10. Ayah, Tolong Neal
Seharian kemarin tugas Pangestu berjalan dengan lancar, tak ada satu pun hal kecil yang terlewat olehnya. Tentu itu membuat Neal cukup senang. Setidaknya ia masih ditemani walau satu hari.
Kini rumah sederhana kediaman Rafiq kembali seperti biasa, hanya kesunyian yang tercipta di dalamnya. Tak ada tawa atau tegur sapa. Semua penghuni sibuk dengan pikiran masing-masing. Tidak terkecuali dengan Pangestu. Pemuda itu baru saja membantu Neal berkemas untuk pergi ke sekolah.
Semalaman Neal sama sekali tidak ingin ditinggal, bahkan untuk sekadar ke kamar mandi.
"Neal mana?" tanya Abi. Pemuda itu baru kelihatan setelah beberapa hari tak muncul batang hidungnya.
"Lo nanya ke siapa? Di sini ada Ayah, tanyalah," sahut Pangestu.
Sudah malas bicara, apalagi menatap wajah sok peduli yang diperlihatkan oleh Abi. Pemuda yang tak tahu datangnya kapan itu hanya melempar pandang sebentar lalu menaikkan sebelah bahu, tanda tak ingin mau tahu.
Pangestu hanya berdecih, ia sudah hafal dengan adiknya yang satu itu. Bermuka dua saat ada Neal. Padahal dari dulu dia yang paling menentang kehadiran adik bungsunya. Sedang Pandu, pemuda tertua di keluarga itu hanya diam menyimak tanpa mau berkomentar, selebihnya ia akan menutup rapat telinganya seakan tak peduli tentang situasi yang tejadi.
"Neal masih belum selesai berkemas? Bukannya kamu membantu anak itu, Tu?"
Pangestu melirik sebentar, lalu mengambil napas dalam, seraya menyudahi sarapan mereka yang memang tak pernah tenang.
"Ayah tanya aku? Harusnya Ayah yang lebih tahu keadaan dia gimana. Maaf, tapi aku udah terlambat, aku permisi duluan."
Bukan karena kesal, tetapi Pangestu memang sudah cukup terlambat meski sarapan di piringnya belum habis, tetapi pemuda itu tetap membawa sisa makanannya untuk di simpan di lemari pendingin. Selalu begitu, hanya makan separuh dan menyisakan ya.
Sementara Rafiq, lelaki yang disebut sebagai ayah itu tak bergeming sama sekali, hanya memandang punggung tegap anak keduanya yang mulai menjauh melewati pintu utama.
Hela napas terdengar begitupun dengan tatapannya beralih pada Neal, remaja yang baru saja menjadi topik hangat di pagi yang cukup mendung. Anak itu bahkan tak menyapa apalagi duduk bersama untuk sarapan.
"Kenapa masih berdiri di sana? Sini, hari ini Abi buatkan telur mata sapi kesukaanmu."
"Iya, sini. Gue udah buatin lo sarapan, buruan sebelum jatah Lo habis sama Mas Pandu."
Neal tidak menjawab satu pun pertanyaan dari Ayah atau kakaknya itu. Ia hanya memandang biasa ke arah meja makan di mana Pandu berada. Pemuda itu sama sekali tidak melirik ke arahnya. Padahal ia ingin sekali Pandu buka suara hanya sekadar menawari walau tak sepenuhnya ingin. Berbohong pun tak masalah, tapi ia tidak ingin membuat mood kakak sulungnya berantakan karena satu kata yang sama sekali tak penting.
"Neal berangkat dulu, Yah. Takut telat," ucap Neal pelan.
Mendengar itu, Rafiq tak menahan lagi. Lelaki itu hanya mengangguk lalu mempersilakan anak bungsunya pergi dengan tangan terkepal menahan sesak.
Jangankan memberi sapa, menoleh saja tidak sepenuhnya menatap wajah pucat Neal yang sejak semalam terus mengigau.
"Lo mau gue anter?"
Neal yang baru saja akan melewati pintu utama, kembali terhenti. Kebetulan kamarnya berada di lantai dasar dekat dengan ruang makan yang tak jauh dari pintu utama dan ruang tamu.
"Enggak. Gue sendiri aja, nanti ada temen, kok." Abi mengangguk saja.
Tidak seperti biasanya dia hanya basa basi, seperti yang Neal dengar dari Pangestu semalam, sebelum mereka tidur. Pemuda itu menceritakan sedikit tentang masa kecilnya yang begitu suram. Dan berakhir malas berkomentar sampai dewasa.
"Jangan percaya siapa pun yang ada di rumah, kecuali diri lo sendiri. Kita hidup bukan buat orang lain aja. Tapi, buat diri sendiri yang belum tentu orang lain bisa memahami apa maksud kita."
Neal mengerjap sekali, mencoba mencerna sedikit dari kalimat-kalimat yang Pangestu lontarkan kala itu. Ia berbaring miring sambil memeluk perut kakaknya yang berotot itu. Sementara Pangestu duduk dengan bersandar pada kepala ranjang dengan sebelah tangan yang terus mengusap lembut keningnya.
Sesekali Neal mendongak, mendengarkan sembari memainkan jemari Pangestu yang dibiarkan bebas di atas perut pemuda itu sendiri.
"Gue tahu ini salah. Tapi lo bisa nilai sendiri seiring berjalannya waktu nanti. Sama halnya dengan Ayah. Apa pun yang Ayah ucap ke lo, jangan sampai lo kemakan omongannya."
"Kenapa?"
"Karena kita nggak pernah tahu apa yang mereka rencanakan. Sekarang baik, belum tentu besok baik."
"Kenapa lo seakan nggak suka sama Ayah, Mas Pandu dan Bang Abi, Mas?"
"Karena mereka selalu menyalahkan takdir, padahal hidup dan mati sudah ada perjalanannya sendiri. Bisa aja malam ini gue mati, kan? Kenapa harus menyalahkan orang lain atas kematian karena kelahiran?"
"Gue bingung."
Pangestu terkekeh saat itu. Ia juga bingung harus menyederhanakannya bagaimana. Padahal, Neal anak remaja dengan seragam putih abu-abu. Status SMA sudah melekat pada dirinya. Namun, jiwa penasarannya selalu berhasil membuat Pangestu gemas sekaligus kesal.
Bukan karena Neal yang bodoh. Melainkan, ia yang lupa kalau adiknya masih perlu arahan yang benar diantara empat lelaki dengan karakter yang berbeda. Anak itu seakan bingung harus berpegangan pada siapa. Hingga kini, Neal masih sama, tetap bersikap adil pada saudara juga ayahnya.
Begitu pun dengan pendiriannya yang menolak kehadiran ibu baru dalam kehidupannya. Ia tidak rela bisa ada orang lain yang menggantikan posisi ibunya. Ia juga tidak rela jika perhatian ayahnya harus terbagi lagi.
Sampai detik ini pun, Neal masih berusaha menggapai itu. Demi sebuah peluk hangat untuk meredakan luka hati saat suara nyaring terus menerus menyerang perasaan juga pikirannya.
"Nanti lo bisa ngerti sendiri, kalau hati dan pikiran lo udah bisa diajak kerja sama. Sekarang cukup melihat dan lakukan sebisanya, jangan memaksakan kehendak apa pun."
Benar. Hanya sekadar obrolan sebelum tidur semalam saja sudah membuat Neal berubah pikiran untuk tidak terlalu percaya pada mulut besar orang lain, bahkan keluarganya sendiri.
Anak itu tersadar, kala petik jari Pabdu berada di depan wajahnya. Membuat anak itu menoleh lalu menatap kakak sulungnya dengan tatapan penuh tanya. Setelahnya kaki jenjang itu pun melangkah tanpa berkat apa-apa.
"Dia kenapa, Mas? Lagi puasa apa ya?"
Pandu langsung melirik ke sebelah kirinya. Ada Abi yang berdiri dengan sebelah tangan yang memengang tas ransel.
"Pertanyaan yang tak perlu saya jawab, pasti kamu sudah tahu jawabannya apa. Buang-buang waktu saja."
Setelahnya Pandu memilih pergi begitu saja, meninggalkan Abi yang masih berdiri di depan pintu seraya menunggu Rafiq, sang Ayah.
"Ayo, kamu ada kelas pagi, kan?" tanya Rafiq tiba-tiba.
Abi menoleh sebentar, memastikan penampilan sang ayah cukup rapi, terilhat dari setelah baju yang dikenakannya.
"Ayah mau dinas keluar? Rapi banget, tumben?"
"Ayah sudah merapikan rumah, nanti giliran kamu yang menjaga Neal. Awasi dia selama Ayah pergi. Dan untuk Pandu, biarkan saja dia. Dia sudah dewasa begitu pun dengan Pangestu, kamu paham maksud Ayah, kan, Abiyu?"
Abi menghela napas berat. Lagi, pemuda itu menjadi pengasuh bayi besar ayahnya yang cukup membosankan bisa dilihat. Setiap kali Neal di rumah, sebenarnya Abi malas, ia ingin sekali main bersama teman-teman tongkrongannya tanpa memikirkan pesan ayahnya. Nyatanya, pemuda itu hanya bisa patuh walau hatinya cukup kesal.
"Kenapa Abi? Ayah tahu, Abi itu nggak suka lama-lama sama Neal. Kenapa harus Abi lagi, Yah?"
"Karena kamu kakaknya. Ayah memang bersalah pada Neal. Tapi bukan berarti kamu harus menjauh juga, kan?"
Secepat kilat, Abi menggeleng. Pemuda itu menatap tajam ke arah sang ayah setelah posisi mereka saling berhadapan. Ada amarah yang tak bisa Rafiq pungkiri, ketika anak ketiganya mengeluh.
"Aku memang bukan Ayah. Tapi perlu Ayah ingat lagi, sampai detik ini. Aku masih belum bisa terima Neal seutuhnya. Aku benci dia. Ayah bisa aja luluh, tapi aku? Aku nggak akan pernah rela berbagi lagi, sama Neal. Dia udah buat Ibu pergi, dan aku nggak mau Ayah pergi karena dia. Aku mungkin setuju sama Neal, kalau Ayah nggak harus menikah lagi, tapi aku nggak akan pernah setuju kalau Ayah nyuruh aku berdamai dengan dia. Enggak, Yah."
Rafiq sadar, dirinya sudah salah mendirik. Tapi ia juga tidak bisa egois hanya karena egonya. Ia tidak tega melihat Neal. Biar ia saja yang sakit, hanya itu yang Rafiq ucapkan setiap kali menatap wajah teduh Neal setiap kali anak itu keluar dari kamarnya.
Menunduk seakan takut melihat sekeliling, bahkan sudah beberapa kali Rafiq tak melihat Neal duduk bersama di meja makan. Ia sebenarnya khawatir, tapi sampai detik ini, rasa kesal juga amarahnya selalu lebih cepat dari pada rasa sayangnya.
"Ayah nggak bisa paksa Abi, gini."
Bagaimana bisa Rafiq menolak, ia akan dengan cepat menarik tubuh pemuda itu dalam peluknya setiap kali mata tajam itu mulai menunduk, berbeda dengan Neal, meski sudah menahan sakit, Rafiq seolah lupa kalau dirinya masih memiliki putra selain Abi yang harus diberikan masing sayang yang sama.
"Maafkan Ayah."
Tentu itu akan keluar dengan mudah dan langsung didengar, sementara dengan Neal, lelaki itu akan bungkam seolah bibirnya begitu kelu untuk berujar. Sementara di ujung gerbang rumahnya, Neal tengah mengintip, memastikan kalau ia tak salah lihat.
Anak itu cukup mengangguk tanpa bersuara,"begitu, ya?"
Tidak ada satu pun yang menyadari sosok Neal yang belum pergi sepenuhnya. Bahkan, Pandu saja tidak melihatnya padahal, sempat melewati gerbang.
"Jangan begini, Yah. Neal juga sakit."
Hanya sekadar kata tanpa diucap. Neal memilih pergi setelah melihat pelukan hangat yang ayahnya berikan untuk Abi.
🐥🐥
Hallo kembali lagi dengan Neal. Terima kasih telah berkunjung. Salam manis Neal.
Publish, 22 Februari 2024
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro