15. Sederhana Tapi Sulit Dilakukan
Dengarkan sempurna, tapi tak semuanya benar. 🎶
-Pangestu-
-----
Sudah hampir seminggu setelah kejadian itu Neal berangkat dan pulang dijemput oleh Pangestu. Neal juga tidak protes meski Pangestu datang terlambat, ia akan sabar menunggu dengan ditemani oleh Renal, teman sekaligus sahabat baiknya.
Walau sesekali ia kesal, tetap saja ketika Pangestu tiba, wajah kesal itu akan berubah dengan senyum manis untuk menyambut Pangestu. Tak ada hal yang lebih manis saat melihat interaksi antara kakak dan adik itu. Bahkan Renal sering datang ke kontrakan Pangestu dengan alasan bermain atau mengerjakan tugas sekolah. Padahal, Pangestu tahu, remaja satu itu datang agar Neal tidak sendirian.
"Mas tumben on time?"
Pangestu terkekeh saat mendengar sapa pertama ketika dirinya baru tiba. Begitu pula dengan Renal. Cowok itu hanya bisa menggeleng saat Neal mengatakan apa pun ketika bertemu dengan Pangestu.
"Emang mau dijemput telat terus?"
Neal menggeleng, kakinya melangkah menjauh dari pos satpam dengan Pangestu dan Renal yang berjalan beriringan di sisi kanan dan kirinya. Mereka berjalan melewati gerbang yang sudah akan tertutup. Sesekali Pangestu melihat kembali ke dalam lingkungan sekolah. Masih ada beberapa pelajar di sana.
"Lo lihatin siapa?" tanya Neal penasaran.
Pangestu pun melirik ke arah adiknya saat mereka telah sampai di depan mobil yang terparkir diseberang jalan.
"Nggak ada."
"Mas, bohong, kan?"
Pangestu menggeleng, ia tak ingin menjawab. Ia pun segera meminta Neal juga Renal untuk masuk ke dalam mobil. Tetap saja, pandangannya tak ingin lepas dari suatu objek yang membuat Pangestu begitu ragu dengan instingnya sendiri.
"Mas, buruan! Gue laper," teriak Neal. Membuat Pangestu terkejut lalu segera masuk ke dalam mobil.
Setelah melajukan mobilnya, sosok yang Pangestu lihat sejak tadi pun muncul dari balik pohon yang tak jauh dari pos satpam sekolah. Sosok itu berdiri tegak dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana bahannya.
"Pangestu benar. Neal tidak butuh saya yang egois ini."
Gumamnya seorang diri membuat seseorang menepuk bahunya dari belakang. Tak heran jika ia terkejut dan menatap lekat wajah orang yang ada di depannya. Sosok yang ia pikir sudah pergi jauh ternyata ada di hadapannya.
"Kenapa sembunyi seperti pencuri?"
"Kamu bukannya sudah pergi tadi? Kenapa ada di sini?"
Pemuda itu terkekeh. Sesekali memalingkan wajahnya karena malas mendengar basa-basi yang sama saja setiap kali bertemu.
"Memang, aku memang pergi. Aku mengantar adikku untuk makan siang bersama temannya. Tapi aku heran, kenapa Ayah ada di sini? Ayah mau apalagi? Buat Neal sakit?"
Hela napas berat begitu terlihat di depan matanya. Raut wajah lelah pun demikian kentara saat lelaki itu menatap lekat wajah pemuda yang masih berdiri tegap di depannya. Ada sesak saat tatapan mata itu terus menatap tajam seakan amarahnya sedang diperlihatkan.
"Apa tidak boleh, Ayah melihat putranya?"
Pemuda itu terkekeh, mendengar kalimat sok manis itu membuatnya mual. Sejak kapan lelaki yang mengaku ayah itu mau membuang waktu seperti sekarang? Rasanya ini aneh. Bahkan sejak dulu, hanya Abi prioritasnya. Apa pun tentang Abi, dirinya saja bisa terlupakan bila nama Abi sudah berkumandang.
"Masih ingat kalau anaknya nggak cuma tiga?"
Lelaki itu, Rafiq. Ia tetap diam walau putra keduanya menyindir habis tentang bagaimana dirinya berbuat tak adil pada Neal. Nyatanya, itu sangat membekas dan terus membuat rasa bersalahnya muncul setiap kali berhadapan dengan Pangestu. Pemuda yang rela berbohong hanya karena rasa penasaran.
"Kita bisa bicarakan ini di tempat lain? Sekolah akan tutup sebentar lagi."
"Aku pikir, Ayah yang pergi. Karena udah cukup waktu itu Ayah buat Neal sampai sakit berhari-hari tapi dia tetap datang ke sekolah. Aku rasa bukan Neal yang salah di sini, tapi Ayah. Kalau emang Ayah nggak sanggup buat rawat Neal, biar aku aja. Aku bisa kok urus adik aku yang nggak ada artinya di mata Ayah, Mas Pandu bahkan Abi. Tolong, Yah. Jangan buat luka lagi," ucap Pangestu.
Suaranya cukup tegas tapi di balik itu, dadanya sudah bergemuruh hebat. Menatap wajah Rafiq membuat ingatan itu kembali berputar. Seakan sulit untuk dilupakan walau sebenarnya tak mungkin juga.
"Tidak begitu, Nak. Ayah sayang pada kalian semua, tapi..." sahut Rafiq pelan.
Ucapannya terjeda, Pangestu sendiri tetap diam menunggu penjelasan yang akan disampaikan oleh ayahnya. Sesekali ia menatap ke luar gerbang, berharap Neal tidak datang menghampirinya.
"Tapi Ayah cuma sayang sama Abi, Itu faktanya. Bahkan sejak Ibu mengandung, hanya Abi yang Ayah perhatikan. Padahal ada aku dan Mas Pandu."
Setelah mengatakan itu, Pangestu pun berbalik lalu pergi begitu saja meninggalkan Rafiq yang masih berdiri dengan menunduk menatap ujung sepatunya di bawah sana. Tak ada yang bisa dikatakan selain diam. Sudah lama ia ingin mengatakan semuanya pada Pangestu. Namun, pemuda itu memilih tinggal terpisah dari pada harus melihat ketidak Adilan yang begitu nyata di depan matanya.
"Memang sederhana, tapi sulit untuk dilakukan. Kamu memang benar, Pangestu. Ayah terlalu pengecut, sampai detik ini pun hati Ayah masih begitu sakit bila melihat Neal. Wajahnya begitu mirip dengan Ibu kalian, Ayah tidak bisa lupa."
Dengan lemas Rafiq memilih pergi dari sana. Mengingat semua ucapan Pangestu membuatnya kembali mengusik memori lama sebelum Pangestu akhirnya memilih meninggalkan rumah. Lagu lama yang pernah ia dengar pun, kini ikut berputar di kepalanya.
"Mas, Mas itu harus ingat. Anak ini akan menjadi penghangat keluarga kita nanti. Jadi teman Abi juga, ya, Nak."
Lembut suara itu membuat semua kenangannya kembali melintas cepat seperti kereta api. Ingin sekali Rafiq berbaikan dengan hatinya, tapi kepalanya terlalu berisik dengan semua celoteh yang begitu mengiris hati.
"Abi punya adik, nanti Ayah sama Ibu, main sama Abi juga, kan?"
Celoteh yang terdengar biasa saja itu membuat keduanya terkekeh. Sambil sesekali mengusap rambut hitam putranya Rafiq tersenyum.
"Abi punya temen nanti."
Memang Abi punya teman. Tetapi Abi memusuhinya secara terang-terangan. Anak itu bersikap manis saat di depan Pangestu atau Pandu, tapi di balik itu, Abi seakan melupakan semuanya. Rafiq ingat, tapi tangannya tak mampu untuk mengulur ke arah Neal yang jelas begitu terluka.
Sesekali ia memijat pangkal hidungnya. Pusing yang ia rasa seperti tak ada akhirnya. Selalu saja memori-memori lama yang bermunculan. Bukannya tak ingin mengingat mendiang istri yang begitu ia cintai. Akan tetapi, perasaan hancur sekali lagi lebih mendominasi dari pada rasa sayang yang sebenarnya sudah ada sejak lama.
"Maaf Neal. Maafkan Ayah."
Rafiq yang berdiri di depan mobilnya seperti orang gila. Memukul-mukul badan mobil dengan tangan terkepal kuat. Meluapkan semua emosinya di sana tak peduli jalanan depan sekolah cukup ramai pejalan kaki atau pun kendaraan yang lewat. Lelaki itu sudah lelah, tapi sekali lagi, hatinya masih tetap sama, masih belum menerima apa pun tentang keberadaan Neal.
"Ayah..."
🐥🐥🐥
Hallo kembali lagi sama Neal gimana kabarnya? Semoga baik ya.
Terima kasih sudah berkunjung salam manis Neal.
Publish, 01 Juni 2024
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro