Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

14. Biar Aku Yang Menjadi Rumahnya.

Belum juga sembuh, hatinya kembali tergores dengan sikap Abi yang cukup membuat Neal terkejut, bahkan Pangestu saja membulatkan matanya saat melihat Abi dengan sengaja mendorong tubuh ringkih Neal hingga anak itu terjatuh ke tanah.

Memang salah Neal, berharap banyak pada Abi saat anak itu terluka, nyatanya semua harapan kecilnya pudar dan hilang begitu saja. Pemuda yang kini berdiri sambil menyilangkan kedua tangannya di dada itu tidak bergeming sedikit pun. Tatapan tajam itu terus mengarah pada Neal, adiknya sendiri.

"Kita pergi, Neal."

Neal menggeleng, ketika sebelah  tangannya disentuh oleh Pangestu. Pemuda itu sudah cukup muak melihat wajah Abi dengan sorot berbeda di matanya.

"Gue mau ngomong sama Bang Abi dulu, Mas. Lo duluan aja."

"Ingat Neal. Hidup ini nggak cuma mikirin orang lain. Lo mati pun mungkin cuma gue yang sedih. Inget, Sederhana  itu nggak perlu ngemis."

Neal tidak bisa menolak, meski tatapan matanya masih tertuju pada Abi. Pemuda yang tak sengaja ia lihat ketika akan pergi ke toilet. Hatinya masih sangat yakin kalau Abi tidak seperti Pandu. Hatinya masih sangat berharap kalau Abi hanya berpura-pura.

Namun, setelah melihat sekali lagi raut wajah tak bersahabat Abi, sudah membuat Neal percaya dengan ucapan Pangestu sebelum mereka pergi. Anak itu sempat menolak, karena tubuhnya masih cukup lelah untuk bergerak. Tetapi Pangestu menyakinkan dirinya, kalau semua yang terjadi hanya sementara. Besok pun akan usai.

Neal mengangguk saja, karena bosan, ia tak punya pilihan  lain, selain ikut sebagai bentuk keramahannya dalam berpikir dan memilah keadaan di saat suasana hatinya tak baik. Walaupun sedikit kesal awalnya ketika melihat Abi yang justru terasa asing, Neal justru mendekat dan mencoba untuk menegur, hingga akhirnya Neal memilih bungkam setelah mendengar ucapan Abi saat mereka berdua  berada di dalam toilet.

Kini, Neal sadar. Berharap saja tak bisa menyembuhkan luka, karena kecewa selalu datang dari orang terdekat. Meski ingin bertanya mengapa Pangestu begitu marah pada Abi, tapi ia selalu takut karena tatapan mata Pangestu yang tajam langsung menusuk walau tak ada hal aneh.

"Jangan diem aja. Gue ajak lo ke sini, bukan malah makin sedih. Inget, mati nggak akan ajak orang lain. Nikmatin selagi masih bisa, kalah udah ambruk, mana bisa lo napas bebas lagi."

Neal langsung menoleh, menatap wajah Pangestu dengan aura dingin menyelimutinya. Kakak keduanya memang sangat pedas bila berucap, tapi Neal selalu senang jika Pangestu sudah perhatian.

"Dari kemarin omongan lo nyakitin. Kalau ada masalah bilang, jangan dipendam. Gue nggak peduli Bang Abi bilang apa, tapi kalau lo yang ngomong, rasanya langsung nusuk ke hati."

Kalo ini Pangestu yang menoleh, menatap wajah sendu Neal dengan sedikit menunduk. Keningnya sedikit mengkerut, melihat wajah adiknya yang sudah berubah, Pangestu langsung merangkul bahunya tanpa berkata apa pun.

"Kata Mas Pandu, hidup sekali, jatuh cinta sekali, mati pun sekali. Tapi kok, gue beda ya?"

Pangestu tak ingin menjawab. Ia sudah malas mendengar nama kakak sulungnya itu. Ia pun segera mengajak Neal untuk duduk di kursi kedai penjual bakmi.

"Mas," panggil Neal pelan.

Pangestu menatap adiknya setelah mereka duduk dengan posisi nyaman masing-masing. Saling berhadapan membuat Pangestu dapat melihat dengan jelas wajah pucat Neal yang sedikit tertutup oleh rambut bagian depan.

"Ayah pernah bilang kalau gue beban. Tapi, detik berikutnya, Ayah kasih gue peluk hangat. Sebetulnya Ayah sayang gue atau cuma tempat pelampiasan aja?"

"Nggak perlu gue jawab, karena lo tahu jawabannya."

Neal menggeleng," Kalau gue tahu, nggak akan gue tanya."

"Harusnya lo peka. Dari awal lo lahir, sampai lo gede begini, orang yang selalu Ayah sambut itu siapa."

Neal kembali terdiam, tak hanya itu, kepalanya sudah tertunduk dengan kedua tangan yang ia lipat di atas meja. Diam membisu mengingat semua hal sejak ia kecil hingga saat ini.

"Bahkan, saat lo sakit, lo pikir siapa yang datang malam-malam buat jagain dan ganti kompres lo? Ayah? Cih! Jangan harap, Neal."

Neal benar-benar bungkam ketika suara Pangestu terus mengingatkannya akan masa lalu. Sampai ia lupa, dulu ketika dirinya terjatuh dari ayunan, orang pertama yang datang bukanlah Rafiq, ayahnya. Melainkan Pangestu sendiri.

Kakak kedua yang selalu memerhatikan setiap tumbuh kembang Neal dari kejauhan. Setiap kali anak itu bermain bersama Abi, atau menangis ketika diabaikan oleh Pandu.

Hanya Pangestu, sosok pemuda yang tak pernah mau meninggalkan Neal sendirian. Hanya Pangestu yang tahu bagaimana adiknya terluka saat terjatuh. Hanya Pangestu yang tahu bagaimana Neal, ketika sakit tak ingin ditinggal.

Kenyataannya, saat ini pun sama. Hanya Pangestu yang ada di hadapan Neal. Di saat senang maupun sedih. Di saat terjatuh, ataupun bangkit. Hanya Pangestu yang tahu rasanya diabaikan.

"Lihat gue, Neal." Neal mendongak, menatap wajah Pangestu dengan lekat.

Pangestu, pemuda yang duduk di hadapan Neal  kini telah mengulurkan sebelah tangannya untuk menyentuh pipi yang sudah bahas oleh air mata.

"Kali ini terserah lo mau percaya atau enggak. Gue nggak pernah bilang buat lo jauh dari Ayah. Justru gue berharap lebih dari apa yang seharusnya lo harapkan," ucap Pangestu lembut.

Sambil tersenyum, ia mengusap lembut pipi  tirus Neal. Anak itu masih diam, memandang wajah lelah kakaknya yang tak pernah ia duga.

"Tangan ini, tangan yang akan terus mengusap air mata lo ketika sedih. Tangan ini yang akan  terus terulur ketika lo jatuh. Tolong jangan buat diri lo lemah di depan orang, apalagi Ayah. Lo itu anak kuat, kita itu sama. Lo, gue, Abi, bahkan Pandu sekali pun nggak akan rela kalau Ayah menikah lagi, tapi lo jangan lupa," Pangestu menjeda ucapannya sejenak.

Pemuda itu pun mengulurkan sebelah tangannya  untuk meraih tangan  Neal, lalu menggenggamnya dengan erat.

"Kebahagiaan seseorang nggak bisa dipaksa. Sekuat apa pun kita menolak, hak kita hanya sebatas pilihan. Karena pada dasarnya, mereka punya keputusan walau kita nggak setuju pasti akan tetap dijalani. Lo harus ingat, lo nggak sendirian Neal. Ada gue, Pangestu."

Bibir tipis yang mulai bergetar membuat Pangestu kembali tersenyum lalu menggeleng. " Jangan. Kali ini jangan sia-siakan air mata lo lagi, Neal."

Benar. Harusnya Neal tidak lemah. Ia sudah terlalu lelah bahkan hanya sekadar bernapas. Rasanya ingin pergi sejauh mungkin tetapi tangan Pangestu selalu terulur dan  kembali menariknya.

Seperti layang-layang. Sayangnya, mereka akan terputus bila terlalu bebas.  Tidak dengan Neal. Ia justru seperti benang, yang  terus dibiarkan bebas, tanpa tahu jika benangnya sudah putus sejak lama. Kalau saja Pangestu tidak cepat menangkapnya, mungkin Neal sudah lama pergi jauh.

Sejak dulu, Pangestu yang susah payah meyakinkan ayahnya. Tentang keadaan Neal, tentang bagaimana kondisi anak itu dan tentang keinginan kecil adiknya. Namun, selalu sama. Hanya abai hingga kini, Neal pergi pun sang ayah masih diam tak berkata apalagi berniat untuk menjemput.

"Sekarang makan dulu, ya?" ucap Pangestu saat dirasa Neal sudah mulai tenang.

Pemuda itu benar-benar membiarkan neal melupakan kesedihannya walau di sekitar mereka cukup ramai pengunjung.

"Gue boleh peluk?" Suara serak itu membuat Pangestu tersenyum kemudian merentangkan kedua tangannya saat Neal telah berdiri dan beranjak untuk berpindah duduk ke sebelah sang kakak.

"Makasih. Jangan tinggalin gue, ya. Gue takut."

Pangestu menggeleng, sambil mengusap punggung adik kecilnya pemuda itu juga tak segan untuk memberi kecup hangat di pucuk kepala Neal. Selama ini, Pangestu melakukannya diam-diam ketika Neal tertidur.

"Gue udah bilang, gue di sini, kapanpun. Datang ke kontrakan kalau lo suntuk di rumah."

Neal mendongak menatap Pangestu saat pemuda itu menunduk. " Boleh?"

"Siapa yang larang? Gue seneng, karena Lo punya tempat pulang yang buat lo nyaman. Bukan buat lo seneng doang, tapi nggak nggak nyaman."

Kali ini Neal tersenyum, mendengar ucapan Pangestu membuatnya melepaskan peluk yang sudah cukup lama hingga Pangestu pegal dibuatnya.

"Makan, terus kita pulang istirahat."

Neal hanya mengangguk, ia sudah sangat lelah memang, tapi hatinya yang masih belum siap untuk menerima  kenyataan, membuatnya sedikit ragu bila kembali bertemu dengan Abi atau yang lain, mungkin memang benar yang dikatakan Pangestu, sementara waktu dirinya akan tinggal bersama dengan kakak keduanya. Entah sampai kapan, Neal pun tak tahu.

"Ibu di sana sedang apa? Rindu dengan Neal nggak, ya?"

🍁🍁

Hai, apa kabar? Neal kembali dengan kisahnya. Jangan lupa tinggalkan jejak agar aku makin semangat ngetiknya. Salam manis Neal 🥰🥰

Kenalan sama Pangestu yuk

Publish, 29 Mei 2024

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro