Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

11. Sebatas Darah, kan?

Neal terlalu lelah saat ia melihat sikap ayahnya pada Abi, seakan tak ragu untuk memberikan peluk yang selalu ia harapkan setiap kali terluka. Nyatanya, Abi masih menjadi pemenang yang handal dari pada dirinya.

Berulang kali Neal menggeleng saat di dalam toilet sekolah berhadapan dengan pantulan wajahnya ketika di depan cermin, membuat Neal mengerutkan kening sesekali. Ia tak lagi melihat cerah pada wajahnya sendiri. Beberapa kali juga ia memegang rahang yang mulai tirus.

"Mimpi siang bolong."

Neal menoleh ke sebelah kiri, di sana sudah ada Renal, teman baik Neal. Anak itu kembali memalingkan wajahnya menghadap cermin, memastikan kalau tidak ada yang salah di wajahnya.

"Kenapa?"

Neal menggeleng, ia tak ingin membuat Renal cemas, tetapi sebelah tangan Renal lebih dulu memegang lengan Neal hingga membuat anak itu menghadap sempurna ke arahnya.

"Abiyu, Abang lo yang manis nan menggemaskan itu, sekarang apa lagi?"

Neal menghela napas, lalu memilih melepaskan tangan Renal, perlahan mulai melangkah ke arah sudut toilet dan bersandar di sana dengan sebelah tangan yang ia masukkan ke dalam saku celana abu-abunya.

"Bang Abi... Dia baik sama kayak biasanya," ucap Neal.

Renal tentu mengenal siapa Neal, temannya itu tak akan mudah mengungkapkan kekecewaannya sebelum dipaksa dengan menatap lekat wajah yang sedikit pucat di matanya.

"Lo nggak amnesia, kan, Neal? Inget, kakak lo itu nggak cuma Abiyu, kenapa sesayang itu padahal lo tahu itu nggak tulus," sahut Renal.

Neal menunduk, tersenyum tipis, sebelum menjawab. Ia sendiri pun tak mengerti mengapa begitu sayang pada Abi padahal, masih ada Pangestu dan Pandu.

"Lo pikir, Abiyu bakal peduli? Neal, ayolah, pikir sekali lagi, hidup Lo nggak sepenuhnya tentang Bang Abiyu."

Neal mengangguk, ia sendiri tak tahu apa yang akan dia lakukan setelah melihat kejadian menyedihkan di depan matanya. Neal juga terluka, ia juga ingin dipeluk ayahnya, ia juga ingin seperti Abi yang mendapat banyak genggam hangat ayah ketika terluka.

Nyatanya, semua itu hanya sebatas angan yang belum tentu terjadi. Selama ini ia tahu, ayahnya sibuk bekerja, tapi ia tidak bisa menghilangkan bagaimana sikap sang ayah padanya dan juga Abi.

"Gue lihat, terus gue harus apa?" 

Renal menatap Neal dengan sebelah alis yang terangkat. Temannya seperti orang putus asa, jelas terlihat dari raut wajah lelah seakan menahan sesak.

"Maksud lo gimana? Ngomong yang jelas," sahut Renal.

"Ayah,"  jawab Neal.

Renal tahu apa yang ingin Neal katakan, cowok itu pun melangkah mendekati Neal yang sudah terduduk di lantai saat anak itu menunduk cukul lama, tubuhnya perlahan merosot seolah tengah mengingat sesuatu.

"Kenapa sama Om Rafiq, Neal?"

"Gue lahir, tapi gue nggak diharapkan, gimana menurut lo?" 

Renal sungguh tidak sanggup bila melihat mata merah yang mulai berair, bahkan bibir bergetar Neal sangat jelas kalau anak itu terluka. Rambut hitamnya sudah basah karena keringat. Renal tak lagi melanjutkan percapakannya, cowok itu langsung memeluk Neal dengan erat.

"Ayah belum sepenuhnya sayang gue, Re, sakit banget rasanya," ucap Neal. Dengan suara serak anak itu menangis dalam peluk Rsnal.

Tak peduli apa yang akan dikatakan orang  nanti, tapi Neal butuh bahu dan telinga saat ini. Ia rela di marahi setelahnya karena sudah berani bolos di jam pelajaran. Ia juga tak peduli tentang olok -olok teman sekelasnya. Yang Neal butuh adalah bahu, tempatnya bersandar.

Jika ia bisa meminta pada Tuhan, Neal tak ingin dilahirkan ke dunia, kalau akhirnya kasih saja belum bisa ia dapat apalagi cinta. Benar apa yang dikatakan Pangestu ketika dirinya berdiri di depan pintu kamar pemuda itu.

Walau sempat bingung, tapi Pangestu mengatakannya dengan penuh keyakinan, tak lepas dari tatapan tajam yang begitu menusuk membuat Neal takut awalnya. Namun, beberapa detik berikutnya, pemuda itu melangkah dan meraih sebelah tangan Neal untuk ia bawa masuk ke dalam kamarnya.

"Berkunjung dengan cara mengintip itu nggak baik. Mending bilang walau bar-bar. Itu cukup membuktikan kalau diri lo bukan mainan, Neal."

Baru pertama saja ucapan Pangestu sudah sangat menyebalkan, itu yang Neal rasakan. Keduanya memilih duduk di atas lantai yang diberi alas permadani berurukuran sedang. Sambil berselonjor kaki dan bersandar pada badan tempat tidur, membuat mereka sedikit nyaman untuk memulai kembali percakapan canggung juga aneh. 

"Gue mau ketuk pintu tadi, lo udah narik gue duluan," sahut Neal tak mau kalah.

Pangestu tersenyum, pemuda itu tahu adik kecilnya tak pernah berbohong. Tapi sayangnya, Abi selalu membuatnya menangis dengan membohonginya.

"Gue bukan kakak yang baik buat lo, tapi gue berharap, gue bisa jadi tempat kembali di saat lo jatuh, Neal. Walau nanti  banyak orang yang datang buat nolongin lo, gue yakin, tempat lo pulang cuma gue, nggak ada lagi."

"Mas, lo itu kebanyakan makan sastra kayaknya."

Pangestu terkekeh, sebelah tangannya mengusap kepala Neal dengan lembut. " Sastra mana bisa dimakan?"

"Habis, omongan lo kayak orang bener. Padahal kalau kuliah suka bolos, kan?"

"Anak kecil mana boleh berburuk sangka begitu. Kalaupun bolos, buat adik kecil ini emang nggak boleh?"

Tentu. Neal tak bisa melupakan itu. Sudah sering bahkan tak pernah ketinggalan sosok Pangestu dalam hidupnya. Di saat sang ayah tak bisa datang ke sekolah untuk menghadiri acara sekolah, Pangestu yang pasang badan sebagai perwakilan. Padahal Neal tahu, kakak keduanya itu cukup sibuk, tetapi mau menyempatkan waktunya dibandingkan Pandu dengan seribu alasannya.

Neal menoleh, kala Pangestu terdiam cukup lama, terlihat wajah lelah dari sorot mata kakak keduanya. Ia pun memilih duduk bersila menghadap Pangestu tanpa mengatakan apa pun.

Hal itu membuat Pangestu mengerutkan kening ketika menoleh dan menemukan wajah suram sang adik yang begitu menyedihkan.

"Kenapa?"

"Mas, makasih. Diantara yang lain, lo paling berguna buat gue."

Pangestu tertawa, tetapi beberapa detik berikutnya, Pangestu meletakkan sebelah tangannya di atas punggung tangan Neal, sambil mengusapnya lembut.

"Seburuk apa pun sikap Ayah, tolong jangan benci Ayah, ya. Ayah juga sama kayak kita, masih belajar, dia belum tahu caranya memberi dengan adil, walau gue tahu hati Lo pasti sakit setiap kali lihat sikap Ayah, apalagi ke Abi."

Neal terdiam, anak itu menunduk, menatap ibu jari Pangestu yang masih mengusap punggung tangannya. Hangat. Itu yang Neal rasakan setiap kali Pangestu menggenggamnya.

"Gue juga sama kayak lo. Waktu itu Ayah  baru punya gue sama Pandu. Terus waktu tahu Ibu hamil anak ketiga, semua perhatian Ayah lari ke adik baru, Abiyu."

Neal tahu ini salah, tapi ia tak bisa menahan diri, ia ingin mendengarkan lebih banyak kisah dari Pangestu. Itu yang selalu Neal lakukan bila bersama Pangestu.

"Abiyu, anak kesayangan Ayah. Gue tahu ini salah, gue juga sempat iri. Karena perhatian Ayah cuma buat Abi. Bahkan, Pandu selalu marah kalau Ayah bela Abi."

Neal pun mulai mengangkat, kepalanya, menatap wajah Pangestu dengan heran. " Kenapa?"

"Pandu nggak suka sikap Ayah. Apalagi waktu lo lahir, Ayah sama sekali berbeda. Umur kita bertiga masih kecil, tapi udah harus kehilangan Ibu."

"Harusnya gue nggak lahir, kan?"

Pangestu menggeleng," kelahiran dan kematian itu nggak ada yang bisa prediksi, Neal."

"Tapi setelah itu, sikap Ayah dan Mas Pandu kadang cuek sama gue. Kenapa Mas?"

Neal tahu Pangestu tak akan meneruskan ceritanya, bahkan pemuda itu memilih memeluknya tanpa berkata apa pun. 

Kini, Neal merasakan sesak yang sama, tepat setelah Renal melepaskan peluknya, cowok itu pun berdiri sambil mengulurkan sebelah tangannya ke arah Neal.

"Kita manusia biasa Neal. Sedih dan kecewa, pasti akan datang kapan aja. Tapi sekarang, lo hidup bukan buat diratapi, tolong buat diri lo kuat sekali lagi dan buktikan ke mereka lo juga mampu."

"Sedarah, bukan berarti harus selalu sama, kan?"

Benar. Itu yang Pangestu katakan pada Neal ketika keduanya saling memberi kedamaian dalam dekap hangat seorang saudara yang ingin menguatkan satu sama lain.

🐥🐥

Hallo, terima kasih sudah berkunjung. Salam manis Neal. Jangan lupa tinggalkan jejak ya 🥳

Publish, 31 Maret 2024

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro