Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

01. Neal, namanya.

Hidup memang selalu lucu, kadang di atas, kadang di bawah, kadang menyenangkan, kadang menyedihkan. Itulah yang Rafiq rasakan ketika mengurus empat orang anak laki-laki sendirian tanpa pengasuh, memberi perhatian yang sama tanpa membedakan si sulung, tengah, ketiga apalagi dengan si bungsu.

Biarpun dirinya selalu dipusingkan dengan teriak buah hatinya, tetap saja, Rafiq jarang sekali marah. Lelaki itu hanya akan pergi sebentar untuk mengambil apa yang diperlukan agar ketiga anaknya berhenti dan duduk manis setelahnya.

Seperti dua hari  lalu, ketika dirinya baru sampai di rumah dengan pakaian yang sudah berantakan juga rambut yang acak-acakan. Lelaki itu hanya bisa menghela napas berat, saat rumahnya kembali menjadi kapal pecah. Jerit suara si bungsu begitu jelas terdengar, begitu pun dengan anak ketiganya.

"Awas Lo, ya! Gue aduin ke Ayah!"

Hela napas Rafiq kembali terbuang begitu saja saat kedua matanya memandang lurus ke arah bocah dengan penampilan yang tak biasa.

"Ayah belum pulang, Lo mau ngadu ke mana lagi?"

Tubuh Rafiq memang lelah, tapi telinganya jauh lebih lelah mendengar teriak anak bungsunya yang hampir menyerah karena ulah Abi. Putra ketiga Rafiq yang begitu menyebalkan menurutnya.

"Siapa bilang Ayah belum pulang, Abi?"

Terdengar lembut memang, tapi tatapan tajamnya tak selembut apa yang telah didenga Abi dan anak bungsunya mungkin.

"Ayah?"

Rafiq tersenyum kala mendengar suara manis putra bungsunya dengan riang anak itu berlari kecil lalu memeluk begitu saja. Membuat Abi terdiam untuk sesaat. Anak itu pun kembali melanjutkan langkahnya menuruni anak tangga, kemudian melangkah mendekati adik dan Ayahnya.

"Bang Abi jahil, Yah."

Itu yang pertama kali Rafiq dengar dari mulut mungil dan mata sipit anak yang masih memeluknya. Rafiq sedikit menunduk, melihat manik mata anak terakhirnya yang begitu indah, mengingatkannya pada sang istri.

"Abi cuma mau ajak dia main, Yah, katanya dia bosen. Giliran Abi ajak, malah ngambek."

Lagi, dan kali ini masalahnya sama. Rafiq tak tahu harus mengatakan apa, ia pun melepas pelukan anak bungsunya lalu mengusap lembut kepalanya tanpa mengatakan apa pun.

"Ayah..."

"Nanti kita bahas lagi setelah Ayah bersih-bersih, mengerti?"

Abi mengangguk, karena di rumah hanya ada dirinya yang paling besar, sementara adiknya menatap sendu kepergian Rafiq.

"Telepon Mas Pangestu, Bang. Kapan Mas Pangestu pulang, gue mau minta dibeliin roti bakar depan gang."

Abi langsung menoleh, melirik sengit ke arah adiknya yang begitu manja. Memang manja, bahkan sangat menyebalkan bila sudah bertemu dengan kakak pertamanya. Anak itu akan banyak tingkah seakan mencari perhatian, padahal tahu, kakak pertamanya begitu malas menanggapi belum lagi ditambah dengan Pangestu, kakak kedua mereka. Hanya Abi yang akan waras menghadapi sikap adiknya itu.

"Bang Abi.. tolong gue dong, telepon Mas Pangestu," ucapnya lagi.

Abi sudah hafal dengan tutur manis adiknya yang melebihi kapasitas baterai. Seakan tenagannya tak akan pernah habis biar pun sudah melakukan kegiatan seharian penuh.

"Gue mau bantu, tapi ada syaratnya."

Anak itu mengerutkan kening, seakan memiliki pertanda buruk saat ia melihat dengan jeli kedua mata kakak ketiganya.

"Ribet, minta sama Ayah aja lah, lo mah pelit!"

Belum lama anak itu mengoceh, langkah kaki kembali terdengar, kali ini bukan dari arah pintu utama, melainkan sosok Rafiq yang telah kembali dalam keadaan sudah bersih dan berpenampilan seperti anak muda, padahal usianya sudah tak lagi muda.

"Kamu minta apa sama Bang Abi?" tanya Rafiq seakan tahu apa isi kepala putra manisnya itu.

"Telepon Mas Pandu, Yah."

"Buat?"

"Ayah, lupa? Mas Pangestu kalau pulang suka bawa roti bakar."

"Kali ini enggak. Ayah nggak izinin. Kamu udah makan manis seharian ini, kamu mau sakit?"

Sejenak Abi memalingkan muka, berharap tidak ditanya saat anak itu mulai menatapnya.

"Bang Abi.... Pasti Bang Abi, kan, yang kasih tahu Ayah?"

Rafiq tentu tahu anak bungsunya uni paling sulit diberitahu dari pada yang lain, lihat saja tingkahnya justru mengikuti Abi hingga ke ruang televisi.

"Yah, kenalin ini Tante Siska."

Semua orang terkejut, termasuk Rafiq yang masih berdiri tak jauh dari pintu utama. Menatap lekat ke arah pemuda tinggi dengan seorang wanita di sebelahnya.

"Tante, itu adik saya, dia Neal."

"Neal?"

"Iya, Neal, namanya."

Sontak si pemilik nama langsung menajamkan penglihatannya seraya menoleh ke belakang menatap pemuda yang masih berdiri di depan pintu.

"Neal bilang, Neal nggak butuh Mama baru, Mas!"

Siapa sangka anak itu langsung berlari tanpa mendengarkan apa pun dari kakaknya.

"Aku bisa jelaskan, Yah."

Rafiq bukannya marah, tetapi sudah terlalu lelah bila harus mendengarkan putra sulungnya menjelaskan. Mau bagaimanapun, nyaman yang dibutuhkan Rafiq bukan tetang dirinya saja, tetapi ada si bungsu yang harus dijaga perasaannya.

Baginya bisa saja egois, tetapi bagaimana dengan Neal, bocah manis itu pasti dengan berat hati menerima kehadiran orang baru yang jelas-jelas belum dikenalnya.

"Ayah sudah katakan sama kamu, Pandu. Untuk hal yang satu ini, kita bahas nanti. Ada apa sama kamu Pandu? Kamu lupa sama janji kamu ke Ayah?"

Pandu tidak lupa, ia justru ingat dengan begitu jelas, tetapi saat ini kedatangannya bersama wanita bernama Siska, bukan karena dirinya. Melainkan Siska sendiri yang ingin.

Seandainya ayahnya tahu, pasti lelaki itu tak tinggal diam. Setiap kali ada wanita datang di hadapannya, Rafiq selalu memasang wajah menyeramkan juga tegas, begitu pun dengan Abi. Putra ketiga Rafiq begitu malas meladeni urusan ayahnya.

"Abi harap Ayah nggak lupa, Yah. Aku mau temenin Neal dulu."

Tajam sorot mata Rafiq menandakan ketidak sukaannya pada wanita di samping putra sulungnya itu. Ia tahu kalau wanita itu tidak sebaik yang terlihat, buktinya, menatap wajah Neal, sejak anak itu menolak untuk berkenalan. Bahkan saat saling melempar tatap saja, Neal sama sekali tak menggubris kehadirannya.

"Kamu susul adikmu, biar Ayah yang bicara dengan dia."

Perintah Rafiq adalah mutlak, biar pun Pandu ingin menemaninya, tetapi tatap tajam milik Rafiq jauh lebih menyeramkan dari apa pun.

"Yah, tolong kali ini, aja," ucap Pandu ketika ia melangkah, dan langkahnya terhenti tepat di depan Rafiq.

"Ayah sudah bilang, masuk ke dalam."

Suara tegas itu membuat Pandu sekali lagi menyerah. Ia tak mampu melawan kehendak ayahnya yang begitu keras kepala.

"Yah! Ayah!"

Belum juga melangkah mendekati Siska, suara Abi sekali lagi mengejutkannya. Bahkan, Pandu saja sempat terkejut saat kedua matanya melihat Abi yang berlari kecil menuruni anak tangga. Berharap tak terjadi apa pun. Sayangnya, napas Abi yang begitu memburu membuat Pandu penasaran. Pemuda itu pun dengan cepat melangkah menaiki anak tangga menuju kamar yang pintunya terbuka lebar.

"Neal!"

🐥🐥

Hallo, apa kabar? Terima kasih sudah berkunjung, jangan lupa tinggalkan jejak, karena kali ini akan aku ajak kalian berkenalan dengan sibungsu keluarga Ayah Rafiq 🥰

See you next time

Publish, 2 Januari 2024

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro