Bab 3
Ponsel bergetar, dia menatap layar dan melihat nama sahabatnya tertera di sana. Sebuah pesan datang.
"Laura, bagaimana semalam?"
Laura mendesah, dia tahu jika ada orang yang paling peduli padanya itu hanya Ani. Dia mengetik balasan.
"Buruk, seperti biasa. Untung ada Axel."
"Hah, kamu bertemu Axel?"
"Iya, dia mengantarku pulang."
"Laura, Axel itu terkenal sebagai playboy yang bisa menaklukkan wanita mana pun. Dia pasti punya banyak cara. Saranku, kalau dia memang baik, coba kamu konsultasi atau minta bantuannya untuk menaklukkan Jonathan."
Laura mengernyitkan kening membaca pesan sahabatnya. Ani mengatakan dia bisa meminta bantuan Axel. Bisakah seperti itu sedangkan mereka tak pernah mengenal dengan akrab? Tiba-tiba terlintas di otaknya sebuah pesta dari Keluarga Bramasta. Saat itu, bukan hanya Axel yang menemaninya tetapi juga seorang wanita yang cantik bernama Nara. Bisa jadi, wanita itu bisa membantunya karena Nara diketahui mampu menaklukkan hati Aaron, anak sulung Keluarga Bramasta. Sayangnya, dia tak punya kontak Nara. Dia mencatat dalam otak, lain kali saat bertemu Axel akan meminta nomor ponsel kakak ipar laki-laki itu.
***
Axel menatap keponakannya yang berlarian di sepanjang ruang keluarga. Danish terlihat gembira dengan mainan mobil-mobilan barunya yang luar biasa besar. Sesekali menaiki atau juga sengaja mendorongnya hingga menabrak-nabrak perabotan. Jika sudah begitu, sang mama akan turun tangan untuk menegur. Dia mengulum senyum, menatap penuh sayang pada keponakan laki-lakinya.
"Apa kamu baru saja mendapat keuntungan besar? Sampai membelikan Danish mainan mahal begitu." Aaron menatap adiknya yang terdiam dengan kopi panas tersaji di depan. Dia mengenyakkan diri di seberang Axel dan menuang kopi dari coffee maker di atas meja.
"Lumayan, ada beberapa saham yang membuatku kaya mendadak." Axel tersenyum kecil menjawab pertanyaan kakaknya. "Bagaimana kabar Papa kita tercinta? Apa sakitnya sudah mendingan?"
Aaron mendengkus. "Orang tua, dia itu sehat. Hanya saja membutuhkan perhatian kita."
"Kan, kubilang juga apa. Papa kita itu terkenal strong man. Mana mungkin dia menyerah pada sakit ... apa namanya? Sakit punggung atau sakit urat?"
"Tetap saja, harusnya kamu ke sana menengok."
Axel melambaikan tangan. "Ya, ya, nanti. Sekarang aku lagi malas diocehi."
Suara teriakan Danish memenuhi ruangan. Ditimpali dengan suara Nara yang mengingatkan agar anaknya jangan sampai terluka. Malam belum begitu larut, Danish yang mendapat mainan baru menolak untuk masuk kamar lebih awal. Tidak ada yang tega merusak kebahagiaannya. Dengan terpaksa membiarkannya mengacak-acak ruang tengah.
"Oh ya, bisakah aku minta tolong padamu besok malam?"
Axel mengalihkan pandangan dari Danish yang kini bergelayut pada sang mami. Menatap kakaknya penuh tanya. "Ada apa?"
"Besok ada undangan makan malam dari Keluarga Hanatama. Sedangkan aku harus keluar kota beberapa hari. Bisakah kamu menemani Nara pergi?"
"Kamu tahu aku paling tidak suka acara membosankan seperti itu."
Aaron mengangguk. "Tahu, tapi demi Nara. Aku tidak bisa menolak undangan mereka karena kami baru saja bekerja sama untuk pembangunan pabrik baru di Sukabumi. Bisa saja Nara pergi sendiri, mengingat kondisinya ...."
"Hah, baiklah. Aku akan datang besok ke acara itu bersama Nara. Heran, kalian ini suka sekali mengadakan acara makan malam membosankan begitu!" gerutu Axel. Namun, Aaron mengabaikannya karena yang penting sang adik setuju untuk menemani dan menjaga istrinya.
"Oh ya, kalau tidak mau ketemu Papa dan Mama, setidaknya jenguklah Celia."
Axel menyeruput kopi lalu bangkit dari kursi. Menatap kakak laki-lakinya dan berucap pelan. "Nanti. Aku belum siap adu argumen dengan wanita egois."
"Dia menderita karena Charles."
"Memang, dan dia sengaja membuat dirinya menderita agar seluruh keluarganya merasakan hal yang sama."
"Axel ...."
"Jangan mendorongku terlalu keras, Bro. Aku tidak suka itu." Melangkah perlahan meninggalkan meja, Axel menghampiri keponakannya. "Danish, bonceng uncle, dong."
Aaron menghela napas menatap punggung adiknya yang menjauh dan kini sedang tertawa menggoda Danish. Dia tak dapat memaksa kehendak pada Axel yang keras kepala. Memaklumi jika adiknya menolak bertemu dengan Celia ataupun orang tua mereka. Dari kecil dia diasingkan dan merasa tidak dianggap. Beruntung, hubungan mereka baik. Meski banyak yang membandingkan antara mereka berdua.
**
"Jangan lupa, tata makanan ini dan letakkan di atas meja bundar. Lalu, cek menu pada koki di dapur jangan sampai terlewat. Bisa malu kita kalau menunya tidak sesuai dengan lidah para tamu. Mau ditaruh di mana mukaku sebagai tuan rumah." Ruma Hanatama, mengoceh panjang lebar dan memberi perintah pada Laura yang berdiri diam di sampingnya.
"Ah, ya. Bisakah kamu tetap berjaga di dapur selama acara berlangsung?"
Laura mendongak dari kesibukannya menatap peralatan makan. "Bukannya ada kepala pelayan?"
Ruma melambaikan tangan, melirik sinis. "Wanita itu gajinya saja yang besar. Tapi, sesungguhnya tidak becus kerja. Beda sama kamu yang cekatan." Dia menepuk pundak Laura pelan dan berucap lembut, "Lagi pula, kelak jika kamu menikah dengan Jonathan, ini adalah bagian dari tugasmu sebagai menantu keluarga kami."
Dengan langkah tergesa, wanita itu meninggalkan Laura sendirian di dapur. Laura menatap peralatan makan di hadapannya dengan pandangan kosong sebelum akhirnya tersadar jika waktu sudah mepet. Dari pukul empat sore dia datang, tak berhenti bekerja. Membereskan meja, memilih menu, merangkai bunga, hingga membantu membuat minuman. Kini, dia merasa lelah tetapi tidak bisa beristirahat.
"Kamu di sini?"
Laura menoleh, menatap Jonathan yang bersandar di ambang pintu. Laki-laki itu menatap dengan sikap arogan. Senyum mengejek keluar dari bibirnya. Dia mengawasi penampilan Laura dalam balutan dress batik sederhana dan rambut yang dikuncir ekor kuda. Terlihat begitu kuno dan membosankan, ditambah kacamata yang dipakainya. "Apa dengan menjadi pembantu di rumah ini maka aku akan tertarik untuk menikah denganmu, Laura?"
"Aku datang untuk memenuhi undangan Mamamu," jawab Laura tak acuh.
"Hah, itu karena anaknya semua laki-laki. Tidak ada yang bantu dia. Kamu datang kemari sama saja menjadi budaknya." Jonathan berkata kejam. Dia melangkah mendekati Laura dan berucap pelan, "Seandainya saja, kamu punya 10% dari keseksian Gina. Tentu aku akan menikahimu."
Tawa meremehkan keluar dari mulut Jonathan. Laki-laki itu menghampiri kulkas dan membuka pintu untuk mengambil soft drink.
Laura yang merasa dipermalukan, membalikkan tubuh dan mengucap sinis, "Gina yang menjadi teman tidur banyak laki-laki maksudmu? Ternyata, kamu suka bekas orang!"
Jonathan meremas kaleng soft drink hingga penyok dan melemparkan begitu saja ke tong sampah. Sayangnya, membentur dinding dan membuat kaleng menggelinding di lantai. Sisa minuman memercik ke segala arah dan menciptakan kotor di lantai keramik.
"Jangan sombong kamu, Laura. Kamu mau bilang tentang laki-laki yang sengaja kamu pamerkan untuk memanasiku?" Jonathan mendekat, menyentuh pundak Laura dan berbisik, "Berapa kamu bayar dia untuk berpura-pura, hah?! Mana mungkin laki-laki seperti Axel akan menyentuhmu, kalau aku saja jijik!" Dengan dengkusan kasar, Jonathan meninggalkannya sendiri.
Laura memejamkan mata, mengatur detak jantung yang menggila. Dia benci pada kenyataan jika tak bisa membalas semua penghinaan laki-laki yang ditunangkan dengannya karena pesan sang papa. Jika bukan karena bisnis, seandainya nasib keluarganya tidak tergantung padanya, ingin dia memukul mulut Jonathan hingga berdarah.
Dia menoleh, membungkuk untuk memungut kaleng kosong di lantai. Lalu membuangnya ke tempat sampah. Mengambil beberapa lembar tisu untuk mengelap percikan soft drink di lantai. Tak lama terdengar langkah kaki mendekat disusul suara teguran.
"Laura, kamu kenapa mengelap lantai pakai tisu? Boros itu namanya!" Ruma menatapnya dengan pandangan tidak senang.
Laura menegakkan tubuh, berusaha tersenyum. "Hanya percikan kecil, Ma."
"Tetap saja. Harusnya kamu ke belakang. Ambil kain pel dan lap sampai bersih. Bukan dengan tisu!" Suara decakan keluar dari mulut wanita itu. Telunjuknya teracung. "Buruan cuci tangan dan bantu aku menata hidangan di meja!"
Sepeninggal wanita itu, Laura menatap langit-langit dapur. Tak mampu membayangkan, apa jadinya jika kelak dia menjadi menantu di rumah ini. Tak berdaya dengan nasibnya, dia terdiam di sudut ruangan.
**
Satu per satu para tamu mulai berdatangan. Mereka berkumpul di ruang tamu yang sangat luas dengan tiga set sofa sebagai tempat duduk. Hidangan kecil disajikan di atas piring-piring perak, dengan pelbagai jenis minuman penyegar.
"Sudah kuduga, tidak akan ada sampanye di sini." Axel berbisik pada Nara yang duduk di sampingnya. "Mana orang-orang tua semua lagi. Heran, kenapa Aaron bergaulnya sama mereka?"
Nara yang sedang meminum jus mangga, hampir tersedak saat mendengar gerutuan adik iparnya. Yang dikatakan Axel memang benar adanya. Satu ruangan ini, hanya mereka yang paling muda. Selebihnya adalah para tuan dan nyonya dengan umur matang di atas empat puluhan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro