Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

21. Malam Terpanjang

Seperti manusia bodoh yang harus mencerna banyak kalimat dalam satu waktu. Seperti itu pula Neal ketika tahu dirinya hadir karena perjuangan juga penolakan. Tidak hanya sekali, anak itu telah mendengarnya setiap kali duduk bersama Pandu saat mereka masih tinggal bersama. Kali ini, anak itu memilih menetap bersama Pangestu, menghabiskan waktu bersama kakak keduanya adalah keputusan terbaik untuk dirinya.

Mengingat ucapan Pandu juga Pangestu yang tak sengaja ia dengar sebelum kembali ke kamar kakak keduanya usai mengambil air minum.berdiri di balik tembok sambil memegang sebelah air, tatapannya tak pernah lepas dari sosok pemuda dengan postur tubuh yang berbeda.

"Mas?" Panggil lirih Neal saat anak itu membalik tubuhnya menghadap Pangestu.

Neal memang sudah sempat tertidur sebelum Pangestu masuk ke dalam kamar, tetapi anak itu terbangun ketika langkah kaki Pangestu membuatnya terusik.

"Kenapa?"

Pemuda dengan paras tampan itu berbaring telentang dengan kedua tangan terlipat di belakang kepala, sambil menatap lurus langit-langit kamar.

"Lo bahagia nggak punya adik kayak gue?"

Pelan suaranya membuat Pangestu menoleh sebentar, pemuda itu pun ikut memiringkan tubuhnya, dengan sebelah tangan yang lain terulur mengusap lembut sebelah alis milik Neal. Selain sikapnya yang tiba-tiba, senyum Pangestu pun selalu tiba-tiba terlihat di saat hati Neal gelisah.

"Gue nggak pernah bilang apa pun, kan?" ungkap Pangestu.

Pangestu memang menjawabnya, tetapi tatapan tajam juga sudut bibir yang semula terukir bagai sabit perlahan berganti bungkam.

"Mas?" panggil Neal pelan.

Pangestu menatapnya, tetapi bibirnya justru tertutup rapat seakan tak ada lagi kata yang ingin ia rangkai menjadi kalimat agar bisa diucapkan sebagai jawaban.

"Kenangan manis apa yang bisa buat Lo inget sama gue Mas?"

Bungkamnya Pangestu tak melunturkan rasa penasaran Neal sama sekali. Anak itu justru menghentikan pergerakan tangan sang kakak dengan menggenggam sebelah tangan yang sejak tadi memainkan alisnya.
Diciumnya tangan besar Pangestu sebelum anak itu kembali menggenggam  lalu ia bawa ke depan dadanya.

"Kata Ayah, nama itu berkah dan punya manfaat bagi mereka yang menerimanya, iya, kan, Mas?"

"Kenapa?

Kata yang muncul justru pertanyaan yang tak jelas. Pangestu terus menatap lekat wajah adik kecilnya dari jarak yang sangat dekat. Pemuda itu tetap diam walau ingin sekali menjauh. Tetapi, mau ia pergi pun Neal justru semakin mendekat bagai perangko. Menempel tak ingin lepas.

"Gue penasaran, kenapa Ibu kepikiran kasih nama 'Neal' padahal itu lebih cocok buat perempuan," jawab Neal.

Kedua matanya tak pernah lepas dari paras tampan sang kakak. Menatap sambil menggenggam tangan Pangestu sudah seperti candu untuk Neal. Seakan takut kehilangan dan takut ditinggalkan.
Sejak kecil Neal begitu jarang bersama Rafiq, bahkan Pandu sekali pun. Ia hanya dekat dengan Abiyu, tak jarang Pangestu hanya mengawasi.

Namun, sekarang rasa nyaman saat bersama Pangestu telah sedikit membuatnya lega, seakan Pangestu telah mengisi ruang kosong di hatinya. Walau tahu, sebagian ruang kosong lainnya masih di tempati Rafiq, lelaki jangkung yang beberapa jam lalu sempat membuatnya begitu khawatir. 

"Gue pernah dengar dari seseorang, katanya 'Neal' itu punya arti yang cantik dan manis. Dia romantis juga penuh kasih sayang. Dia baik. Yang paling penting, dia nggak pernah menyimpan dendam pada mereka yang udah jahat. Gue tahu, lo pasti paham apa maksud gue."

Neal yang masih terus memandang Pangestu sesekali mengerjap, memindai wajah kakak keduanya tak pernah bosan, walau dirinya seorang lelaki, tetapi perasaannya begitu lemah apalagi saat melihat senyum Pangestu.

"Makasih Mas, senakal apa pun gue,  lo orang yang paling paham gimana perasaan gue. Maaf kalau gue suka buat lo repot, apalagi buat lo darah tinggi."

Pangestu terkekeh, ia lupa anak remaja di depannya itu memiliki hati hello Kity yang begitu lembut, sedikit saja disenggol perasaannya, pasti mata teduh itu berubah sendu. Heran sekali Pangestu sebenarnya.

"Gue kasih tahu, Ayah itu cuma lagi salah jalan, padahal Ayah sayang sama lo. Ayah nggak pernah bilang kalau dia benci Lo lahir ke dunia, kan?"

Neal langsung menggeleng mendengar ucapan Pangestu. Pemuda itu memilih duduk sambil bersandar di kepala ranjang membiarkan Neal merebahkan kepalanya di atas pahanya.

Pegal, itulah yang Pangestu rasakan ketika posisi tidurnya terlalu lama miring. Sementara  Neal, anak itu justru memilih pindah posisi kepala, menjadikan paha sang kakak sebagai bantal. Meski sedikit kesal, tetapi Pangestu tak bisa melarang.

"Enggak. Ayah nggak pernah bilang kalau dia benci, cuma Bang Abi aja yang punya mulut kayak petasan."

Mendengar gerutu adik kecilnya, Pangestu tertawa, pemuda itu seketika terdiam saat ingatan masa kecilnya muncul. Ia melihat bayangan masa lalu bersama Rafiq, sang Ayah.

"Yah, Yah, Estu mau cokelat, Yah, boleh?"

"Gigimu baru tumbuh, kalau berlubang dan banyak kotorannya, bagaimana? Nanti saja, ya?"

Pangestu kecil menggeleng, anak itu terdiam tetapi bibirnya sudah melengkung ke bawah membuat Rafiq terkekeh. Lelaki itu tak bisa menahan diri untuk tidak mencubit pipi tembam Pangestu kecil. Anak lelaki keduanya yang begitu manis saat meminta sesuatu.

"Ayah."

Gumam Pangestu tanpa sadar air matanya menetes membasahi telapak tangan Neal yang sejak tadi  berada di bawah dagu sang kakak. Anak itu pun bangun dari tidurnya, mendekat lalu memeluk Pangestu begitu erat. Seakan tak ingin melihat kakak keduanya bersedih terlalu lama.

Mereka sudah seperti perangko, walau Neal sudah remaja, tetap saja anak itu manja pada kakak-kakaknya. Termasuk sang Ayah, meski tak sedekat bila bersama Pangestu yang setiap saat selalu bisa menjadi sandaran terbaik.

"Kita cuma punya Ayah, Neal. Kalau Ayah nggak ada, kita kayak penumpang tanpa nahkoda. Hampa dan bukan siapa-siapa. Lo paham, kan maksud gue?"

Tentu, tentu saja Neal paham maksud perkataan Pangestu yang satu itu. Bahkan selalu ia ingat, ketika dirinya mulai jauh dari Rafiq.

"Biar pun Abiyu dan Pandu masih lupa jalan tolong jangan buat diri Lo juga lupa sama jalan pulang. Rumah Lo nggak cuma sama gue, Neal. Masih ada Ayah, inget. Tangan gue, nggak sehangat genggam Ayah ketika Lo kedinginan."

Neal masih diam. Merasa punggungnya terus diusap oleh Pangestu membuat Neal teringat sosok Rafiq. Lelaki itu seakan tahu kapan dirinya terluka dan bahagia.

Benar, Neal hanya bisa memanggil nama Rafiq dengan sebutan 'Ayah' tak ada lagi yang bisa menggantikan posisi tertinggi itu  saat ini.

"Ayah."

Mungkin hanya itu yang saat ini bisa Neal gumamkan, seolah bibirnya menjadi kelu. Bahkan malam itu menjadi malam Terpanjang bagi Neal maupun Pangestu.

🍁🍁🍁

Hallo kembaliagi sama Neal. Apa kabar? Semoga selalu sehat ya. Terima kasih sudah berkunjung ke rumah Neal. Jangan lupa tinggalkan jejak supaya aku makin semangat nulisnya. Salam Manisa Neal.

Bonus pict Neal dan Mas Pangestu nih



Publish, 16 Agustus 2024 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro