06. Kali Ini Biar Ayah Yang Menggantikannya.
Sepertinya Pangestu lupa, ia terlalu lama berdiri di depan gerbang sekolah adik kecil tengilnya. Pemuda keras kepala yang memaksa untuk menjemput itu kini tengah menatap ke sekitar, belum terlihat tanda-tanda kalau adiknya akan muncul.
Sudah hampir setengah jam lalu, Pangestu datang menyempatkan waktunya dan meninggalkan pekerjaan penting yang menumpuk. Ia sempat berdebat dengan Abi, pemuda yang tak kalah keras kepala sama dengannya. Belum lagi, mendengar ceramah sang ayah, juga protes Pandu.
"Kakaknya Neal, bukan, ya?"
Sontak saja Pangestu terkejut dan langsung menoleh ke sumber suara. Anak lelaki yang berdiri di belakangnya itu menggaruk bagian belakang leher sambil mengerutkan kening.
Ekspresi wajah yang sulit diartikan membuat Pangestu bingung, ia pun membenarkan posisi berdirinya dengan brhadapan penuh pada anak lelaki yang masih diam tanpa kata.
"Maaf, saya kira Neal belum ada yang jemput, soalnya dia di UKS."
"U-uks?"
Anak lelaki itu mengangguk cepat. "Iya, Neal di sana. Sejak dua jam terakhir sampai sekarang belum juga sadar," ucap anak lelaki itu.
Tak tahu ada angin apa dengan pemuda itu, ia sama sekali tak yakin dengan hatinya yang tiba-tiba khawatir begitu mendengar keadaan Neal.
Pagestu hanya mengingat sedikit tentang adiknya, bahkan ini sudah kali kedua adiknya berada di UKS dengan dirinya yang selalu datang menjemput.
"Di mana?" tanya Pangestu saat sampai di dekat perpustakaan, karena panik tak melihat kalau di sebelahnya adalah ruang UKS.
Sementara anak lelaki yang membuntuti Pangestu hanya menunjuk, membiarkan pemuda itu masuk lebih dulu.
"Mas..."
Entah itu panggilan atau pengaduan, yang jelas Pangestu langsung memeluk tubuh ringkih Neal yang berusaha bangun untuk duduk tegak.
"Kenapa?"
Neal hanya menggeleng, ia melihat ke arah belakang tubuh kakaknya. Melihat ada Renal di sana sambil melambai.
"Maaf Neal."
"Makasih, lo bisa pulang, Neal biar sama gue." Ucap Pangestu saat pemuda itu menoleh ke belakangnya.
Renal, teman sekelas Neal itu hanya mengangguk, berpamitan lalu pergi. Sementara tubuh tinggi Pangestu masih tetap berdiri di sana usai mengurai peluknya, tak lupa kedua tangan besar pemuda itu pun beralih pada kedua pipi tembam sang adik.
"Pasti nakal lagi, kali ini mau mulai dari mana?"
Neal menundukkan pandangannya ke bawah, melihat kedua kakinya yang seakan mati rasa, untuk kesekian kali.
"Kenapa bukan Bang Abi? Kenapa Lo yang jemput gue?"
Pangestu menarik satu kursi untuk ia duduki usai mengusap pipi adiknya yang sedikit basah. Tak lupa ia juga mengusap kedua kelopak mata Neal yang sedikit terlihat sayu.
"Kenapa? Nggak suka kalau gue yang jemput?"
"Mas pasti bolos dari kerja, kan?"
"Bolos apa enggak, emang urusannya sama lo apa?"
Tidak tahu. Neal hanya bisa menggeleng, ia juga tidak bisa memberi penjelasan apa pun pada pemuda yang dengan cepat beralih menggenggam sebelah tangannya untuk diusap.
"Ayah bilang gue boleh pulang telat, Mas," ucap Neal pelan.
Pangestu pun hanya mengangguk, tentu pemuda itu tahu. Karena ia telah bertanya pada Abi sebelumnya.
"Kenapa harus pulang telat? Mau coba nakal?"
"Gue ada kerkom."
"Alasan. Itu cuma akal dari otak dangkal lo doang. Mau mulai dari mana? Pandu?"
Sejenak Neal terdiam, benar. Pandu yang sejak tadi membebani isi kepalanya. Pemuda yang katanya kakka tertua itu selalu saja membuat Neal kesal. Bukan lagi tentang kesukaan, tetapi semua jadwal tidur pun sudah diatur dengan begitu baik oleh kakak sulungnya itu.
Sesekali Neal merasa bosan bila bertemu Pandu. Pemuda itu seolah menjadikan Neal anak kecil yang tak boleh bepergian keluar tanpa izin darinya. Tak jarang bila Neal memilih Pandu sebagai partner debut di malam hari saat anak itu dilanda bosan. Terlebih ketika rumah sepi hanya meninggalkan pesan dengan coretan tinta warna yang ditempel di pintu kamarnya.
"Gue boleh peluk lo aja nggak? Ceritanya nanti."
Pangestu tentu paham apa arti tatapan sendu di sana. Pemuda itu pun kembali berdiri lalu melebaroan kedua tangannya agar sang adik dapat memeluk dengan erat.
"Apa pun yang Pandu bilang, cukup lo diemin aja."
"Tapi, Mas Pandu terlalu mengatur, Mas."
Pangestu tentu tahu itu. Pemuda itu mengangguk sebagai tanda setuju. Sambil mengusap kepala adiknya, sesekali Pangestu mencium aroma vanila yang menyeruak masuk ke dalam indera penciumannya. Wangi rambut Neal begitu khas, pantas saja Abi senang meledek, pikirnya.
"Apa bedanya sama Ayah? Beliau juga sama, kan?"
Neal mengheleng pelan, tentu berbeda. Neal bisa merasakan perbedaan hanya dari tatapan saja. Namun, sebelum mereka kembali melanjutkan obrolannya, Pangestu lebih dulu melepaskan pelukannya lalu berbalik berharap Neal mau menerima tawarannya untuk digendong.
"Kita lanjut di jalan," titah Pangestu.
"Gue berat. Nanti lo encok," tolak Neal.
Tidak, itu hanya alasan, Pangestu tahu. Padahal sudah dua bulan terakhir berat badan Neal masih pada angka yang sama, tertalu kurus untuk seusianya.
"Naik atau kita akan menginap di sini."
"Maksa."
"Memaksa untuk kepentingan bersama, bukan hanya satu orang. Cepet."
Pangestu tentu tahu, Neal begitu keras kepala bila tidak diancam sedikit anak itu pasti akan tetap pada pendiriannya. Sulit untuk dibujuk apalagi dengan suasana hati yang cukup sensitif.
Bila diingat-ingat, terakhir kali melihat Neal masuk rumah sakit sekitar empat bulan lalu, itu pun dengan catatan kesehatan yang sama. Belum ada tanda-tanda kalau anak itu mengalami penyakit serius. Setiap sebulan sekali pasti akan kontrol ke rumah sakit untuk transfusi, rasanya pasti ngilu tapi Pangestu yakin kalau adik kecilnya selalu kuat.
Kini mereka telah sampai di depan gerbang sekolah yang terlihat hanya ada beberapa siswa menunggu di pos penjaga. Sementara Neal telah duduk manis di atas motor matic milik Pangestu. Pemuda yang sangat malas berlama-lama dalam kemacetan. Ia juga telah memasangkan helm pada Neal.
"Udah nyaman?" tanya Pangestu memastikan.
Tak ada jawaban, pemuda itu pun memastikan sekali lagi dengan menarik kedua tangan adiknya yang masih terasa hangat untuk memelukbya.
"Tas gue di mana?"
"Di depan, lo sandaran aja. Gue tahan kok tangannya."
Hanya itu, setelahnya Neal benar-benar menyandarkan kepalanya yang masih terasa berdenyut. Sedang Pangestu memilih menjalankan motornya walau sedikit sulit, ia membawanya cukup pelan, melewati jalan tikus yang selalu dilaluinya ketika diam-diam membuntuti Abi mengantarkan Neal ke sekolah.
"Bang Abi pulang jam berapa nanti, Mas?"
Tak ingin menjawab, Pangestu memilih pura-pura tak mendengarnya. Ia tahu, kali ini bukan waktu yang tepat mengajak Neal bicara banyak, anak itu pasti akan banyak mengeluh karena pusing.
Kini, Pangestu bisa merasakan bagaimana perasaan Abi saat itu melihat Neal hanya bisa berbaring tanpa mengatakan apa pun meski kedua matanya terbuka lebar. Saat itu, ketika hujan deras mengguyur ibu kota.
Di mana semua orang tentidur pulas, Abi justru menangis di pelukan ayah mereka. Memaki nama Pandu berkali-kali ketika pemuda itu sudah tak lagi terlihat. Saat di mana seharusnya menjadi momen paling langka untuk Abi dan Neal karena memiliki hari ulang tahun yang sama.
Namun, hari bahagia itu hancur karena kesalah pahaman. Semuanya berantakan dan berakhir Neal yang tumbang karena kondisinya yang tak bisa dikatakan baik-baik saja.
Pangestu juga ingat, malam itu Rafiq, ayah mereka terus terjaga hanya untuk memastikan kalau anak bungsunya baik-baik saja. Nyatanya, harapan baik belum berpihak pada lelaki itu.
"Kalau Ayah tahu, biar Ayah saja yang gantikan sakitnya. Pasti kamu capek, maafkan Ayah, Neal. Ayah yang lupa, Ayah yang ceroboh, Ayah yang belum bisa menjadi Ayah terbaik untuk kalian."
Jelas dan begitu lirih. Di sana ada Pangestu, pemuda itu benar-benar menyaksikan bagaimana sang ayah terpuruk setelah kejadian itu. Semua memang bukan salah Pandu, tapi kakaknya sudah membuat goresan luka setiap kali berkomentar. Terlihat manis memang, akan tetapi bisa menjadi bom waktu jika tidak dikontrol.
"Neal?"
Ya, Pangestu harus bisa menjadi pagar tertinggi untuk kedua adiknya yang cukup nakal itu. Walau bagaimanapun, Pandu tetap kakaknya, orang yang mereka hotmati setelah sang ayah. Meski sikap Pandu sedikit kurang ramah sebenarnya.
"Neal?"
Sekali lagi Pangestu memanggil nama adiknya. Sudah hampir sepuluh menit Pangestu melamun, saat sampai setengah jam lalu, pemuda itu hanya terdiam, tak berniat membangunkan adiknya, ia justru menyisir ruang memorinya yang cukup kusut. Beberapa kali ia juga mengusap lengan Neal, mencoba untuk membangunkannya.
Sayang, Neal tak kunjung membuka mata, terpaksa Pangestu pun turun perlahan dengan sebelah tangan yang memegangi punggung adiknya dan sebelah lagi ia gunakan untuk menahan motornya agar bisa di standar.
"Yah!"
Entahlah, hanya saja perasaan Pangestu tidak menentu, apalagi melihat wajah pucat Neal yang kini telah ia sandarkan pada dada bidangnya.
"Neal. Sadar, kita udah sampai."
Sesekali Pangestu juga menepuk sebelah pipi adiknya. Berharap anak itu akan membuka matanya, namun bukan harapan yang diterima, melainkan wajah kusut sang ayah saat melangkah melewati pintu utama.
"Kali ini, biar Ayah saja. Kamu bisa tolong jemput Abi?"
Sebelah alis Pangestu berkerut. Melihat raut wajah ayahnya, membuat pemuda itu berpikir lebih keras usai melepaskan helm sang adik.
"Abi kenapa?"
"Ayah sudah kirim alamatnya, kamu segeralah pergi, biar Neal Ayah yang temani. "
Harusnya Pangestu tak perlu khawatir, tapi pikirannya selalu berteriak meminta penjelasan atas rasa penasarannya.
"Ayah akan temani Neal , cepatlah."
Mendengar penuturan Rafiq membuat Pangestu tersadar, ia tak ingin membuat Abi menunggu, setelah memastikan Neal nyaman dalam gendongan ayahnya, barulah Pangestu kembali melakukan motornya menuju alamat yang telah ayahnya kirimkan.
"Maafkan, Ayah, Mas. Kali ini biar Ayah yang menggantikan kalian sementara.
🐥🐥
Hallo, terima kasih terlah berkunjung. Jangan lupa tinggalkan jejak selanat beristirahat. Salam manis, Neal.
Publish, 15 Januari 2024
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro