17. Sekarang Atau Tidak Sama sekali.
Sudah lelah. Hanya itu yang Pangestu dengar setiap kali Neal pulang dengan raut wajah murung, tak lupa seragam yang berantakan membuatnya semakin terlihat menyedihkan. Anak itu sama sekali tak berniat untuk kembali ke rumah setelah melihat kejadian beberapa waktu lalu.
Miris. Itulah yang akan keluar dari bibir tipis Pangestu ketika pemuda itu bangun pagi. Adiknya benar-benar kesal dan kecewa dengan sikap ayah mereka. Kini hanya Pangestu tempatnya pulang. Meski tinggal di sebuah kontrakan sederhana, Neal sama sekali tidak mengeluh. Anak itu bahkan sangat tenang walau sesekali wajah kesal terlihat jelas saat Pangestu tiba sepulang bekerja.
Tak pernah tertinggal satu detik pun untuk bertanya bagaimana sekolahnya atau kegiatan apa yang sudah dilalui selama di sekolah. Hanya percakapan sederhana, tetapi mampu membuat Neal bahagia. Rasanya ada kupu-kupu yang menggelitik perutnya. Rona merah selalu muncul di kedua pipi setiap kali Pangestu menggoda adik kecilnya dengan nama wanita berstatus penggemar di akun sosial medianya.
Sama seperti pagi tadi, ketika Renal datang menjemput setelah Pangestu pamit pergi lebih dulu. Pemuda itu tak pernah rela jika pergi sebelum membuat adik kecilnya kesal. Ada kepuasan tersendiri, karena belakangan Neal sudah jauh berbeda dari sebelumnya. Meski sesekali Pangestu mengingatkan anak itu untuk tetap berkunjung ke rumah.
Ia tak ingin Neal marah terlalu lama pada sang ayah. Biar pun sosok Rafiq sudah nyaris terlupakan, tetapi sekali lagi, Pangestu tidak mau membuat jarak terlalu jauh, sama seperti dirinya.
"Hari ini Ayah mau ketemu sama kita, nanti malam kita pulang, ya?"
"Mau apa? Ngasih tahu kalau dia nikah sama Tante Siska?"
"Neal," panggil Pangestu pelan.
Pangestu tahu adiknya tidak tuli. Ia sadar dan masih bisa mendengar panggilannya. Ia segera menelpon Neal ketika Abi mengabari tentang keadaan ayah mereka. Seperti di terpa badai, Pangestu tidak bisa banyak komentar selain membujuk Neal lewat panggilan telepon usai panggilan terakhirnya bersama Abi.
Pemuda itu terus menghubungi dan mengirim begitu banyak pesan setelahnya. Tapi belum satu pun yang dibalas, hingga kini, panggilan yang entah sudah ke berapa barulah Neal menghubunginya kembali.
Meski waktu sudah menunjuk jam makan siang, Pangestu tak peduli, ia ingin tetap memberi kabar tentang Rafiq, sang Ayah.
"Tolong sekali ini. Gue nggak mau Lo nyesel setelahnya. Malam nanti, setelah gue beres kerja, gue jemput, siap-siap."
Tak ada sahutan, hanya deru napas berat yang terdengar dari sebrang sebelum akhirnya sambungan terputus sepihak. Hanya hela napas lelah yang bisa Pangestu buang usai menelpon Neal.
Ia selalu berharap Neal tidak membenci sang ayah. Walau bagaimanapun keadaanya.
Namun, pikiran itu seolah dipatahkan oleh keadaan. Sudah jatuh tertimpa tangga, begitulah yang dilihat. Sudah seminggu belakangan Pangestu diam-diam berkunjung ke rumah hanya sekadar menengok keadaan Rafiq selagi Abi dan Pandu tak di rumah.
Sesekali pemuda itu menghidangkan makanan untuk Rafiq, mengobrol bersama setelahnya pergi dengan jantung yang berdetak tak menentu.
"Seminggu lalu Ayah ke mana?"
"Tumben kamu tanya ke mana Ayah, bukannya kamu paling nggak suka lihat Ayah?"
"Yah, aku udah bilang. Kali ini jangan egois. Ayah nggak ngerti beneran atau emang pura-pura nggak ngerti?"
Rafiq menunduk sejenak sebelum lelaki itu kembali mengangkat kepalanya dan menatap wajah datar milik Pangestu. Bagaimana bisa kedua mata yang terlihat begitu sayu bisa berbohong, lelaki itu mengulurkan sebelah tangan agar bisa menggenggam telapak tangan Pangestu.
Entah sudah berapa lama Rafiq tak menyentuh anak keduanya, sejak terakhir berkunjung ke desa, ke rumah kedua orang tua mendiang istrinya yang sampai detik ini masih belum mau menerima kehadiran Neal.
"Ayah tahu kamu kecewa, tapi untuk sekarang Ayah nggak mau memaksa Neal untuk datang ke rumah hanya karena Ayah sakit. Genggam tangan kamu ini, sama seperti Ayah. Biar pun Pandu anak sulung Ayah, dia hanya belum paham rasa sayang yang dia miliki untuk adik-adiknya. Kamu berbeda, Pangestu."
Hening membuat keduanya sama-sama diam dengan pikiran masing-masing. Tak ada yang mampu mengalihkan pandangan Rafiq ketika lelaki itu melepas genggam tangannya dan bangkit mendekati meja berukuran sedang yang terletak tak jauh dari meja makan.
"Kamu pikir, Ayah senang hidup begini?" lanjut Rafiq. Dalam genggam tangannya sudah ada sebuah foto yang terbingkai cantik.
"Ayah juga terluka, meski Ayah terlihat baik-baik saja. Boleh Ayah menangis? Ayah juga sama seperti Neal, Nak. Sakit, tapi Ayah tak sanggup melakukannya."
"Terus kenapa Ayah buat Neal sakit hati setiap kali Ayah memperlakukannya berbeda? Dia sama Abi itu sama Yah, sama."
"Kamu lupa?"
Kedua alis Pangestu mengerut, matanya menciming mendengar ucapan sang Ayah. Tatapannya masih tertuju pada sosok yang sama. Rafiq, lelaki itu berdiri membelakangi Pangestu dengan posisi yang sedikit menunduk menatap foto di tangannya.
"Ibu pergi bukan karena melahirkan Neal saja. Ini bukan hal yang baik untuk diceritakan, tetapi Ayah sudah lelah. Walau kalian sudah cukup besar saat Neal lahir, tetapi Abi melihat segalanya ketika itu."
"Apa? Apa yang aku nggak tahu tapi Abi tahu?"
"Ibu."
"Ayah..."
Pangestu tersentak ketika suara Abi masuk ke dalam indera pendengarannya. Pemuda itu segera menoleh begitu pula dengan Rafiq. Lelaki itu tersenyum hangat ketika anak ketiganya tiba di rumah. Apa yang salah? Tidak tahu, tetapi hatinya ngilu melihat sikap sang ayah yang terlalu terlihat jelas.
"Aku pamit, sudah ada Abi. Aku mau lihat Neal dulu di kontrakan."
"Tak ingin membawa sesuatu dari sini? Adik kamu pasti senang kalau dibawakan camilan."
"Nggak perlu. Aku masih punya cukup uang buat Neal makan enak."
Rafiq mengangguk saja. Lelaki itu merentangkan sebelah tangannya agar Abi masuk dalam peluknya. Melihat sikap sang Ayah yang berubah, membuat Pangestu makin yakin kalau sebenarnya ada yang disembunyikan lelaki itu darinya atau pun Pandu. Entah atas dasar apa.
"Mas dari rumah Ayah?" Suara Neal tiba-tiba mengejutkan Pangestu.
Tidak tahu apa yang dilakukan anak itu di depan pagar rumah besarnya. Tetapi, melihat penampilan Neal, seakan anak itu ingin menceritakan sesuatu padanya.
"Lo di sini mau ngapain?"
"Mau ke rumah Renal, terus lihat Bang Abi, gue ikutin sampai sini, gue lihat motor Lo ada di sana, gue berdiri aja di sini."
Mungkin, hari itu memang sedang sial harusnya Pangestu bisa berhati-hati lagi. Nyatanya pertemuan dengan Rafiq memang sudah terlihat oleh Neal. Kini, anak itu seakan malas untuk datang.
"Adek lo ngambek lagi Tu?"
Pangestu menoleh, menatap wajah Harun yang sejak tadi hanya diam sambil membersihkan meja.
"Adek yang mana?" tanya Pangestu.
"Yaelah, siapa lagi yang suka lo bawa ke sini kalau lagi libur?"
"Nggak ngerti. Dia lagi ngambek sama Ayah. Gue sendiri bingung mau bujuknya kayak gimana. "
Harun mengangguk saja, pemuda itu tak lagi melanjutkan obrolannya. Ia memilih meninggalkan Pangestu tanpa mau bertanya apa pun lagi.
Me
Sekarang atau nggak sama sekali Neal. Gue nggak mau dibantah.
Setelah mengirimkan pesan singkat, Pangestu segera memasukkan kembali ponsel yang tergeletak di atas meja ke dalam saku celana panjangnya. Tak peduli Neal akan membalas atau tidak, yang penting ia sudah memberi tahu.
🐥🐥
Hallo, apa kabar? Semoga selalu baik ya. Terima kasih sudah berkunjung jangan lupa tinggalkan jejak agar aku makin semangat ngetiknya 😉 salam manis Neal.
Bonus foto Mas Pandu nih
Publish, 20 Juni 2024
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro