09. Mas, Tolong Jangan Pergi, Ya.
Apa yang Pangestu ucapkan tidak pernah salah, pemuda itu benar-benar menepati janjinya untuk menemani Neal seharian penuh. Tak hanya jalan pagi, pemuda itu juga menemani adik kecilnya mengerjakan tugas, lalu bermain game online bersama.
Sesekali Pangestu menggoda Neal yang mudah tersulut emosinya. Bukan, bahkan hampir menangisi Neal karena gemas melihat ekspresi kesal pada wajah mungilnya.
"Gue aduin Bang Abi nanti."
Pangestu pura-pura tuli untuk ancaman kecil yang sejak tadi dilontarkan oleh Neal. Anak remaja manja dengan wajah tanpa rasa bersalah. Walau mengomel, Neal tetap tidak peduli dengan tingkahnya sendiri. Anak itu justru memilih merebahkan kepalanya di atas punggung Pangestu yang tengah berbaring tengkurap.
"Ngadu aja, Abi mana berani."
"Kata siapa? Jangan kepedean, Mas. Bang Abi itu punya kartu rahasia."
"Percaya?"
Neal diam, anak itu berpikir sejenak. Kemudian beralih duduk sambil bersila, tak lupa kedua tangan yang juga ikut disilangkan di depan dada. Dengan memasang wajah garang, membuat Pangestu menolehkan kepala menatap adik kecilnya itu.
"Kenapa? Lo bilang aja sana sama Abi, dia paling anti ngobrol sama gue."
"Itu karena lo juga," balas Neal tak mau kalah.
"Gue? Nggak salah? Ingat baik-baik."
Neal kembali terdiam, anak itu tak bergeser sedikit pun saat Pangestu hendak bangun. Kedua matanya yang semula terbelalak, kini beralih sendu, begitu pun dengan bibir mengerucut yang sudah kembali melengkung ke bawah. Neal benar-benar bungkam ketika ia mencerna ucapan Pangestu beberapa menit lalu.
"Kenapa diem? Bukannya lo sangat mendewakan Abiyu? Abang lo itu?"
Neal menoleh menatap Pangestu, pemuda itu sudah berdiri di balik pantri sambil menuangkan jus cepat saji ke dalam gelas.
"Dia juga adek lo, Mas. Kenapa cuma Abang gue?"
"Sejak kapan dia jadi adek gue? Kapan kita pernah damai? Kapan kita pernah ngobrol santai? Lo inget? Kasih tahu gue kalau iya."
Pangestu tidak lagi melanjutkan obrolannya. Pemuda itu memilih pergi ke halaman belakang untuk menghindari perdebatan. Ia tak ingin membahas terlalu banyak tentang Abiyu. Sedang Neal, anak itu masih diam membisu usai mengatakan hal yang paling malas untuk Pangestu dengar.
"Kalau dia tahu, apa yang Abi bilang tempo hari, udah ngamuk-ngamuk pasti. Bikin emosi aja."
Gerutu Pangestu. Pemuda itu seakan gerah dengan sikap yang Abi perlihatkan padahal itu hanya kebohongan untuk tetap menjadi anak kesayangan Ayahnya. Entah sudah berapa kali ia mengingatkan Abi, tapi adiknya satu itu cukup keras kepala seakan menganggap Pangestu adalah musuh terbesar.
"Mas," panggil Neal.
Anak itu berdiri tak jauh dari tempat Pangestu duduk. Kepalanya yang terduduk pun cukup mencuri perhatian Pangestu. Pemuda itu masih tetap diam, tak ada sahutan apa pun, hanya hela napas membuat Neal sedikit takut saat kembali mengangkat kepalanya.
"Mas marah sama gue?" Neal terdiam sejenak, memastikan tatapan tajam kakaknya tidak sedang mengarah pada anak yang kini masih berdiri bagai patung.
"Maaf Mas."
Cukup. Pangestu tidak suka dengan sunyi yang Neal ciptakan. Ia lebih suka Neal yang cerewet dari pada diam dan terus melontarkan kata sakral seharusnya tidak ia dengar dari mulut Neal.
"Ngapain lo di situ? Emang begitu caranya minta maaf?" sungut Pangestu.
Jujur saja, ia kesal sekaligus gemas sekali pada Neal. Sejak kecil anak itu selalu bisa membuat Pangestu luluh. Memang dirinya yang salah, selalu menjaga jarak demi melihat Neal tertawa. Padahal, dalam diri Pangestu ia ingin sekali mendekat, tetapi gagal dalam hitungan detik oleh Abi.
Pemuda seperti Abi dengan seribu wajah mampu membuat Neal patuh hingga anak itu tak bisa membedakan mana yang sesungguhnya sedang Abi mainkan. Ingin sekali Pangestu memeluk Neal saat anak itu menangis ditinggalkan oleh Abi dan Ayah, tetapi sekali lagi, Pangestu kalah cepat walau itu bukan Abi.
"Mas," panggil Neal pelan.
Pangestu tersentak, kala lamunannya hampir saja membawa terlalu jauh. Pangestu mendongak menatap neal berdiri tepat disebelahnya.
"Duduk," ucapnya sambil meraih sebelah tangan Neal.
Anak itu menurut, ia duduk di sebelah Pangestu lalu melirik ke arah kakak keduanya. Mereka hanya diam, belum ada satu pun yang memulai.Hingga deep voice Pangestu berhasil membuat Neal menatap kedua mata kakaknya yang sudah memerah.
"Kenapa lo sayang sama Abi? Kenapa masih mengharapkan Ayah bakal baik sama lo?" tanya Pangestu.
Neal diam sejenak, lalu merapatkan duduknya kemudian menyandarkan kepalanya pada bahu Pangestu. Pemuda itu hanya diam, sambil menikmati langit teduh di atas sana.
"Kata Mas Pandu, Ayah cuma pura-pura sayang sama gue," ucap Neal pelan.
Tak sedikit pun Pangestu melirik adiknya, ia tetap memandang lurus pada pohon besar yang ada di halaman belakang rumahnya. Sementara telapak tangannya sudah menggenggam erat jemari Neal yang terasa mulai dingin.
"Pandu bilang apa lagi sama lo?"
Sekesal itu Pangestu pada Pandu. Ia sama sekali tak mengerti jalan pikiran kakaknya. Sejauh ini Pangestu tetap diam, walau ia ingin sekali memukul Pandu dengan mulut besar yang selalu menyakitkan hati. Belum lagi tentang Abi dan terakhir ayahnya sendiri. Ia tidak mengerti mengapa orang seperti nereka begitu tega membuat Neal terombang ambing dalam perasaan.
Meski Neal seorang lelaki, tetapi anak itu memiliki hati dan haraoan besar dia yakin kalau apa yang dilihat juga dirasakannya itu nyata. Padahal, semua yang anak itu rasakan hanya sebuah kepalsuan untuk kepentingan pribadi.
"Kenapa Mas?" tanya Neal lagi.
Pangestu diam setiap kali nama Pandu disebut dan saat itu kenangan masa kecil mereka melintas tanpa diundang.
"Enggak, Lo mau nanya apa?"
Neal kembali menunduk, ia lupa Pangestu bukan Abi yang akan mendengarkannya setiap kali bercerita.
"Kata Mas Pandu Ayah cuma pura-pura sayang sama gue, itu bohong, kan Mas?"
"Lo percaya sama Pandu?"
"Kalau pun iya, apa tanggapan lo?"
"Sejauh ini, gue nggak lihat tuh. Apa yang Pandu pernah bilang ke lo, jangan lo denger. Dia itu status doang sulung, tapi belum tentu dia sebijak yang lo pikirin."
Neal mengerutkan keningnya, lalu mendongak menatap wajah Pangestu dari arah bawah. "Kenapa begitu?" tanyanya.
"Cukup diinget aja omongan gue, jangan lo pikirin apa yang Pandu atau Abi bilang ke lo. Tangan gue akan selalu terulur setiap kali lo sendiri."
Pangestu tahu apa yang terbaik untuk Neal. Ia tidak ingin adiknya terluka walau tak tergores. Ia tak ingin melihat Neal terus menunduk setiap kali bertemu ayah. Dan ia juga tak ingin mendengar keluhan Pandu yang selalu memaksa setiap kali Neal tak suka. Ia bosan berdebat setiap kali Abi tak mau kalah padahal sudah jelas, Neal tak salah.
Ia hanya bisa mengusap punggung tangan Neal setiap kali Neal terlelap. Diam-diam menyelinap hanya untuk membenarkan selimut atau sekadar mengusap kening yang berkeringat kala anak itu merasa takut.
Pangestu tahu segalanya, tapi pemuda itu tetap diam sampai detik ini. Ia tak ingin membuat keluarganya berantakan, cukupkan dia yang menjadi musuh Pandu hingga kini. Cukuplah dia yang menerima mulut pedas Abi saat pemuda itu melintas di depannya. Cukuplah dia yang tak sejalan dengan ayahnya setiap kali duduk duduk bersama di meja makan.
Tidak dengan Neal. Ia tak ingin Neal dikucilkan hanya karena dirinya yang tak sependapat tentang kepergian sang ibu. Tentang bagaimana satu jari itu mengarah padanya padahal usia mereka hanya selisih beberapa tahun saja.
"Mas," pelan suara Neal membuat Pangestu menunduk. Sesekali pemuda itu membawa tangan Neal untuk ia cium punggung tangannya.
"Kenapa?"
"Mas jangan pergi kayak Mas Pandu, ya."
"Pandu nggak pergi, dia cuma tersesat dengan pemikirannya yang keliru. Gue di sini. Jangan sedih, lo anak laki-laki, cukup di simpan kalau udah nggak kuat, bilang sama gue."
Neal mengangguk pelan, ia sudah mengantuk sebenarnya, tapi mulutnya tak henti berbicara begitu pun dengan isi kepalanya yang terlalu berisik bila mengingat ucapan Pandu beberapa hari lalu ketika mereka hanya berdua di dalam kamar.
"Kamu itu bukan siapa-siapa yang harus Abi jaga, jadi kamu jauhi Abi kalau bisa. Karena kamu ada, hanya jadi beban Ayah saja. Ingat Neal. Ayah tak sehangat yang kamu pikirkan."
Tidak, Neal tidak tuli, ia mendengarnya saat Pandu mengatakan semua itu ketika dirinya hendak bangun tiba-tiba Pandu sudah berada di dalam kamarnya.
Anak itu memejamkan kedua matanya dengan erat, membuat Pangestu mengerutkan kening dan mengubah posisi duduk Neal agar dapat melihat ekspresi adiknya.
"Neal?"
🐥🐥
Hallo Neal kembali lagi, terima kasih sudah berkunjung. Jangan lupa tinggalkan jejak agar aku makin semangat lagi menulisnya. Salam manis Neal 🤗
Publish, 18 Februari 2024
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro