Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

08. Neal, Kuat Kok Yah.

Jika semalam Neal bermimpi, tidak mungkin pagi ini sudah berada di kamar yang berbeda. Anak itu mengerjap beberapa kali saat bangun. Tak ketinggalan dengan rambut berantakan khas bangun tidur.

"Udah bangun, gimana tidurnya?" tanya pemuda yang baru saja keluar dari kamar mandi.

Kedua mata Neal membola, ia pun segera duduk dan mengusap wajah juga kedua matanya. Berharap apa yang dilihatnya hanya sebuah halusinasi. Bahkan, ia tidak pernah berharap sedikit pun bisa berada satu kamar dengan pemuda yang masih berdiri di depan lemari sambil menopang dagu menggunakan sebelah tangannya.

"Mandi sana, Ayah bilang hari ini lo nggak usah sekolah dulu, udah gue izinin ke guru kelas dan titip pesan kalau guru lo lupa lewat Renal, teman lo itu."

"Lo, tumben ramah sama gue, Mas?"

Pemuda itu terkekeh, sudah tahu akan ada pertanyaan yang sama setiap kali anak remaja di depannya bangun nanti. Semalam sudah ia katakan, ia akan menemaninya sebelum membawa ke kamar dan merebahkan tubuh menggigil sambil mengeratkan peluk pada tubuhnya.

"Gue bukan Abi apalagi Pandu. Mandi sana," perintahnya lagi.

Neal terdiam sejenak, sebelum kembali menatap punggung kakak keduanya dengan sendu.

"Bang Abi di mana ?"

"Di kamar. Semalam hujan-hujanan karena motornya mogok, gue kira Abi dibegal, tahunya motor mogok."

"Terus Ayah temenin Bang Abi?"

Pemuda itu diam sejenak, "Yang lo lihat."

Benar. Nyatanya, apa yang Neal ingin, masih Abi pemenangnya. Perhatian Ayah masih lebih besar pada Abi. Pemuda yang secara terang-terangan menolak hadirnya saat anak itu masih belia.

"Gue mau sekolah aja kalau gitu.  Di rumah nggak ada orang, lo juga pasti mau berangkat, kan?"

Kali ini pemuda yang sejak tadi diam, sambil mengancing kemejanya, pun mengangkat kepalanya agar bisa menatap wajah lesu milik Neal yang masih duduk manis di tempat tidur.

"Gue mau temenin lo. Hari ini gue ambil cuti, buat jaga lo di rumah."

"Bohong."

"Gue bilang, gue bukan Pandu, apalagi Abi dan Ayah. buruan mandi. Kita jalan pagi terus makan bubur yang ada di depan gang komplek."

Ingin percaya, tapi sebelah tangan kakak keduanya sudah lebih dulu mengusap sebelah pipi Neal. Anak remaja yang masih saja ragu padahal tahu, kalau tatapan kakaknya tak pernah berdusta.

Neal tahu kalau kakak keduanya tak pernah mengecewakan meski tak bicara. Neal juga tahu, dari ketiga kakaknya hanya Pangestu yang diam-diam datang ke kamarnya lalu tidur di atas karpet permadani yang ada di bawah kolong tempat tidurnya.

Neal tahu, tapi Neal malas membahasnya. Anak itu memilih bungkam karena ia sadar ucapannya terkadang sulit diterima begitu saja. Terlebih pada Abi yang memasang bendera perang pada kedua kakaknya, entah salah apa, Neal hanya tahu kalau Pandu dan Pangestu sering berselisih paham.

"Kenapa?" tanya Pangestu.

Sejak tadi, pemuda itu ikut diam, memandang wajah mungil Neal yang begitu mirip dengan mendiang sang Ibu. Dari warna bola mata hingga lanngkung bibir ketika senyum, begitu mirip dengan sang Ibu.

"Kenapa Mas mau temenin gue?"

"Simpel," balasnya, lalu duduk di depan anak itu sambil  menatap ke langit-langit kamarnya dengan kedua tangan  yang saling bertaut satu sama lain.

"Apa?"

"Gue benci air mata lo," jawabnya. Tak lama ia pun bangkit, berbalik lalu menoleh ke kanan sebelum meninggalkan adiknya yang masih terdiam.

"Itu bukan jawaban, Mas."

"Mandi."

Tidak, bukan itu yang Neal mau. Ia ingin Pangestu jujur, karena Neal terlalu peka untuk sesuatu yang berpura-pura.

. . .

Jika saja Neal tidak banyak bertanya, mungkin buburnya masih ada dan mereka bisa menikmatinya bersama sambil memandang banyaknya pejalan kaki berlalu-lalang. Sayang, Pangestu sudah malas berkomentar ketika adik kecilnya meminta maaf dan terus mengucapkan banyak janji palsu yang membuatnya malas.

"Kalau tadi lo nurut apa kata gue, kita nggak mungkin makan burjo begini," ucap Pangestu.

Neal cukup mengangguk, menahan diri untuk tidak membalas, walau sudah gerah sekali mendengar ucapan Pangestu yang panjang. Sejak satu jam lalu, saat Pangestu memilih pergi dan membiarkan Neal mandi. Nyatanya, anak itu masih meneruskannya sampai mereka keluar rumah dan berjalan santai.

"Gue udah bilang, pakai baju santai, bukan pakai piyama, budeg."

"Kan, santai. Ini udah paling santai, Mas."

"Terserah, bayar buruan."

Mendengar itu, mata Neal membulat sempurna, sementara Pangestu menatap tak peduli. Pemuda itu memilih diam sampai akhirnya ia beralih pada saku celana pendek yang dikenakannya. Merogoh selembar uang berwarna biru lalu menyodorkannya pada Neal.

"Sana."

"Lo yang ajak, gue yang bayar."

"Duit gue, lo tinggal bangun, terus bayar, protes terus."

Neal tak peduli dengan ucapan Pangestu sebenarnya, tapi kakinya memang sedang malas diajak berjalan walau sejengkal. Sejak tadi, kakinya sudah lelah, berjalan hanya untuk mencari penjual bubur.

"Buruan, Neal."

Walaupun sedikit kesal, anak itu tetap menurut meski sedikit menggerutu karena harus mengikuti perintah.

"Kenapa?" tanya Pangestu.

Pemuda itu akan beranjak dari tempatnya, tetapi kedua matanya melirik Neal yang masih duduk diam tanpa berkata. Usai membayar  burjo tadi, Neal sempat mengeluhkan kakinya. Kini, pandangan mata anak itu terus menunduk, memandang sendu pada kedua tangan terkepal di atas kedua pahanya.

"Neal kuat kok, Yah. Neal bisa kalau Ayah nggak bisa bantu."

Sejenak Pangestu terdiam. Berpikir sebelum akhirnya sebelah tangan pemuda itu meraih dagu adik kecilnya agar bisa mendongak menatap wajah Pangestu yang diselimuti aura dinginnya.

"Bukan di sini, kita pulang."

Meski tahu ini tidak benar, Pangestu tidak ingin menatap wajah sedih adiknya terlalu lama. Sementara Neal hanya diam saja ketika tubuhnya diangkat usai kedua tangannya dikalungkan pada leher sang kakak.

"Ayah benar, Neal terlalu lemah untuk berdiri terlalu lama."

Tidak tahu sudah berapa kali Neal mengatakan kalimat yang sama, tetapi Pangestu yakin kalau sebelumnya Neal pernah berselisih dengan Ayah atau kakaknya. Sejauh ini, hanya Pandu yang Pangestu ingat ucapan pedasnya. Memilih Berpura-pura padahal begitu licik.

"Mas, Ayah sebenernya nggak pulang, kan? Semalam Ayah pergi," ucap Neal pelan.

Tentu saja Pangestu dengar, sepekan apa pun anak itu bicara, ia akan mendengarkan selagi masih dalam gendongannya. Bahkan dengan lancang bersandar pada pundaknya dengan lesu.

"Lo kenapa mikirin Ayah?"

"Kangen."

"Ada gue, emang kurang?"

"Tapi gue kangen Ayah."

"Sekangen apa? Ayah aja belum tentu kangen sama lo."

Benar. Neal harusnya berpikir itu. Apa ayahnya akan merindukannya juga?

"Harusnya, iya."

"Terus?"

Neal terdiam sejenak. Anak itu seakan bingung harus menjawab apa. Selama ini, Abi masih menjadi prioritas Ayahnya. Meski pemuda itu sudah dewasa. Sementara Neal. Anak remaja yang masih perlu perhatian, terkadang terabaikan.

"Tapi, Ayah masih suka plin-plan."

"Itu tahu, kenapa mikirin yang nggak ada, padahal gue ada di sini temenin lo."

"Kewajiban, nggak sih? Sebagai kakak yang baik, emang tugasnya jagain adik, kan?"

"Kalau adiknya anteng gue nggak masalah, kalau adiknya kayak lo, gue mikir berkali-kali kayaknya."

Meski sedikit menyebalkan, Neal tahu kalau Pangestu tidak pernah sungguh-sungguh dengan ucapannya. Berbeda dengan Abi, pemuda satu itu selalu membuktikan ucapannya walau sebenarnya begitu khawatir. Diantara yang lain, Pangestu masih menjadi kelabu untuk Neal. Berbeda dengan Abi dan Pandu.

"Makasih."

Hanya itu, hanya kata yang selalu Neal lupa, padahal begitu sederhana.

🐥🐥

Hallo, kembali lagi sama Neal. Gimana kabarnya? Semoga selalu sehat ya. Terima kasih sudah berkunjung, jangan lupa tinggalkan jejak.

Publish, 29 Januari 2024

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro