02. Kisah Abi dan kelahiran Neal.
Dulu, saat semua orang terlelap dalam mimpi mereka, Abi menangis sambil memeluk tubuh ayahnya dari samping. Meminta agar ayahnya tidak pergi, padahal ada Pandu, si sulung yang sudah mengerti akan tanggung jawab. Namun, si kecil Abi seolah enggan melepaskan peluknya, berharap kalau ayahnya mengerti.
Awalnya Abi tak suka, Abi kesal juga marah pada ayahnya. Ia harus ditinggal bersama Pandu, sementara ayah pergi menyusul Ibu yang sudah berada di rumah sakit karena kontraksi yang mengharuskan wanita hamil itu dilarikan secepat mungkin ke rumah sakit.
"Abi, Ayah harus temani Ibu di rumah sakit, ya. Di rumah ada Mas Pandu juga Mas Pangestu," ucap Rafiq.
Begitu lembut tutur katanya, sambil mengusap rambut hitam lebat milik Abi yang lelaki itu berusaha melepaskan tangan mungil yang masih melingkar di perutnya. Seraya memberi pengertian, ia pun memilih berjongkok di hadapan anak berusia tiga tahun itu.
Duduk di sofa dalam ke adaan pintu rumah yang masih terbuka, membuat udara malam masuk begitu saja tanpa permisi. Dingin, itu yang dirasakan oleh Pandu ketika kakinya mulai mulai menginjak ruang tamu.
"Abi mau sama Ayah, mau ikut Ayah bertemu Ibu," ucap Abi di sela tangis yang masih terdengar.
"Iya, nanti kita ketemu Ibu. Tapi sekarang, Abi dengan Mas Pandu dulu tidur di kamar, ya," balas Rafiq lagi.
Mata lelaki itu tak pernah lepas dari Abi. Saat anak itu kembali bersuara, Rafiq mengulas senyum, meyakinkan pada buah hati di depannya, kalau Ibu mereka akan baik-baik saja.
"Ibu pulang bersama adik, kan, Yah?"
Rafiq mengangguk. Tentu, itu juga yang ia harapkan. Harusnya begitu. Nyatanya, tidak sama sekali. Ponselnya sejak tadi terus berdering bahkan beberapa pesan masuk dari nomor yang sama. Ia ingin sekali mengangkatnya, atau membalas satu pesan saja setidaknya.
Lagi dan lagi, keinginan itu tertahan karena Abi yang belum bisa dibujuk sama sekali. Hatinya sudah benar-benar gelisah memikirkan istri dan anak bungsunya di rumah sakit. Sementara di rumah, ia juga tidak bisa meninggalkan Abi.
"Ayah ajak saja Abi sekalian."
Inginnya begitu, tapi Rafiq sekali lagi menolak usulan Pandu. Lelaki itu justru memilih duduk di atas lantai dingin sambil bersandar pada sofa dengan Abi yang masih duduk di sana. Anak itu sudah lelah menangis sebenarnya. Matanya sudah mulai layu, bahkan menguap beberapa kali karena mengantuk.
Menunggu Abi tertidur memang bukan hal yang mudah, mengingat Abi begitu dekat dengan Ibunya, akan jauh lebih sulit untuk ditinggalkan tanpa pamit.
"Abi tidur, ya, Ayah temani," ucap Rafiq.
Sesekali tangan besarnya mengusap lengan Abi agar anak itu mau terlelap dengan cepat dan dirinya bisa langsung pergi ke rumah sakit.
"Ayah," panggil Pandu pelan.
Lelaki itu melirik ke arah Pandu, putra sulungnya itu menunjuk ke arah Abi yang sudah terlelap.
"Tolong temenin Abi di kamar. Ayah harus segera pergi. Jaga rumah dan adik-adik, ya."
Pandu hanya mengangguk, tentu saja ia akan menjaganya. Meski nanti, saat Abi bangun dirinya menjadi korban pukulan bantal bocah tengil yang kini dalam gendongannya.
"Uati-hati, Yah. Bawa adik dan Ibu pulang, ya."
Rafiq kembali menoleh ke belakang sebelum kakinya benar-benar melangkah keluar rumah.
"Tentu."
Hanya itu. Hanya kata yang harusnya tidak pernah Rafiq janjikan pada Pandu. Nyatanya, lelaki itu terduduk begitu saja sebelum langkah membawanya pergi. Kepalanya tertunduk, tangannya mengepal, bahkan rahangnya imsudah mengeras saat ia mengangkat telepon dari adiknya yang berada di rumah sakit.
"Ayah pergi dulu, Pandu. Jaga Abi."
Tak ada hal yang aneh, tetapi Pandu dapat melihat dengan jelas kalau Ayahnya begitu sedih. Dari balik punggung tegap langkah kaki itu sedikit gontai, bahkan ketika suara mesin mobil mulai menjauh meninggalkan halaman rumah.
"Ibu baik-baik aja, kan? Pasti. Ibu harus baik-baik aja." gumam Pandu ketika langkahnya ia bawa menuju kamar Abi yang bersebelahan dengan kamar milih kedua orang tuanya di lantai bawah.
Belum lama Pandu merebahkan tubuh mungil Abi, suara mesin mobil kembali terdengar, juga decit pintu yang terbuka.
Anak laki-laki itu pun keluar dari dalam kamar Abi, memastikan kalau itu adalah Ayahnya. Namun, belum juga ia mendekat, sosok lelaki jangkung tiba-tiba langsung berlari dan memeluknya begitu saja.
"Pandu," ucapnya lirih.
Pandu hanya diam. Anak itu bingung mengapa penampilan Om-nya begitu kacau. Itulah yang ada dalam pikiran anak lelaki yang masih berdiri tanpa mengatakan apa pun.
"Terima kasih sudah jaga adik-adik. Tugas kamu bertambah lagi nanti. Selamat, adik kamu sudah lahir, laki-laki. "
Senyum cerah di wajah Pandu pun terlihat, sesaat sebelum suara getar milik Om-nya kembali terdengar.
"Kita rapikan rumah ini sebelum Ayah membawa adik kecilmu kembali ke rumah."
"Ibu?"
Lelaki jangkung itu pun mengurai peluknya, kemudian mengusap wajahnya yang sedikit basah karena keringat. Kemudian menangkap kedua pipi anak laki-laki di depannya begitu lembut.
"Pandu, Pandu pernah bilang sama Om, kalau Pandu ingin seorang adik, kan?"
Pandu mengangguk. Tentu saja, itu keinginan Pandu sejak lama. Bahkan sebelum Pangestu lahir, Pandu selalu merengek pada Ayah dan Ibunya.
"Pandu sudah punya Pangestu, lalu Abi, dan sekarang adik kecil yang belum diberi nama. Apa Pandu tidak ingin menyumbangkan nama untuk adik bayi?"
"Pandu ingin, tapi kenapa Om kelihatan takut?"
Lelaki jangkung itu kembali mengulas senyumnya. Sambil menunduk menatap wajah Pandu lebih lama. Anak itu sama terlihat sangat kuat, tak ada rasa takut sedikit pun apa perlu ia jelaskan kalau sesuatu telah terjadi saat kelahiran adiknya?
Lelaki jangkung itu kembali menggeleng, ia masih takut, bahkan saat menelpon kakaknya saja, sudah bergetar. Ia belum siap melihat keponakannya sedih.
"Om? Ada apa?"
"Abi di dalam?"
Lelaki itu masih belum siap mengatakannya, bahkan saat selisih dengan kakaknya di jalan pun, dirinya hanya mengatakan harus cepat ke rumah sakit. Kini, ia harus berhadapan dengan Pandu yang memiliki insting kuat agar rasa penasarannya terjawab.
"Om belum jawab, Ibu bagaimana?"
"Kita bicara nanti, Om mau melihat Abi dulu."
Setelahnya ia pun bergegas pergi ke kamar Abi meninggalkan Pandu dengan rasa penasarannya. Di sana bukan hanya Pandu yang bingung, Pangestu pun juga sama.
"Mas Pandu?" panggil Pangestu saat anak itu sudah berada di lantai bawah.
Pandu menoleh, lalu mendekat ke arah Pangestu. "Berisik, ya?"
Pangestu menggeleng, lalu mendongak menatap kakaknya yang cukup jangkung itu.
"Aku haus, katanya Ayah antar Ibu tadi, terus tadi siapa?"
"Om Diki, ayo Mas antar ke dapur kita ambil minum."
Pangestu hanya mengangguk, memang ia begitu haus. Namun, langkah mereka tiba-tiba terhenti saat suara tangis Abi terdengar begitu saja dari kamarnya. Begitu juga dengan suara Om mereka yang mencoba menenangkan.
"Abi tunggu Ayah di sini sama Om, ya. Ayah akan kembali lagi kok," ucap Diki, lelaki jangkung itu sudah payah mencoba untuk menenangkan sambil menggendong keponakannya.
"Mau Ayah! Ayah!"
"Iya, nanti Ayah pulang kok, kalau Abi nangis nanti suaranya hilang lho."
Tidak, bukan begitu cara membujuk Abi. Ia tak tahu harus apa. Bahkan kakaknya sudah berpesan untuk tetap di rumah sampai dirinya sembali.
Sebelum ini pun sudah ada drama antara Abi juga Kakaknya. Walau sedikit keras kepala, Abi tetap anak yang baik dan penurut. Namun, ketika Rafiq hendak mengantarkani istrinya ke rumah sakit, Abi sempat menahan, padahal sudah bukan waktunya untuk menuruti permintaan Abi yang aneh.
Mau tidak mau, Rafiq pun terpaksa membawa Abi, sementara di rumah sakit Diki telah menunggu. Entah bagaimana caranya Rafiq membujuk, Abi kembali di bawa pulang sementara Diki yang menunggu kakak iparnya di rumah sakit.
Kini, tidak lagi. Bujuk apa pun sudah tak lagi mempan untuk Abi. Anak itu justru memukul-mukul dada Diki berulang kali. Sementara Pandu dan Pangestu hanya bisa diam, tak tahu harus berbuat apa.
Bagi Pandu, dari kedua adiknya yang nakal dan jahil hanya Abi. Anak itu sempat marah saat tahu Ibunya kembali mengandung. Sampai detik ini, Abi tidak pernah menunjukkan sikap manis ketika ibunya bertanya senang atau tidak. Bocah tiga tahun itu hanya mengatakan, tidak suka dan tidak mau.
"Apa Abi akan punya adik?" tiba-tiba pertanyaan itu muncul dari bibir Abi.
Sontak membuat Diki dan Pandu saling menatap. Di sela air matanya yang masih mengalir, bibir mungil Abi kembali bertanya dengan sedikit terisak.
"Ayah punya Abi, kan, Om?"
Diki mengangguk lalu mengusap kepala anak itu dengan lembut sambil menyandarkan di dada bidangnya.
"Iya. Ayah punya Abi, Mas Pandu juga Pangestu. Ayah punya kalian semua."
"Punya Abi."
"Iya, punya Abi."
🐥🐥
Hai, apa kabar. Gimana harinya ? Semoga selalu bahagia ya. Terima kasih sudah berkunjung ke rumah Neal. Salam manis Neal.
Publish, 3 Januari 2024
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro