22. Temani Ayah, Sebentar
Malam memang telah berlalu, tetapi jejak akan malam itu seolah ikut serta saat pagi menyapa. Tepat subuh tadi, suara menggema Abi mengejutkan yang lain, termasuk Neal. Anak remaja itu terbangun meski matanya masih sangat berat untuk terbuka. Tidak tahu apa yang dilakukan Abi, sampai pemuda itu berteriak seperti kehilangan barang berharganya saja.
Langkah kakinya ia bawa keluar melewati pintu kamar Pangestu, entah sudah terbuka sejak kapan, bahkan ia juga tidak mendapati kakak keduanya di dalam kamar. Sambil berjalan, sebelah tangannya sesekali mengusap kedua kelopak mata juga menutup mulut karena beberapa kali menguap, tanda rasa kantuk masih menghampirinya.
Meski masih begitu mengantuk, ia tetap menuruni anak tangga perlahan, tetapi langkahnya tiba-tiba terhenti saat pintu kamar ayahnya terbuka lebar, bahkan beberapa isak tangis mulai terdengar dari tempatnya. Ia terdiam tetapi langkahnya tetap ia bawa menuruni anak tangga sampai pijak terakhir barulah ia diam bagai patung.
"Om Diki," gumam Neal. Dadanya bergemuruh, perasaannya tiba-tiba saja gelisah.
Belum sempat bertanya, Neal justru dikejutkan dengan suara menggelegar Abi yang datang penuh amarah melangkah ke arahnya. Sementara Neal masih diam di tempatnya, melihat Abi dengan wajah serius juga kedua mata yang memerah.
"Gara-gara lo! Semua gara-gara lo, Neal!"
Ungkap Abi dengan lantang dan tegas, bahkan pemuda itu tak segan menarik piyama yang dikenakan oleh Neal. Anak itu tetap diam, tangannya sudah lemas, begitu juga dengan tubuhnya.
"Abi! Sadar," pinta Pangestu.
Pemuda itu mencoba melerai Abi agar tidak menyakiti adik kecilnya. Bukan hanya Pangestu yang khawatir, Diki pun demikian, ia baru sampai satu jam lalu saat Pandu menghubunginya. Terdengar suara tangis Abi dari sambungan telepon saat itu. Tak tahu apa yang sedang terjadi, baru tiba pun Diki tidak melihat Rafiq, hanya beberapa tetangga yang datang dan pergi.
"Dia itu hama! Dia yang buat Ibu pergi, sekarang Ayah, lo lihat, kan? Lo sendiri yang nuntun Ayah subuh tadi, kan?"
Abi menyerah, pemuda itu menangis pilu dalam peluk hangat Pangestu ketika pemuda itu berhasil melepaskan tangan Abi yang mencengkram kuat piyama Neal. Sementara si pemilik masih membatu di tempatnya. Ia masih belum paham apa yang terjadi, kalau bukan Pandu yang membawa langkahnya menuju kamar Rafiq. Pemuda itu merangkul bahu adik kecilnya cukup kuat, hingga keduanya telah sampai barulah Neal tersadar.
"Mas,"panggil Neal pelan.
Anak itu seolah sudah kehilangan pijaknya, hampir saja tubuhnya terhuyung ke belakang, kalau Pandu tak segera menahannya. Perlahan Neal duduk di atas tempat tidur Rafiq. Sebelah tangannya terulur untuk mengusap lengan sang ayah yang sudah dingin, bibirnya bergetar, kedua matanya perih dan panas.
"A-yah," panggil Neal.
Napasnya berat, seperti ada yang menahan tenggorokan hingga dadanya terasa sesak. Tangannya terus memegangi lengan Rafiq hingga akhirnya tangan itu mulai meraba bagian wajah dingin sang ayah dengan lembut.
"Kenapa Ayah nggak bilang, kalau sesakit itu. Ayah, kapal kita akan berlabuh, kan?"
Perasaan hancur juga kecewa itu sudah tak lagi bisa dijelaskan. Neal terluka, sama dengan yang lain. Anak itu bahkan sangat jarang mendapat usap lembut dari ayahnya. Bahkan, dipeluk juga di semangati pun sangat jarang. Ia tidak dendam, ia juga tidak marah, ia hanya kesal pada sikap Rafiq yang terkesan pilih kasih. Tetapi kini, kedua mata yang biasa menatap tajam ke arahnya sudah tertutup rapat. Bibir yang biasanya berbicara, kini bungkam selamanya.
"Ayah, Ayah pasti capek, ya? Maaf. Aku suka buat Ayah capek, tapi tolong bangun lagi, ya, Yah. Neal masih mau lihat Ayah."
Pinta Neal, anak itu sudah meletakkan kepalanya di atas dada sang Ayah. Sambil mengusap lembut dadanya, Neal kembali bersuara dengan bibir bergetar juga air mata yang mulai mengalir anak itu pun bercerita.
"Neal ingat, waktu Ayah ajari Bang Abi main catur, waktu jemput Mas Pangestu ke sekolah, dan temani Mas Pandu daftar kuliah. Ayah bilang ke Neal jangan nakal di rumah, walau sama Om Diki aja waktu itu. Padahal, Neal mau ikut juga."
Pelan sekali, tetapi siapa yang mengira, suara itu berhasil membuat Pandu yang masih berdiri di sisi tempat tidur ayahnya menahan air mata mati-matian. Sementara Pangestu tengah menenangkan Abi di luar sana, juga Diki dan beberapa tetangga lain tengah membantu mempersiapkan tempat pemandian juga tempat peristirahatan terakhir untuk ayah mereka.
"Ayah udah nggak sakit, kan? Atau Ayah masih kedinginan? Neal ambil selimut, ya? Ayah harus tetap hangat."
Tidak, Padu sudah tak tahan, pemuda itu pun mencoba menarik bahu Neal agar menjauh. Tetapi anak remaja itu masih bersikeras untuk tetap di sisi ayahnya.
"Sebentar Mas. Gue mau temani Ayah dulu, Ayah pasti kedinginan, Lo ambil selimut dong, nggak peka banget."
Pandu menggeleng, ia tetap berusaha menjauhkan Neal karena beberapa tetangga lelaki hendak mengangkat tubuh Rafiq untuk segera dimandikan.
"Jangan bawa Ayah! Ayah lagi sakit, Om!"
Pandu memeluk tubuh Neal agar adiknya tenang, ia sama terlukanya, sementara Neal mencoba memberontak sekuat yang anak itu mampu, tetapi tenaganya seakan telah terkuras habis oleh air mata.
"Mas! Lepas! Gue mau susul Ayah, Om itu nggak boleh bawa Ayah pergi! Gue mau temani Ayah, dia pasti kedinginan cuma butuh selimut, iya, butuh selimut."
Pandu menahan air matanya agar tidak jatuh setiap kali ia mendengar Neal bicara. Sesakit dan sekecewa itu ternyata. Jadi, selama ini Neal terluka bukan karena ulah siapa pun, ia hanya kesal, itu yang bisa Pandu rasakan saat tubuh adiknya mulai melemas. Bahkan anak itu hampir pingsan karena kehabisan tenaga.
"Ayah baik-baik aja, Neal."
"Ayah... Ayah, Mas. Gue sayang Ayah, tolong bilang sama Mas Pangestu gue mau ketemu Ayah."
Pandu mengangguk, saat seperti ini pun isi kepala Neal hanya ada Pangestu, apa sesakit itu perasaan adiknya? Apa setakut itu kehilangan Pangestu? Lalu dirinya? Dia di sana untuk menenangkannya, tetapi Neal justru mengingat Pangestu yang entah ada di mana pemuda itu dengan Abi.
"Saya di sini, tapi Pangestu yang kamu cari, apa sejahat itu saya sama kamu, Neal?"
Pandu hanya bisa menahan gejolak di dadanya karena ia begitu ingin Neal menyadari kalau dirinya juga begitu sayang pada anak itu. Tetapi, sekali lagi, semua itu pupus saat suara Pangestu mengalihkan pandangan Neal yang semua menatap kosong ke arah tempat tidur.
"Neal?" panggil Pangestu.
Pemuda itu melangkah lebar mendekat ke arah kakak dan juga adiknya, setelah memastikan Abi beristirahat di kamar atas beberapa menit lalu, ia segera berlari kecil menuruni anak tangga, bahkan beberapa pelayat yang melihatnya ikut meneriaki karena Pangestu terlihat tergesa-gesa. Sesampainya di lantai dasar tujuan utamanya adalah kamar Rafiq setelah jasad sang ayah di bawa ke tempat pemandian, ia pun masuk dengan langkah lebar mendekati adiknya yang masih berada dalam peluk Pandu.
"Mas," lirih. Lagi suara itu yang Pandu dengar, tetapi bukan padanya melainkan untuk Pangestu yang kini sudah menarik paksa Neal menjauh darinya.
"Maaf gue telat, Lo bisa tahan sekali lagi, kan? Kita temenin Ayah sampai rumah terakhirnya, mau?"
Pelan, tapi mampu membuat Neal mengangguk meski tidak menjawab, anak itu akhirnya menemukan nyaman yang sejak tadi dicarinya.
"Nggak apa-apa, Ayah sudah ketemu Ibu. Lo nggak perlu sedih lagi sekarang, ada gue di sini," ucap Pangestu pelan sambil mengusap kepala adiknya, pemuda itu juga sesekali menatap ke arah Pandu sebelum kakaknya pergi meninggalkan mereka.
"Makasih, udah mau nurut apa kata gue. Setelah ini, kita jalani semuanya dari awal, ya? Lo itu berharga, jangan buat Ayah sama Ibu kecewa lagi," ucap Pangestu, Neal hanya mengangguk, dalam peluk Pangestu.
"Maaf."
🐥🐥
Hallo ketemu lagi sama Neal, apa kabar? Semoga baik ya, jangan lupa tinggalkan jejak agar aku makin semangat nulisnya. Oh iya, ini Bab akhir sebelum tamat, jadi jangan lupa kasih stiker terbaik kamu ya. Terima kasih juga sudah berkunjung, sampai juga di chapter berikutnya 🥰🥰
Salam manis Neal. Bye bye
Publish, 08 September 2024
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro