12. Rumah Bukan Tempat Singgah
Sejak Neal melepaskan setengah beban di hatinya, anak itu terlihat sedikit murung. Bukan hanya wajahnya, tubuhnya pun cukup panas bila di sentuh. Renal tidak bisa berdiam diri, sudah tiga kali cowok itu meminta Neal untuk pergi ke UKS, meski jam pelajaran masih belum selesai, tetapi wajah cemas Renal sudah sangat terlihat jelas di mata Neal.
Sudah berulang kali Neal mengatakan kalau dirinya baik-baik saja, nyatanya anak itu memilih merebahkan kepala di atas meja dengan kedua tangan yang dilihat sebagai bantalan. Kelopak matanya bergetar menahan sakit, bulu mata lentik membuat paras tampan itu semakin mengenaskan dengan warna pucat wajah sampai ke bibir kering yang biasanya lembab dan berwarna pink cerah.
"Jangan lihat gue begitu," sahutnya.
Renal tentu terkejut, meski telinganya mendengarkan penjelasan guru, tapi matanya selalu merik ke arah Neal yang duduk di sebelahnya. Tak peduli dengan teguran guru, Renal pun mengulurkan sebelah tangannya untuk menyentuh kening Neal.
"Panas Neal."
"Sedikit."
"Ini bukan sedikit, badan lo emang panas. Kenapa suka maksain diri kalau emang kurang sehat, pasti lo belum sarapan, kan?"
Neal tersenyum dibalik wajah pucatnya anak itu membuat sedikit kedua matanya yang indah untuk menatap wajah Renal yang begitu khawatir.
"Udah kenyang kok, mau sarapan apa lagi? Lo jangan lebay, gue baik-baik aja, nanti juga mendingan. Panas biasa, jangan dipikirin. Pak Burhan bisa lempar penghapus ke muka lo nanti."
Renal kesal, tapi juga ngeri mendengar itu. Ia tahu gurunya yang satu itu memang cukup menyeramkan, walau sudah berbisik pun pasti akan ketahuan. Ia pun memilih kembali fokus, walau sebenarnya pandangan Renal masih tertuju pada Neal, terlihat dari ekor mata cowok itu, kalau dia sangat khawatir.
"Neal."
Renal tahu, Neal begitu pusing bahkan untuk sekadar mengangkat kepala, wajahnya semakin pucat, tetapi tetap memaksa untuk menegakkan tubuh karena teguran Pak Burhan.
"Kamu pikir saya sedang berdongeng? Enak sekali kamu tidur di jam pelajaran saya."
Renal menoleh, membuat Neal ikut melirik sekilas kemudian kembali menatap ke arah Pak Burhan yang berdiri tegak di depan kelas dengan sebelah tangan dimasukkan ke dalam saku celana hitam bahannya.
"Maaf Pak, kalau gitu saya izin ke toilet."
"Neal," bisik Renal sambil menggeleng pelan.
Perhatian Renal terhadap Neal, tak seperti teman biasa, cowok itu selalu memperlakukan Neal seperti seorang adik. Usia Neal yang masih terbilang muda, membuatnya sedikit terkejut saat itu.
"Nggak apa-apa," ucap Neal meyakinkan.
Neal pun berdiri, membiarkan Renal melepaskan sebelah tangannya yang sejak tadi menggenggam tangan kurus Neal.
"Silakan, cepat kembali."
Neal hanya mengangguk, setelah mendapat izin anak itu pun melangkah meninggalkan tempat duduknya dan keluar dari kelas menuju toilet. Walau kepalanya terasa berat, pandangannya sedikit kabur, Neal tetap memilih melangkah dengan berpegangan pada tembok agar tidak terjatuh.
"Mas Pangestu," lirihnya.
Di saat seperti ini hanya Pangestu yang ia ingat, padahal nama Abi selalu menjadi list nomor satu dalam segala hal. Sesekali ia memegang kepalanya, pusing yang melanda membuat Neal menggeleng untuk mengurangi pusing, tetapi sebelah tangannya lebih dulu menjambak rambutnya karena sudah tak sanggup.
"Sakit," lirihnya.
Tubuh Neal pun sudah terkulai lemas di atas lantai, gemetar tangannya membuat Neal tak lagi bisa menahan kepala yang terus berdenyut. Meminta pertolongan pun Neal tak sanggup untuk berteriak. Ia pun menyeret tubuhnya untuk bersandar pada tembok kelas.
Neal pikir hari ini akan tetap tenang seperti biasa, menaruh harap suatu hari akan ada tangan terulur untuk membantunya berdiri tegak. Namun, ia lupa hari-harinya tak pernah manis seperti permen gulali yang ada seperti kopi tanpa gula.
"Gue masih bisa berdiri kok."
Sahut Neal, saat ia menyadari ada sebuah tangan yang terulur di depan wajahnya. Kedua mata Neal masih menatap ke arah lantai dingin koridor sekolah. Kepala yang terus menunduk membuatnya sedikit sulit untuk mendongak, menatap siapa yang berdiri di depannya.
"Ayo pulang."
Jelas sekali Neal mengenal suara itu, ia berusaha menajamkan pendengaran dan memaksa kedua matanya untuk terbuka sedikit lebar. Walau berat sekali untuk melakukannya.
"Kali ini, Neal."
"Mas Pangestu?" lirih. Ia benar-benar menatap lekat wajah pemuda yang kini sudah berjongkok di depannya. "Lo di sini?"
Pemuda itu mengangguk, tak lepas dari pandangannya sebelah tangan pemuda itu pun terulur untuk mengusap wajah Neal. Panas tubuh yang cukup menyengat kulit itu, membuat Pangestu menghela napas. Ia yakin, kalau adiknya belum sarapan sama sekali. Bahkan, sejak semalam bisa dilihat kalau Neal memilih tidur cepat padahal belum makan.
"Gue masih ada pelajaran, gue nggak mau bolos kayak lo."
"Gue tahu, tapi kali ini tolong ikut sama gue. Kita pulang."
"Kenapa?"
Pangestu mengerutkan alisnya saat hendak meraih sebelah tangan Neal untuk di papah. "Apanya?"
"Kenapa lo datang di saat gue sendiri."
"Gue Kakak lo, mana bisa gue sejahat itu."
"Tapi Bang Abi, dia suka cari alasan, kenapa sama lo, Mas?"
Pangestu tidak mengindahkan ucapan Neal. Pemuda itu langsung mengangkat tubuh Neal tanpa izin, walau ingin menolak, tapi Neal tak mampu selain pasrah. Tubuhnya sudah sangat lemas, belum lagi tungkainya sudah benar-benar tak sanggup untuk berdiri barang sebentar.
"Makasih."
Hanya itu, tetapi Pangestu tak menyahut. Ia memilih berjalan cepat menuju parkiran. Tak lupa tas ransel milik Neal yang sudah berada di punggungnya. Pemuda itu dengan hati-hati membantu Neal duduk di dalam mobil di bagian jok depan sebelah kursi kemudi.
"Mas, gue mau ke kontrakan lo aja," ucap Neal sebelum akhirnya Pangestu menutup pintu mobilnya dan jalan memutar badan untuk segera masuk ke dalam mobil.
"Sandaran aja, nanti gue bangunin kalau udah sampai."
Tidak perlu perintah, Neal memang melakukan itu setelah dirasa nyaman. Sementara Pangestu menyalakan mesin mobil setelahnya melaju meninggalkan parkiran sekolah Neal.
Sepanjang perjalanan, Pangestu mencuri pandang pada kursi penumpang di sebelahnya, pandangan yang penuh kesedihan juga sesak bila diingat. Sesekali ia mengusap kepala adiknya, tak hanya itu ia pun mengusap jejak air mata yang telah kering di sudut matanya.
"Gue masih di sini, buat jadi bahu ketika lo sedih, Neal."
Hanya itu. Pangestu tak pernah mengutarakan isi hatinya lebih banyak. Pemuda yang selalu menjadi pelindung diam-diam untuk Neal, nyatanya akan kalah bila melihat air mata sang adik. Ia tak pernah bicara banyak, tetapi tindakannya tak pernah membuat membuat Neal lupa.
Setiap kali anak itu terjatuh, Pangestu akan datang dan membungkuk, memberikan punggungnya untuk Neal bersandar ketika digendong. Atau ketika Neal mengeluh takut tidur sendiri, Pangestu akan datang dan menemaninya sampai pulas. Tak banyak, tapi sesuatu yang tak terduga itu membuat Neal seakan lupa dengan kesedihannya.
Kini, hal yang sama terjadi lagi. Tanpa Neal sadari, Pangestu mengikutinya sampai ke sekolah. Menunggu di warung pinggir jalan tepat di depan sekolah Neal. Hampir tiga puluh menit menunggu Neal muncul, sempat membuat Pangestu kesal bahkan sempat ingin pergi. Namun, belum lama ia menoleh, sosok yang ditunggu pun muncul dengan wajah murung tidak bersahabat.
Terlihat pucat bahkan begitu lamban saat berjalan. Awalnya Pangestu biarkan saja, ia hanya memandang dari kejauhan. Mengingat Neal tidak pernah suka diikuti ke manapun, mau tidak mau pemuda itu memilih mengobrol dengan satpam ketika brl masuk berbunyi. Saat semua siswa di sekolah itu masuk ke kelasnya masing-masing.
Tak ada yang Pangestu kerjakan sebenarnya, ia hanya ingin berada di sana menikmati udara pagi sambil mengobrol bersama satpam. Terdengar kurang kerjaan, tapi hatinya tergerak seperti sedang dapat panggilan untuk tetap di sana menunggu waktunya tiba.
Nyatanya, perasaan gelisah itu memang benar adanya. Ia langsung mendapat pesan singkat dari Renal, teman sekolah Neal. Belum sempat menjawab pertanyaan satpam, Pangestu langsung berlari mencari keberadaan adik kecilnya. Walau sedikit kebingungan, akhirnya Pangestu dapat melihat tubuh ringkih Neal yang sedang bersandar pada tembok kelasnya.
Pemuda itu tak lagi berlari, ia justru berjalan mendekat dengan jantung yang sudah berdebar kencang. Sejak pagi tak satu kata pun yang Pangestu dengar dari bibir Neal. Biasanya anak itu akan banyak bertanya, tetapi tidak. Neal terlalu bisu dalam waktu singkat.
Hingga kini, anak itu pun masih diam. Membiarkan kepalanya tertunduk padahal sudah hampir sore sejak mereka tiba di kontrakan beberapa jam lalu.
"Gue bukan kakak yang suka basa-basi, kalau Lo laper bisa makan sendiri, jadi jangan nyusahin perut kalau emang lo laper."
Neal diam, benar-benar seperti orang tak punya gairah hidup. Tatapan sendu itu semakin lama, semakin terasa menyakitkan bila ditatap terlalu lama. Bibir kering juga pucat itu terlihat seperti orang tidak makan berhati-hati.
"Pagi tadi Ayah peluk Bang Abi," katanya pelan.
Pangestu tak menyahut, pemuda itu memilih mendengarkan sejauh mana Neal mampu menahan sesaknya sendirian.
"Bang Abi terlihat sedih banget sampai Ayah sendiri nggak ngomong apa pun."
Sesekali Pangestu melirik, ia seperti patung bernyawa yang diam di tempat hanya untuk mendengarkan keluh kesah Neal. Ini bukan kali oertama anak itu datang ke kontrakannya. Bahkan setiap kali Neal malas pulang ke rumah, ia dengan rela duduk di depan teras menunggu Pangestu pulang.
Hari ini mungkin akan jauh lebih lama. Karena kondisi Neal yang terlihat kurang sehat. Matanya sedikit sembab, setelah menangis semalam dalam peluk hangat yang Pangestu berikan sebelum benar-benar tertidur pulas.
"Kenapa gue lahir, Mas?"
Pangestu mengerutkan keningnya. Mendengar Neal mengatakan kalimat dengan nada bergetar membuat Pangestu tersadar akan sesuatu. Pemuda itu pun sedikit menggeser tubuhnya agar ia dapat merangkul tubuh lemah Neal yang duduk sambil menunduk.
"Kenapa gue dilahirkan kalau Ayah sendiri belum berdamai sama lukanya. Kenapa gue dibiarkan hidup, kalau Ayah masih belum bisa menerima kehadiran gue seutuhnya. Kenapa?"
Diam. Hanya itu yang selalu Pangestu lakukan setiap kali Neal menangis. Ia akan menyandarkan kepala adiknya di bahu paling nyaman. Membiarkan Neal menumpahkan kekesalannya setiap kali mendapat perlakuan tak adil ketika di rumah.
"Lo masih punya rumah, selain rumah tempat berteduh. Gue masih di sini, jangan sedih, semua pasti baik-baik aja nanti."
"Kapan?"
"Nggak tahu sampai kapan, tapi gue cuma bisa mengingatkan. Jangan pernah berharap sama manusia. Tolong untuk tetap berdiri walau itu sendirian. Tubuh lo butuh energi, nggak cuma mikirin satu titik tanpa solusi. Nangis aja. Nggak ada yang salah kok."
Benar, tidak ada yang salah, tapi sampai kapan? Hanya itu yang Neal ingin tahu jawabannya. Kapan?
🐥🐥
Hallo ketemu lagi sama neal.apa kabar? Semoga selalu baik ya. Terima kasih sudah berkunjung, jangan lupa tinggalkan jejak agar aku makin semangat nulisnya. Salam manis Neal. 😁
Intip chatnya Mas Pangestu sama Neal Yuk gemes deh pokoknya.Cuplikannya kurang lebih begini. Jangan sampai ketinggalan ya, see you 🥰
Publish, 28 April 2024
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro