Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

23. Mengantar Ayah Pulang, Ya Mas

Hari itu, langit pun ikut menangisi kepergian Rafiq. Bukan hanya mereka yang bernyawa bahkan tumbuhan pun ikut layu, burung-burung yang biasa berkicau, kini terasa sepi, begitu pun dengan kucing kesayangan Abi yang biasa dekat dengan Rafiq ketika lelaki itu ada di rumah.

Kini, semua terasa sepi, tubuh kaku Rafiq sudah tertutup baju terakhir yang paling mahal. Kendaraan abadi yang hanya mampu ditumpangi satu orang. Seakan menambah suasana semakin sendu. Tidak tidak ada yang Pangestu lihat selain Diki dari keluarga ayahnya. Padahal, ia sangat berharap ada salah satu atau bahkan ibu dari lelaki itu bisa hadir.

Nyatanya, sepanjang hari, hanya ada para tetangga yang turut membantu, mulai dari pemandian hingga saat di mana tubuh kaku itu mulai dibaringkan ke dalam lubang sempit persegi. Pandu juga Pangestu sudah ada di dalam sana, mencoba menguatkan satu sama lain, tetapi hati mereka begitu sakit melihat papan penutup mulai terpasang usai kumandang adzan. Tak berselang lama, tanah pun mulai menutup dasar tempat tidur yang dingin itu. Sampai ke permukaan barulah Pangestu juga Pandu menancapkan papan nama paling baik di ujung tanah menggunung.

Sementara Neal, anak itu masih diam membisu, di antara puluhan pelayat hanya ada satu sandaran yang mampu membuatnya tenang. Pada bahu Abi ia menatap sedih gundukan tanah basah dengan taburan bunga di atasnya. Meski sakit, Neal tetap memilih jongkok setelah sebelah tangannya digenggam oleh Pangestu saat pemuda itu menariknya pelan.

"Ayah sudah tidur tenang, lo nggak perlu takut lagi."

Suara Pangestu yang begitu nyaman masuk ke dalam pendengaran itu, membuat Neal menatap lekat wajah kakak keduanya. Bahkan sebelum anak itu memilih menyandarkan kepalanya, pada bahu Pangestu. Padahal sebelum itu Abi sudah menawarkan diri, tetapi adik kecilnya tak merespon sedikit pun.

"Ayah udah sama Ibu, kan, Mas?"

Tentu Pangestu menganggu mendengarnya. Pemuda itu tak henti terus mengusap lengan adiknya berulang kali. Walau pegal, pemuda itu tak akan membiarkan Neal hanyut dalam kesedihan. Bahkan, sebelum ikut mengantarkan Rafiq pemuda itu sempat bertengkar dengan Abi. Beruntung ada Diki yang melerai, kalau tidak mungkin Neal sudah masuk rumah sakit saat ini.

"Ayah bahagia sama Ibu, ya?"

Lagi, Neal terus berbicara, walaupun tak ada satu pun di antara mereka yang mampu menjawab. Sementara para pelayat sudah mulai pergi meninggalkan usai memberi doa. Kini hanya ada Diki serta anak-anak Rafiq yang masih bertahan di sana.

"Ayah... Kenapa rasanya sakit banget, Mas?"

Pangestu memilih sedikit menunduk saat Neal bertanya seolah pertanyaan itu harus di jawab dengan cepat. Tetapi, ia yakin kalau adiknya sedang ingin bicara tanpa perlu dijawab apa pun oleh siapa pun.

Bahkan, hari sudah semakin terik, matahari yang semula hilang kali ini muncul dengan begitu semangat. Seolah memberi salam pada penghuni bumi. Saat Neal menatap ke langit, ia menemukan sesuatu yang paling indah di atas sana. Awan putih di langit biru, telah memberi sebuah jejak akan sosok Rafiq. Tak sadar bibirnya melengkung ke atas dengan sempurna, membuat Abi heran melihatnya.

"Mas, Ayah nggak pergi, Ayah ada di langit paling tinggi."

Mendengar ucapan Neal, pandangan mata Pandu yang sedari tadi memandangnya ikut menatap langit, pemuda itu juga tersenyum, memerhatikan burung-burung terbang di atas sana. Lalu kembali menatap wajah adik-adiknya satu per satu.

"Setelah ini, tinggal di rumah bersama," kata Pandu.

Neal menolehkan kepala, masih ragu saat kedua matanya menatap wajah tegas Pandu juga Abi bergantian. Anak itu seakan takut jika harus kembali ke rumah utama. Ia akan mengingat banyak hal terlebih dengan sosok Rafiq.

"Neal biar sama gue," suara Pangestu memberi jawaban.

Pemuda itu juga sudah berdiri dengan sebelah tangan terulur ke arah Neal. Sedang anak itu masih diam membisu memandang papan bertuliskan nama ayahnya. Ia masih belum percaya tetapi melihat tatapan tajam Abi, membuatnya teringat kembali beberapa lalu sebelum mereka berangkat mengantarkan Rafiq.

Neal menggeleng, lalu menatap tangan Pangestu yang sejak tadi terulur padanya. Tanpa ragu, Neal pun meraih tangan kakak keduanya lalu beranjak dan berdiri. Dengan lembut anak itu menatap wajah Pangestu. Walau sebenarnya Neal tahu, kakak keduanya tengah menahan kesal pada Abi.

"Gue sama Mas Pangestu aja, lain kali gue balik. Kalau gitu kita pamit, Mas, Bang."

Pandu mengangguk, pemuda itu tak keberatan meski hatinya sakit melihat tatapan sendu Neal pada rumah terakhir ayah mereka. Ia juga tak tega melihat bagaimana anak itu menangis sepanjang jalan. Meski tak terisak, Pandu memerhatikan setiap kali Neal mengusap air matanya. Namun, saat pandangannya beralih pada Abi, adik ketiganya, ia justru menghela napas berat. Mengingat kejadian sebelum pergi, Pandu merasa kesal sendiri.

"Hati-hati. Kalau sudah sampai, kabari."

"Nggak perlu lo bilang, gue tahu apa yang harus gue lakukan. mending lo urusi adek lo yang satu itu, lain kali punya mulut dijaga. Banyak orang, harusnya dia tahu tempat."

"Apa maksud lo!"

Tak terima mendengar ucapan Pangestu, Abi pun berdiri, kedua tangannya sudah terkepal kuat, siap untuk memberi peringatan, tetapi suara Neal lebih dulu melerai sebelum akhirnya Pangestu menarik paksa tangan adik kecilnya untuk menjauh.

"Kamu harusnya tahu, Bi."

"Gue tahu, tapi gue nggak bisa kalau Mas Pangestu terlalu dekat sama Neal. "

Bandu menunduk, ia menoleh ke arah Abi. Pemuda itu sudah seperti orang tak terurus berhari-hari. Bahkan pakaiannya tidak bisa disebut layak, karena sejak semalam pemuda itu terus menemani Rafiq.

"Mau sampai kapan? Semalam pun kamu mencoba untuk memisahkan Ayah dari Neal. Sekarang sudah terwujud, kan? Lalu mau apa lagi?"

"Gue benci Neal! Semua yang gue punya, dia ambil begitu aja. Lo tahu, kan, Mas? Gue sayang banget sama Ayah. Gue juga nggak suka setiap kali lihat Mas Pangestu dekat sama dia. Dia itu parasit yang nggak seharusnya hadir disaat gue bahagia sama Ibu dan Ayah."

Sesak di dada akhirnya pecah menjadi tangis yang sejak tadi tertahan, meski ia sudah berusaha menerima, tetap saja isi kepalanya masih belum mau menerima apalagi hatinya. Sejauh ini, Abi hanya berusaha untuk menjadi sosok kakak dalam sebuah status, tidak benar-benar ingin mendekat. Mengingat pesan Rafiq, Abi hanya menggugurkan kewajibannya. Padahal dalam sanubari pemuda itu sama sekali enggan dekat ataupun menjadi sosok yang selalu ada.

Dengan pelan Pandu menarik tangan Abi, pemuda itu tak peduli lagi apa yang akan Abi lakukan saat dirinya memeluk tubuh gemetar adik ketiganya. Meski kesal, Pandu tetap seorang kakak yang kini sudah memiliki peran penting bagi adik-adiknya. Ia adalah kepala keluarga menggantikan sang Ayah. Bebannya sudah bertambah, tetapi tujuannya masih belum tercapai.

"Neal tetap anak Ayah dan Ibu. Dia adik kita, dia orang yang paling terluka sejak lahir. Apa kamu pernah berpikir sampai ke sana?"

"Tapi kenapa, Mas?"

Lirih suara Abi membuat Pandu semakin mengeratkan peluknya. Ia tak tega, belum lagi tempat pemakaman sudah sepi. Hanya ada mereka berdua di sana. Bahkan langit yang semula cerah, kini kembali mendung serta meninggalkan jejak rintik pada aspal kering.

"Menangis sepuas yang kamu ingin Abiyu, tapi kamu harus ingat baik-baik. Di dalam kehidupan ini, tidak ada yang abadi. Tidak ada yang mampu menentang takdir yang sudah di tuliskan dalam buku catatan masing-masing," ucap Pandu dengan lembut pemuda itu mengusap punggung Abi.

Adiknya yang satu itu memang sedikit manja juga sedikit keras kepala. Ia tak akan mau mengalah walau sebentar. Ia juga tak bisa melihat Neal tersenyum padahal, hanya pada Pangestu adik kecilnya mampu bersuara lebih banyak. Meski tahu Pangestu tidak banyak bicara kalau berada di rumah.

"Dengar, siapa pun Neal untuk kamu. Dia tetap adik, juga anak Ayah dan Ibu. Di dalam tubuhnya ada darah yang sama dengan kita. Sekesal apa pun kamu pada Neal, dia hanya anak remaja yang masih butuh bimbingan, tetapi kamu sebagai kakaknya, harus bisa membawa diri menyesuaikan sikap di mana pun kamu berada."

Abi terdiam, meski ia sudah tak lagi menangis, ia masih dengan setia mendengarkan Pandu. Meski begitu, Abi tetaplah pemuda lemah yang penuh dengan kekurangan. Ia bahkan tanpa sadar sudah membalas peluk hangat Pandu. Di dalam peluk itu Abi membenamkan wajahnya semakin dalam, membiarkan sisa air mata mengering dengan sendirinya.

"Tapi gue nggak bisa kayak Mas Pangestu, nggak bisa kayak lo juga, Mas."

"Tidak ada manusia yang mau memulainya tanpa harus berusaha, coba pikirkan bagaimana perasaan Neal sekali lagi. Dia sama seperti kamu. Bedanya, Neal sama sekali tidak pernah melihat sosok Ibu,  apalagi dipeluk, sedangkan kamu? Kamu sudah menikmati itu walau sebentar, setelahnya kamu ditemani Ayah, lalu Neal? Hanya ada Pangestu ketika dia kecil, hanya ada Pangestu meski dia sedikit malas, apa kamu pernah bertanya pada Neal atau Pangestu ?"

Sebuah gelengan kepala membuat Pandu menghela napas lega, setidaknya penjelasan yang tak seberapa itu bisa sedikit membuat adiknya mengerti tentang Pangestu untuk Neal. Meskipun sebenarnya Pandu juga iri, tetapi ia tak mampu bersaing dengan Pangestu.

"Setelah ini, kita kembali dan bicara baik-baik dengan Neal, bagaiman?"

Ucap Pandu setelah pemuda itu melepaskan peluknya lalu mengusap air mata yang masih terlihat pada kedua pipi Abi. Pemuda itu sedikit menunduk, malu rasanya apalagi harus dilihat oleh Pandu. Namun, tak ada hal yang lebih baik selain meluapkan kesal, biar Pandu kaku, Abi selalu percaya kalau kakak sulungnya bisa menjadi tempat bernaung.

"Makasih. Tapi nggak sekarang, Mas."

"Tidak masalah, saya tahu kamu masih kesal juga marah bukan pada siapa pun, hanya dirimu yang masih belum menerima semuanya. Kalau begitu, saya tunggu kamu di mobil, bajumu sudah basah jangan sampai Pangestu memarahi saya karena kamu demam."

Abi terkekeh mendengar ucapan Pandu yang begitu kesal jika sudah dimarahi Pangestu. Padahal, manusia yang lebih berkuasa atas segalanya setelah Rafiq adalah Pandu, tetap saja pemuda itu akan kalah dengan amarah Pangestu jika sudah berkaitan dengan adik-adiknya.

Mengingat ucapan Diki saat dirinya tersadar sebelum berangkat mengantarkan Rafiq, lelaki itu sempat membagi kisah masa kecil mereka berempat, apalagi setelah kepergian ibu mereka. Sosok Pangestu jauh lebih dewasa dari Pandu. Abi saja sampai tak percaya kalau sebenarnya Pandu dan Pangestu memulai perang dingin karena dirinya, ia sendiri tak ingat. Yang Abi tahu, Pandu jauh lebih baik dari Pangestu.

Kali ini Abi tak ingin mengingat apa pun selain memulai dengan baik serta berusaha menerima juga meyakinkan diri untuk tidak membuat Neal menangis. Ia pun memilih melangkah setelah memastikan kalau rumah ayahnya baik-baik saja. Dalam diam Abi hanya tahu kalau dirinya harus bisa menerima Neal.

"Maaf, Yah. Abi harus pulang."

🐥🐥

Hallo, kembali lagi dengan Neal. Anak gantengnya Ayah Rafiq. Gimana? Udah melayat belum? Makasih sudah berkunjung. Sebentar lagi kisah Neal akan berakhir jangan lupa tinggalkan jejak supaya Neal lebih kuat lagi. See you di next chapter. 🥰🥰


Publish, 30 September 2024.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro