Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

13. Aku Juga Ingin DIpeluk Ayah.

Sore itu, usai berdebat dengan Rafiq, sang Ayah. Pangestu memilih mengunci rapat apa yang dia dengar dari Pandu tentang Neal. Bukan hanya telinganya yang sakit mendengar ucapan Pandu, hatinya pun ikut terluka saat Rafiq lebih percaya Pandu dari pada Pangestu, pemuda yang rela meninggalkan Neal sendirian di kontrakannya.

Mungkin Pangestu lupa, siapa Pandu sampai pemuda yang berstatus anak sulung itu berani mengatakan hal buruk tentang Neal di depan sang Ayah. Pangestu  ingat, ia tak akan bisa melawan Pandu, meski hatinya ingin sekali menghajar kakaknya itu. Namun, apa yang akan Pangestu katakan bila nanti bertemu dengan Neal ketika anak itu kembali ke rumah? Hanya amarah juga kekesalan yang dapat di sembunyikan saat ini.

"Untuk seminggu ke depan, lo di sini aja. Nggak usah pulang ke rumah, sebelum Ayah yang minta." 

Neal mengerutkan keningnya, mengingat kakak keduanya bukan seseorang yang banyak omong seperti saat ini. Ia terus menatap wajah kesal Pangestu ketika pemuda itu baru saja sampai sekitar dua puluh menit lalu.

Cukup terkejut memang,  tapi Neal tak ingin ambil pusing karena dirinya pun sedang tak ingin pulang. Dia malas, bahkan sedikit kesal saat kejadian pagi tadi terlintas kembali.

"Makan."

"Nggak laper, Mas. Gue pusing, mau tiduran aja, ya?"

Pangestu menggeleng, ketika adik kecilnya hendak merebahkan tubuh kembali. Ia segera menarik lengan Neal hingga anak itu kembali duduk. Melihat wajah pucat serta mata teduh itu, ia kembali teringat ucapan Pandu sebelum dirinya pergi dari rumah meninggalkan Rafiq yang masih mematung di tempatnya.

"Manjain aja dia, habisin sisa hidup Lo buat anak yang nggak pernah bisa buat Ayah bahagia. Dia itu parasit, nggak pantas buat disayang."

Sejenak Pangestu terdiam, membuat Neal mengusap lengan pemuda itu dengan lembut. Wajahnya begitu mirip dengan Ibu, itulah mengapa Pangestu sangat menyayangi Neal. Biar Neal menyebalkan, tapi Neal tetap adiknya. Anak yang lahir dari rahim dan darah yang sama mengalir di tubuh mereka.

"Kenapa?" tanya Neal akhirnya.

"Kali ini dengar gue. Kita itu satu darah, satu rahim, tapi lo harus tahu, gue nggak pernah benci sama lo. Sekarang makan, biar badan ada tenaga. Gue di depan mau cuci motor dulu."

Neal mengangguk saja, walau ia bingung tapi ia tahu, kakak keduanya memang cukup bisa diandalkan. Biar pun sedikit cuek, setidaknya dari ketiga kakak-kakak Neal, Pangestu masih jauh lebih baik dibanding yang lain.

Selama ini Neal selalu berpikir Abi segalanya. Abi yang baik, Abi yang sempurna, Abi yang mampu memenuhi apa pun keinginannya. Nyatanya, Abi tak lebih dari sekadar manusia dusta dengan topeng tebal yang menutupi seluruh wajahnya.

Neal selaku menganggap kalau Abi rumahnya. Menganggap Abi tempat ternyaman di saat semua orang menjauh. Sekali lagi, Neal keliru dengan pikirannya sendiri. Ia tak pernah bisa membohongi diri untuk tidak menangis.

"Kenapa belum dimakan? Nggak enak makanannya?"

Suara Pangestu membuat Neal terkejut, anak itu hampir menjatuhkan gelas berisi teh yang sudah tak lagi hangat. Kedua matanya sudah memerah saat mendongak menatap wajah Pangestu.

"Kenapa?" tanya Pangestu sekali lagi.

Kini, pemuda itu pun ikut duduk di sebelah Neal, sebelum mencuci motor, awalnya ingin mengambil ponsel untuk mendengarkan lagu. Namun, belum sempat mengambil, pandangan Pangestu tertuju pada Neal. Anak remaja yang diam memandang lurus ke arah lantai.

Pangestu pikir Neal tak napsu dengan makanannya, tetapi beberapa menit ia berdiri, terdengar suara tangis yang tak seberapa masuk dalam pendengarannya.

"Gue salah apa sama Ayah, Mas?"

Tentu membuat Pangestu terkejut saat kedua mata itu menatap ke arahnya. Bibir bergetar serta hidung yang mulai memerah tak lupa air mata yang mengalir di pipi membuat Pangestu terdiam sesaat sebelum sebelah tangannya terulur untuk mengusap air mata adik kecilnya.

"Nggak ada yang salah, Neal. Gue bilang ini bukan buat lo bahagia. Tapi memang nggak ada yang salah sama lo, kenapa lo harus sesedih ini?"

"Gue nggak pernah lihat senyum Ayah. Gue nggak pernah lihat Ayah senang kalau sama gue. Apa yang salah dari gue? Kenapa sebenci itu Ayah, Bang Abi, bahkan Mas Pandu sekalipun. Kenapa?"

Hela napas berat membuat Pangestu diam, hanya tangannya yang bergerak untuk menarik tubuh bergetar Neal masuk ke dalam peluknya. Ia tahu, adiknya cukup sensitif sejak dulu.

"Gue pikir bukan lo yang salah. Bukan Ayah, Abi, apalagi Mas Pandu."

Neal diam, sambil menangis meluapkan semua sesak dalam dadanya saat Pangestu memeluknya. Hanya diam, tak ada satu kata pun yang ia keluarkan selain mendengar ucapan Pangestu.

"Gue bukan membela, tapi gue rasa, memang Tuhan sangat sayang sama lo. Tuhan ingin menguji, seberapa sabar lo menghadapi masalah, seberapa kuat lo bertahan dengan ketidak Adilan."

Pangestu menjeda ucapannya, ia terus mengusap lengan Neal, meski sesak dalam dadanya sudah tak lagi mampu ia tahan.

"Gue tahu ini nggak baik. Tapi, dari sekian banyak manusia, lo itu paling beruntung. Salah satu manusia yang masih memiliki sosok Ayah, bahkan saudara. Gue pernah bilang sama lo, kan?"

Neal mengangguk. Ia ingat, mana mungkin Neal bisa lupa dengan ucapan ajaib Pangestu yang selalu disampaikannya  sebelum tidur.

"Bahu lo masih bisa buat gue bersandar, kan, Mas?"

Pangestu menunduk, kemudian tersenyum lalu mengangguk, "Selalu. Kapan pun lo butuh, gue di sini. Tangan ini, bisa lo genggam kapan aja."

"Makasih."

Pangestu pun kembali mengangguk. Usai melepaskan peluknya, pemuda itu pun kembali mengusap jejak air mata yang masih basah di pipi adik kecilnya. Ia tahu Neal selalu menangis setiap malam, tetapi enggan untuk bercerita.

"Gue ke depan dulu, lo makan cepat, habis itu minum obat. Gue baru beli obat tadi di apotek, istirahat, nanti malam gue ajak jalan kalau lo udah mendingan."

Neal mengangguk saja, anak itu dengan cepat menarik piring yang sempat digeser oleh Pangestu, kemudian menyuapkannya dengan pelan. Pangestu tak lagi berkomentar, pemuda itu segera bangkit dan pergi  usai mengusap kepala adiknya.

"Gue cuma mau bilang thanks, Mas. Tapi gue juga nggak bisa bohong, kalau gue mau dipeluk Ayah, sama kayak Bang Abi."

Dalam diam, selalu hal itu yang Neal ucapkan. Matanya tak lepas dari punggung tegap Pangestu yang kini sedang mencuci motor jadul milik pemuda itu. Sesekali tersenyum tatkala melihat Pangestu dengan  hanya memakai kaos oblong juga celana pendek. Ia selalu berharap, kedua kakaknya yang lain bisa seperti Pangestu, yang diam-diam menyimpan rasa sayang begitu besar padanya.

"Makasih, Mas."

🍁🍁🍁

Hallo kembali lagi dengan Neal. Apa kabar semuanya, semoga sehat selalu. Terima kasih sudah berkunjung salam manis Neal.

Publish, 22 Mei 2024

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro