pangestu.
"Terima kasih. Karena kamu telah menjaganya untukku. Aku tahu, Rafiq belum bisa memberikan kasih sayangnya pada adik kecilmu, tapi aku tahu bagaimana putraku berjuang untuk mempertahankan dia agar tetap hidup. Dia hanya tak tahu caranya menyayangi di saat hatinya hancur karena kehilangan."
Ucapnya ditutup dengan senyum tipis menghias wajah cantik meski sudah tak lagi muda itu. Bahkan wanita itu pun mengusap air matanya yang tanpa sadar terjatuh begitu saja.
"Nida," panggil sang suami.
"Aku tahu ini sudah terlambat, biarkan aku sampaikan pada mereka. Kalau sebenarnya mereka masih memiliki keluarga, bahkan ayah mereka sendiri yang meminta."
Kalimat terakhir yang wanita itu katakan mampu membuat Diki terdiam di tempatnya, begitu pun dengan yang lain, tetapi tidak dengan Neal. Anak itu justru melepaskan genggam tangan Pangestu lalu berdiri di sebelah pemuda itu.
"Aku tetap ingin di sini, bersama saudaraku Nek, karena aku tahu, tak ada hal yang bisa aku lakukan kecuali di rumahku sendiri. Tangan mereka sama seperti Ayah, terima kasih tapi maaf, aku nggak bisa pergi."
Mendengar ucapan Neal, Pangestu menoleh ke sisinya, ia langsung merangkul bahu adiknya dengan erat, bahkan anak itu juga sudah tertunduk dengan air mata yang menetes tanpa sadar.
Benar, pesan Rafiq hanya Neal yang dapat merasakannya. Itu yang selalu Pangestu ingatkan pada adik kecil kesayangannya.
⚓⚓
Yayy, akhirnya selesai juga. Terima kasih sudah berkunjung. Kisah Neal sudah berakhir tungguin spesial chapternya ya. Bye bye.
Tamat.
Publish, 8 Oktober 2024
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro