Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

18. Maaf

Harusnya Neal mengerti posisi Pangestu cukup memberatkan. Di satu sisi Pangestu memiliki adik dan di sisi lain pemuda itu adalah seorang putra. Mana mungkin Pangestu bisa melupakan status hubungan antara keduanya. Dia menyayangi Rafiq, karena lelaki itu yang Pangestu punya.

Mungkin membenci bukan saran terbaik, tetapi rasa kesal setiap kali melihatnya sungguh membuat Neal ataupun Pangestu seakan mendapat angin segar untuk berdebat. Meluapkan kekesalan setelah diabaikan. Memang salah, hanya saja mereka ingin sedikit bebas tanpa ada tembok besar menghalangi.

Sejak membaca pesan singkat dari Pangestu, Neal hanya duduk diam di depan teras sambil memandang foto lama milik sang ibu. Entah dapat dari mana, Neal lupa. Padahal, beberapa hari terakhir anak itu datang ke makan secara diam-diam.

"Bu, kata Mas Pangestu Ibu sangat cantik, aku penasaran kenapa Ayah sangat mencintai Ibu. Apa Ibu membuat mantra jatuh cinta?"

Neal terkekeh saat mengatakannya. Berbicara sendiri seperti orang gila dengan ponsel yang masih menyala terus dipandangnya. Tak hanya sekadar mengobrol, Neal juga mengusap beberapa kali layar ponselnya. Ia tak peduli dengan tatapan aneh dari setiap orang yang lewat di depan kontrakan Pangestu.

"Kenapa di luar?"

Ketus nada bicara yang terdengar membuat Neal tersentak. Ia memandang sepasang sepatu di depannya hingga ke atas menatap wajah tegas itu seketika terdiam.

"Saya tanya, kenapa di luar?"

"Mas kenapa di sini?"

"Tidak boleh?"

"Nggak sih, cuma heran aja. Kenapa lo bisa nyasar ke gubuk Mas Pangestu padahal, ketemu aja males."

Neal terdiam setelah mengatakannya, membuat Pandu mengerutkan kening saat anak itu kembali menunduk sambil memutar ponsel yang diletakkan anak itu di depannya.

"Pulang. Ayah sedang sakit, kamu tidak ingin menyesalkan?"

"Buat apa pulang, Ayah aja nggak nanya tuh," balas Neal

Terdengar kesal, tetapi Pandu tahu adik kecilnya begitu rindu dengan Rafiq. Sejauh Pandu mengenal Neal, anak itu tak pernah mengeluhkan apa pun terhadap Rafiq. Walaupun Rafiq selalu abai, Neal tak menyerah, karena Pangestu yang selalu ada sebagai sandaran saat anak itu bersedih.

Pandu tahu, tetapi ia malas untuk mencari tahu lebih banyak. Diam-diam Pandu selalu mengintip di sela pintu kamar adik kecilnya. Memotret kegiatan anak itu tanpa sadar senyum terbit di wajah kakunya. Ia hanya pemuda monoton yang tak kenal dunia gaul begitu kata Abi.

Kini kedua mata itu akhirnya kembali menemukan sosok selama beberapa Minggu hilang dari pantaunya. Neal. Anak kecil yang mengaku sudah besar itu terlihat menyedihkan dengan tanda hitam di kedua kantung mata serta bibir pucat seakan tak pernah diwarnai.

Pandu kesal, ia sangat malas untuk berdebat. Tetapi, ia meyakinkan lagi dirinya agar dapat membujuk Neal. Manusia yang sama keras kepalanya dengan Pangestu. Pandu pun berjongkok, mengulurkan tangan kanannya ke arah Neal.

"Saya tahu kamu kecewa, tapi saya tidak mau tahu kalau suatu saat nanti kamu menyesal."

"Kenapa?"

Pandu tersentak, saat suara getar terdengar begitu pilu. Kedua alisnya menyatu, keningnya mengkerut, bibirnya bungkam. Namun, sebelah tangannya masih terus mengusap pipi tirus milik Neal.

Hening tercipta antara keduanya, Pandu tak lagi bisa menahan diri, pemuda itu segera mendekatkan tubuhnya lalu menarik tubuh kurus Neal masuk ke dalam dekap.

"Bahu saya tidak sekuat Pangestu, dada saya tak senyaman miliknya. Tapi, saya pastikan kalau saat ini kamu membutuhkan sandaran di saat luka hati tak lagi bisa terbendung. Menangis saja, jika itu bisa melegakan, setidaknya ada ruang yang tak lagi membuatmu sesak."

Benar saja, belum lama Pandu mengatakannya, tubuh Neal sudah bergetar. Anak itu menangis tak bersuara. Tetapi air matanya sudah mengalir deras hingga membuat kaos yang Pandu kenakan terasa basah.

"Gue kangen Ayah. Gue kangen banget sama Ayah, Mas. Kenapa gue nggak kayak Bang Abi yang mudah masuk dalam peluk Ayah tanpa diminta. Kenapa gue nggak kayak Bang Abi, ketika sedih Ayah hibur. Gue salah apa?"

Hela napas Pandu terasa berat. Pemuda itu memejamkan kedua matanya  seakan apa yang ingin dikatakan tertahan di tenggorokan. Terasa berat, ia sendiri saja bingung harus menjelaskan apa pada adik kecilnya. Ia hanya tahu Abi anak kesayangan Ayah. Malas untuk mencari tahu lebih banyak apa alasan di balik itu semua.

"Saya bukan manusia baik. Tapi saya benci jika kamu menangis sampai harus menyiksa diri begini."

"Gue tahu, lo nggak ada bedanya sama Mas Pangestu. Tapi sekarang, kenapa lo mau repot ke sini buat ketemu gue?"

Pandu terdiam sejenak, ia pun melepaskan peluknya lalu mengusap sisa air mata yang masih berbekas di kedua pipi Neal. Tak ada senyum, hanya tatap tajam setiap kali saling bertemu pandang.

"Saya khawatirkan adik kecil saya, apa saya salah? Setidaknya saya masih tahu diri untuk tidak terlalu mementingkan ego."

Neal menunduk, rambut depan yang menghalangi kedua mata lentik itu membuat Pandu gemas sendiri. Ia tak sangka bisa menatap wajah adiknya cukup dekat.  Dulu, jangankan bicara menatap sebentar saja rasanya malas. Tetapi, kali ini berbeda. Pandu merasa ada sesuatu mengganjal hati dan pikirannya.

Setiap malam hanya wajah Neal yang terlihat dalam mimpi, hanya wajah teduh dengan penuh luka terus menatap ke arahnya. Duduk diam di sudut ruangan sambil menekuk kedua lutut. Pandu tak ingin percaya sebenarnya. Bahkan, ia sempat bicara pada Pangestu, tetapi pemuda itu malah meremehkannya.

Kini, Pandu sadar satu hal dari beberapa kalimat Pangestu yang sempat ia dengar sebelum pemuda itu memilih bungkam sampai detik ini.

"Saya bukan Kakak yang baik. Tapi saya bisa jamin, kamu akan aman bila kamu ingin ikut bersama saya temui Ayah."

Dilihatnya Neal masih menunduk, tak ada hal lain yang bisa dilakukan anak itu ketika kedua tangan Pandu akhirnya bisa memegang kedua pipi tirus adik kecilnya.

"Maaf."

Kedua mata Neal seketika terbuka sedikit lebar, kepalanya ikut terangkat saat melihat wajah. Teduh Pandu di hadapannya.

"Maaf, kalau selama ini saya kurang memahami kamu. Maaf kalau selama ini saya sudah menyakiti perasaan kamu. Saya tahu saya juga salah, tapi, tak ada salahnya kalau saya meminta sesuatu pada adik saya, kan?"

Neal masih diam, ia tak tahu apa yang ingin ia lakukan. Sementara Pangestu belum juga datang padahal sudah hampir satu jam lebih ia menunggu. Namun, ketika menatap wajah kaku Pandu di depannya Neal sadar akan sesuatu. Ia pun mengangkat sebelah tangan lalu mengulurkannya pada sebelah pipi Pandu yang terlihat basah.

"Lo nggak salah. Lo udah berusaha sayang sama gue, gue tahu kok, Mas."

Pandu terdiam, ia menunggu adiknya melanjutkan ucapannya.

"Tapi Maaf, gue belum siap ketemu Ayah apalagi Bang Abi. Tolong jangan paksa gue Mas. Mending lo pulang, bentar lagi Mas Pangestu balik, gue nggak mau kalian ribut."

Pandu menurunkan kedua tangannya. Pemuda itu pun menatap wajah Neal sekali lagi sebelum akhirnya pemuda itu beranjak dan berdiri tepat setelah Neal memalingkan wajah.

"Saya tidak lagi memaksa, karena saya tahu kamu pun belum siap. Datanglah kapan pun,  rumah itu juga rumahmu."

Neal mendengar ucapan itu, terasa berat bahkan ketika langkah kaki Pandu mulai menjauh ia belum ingin melihatnya. Ia kembali menunduk sebelum akhirnya Pangestu datang dan memeluk erat tubuh Neal.

"Gue telat. Maaf."

🐥🐥🐥
Hallo apa kabar? Terima kasih sudah berkunjung. Jangan lupa tinggalkan jejak dan komentarnya di bawah ya.  Salam manis Neal 😊
Bonus pict Mas Pangestu

Publish, 09 Juli 2024

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro