Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

04. Sakitnya Tidak Terlihat, Mas.

Malam itu, Rafiq memilih pergi dari kamar Neal, meninggalkan Abi sendiri dengan rasa gelisah yang tak terbendung. Ada rasa bersalah ketika melihat Neal tertidur lelap, sejak tadi. Bahkan suhu tubuhnya masih tetap sama, belum ada tanda-tanda kalau anak itu akan bangun untuk sekadar minum air atau buang air kecil.

Abi sudah bosan, tapi ia juga tidak bisa terlelap begitu saja apa lagi, menatap wajah Neal yang cukup pucat di depannya. Remaja yang beranjak dewasa itu seakan paham dengan tatapan tajam Rafiq, sebelum lelaki setengah baya itu pergi. Wajah yang lelah, juga fisik yang tak bisa terlihat baik-baik saja.

"Ayah itu sayang sama lo, Neal. Ayah berusaha menyamarakatan rasa sayangnya ke kita berempat. Lo tahu itu, lo juga ngerasain itu, di antara kita berempat, ayah selalu prioritaskan lo.'

Ucap Abi hampir frustrasi dibuatnya. Sudah sering Abi melihat Rafiq dan Neal berdebat perihal orang baru untuk menggantikan mendiang ibu mereka. Tapi, hanya Neal yang terus menolak kehadirannya. Menolak permintaannya, serta Neal yang terus menangis diakhir kalimat permohonannya.

Neal memang remaja, anak yang dibesarkan melalui kedua tangan besar Rafiq tanpa sentuh seorang wanita. Neal yang selalu menangis ketika kakinya terluka saat terjatuh dari sepeda dan mengadu setelahnya. Neal yang selalu marah bila mainannya diambil oleh Abi, dan Neal yang suka mencari perhatian Pangestu jika pemuda itu tidak menoleh sedikit pun.

Sementara Rafiq berusaha untuk melalukan semuanya, meski hatinya masih belum bisa menerima kalau Neal lahir, bukan sekadar membawa suka, duka dan penolakan kedua orang Rafiq secara terang-terangan.

"Neal, Ayah ada buat kita, itu juga lo harus tahu. Ayah sama sekali nggak pernah punya niat untuk memiliki pasangan, itu juga lo harus tahu. Neal," ucapan Abi terjeda.

Pemuda itu menunduk sejenak, mengingat bagaimana Rafiq menahan tangis di malam hari ketika dirinya berkunjung ke dalam kamar sang ayah.

"Ayah itu selalu meyakinkan dirinya, kalau dia juga mampu buat membesarkan kita semua. Mas Pandu, Kak Pangestu, gue dan lo, Neal."

Tak terasa air mata Abi menetes di atas punggung tangan Neal yang sedang ia usap sejak tadi. Sudah .enjadi kebiasaan Abi bila Neal sakit, Abi akan mengusap punggung tangan anak itu dengan lembut. Walau kadang, Abi juga kesal dan sempat menolak kehadiran Neal saat itu.

Namun, kini Abi sadar. Neal adalah teman bermainnya, teman berkeluh, teman bertengkar, juga teman yang tak pernah menuntut balas meski selalu menyusahkan. Abi mensyukuri untuk yang satu itu.

"Makasih, sebenarnya gue juga nggak setuju kalau Ayah nikah lagi. Gue nggak rela posisi Ibu digeser begitu aja dari hati Ayah."

Abi lupa, celotehnya sejak tadi membuat sosok yang berdiri di balik pintu kamar Neal diam-diam mengusap air matanya. Sudah lama ia berdiri, langkahhnya yang mulai lelah kembali terhenti oleh tepuk pada pundaknya.

"Ayah harusnya jujur sama Neal."

"Kenapa kamu belum tidur?"

"Aku cuma mau bilang, Ayah harus jujur sama Neal."

Lelaki itu menoleh sejenak, sebelum akhirnya tersenyum lesu dan mengusap punggung tangan pemuda yang berdiri di belakangnya.

"Jujur untuk hal apa? Menyakiti perasaan Neal, dan membuatnya membenci Ayah? Tidak Nak, Ayah ingin Neal tumbuh tanpa rasa dendam."

"Tapi, cara Ayah ini keliru, Yah. Ayah bukan mengajarkan Neal soal keberanan, tapi rasa kecewa yang nantinya akan membuat Ayah terluka juga."

"Neal sudah besar, dia bisa memilih. Ayah hanya membantunya."

Pemuda itu menghela napas, berat dan sulit untuk memahami maksud lelaki setengah baya di hadapannya.

"Aku nggak mau Ayah memberi kasih sayang hanya karena terpaksa. Ayah terlihat tulus, memang. Tapi hati Ayah? Apa itu tulus juga? Ayah, aku tahu sekhawatir apa Ayah waktu Neal terluka, aku juga tahu, semarah apa Ayah, ketika Abi meninggalkan Neal sendirian di pinggir jalan. Apa itu belum cukup untuk Ayah memulainya dengan benar? Ini soal waktu, Yah. Ibu udah pergi, waktunya Ayah memberikan Neal rasa aman dan nyaman di rumahnya sendiri. Rasa sayang tanpa kekeliruan lagi."

Rafiq hanya terdiam ketika anak keduanya mulai angkat suara. Lelaki itu sama sekali tidak bergerak, memilih mendengarkan tanpa berkomentar. Selalu begitu, padahal ia tahu kalau anak keduanya sudah angkat bicara, pasti akan mengingatkannya pada Neal kecil. Pada Neal yang menggemaskan, pada Neal yang lucu.

Meski terlihat irit bicara dan pandai sekali membuat naik darah, Rafiq tahu, anak keduanya memiliki rasa sayang yang besar pada Neal, si bungsu dengan banyak tingkah randomnya.

Di sisi lain, ada Abi yang menjadi garda terdepan bila keduanya bertengkar atau beradu argumen. Rumah mereka seperti pasar malam bila semua berkumpul. Tak jarang yang menjadi topik utamanya adalah Neal juga Abi. Atau Neal dengan Pangestu. Pemuda itu memiliki sisi lembut bila bersama Neal hanya berdua, dan memiliki sisi jahil bila ada Abi di antaranya.

Sedang Pandu, pemuda itu hanya menjadi penonton tanpa dibayar. Tertawa sampai perutnya keram dan berakhir dengan membuat Rafiq sakit kepala. Tak heran bila Abi selalu menjadi musuh bagi Neal, dan Pangestu menajdi penculik untuk Neal. Keduanya memiliki sesuatu yang berbeda setiap kali berhadapan dengan Neal.

Kini, sedikit memanas karena Pandu yang sudah beberapa kali membuat ketiganya memiliki jarak. Baik Pangestu,Abi, ataupun Neal. Pemuda yang bersatus anak sulung itu, seakan tak memikirkan perasaan Neal, adik bungsunya. Memilih sesuka hati dan memutuskannya.

Sudah dua Minggu terakhi, Neal juga tidak terlihat berinteraksi dengan Pandu. Bahkan, saat di meja makan dua hari lalu, Neal hanya menatap malas pada kakak tertuanya itu. Membuat Pandu tak enak hati sebenarnya, tetapi ia terus membuat Neal mengerti, dan saat ini, Pandu telah membuat Abi yang sebenarnya malas ikut campur , terpaksa harus turun tangan langsung.

Pemuda yang usianya cukup jauh dengan Pandu itu membuat benteng pertahanan dengan mengibarkan bendera perang kemarin malam, saat Pandu datang membawa pesanan yang salah untuk Neal dan dirinya.

"Maafkan Mas Pandu, Abi. Kali ini, Mas akan membuat Ayah juga bahagia."

"Tapi itu buat Neal terluka,q Mas. Sadar nggak, sih? Lo itu panutan kita. Darahnya emang nggak ada, nggak kelitan, tapi lo pikirin perasaannya nggak? Atau sikap lembut lo itu cuma tameng, iya?"

Pandu menggeleng saat itu. Saat di mana Abi menyusulnya sampai ke depan pintu utama hanya untuk meminta penjelasan lebih. Nyatanya, pemuda itu salah. Kakak tertuanya terlalu kaku dan tetap pada pendiriannya.

"Lo bawa orang lain ke sini, itu udah buat gue kecewa. Niat lo emang baik, seenggaknya obrolin dulu, lah!"

Emosi Abi meluap, kedua bola matanya melebar, tanpa sadar pemuda itu juga mengepalkan kedua tangannya siap untuk menghajar wajah Pandu yang bersih dan mulus.

"Hanya kamu, bukan Neal."

Abi menoleh, lalu mendecih kesal, " Basi!"

"Cukup urusi saja urusanmu itu. Karena di sini, aku yang paling tua."

Sontak Abi menoleh dan menatap tak suka pada Pandu. "Jangan mencoba menjadi orang paling dewasa, kalau lo sendiri nggak ngerti, apa arti tanggung jawab sebenarnya."

Setelah obrolan malam itu sampai detik ini, keduanya masih sama-sama memendam amarah yang sama.

"Ayah..."

...

Hallo, apa kabar, Neal kembali. Terima kasih sudah berkunjung, jangan lupa tinggalkan jejak, ya. Agar aku makin semangat menulisnya. See you ...

Kenalan sama Bang Abi yuk


Publish, 11 Januari 2024

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro