20. Terima Kasih Yah.
Neal terdiam cukup lama setelah mendengar ucapan Pandu juga Pangestu beberapa jam lalu. Kedua kakaknya tampak cemas saat melihat raut wajah berbeda ketika sedikit rahasia tentang sang Ayah perlahan mulai Neal ketahui. Walau tidak banyak, setidaknya anak itu paham, bagaimana perasaan Rafiq sebenarnya. Memilih pun sudah tak mampu, mungkin itu yang ada di kepala Neal.
Beberapa jam berlalu, hari pun sudah mulai larut, bahkan cukup berbahaya bila pulang ke kontrakan pada jam malam apalagi membonceng Neal dengan mulut berisiknya. Sejak tadi anak itu juga diam saja memandang wajah Rafiq dari jarak cukup dekat. Tidak seperti biasa, anak itu tetap diam tanpa mengeluarkan kata, membuat Pangestu sedikit ragu apalagi bertanya perihal kepulangan.
"Nginep di sini, ya?"
Kedua mata Pangestu melebar sempurna saat sebelah tangan Pandu menyentuh bahu adiknya. Kata yang sulit diucapkan, bahkan sudah lebih dulu terlontarkan begitu saja oleh Pandu. Sementara Neal, anak itu masih tetap pada posisinya, diam bagai patung bernyawa. Hanya angguk kecil diberikan sebagai jawaban.
"Ayah kapan bangun, Mas? Udah lama Ayah tidur. Dia nggak capek?"
Pandu senang sebenarnya, tetapi kalimat yang Neal ucapkan seakan menampar pipinya dengan cepat. Pandu tak bisa menjawab, ia hanya bisa meraih tubuh adiknya lalu membawa ke dalam pelukannya.
"Masih kesal, ya?"
"Sedikit."
"Banyak juga tidak apa."
"Takut durhaka."
Pandu tahu, ia juga sadar adiknya sudah menahan tangis sejak tadi. Mana bisa Pandu biarkan air mata itu terjatuh dengan sia-sia.
"Pangestu bilang, kamu rajin saat di sekolah, jarang membolos lagi, kan?"
Neal menggeleng, kedua tangannya masih diam sempurna di kedua sisi tubuhnya. Walau tahu, Pandu memeluknya cukup erat, bahkan pemuda itu beberapa kali memberi kecup manis di kepalanya. Sedikit kesal, tetapi ia sudah terbiasa mendapat perlakuan manis itu dari Pangestu. Melihat sikap manis Pandu, menolak pun tak sanggup. Neal egois, tapi ia sadar Pandu bukan Pangestu yang dengan senang hati melakukannya.
"Gue udah nggak bolos, kok. Mas Pangestu bisa penggal kepala gue kalau bolos lagi, " balas Neal.
Serak. Begitu yang Pandu dengar, adiknya memang menangis, walau masih bisa menjawab pertanyaannya, tetap saja, Neal anak kecil yang manja juga cengeng bila diusik hatinya.
"Gue buatin susu hangat dulu kalau gitu."
Melihat Kakak dan juga adik kecilnya, Pangestu tak mau ambil pusing, pemuda itu pun segera beranjak pergi dari tempatnya menuju dapur. Sedang Abi, pemuda satu itu sudah terlelap di sebelah Rafiq. Dengan sebelah tangan yang terus menggenggam sebelah tangan Rafiq yang lain.
Sikap Abi tak lepas dari pantauan Neal. Anak itu terus menatap wajah kakak ketiganya, meski Pandu sedang memeluknya sekali pun.
"Kenapa Ayah nggak rawat jalan aja, Mas?"
"Mm.. maksud kamu bagaimana?"
Pandu tersentak, setelah Neal melepaskan peluknya, anak itu kembali duduk tegak dengan kedua kaki disilangkan, beruntung tempat tidur di kamar sang Ayah cukup besar dan bisa menampung mereka semua.
"Ke rumah sakit. Kenapa Ayah nggak periksa ke dokter, siapa tahu sakit Ayah ada obatnya, kan?"
Pandu menggeleng pelan. Pemuda itu saja belum tahu pasti, karena keras kepala ayah mereka yang sulit ditaklukkan. Mungkin jika Pandu hitung, malam ini sudah kesekian Rafiq pingsan.
"Ayah bilang dia cuma sakit lambung, kalau telat makan, asam lambungnya naik, kalau udah naik, bisa pingsan juga, bahkan sampai bisa pingsan kayak sekarang."
"Tapi wajah Ayah selalu pucat. Beneran cuma sakit lambung? Ayah suka bohong orangnya," sahut Neal.
Anak itu masih ingat bagaimana Rafiq pernah membohonginya waktu kecil. Kali ini Pandu terkekeh. Ia mana bisa tahan bila melihat wajah cemberut adik kecil di hadapannya. Biarpun Neal sudah SMA, rasanya masih sama saja di mata Pandu. Neal tetap anak kecil dengan isi kepalanya yang beragam.
"Kita bisa aja paksa Ayah jujur, tapi kamu tahu sendiri Ayah bagaimana kalau dipaksa, bisa habis ikan peliharaan saya di kolam ikan."
Neal tak lagi menyahut, anak itu memilih beranjak dari tempatnya, sebelum akhirnya Pangestu datang dengan segelas susu vanila di tangan kanannya.
"Mas! Malam ini gue tidur di kamar lo ya?"
Pangestu terkesiap saat Neal memeluknya erat, beruntung gelas berisi susu itu tidak tumpah.
"Lepas! Gue mau mati kalau lo begini."
"Jawab dulu, kata Mas Pandu boleh kok, iya, kan Mas?"
Pandu sebagai kambing hitam hanya bisa menghela napas. Mau berbohong pun tak mungkin, apalagi saat anak itu memeluk Pangestu begitu riang. Ada sesak di dada yang membuatnya panas. Bukan karena Pangestu, tetapi sikap Neal pada pemuda itu jelas berbeda ketika bersama dengan Pandu.
"Ya udah! Lepas, habis itu ke kamar bawa alat tempur lo sendiri, gue nyusul nanti."
Mendengar persetujuan Pangestu Neal segera melepas peluknya lalu berlari kecil meninggalkan kamar ayah mereka. Sementara Pangestu masih diam dalam posisi berdiri, tak lupa segelas susu vanila yang dibuatnya sengaja untuk Abi.
"Untuk Abiyu, kan?"
Pangestu hanya mengangguk saja saat gelas susu itu diraih oleh Pandu, sebelum pemuda itu kembali ke tempatnya, keduanya saling bertatap dengan tatapan tajam masing-masing. Cukup lama, hingga Pandu mulai buka suara usai meletakkan gelas berisi susu Valina ke atas bakas dekat dengan tempat tidur milik Rafiq.
"Malam ini tolong jangan ceritakan apa pun pada Neal. Ayah akan terluka nanti."
"Apa peduli gue? Itu urusan lo. Lo anak tertua, harusnya bisa bawa diri juga tahu posisi. Abiyu kayak sekarang, itu ada campur tangan lo juga, Mas. Gue ingetin, kalau lo lupa!"
Kesal memang. Selalu membahas hal yang sama setiap kali bertemu. Ingin menghindar dan tak peduli, tapi Pandu selalu memiliki cara untuk menahan langkahnya. Tak seperti Neal, anak itu sudah terlalu kecewa sampai disentuh saja seperti menolak.
"Saya berusaha untuk tidak memihak siapa pun," balas Pandu.
Suara khas Pandu yang berat juga sedikit serak itu membuat Pangestu menyunggingkan bibirnya. Melirik ke arah Abi yang sudah pindah posisi. Pemuda itu tampak damai, padahal suasana kamar sedikit gaduh.
*Usaha di bagian mana? Dari awal emang udah nggak adil, terus usahanya di mana?" Pangestu melangkah mundur, mendapati tembok sebagai sandaran tubuhnya, pemuda itu kembali bersuara.
"Cara lo bawa perempuan yang jelas-jelas kita semua tahu buruknya, mau bilang itu juga usaha?" Pangestu menggeleng pelan sebelum melanjutkan kalimatnya.
"Lo itu sama kayak Abi. Egois, persis kayak Ayah, bukan berarti gue sempurna. Gue tahu posisi, gue tahu apa yang nggak baik, tapi seenggaknya, jangan tampak di depan lah. Sama aja kalian lagi bohongin diri sendiri buat sesuatu yang belum pasti."
Pandu terdiam, pemuda itu berusaha mencerna setiap ucapan Pangestu. Walau tahu, sifat buruk adiknya itu sangatlah tidak bisa dimaafkan. Namun, kali ini berbeda. Ada penekanan diantara kalimat-kalimat panjang yang Pangestu lontarkan. Ada sesuatu yang ingin disampaikan, tetapi bingung di mana harus dicerna.
"Gue bisa bawa Neal ke sini aja itu butuh usaha. Harusnya lo tahu seberapa keras kepala adik Lo yang satu itu. Di nggak butuh pengganti Ibu, Mas."
Benar. Itu yang sejak tadi Pandu pikirkan. Harusnya ia bisa memahami setiap kalimat yang keluar, tetapi terasa begitu sulit untuk dirinya terima.
"Neal nggak butuh yang lain selagi keluarganya masih ada. Dia nggak butuh apa pun, apalagi Ibu baru, kenapa kalian nggak peka. Ayah sakit sekarang bukan karena penyakit, gue tahu itu."
Pandu sempat menunduk, mendengar Pangestu mengeluarkan isi hatinya membuat pemuda itu mengambil jarak cukup dekat. Memastikan kalau dia tengah melihat sebuah air mata di sebelah pipi adiknya.
"Maaf dan terima kasih. Saya satu kamu lelah."
Tak perlu ditanyakan apalagi harus meminta persetujuan, Pandu dengan sikapnya yang kaku selalu membuat siapa pun bingung ketika tiba-tiba berubah lembut. Bahkan sebelah tangannya sudah mengusap sebelah pipi Pangestu yang basah karena air mata.
"Saya yang kurang memahami hati, kalian yang menjadi korban dan saksi. Saya yang harusnya bisa mengendalikan emosi juga membantu untuk mengingatkan Ayah, kan?"
Pangestu masih diam. Pemuda itu sudah ditarik masuk ke dalam peluk hangat Pandu. Ingin menolak pun Pangestu sudah tak sanggup. Ia sendiri saja ingin menyerah bagaimana Neal. Adiknya pasti begitu terluka.
"Biarkan kali ini saja."
Tak apa. Hanya itu yang yang bisa Pandu katakan. Dan tanpa mereka sadari, Rafiq yang masih terbaring di tempat tidurnya pun ikut menyaksikan. Lelaki itu sudah bangun sejak tadi sebenarnya, hanya saja masih setia menutup .ata karena ingin terus mendengarkan obrolan anak-anaknya. Tanpa sadar air mata menetes di sudut matanya, tetapi hal itu tak ada yang menyadari. Meski sedikit perih, Rafiq memilih diam.
🐥🐥
Hallo apa kabar, semoga selalu baik. Terima kasih sudah berkunjung. Salam manis Neal dan Mas-mas juga Abang yang ganteng.
Publish, 11 Agustus 2024
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro