Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 5

Suara Laura yang sendu terdengar mengiba. Axel mematikan rokok dan membuang ke tong sampah yang ada di samping bangku kayu. Dia masih berdiri, menatap wanita yang menunduk di depannya.

"Kamu mencintai Jonathan?"

Laura menggeleng. "Tidak, tapi aku harus mendapatkan hatinya jika ingin perusahaanku tetap berjalan. Bisa kamu bayangkan jadi aku? Harus mengiba pada laki-laki yang membenci diriku?"

"Kalau begitu, kamu harus berusaha merebut hatinya."

Saran dari Axel membuat Laura mendongak. Menatap heran pada Axel yang wajahnya terlihat bersinar dalam siraman cahaya rembulan. "Bagaimana caranya, Axel? Kamu tahu apa yang dikatakannya tadi sore padaku? Dia akan mempertimbangkan untuk menikahiku seandainya aku punya 10% saja kemolekan Gina. Aku mana bisaaa?"

"Seleranya wanita murahan. Yang tidur dengan banyak laki-laki hanya demi uang," dengkus Axel geram. "Dia gila, ya? Membandingkan dirimu dengan Gina?"

"Entahlah, aku tidak tahu. Aku merasa bagai sampah yang dibuang."

Axel mendekat dan menepuk pelan kepala wanita di depannya. "Jangan bicara macam-macam, Laura. Kamu bukan sampah. Tegakkan kepalamu, gunakan pesonamu dan pikat Jonathan. Buat laki-laki itu bertekuk lutut padamu."

Lagi-lagi Laura menggeleng. "Bagaimana caranya? Aku sendiri tak yakin punya pesona itu."

Tangan Axel terulur, mengangkat dagu Laura dan berucap tenang, "Kamu punya. Gunakan senyum dan tubuhmu untuk membuat Jonathan takluk. Ngomong-ngomong, di mana kacamatamu?"

"Kelupaan di kamar mandi. Itu yang membuatku salah tadi. Karena buram."

Axel berdecak, "Ceroboh. Sudah jangan menangis, perbaiki penampilanmu dan kejar tunanganmu." Axel membalikkan tubuh dan beranjak dari sisi Laura. Dia terhenti saat mendengar teriakan.

"Tunggu, aku ingin minta tolong padamu! Tolong ajari aku."

Dia berbalik dan menatap bingung pada Laura yang kini bangkit dari bangku dan menghampirinya. "Ajari apa?"

"Menggunakan pesonaku sebagai wanita. Aku tahu, kamu banyak mengenal kaum wanita. Kamu tahu persis apa yang menarik dari seorang wanita hingga membuat laki-laki takluk. Aku mohon, bantulah aku." Laura berucap penuh harap, meraih tangan Axel dan menggenggamnya.

"Hei, aku tak semahir itu. Kamu berguru sama orang yang salah," tolak Axel.

"Tidak, kamu orang yang tepat untuk kuminta tolong. Kamu baik dan memperlakukan aku layaknya teman. Aku mohon, Axel. Bantulah aku."

Untuk sesaat Axel terdiam, tercabik pada perasaan ingin menolak tetapi juga kasihan dengan keadaan Laura. Dia tak mengerti dengan pertolongan yang diminta Laura. Tahu apa dia tentang memikat seorang laki-laki sedangkan yang dia lakukan selama ini justru sebaliknya? Memikat hati wanita dan tidak ingin membuat dirinya jatuh cinta.

Dengan berani Laura meletakkan punggung tangan Axel ke pipinya dan bergumam lirih, "Aku mohon, tolonglah aku untuk mengenali diriku sendiri."

Mendesah resah, Axel merogoh saku dan mengeluarkan ponselnya. "Berapa nomor ponselmu? Aku hubungi jika waktuku tersedia."

Laura menegakkan tubuh dan melepas tangan Axel. Dengan gembira dia menyebut angka-angka yang dicatat di layar ponsel laki-laki itu. Setelah selesai, sekali lagi dia mengucap terima kasih dengan perasaan terharu.

Axel mengelus rambut Laura dan berkata pelan, "Sebelum kita lakukan rencana ini, kamu harus tahu jika segala sesuatu mengikuti rencana dan kemauanku. Yang kamu lakukan hanya menurut dan kupastikan Jonathan menjadi milikmu. Paham, Laura?"

"Iya, paham."

"Oke, nanti kuhubungi. Bersiap-siaplah."

Laura memandang dengan binar bahagia pada sosok Axel yang menghilang dalam kegelapan. Entah kenapa, persetujuan laki-laki itu membangun harapan dalam diri bahwa dia bisa melewati semua ini. Tersenyum simpul, dia mendongak menatap rembulan malam. Mencoba meredakan kesedihan yang bercokol di hati sebelum waktu pulang tiba.

**

Axel duduk dengan menaikkan sebelah kaki. Matanya menatap ke arah laki-laki tua yang duduk menghadap televisi. Baru sepuluh menit ia berada di sini dan suda tak tahan ingin pergi. Dia mengalihkan pandang ke interior rumah yang sangat familier. Ada sofa panjang terletak di samping dinding. Dulu itu adalah tempat favorit Aaron membaca, sedangkan dia bermain di samping sang kakak. Saat beranjak dewasa, dia pun ikut membaca, tetapi beda jenis bacaan. Kalau Aaron suka segala sesuatu yang serius, dia lebih santai dengan komik atau majalah. Sering kali, mereka berdua duduk berdekatan dan membahas cewek-cewek cantik di sekitar kompleks atau juga model majalah remaja. Memilah berdasarkan kecantikan dan kemontokan tubuh. Pembicaraan khas anak laki-laki. Dari dulu, mereka berdua memang dekat. Hingga perlakuan beda dari orang tua yang membuat perasaannya berubah, meski dia masih tetap akrab dengan Aaron sampai sekarang. Dia sama sekali tak punya keinginan untuk menentang sang kakak hanya karena rasa iri sebab kurang disayang orang tua.

Sementara itu, ingatannya tentang Celia hanya berupa bayangan kabur tentang gadis remaja yang selalu murung dan cemberut. Lebih banyak mengurung diri di kamar dan suka marah kalau dia mengganggunya. Kelebatan masa lalu tanpa sadar membuatnya menghela napas panjang.

"Jadi, kamu merasa bukan anak kami lagi? Sampai-sampai untuk datang ke rumah ini saja, kami yang harus meneleponmu!" Gelegar suara Arsalan memenuhi ruangan.

Teguran Arsalan menyadarkan lamunannya. Dia melirik sang papa yang duduk kaku di sofa. "Bukankah kondisimu sudah membaik, Pa?"

Arsalan menoleh, menatap sengit. "Lalu, kamu menungguku mati untuk datang menjenguk?"

Axel berdecak sambil menggeleng. "Ckckck ... tetap sama seperti dulu. Pemarah. Yang penting doa, Pa. Biar selalu sehat."

"Alasan aja kamu."

"Papa mau apalagi kalau begitu?" Axel bertanya heran, bersikap santai menghadapi sang papa yang sedang marah. Bukan hal aneh kalau Arsalan memperlakukannya dengan keras. "Bukannya Aaron dan Celia sudah mengurus? Memangnya aku masih kalian perlukan?"

"Kamu ini anak laki-laki kurang ajar!" Arsalan bangkit dari sofa dengan sedikit meringis, memegangi punggungnya. Menatap sengit pada anak bungsunya yang terlihat santai, seakan-akan tak terpengaruh pada rasa sakit yang dia alami. "Di antara semua anak-anakku yang lain, kamu memang paling pembangkang!"

"Ya, yaa ... senang rasanya itu dimengerti." Axel menjawab dengan nada bosan.

"Coba kamu pikir, berapa umurmu sekarang? Kamu bahkan tidak berminat membantu kakakmu mengurus perusahaan."

"Karena aku tidak mau dibilang saudara tak tahu diri, yang akan berebut warisan," tukas Axel keras.

"Paling tidak kamu bantu Aaron. Memangnya mau sampai kapan kamu luntang-lantung begini?"

Axel mendesah, menghela napas panjang dan mengembuskan perlahan. Dia merasa, sia-sia berdebat dengan orang tua yang tak percaya padanya dan terus menerus meminta agar dia jadi anak berguna. Dia punya pekerjaan yang disukai, dengan penghasilan cukup untuk hidupnya dari usaha itu. Dia tak pernah menyusahkan orang lain terlebih saudara dan keluarga. Axel masih tak mengerti salahnya di mana jika dia bekerja tanpa kantor. Dia orang yang tak suka terikat peraturan, begitu juga dalam hal pekerjaan. Pergi pagi pulang malam adalah hal yang membosankan untuknya.

"Kalau kamu tidak mau bantu kakakmu, setidaknya coba berpikir untuk membuka usaha sendiri." Danita muncul dari dalam dan berdiri di depan anak bungsunya. "Paling tidak, kami ini tidak khawatir kalau suatu saat terjadi apa-apa dengan kami—"

"Tidak akan terjadi apa-apa," tukas Axel lembut. Dia meraih telapak tangan sang mama dan mengecupnya. "Sebaiknya kalian memikirkan hal lain daripada sibuk tentang aku."

"Semua yang kami lakukan untuk kebaikan anak-anak kami." Danita menepuk pundak anaknya pelan. "Tidak ada orang tua yang punya niat tidak baik pada anaknya."

Axel mengangguk. "Memang, justru karena kelewat baik, kalian jadi egois dan membiarkan orang lain menderita. Nara, contohnya. Kurang baik apa dia dan kalian tetap menolaknya."

Baik Arsalan maupun Danita tidak menjawab perkataan anak mereka. Keduanya saling pandang dalam diam. Axel bangkit dari sofa dan bersiap pergi.

"Mau ke mana kamu?" tanya Danita.

"Pulang."

"Hei, ini rumah kamu."

Axel menggeleng. "Rumahku itu sebuah apartemen yang kubeli di pusat kota. Lalu, satu lagi adalah rumah Aaron. Di sana lebih membahagiakan daripada harus sendirian di apartemen."

Dengkusan kasar keluar dari mulut Arsalan tetapi laki-laki tua itu tidak mengatakan apa pun. Dia kembali mengenyakkan diri di sofa dan mengambil remote control. Mencari saluran olahraga dan mulai fokus menonton pertandingan bola.

Axel yang melihat sang papa sudah sehat kembali dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan, beranjak dari sisi sofa. "Pa, aku pulang dulu." Dia pamit dengan sopan lalu berbalik menuju pintu dengan sang mama merendengi langkahnya.

"Axel, Mama ingin minta tolong padamu."

"Ada apa, Ma?"

"Maukah kamu bertemu anak teman Mama? Gadis yang baik, aristokrat, dan dididik dengan baik."

"Dengan kata lain kalian ingin menjodohkan aku. Tidak belajar dari pengalaman, Ma?" Axel menghentikan langkah di ambang pintu dan menatap mamanya yang masih terlihat cantik di usianya. "Mama lupa dengan kejadian Celia? Karena perjodohan akhirnya dia membiarkan dirinya menderita sepanjang hidup."

Danita menggeleng, bergumam dengan nada sedih. "Padahal, yang kami lakukan untuk kebaikannya."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro