Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

ᴛᴜᴊᴜʜ

• secretalove •

"Gimana pemotretannya? Lancar?" Andres bertanya ketika kami sampai di coffeshop.

Andra mengangguk kemudian melepaskan tas yang sejak tadi di pundak dan meletakkannya di meja yang berisikan nampan dengan es kopi beberapa kap. "Lancar banget, Kak. Tadi sempat ada chaos, tapi semuanya lancar berkat bantuan Maura." Andra menceritakan garis besar konsep yang diubah Rafli pada Andres. Mendengar percakapan keduanya terlihat menyenangkan.

Andres membuka galeri pada kamera Andra kemudian tersenyum lebar. "Kamu bakat jadi seorang model, Ra. Kenapa nggak diseriusin aja bakatnya? Jarang loh ada orang yang fotogenik macem kamu ini." Andres kemudian membidik dengan kamera yang digenggamnya dan tanpa meminta izin mengambil gambarku.

"Kakak apaan, sih? Malu tau!" Aku berusaha menutupi wajah.

Laki-laki itu tertawa. Deretan giginya yang terlihat juga mata yang menyipit membuatnya terlihat lebih menarik di mataku. "Yaudah, kalian masuk aja dulu ke dalam. Gue beresin sisa kerjaan bentar abis itu nyusul. Kalian udah makan, 'kan?"

Kami kompak mengangguk sebelum masuk ke dalam pintu yang bertuliskan 'khusus karyawan'. Tidak ada yang istimewa dari ruang khusus karyawan yang kami lewati, hanya dua buah freezer besar berwarna putih yang lecet di bagian depan juga dua buah showcase tinggi tempat menyimpan fresh milk dan bahan baku cair, seperti sirup gula aren dan sirup keju.

"Freezer ini isinya apa?" aku bertanya pada salah seorang karyawan yang sedang menghitung stok bungkus kopi di dalam kardus. Mengabaikan Andra, Joni, Rafli yang sudah naik ke lantai dua.

"Roti, Kak," jawabnya sembari membuka freezer dan memperlihatkannya padaku.

"Ehh?" Aku baru tahu roti bisa disimpan di dalam freezer. Selama ini kupikir karyawan membuat roti mereka sendiri.

"Rotinya beku?" tanyaku yang akhirnya penasaran dengan perjalanan roti-roti itu.

"Iya, dikirim supplier dalam keadaan beku. Kita simpan di sini juga dalam keadaan beku, kemudian setiap harinya di-thawing sebelum masuk ke dalam oven baru deh siap jual."

"Jadi kalian cuma manasin aja?"

Karyawan itu mengangguk kemudian tersenyum sebelum kembali menutup pintu freezer. "Ada, sih, yang buat sendiri, kayak Toast, Donat, tapi itu kalau ada Bang Ubay. Kalau kita fokus di FIFO aja."

Lima menit berlalu, percakapan tentang proses roti itu membuatku sedikit–banyak tahu tentang usaha yang digeluti Andres. Hingga pintu khusus karyawan kembali terbuka aku tersenyum ketika mendengar suara Andres sebelum pintu benar-benar terbuka lebar. Namun, senyum yang aku tampilkan seketika memudar ketika Andres bersama perempuan yang kulihat tadi siang.

Perempuan itu mengenakan seragam hitam. Dengan celana ripped jeans, ia terlihat sangat cuek dengan penampilannya. Matanya runcing, dengan wajah khas Asia yang terlihat segar. Rambutnya yang hitam panjang dikuncir menyisakan beberapa helai membuatnya terlihat manis. Sial! Dia cantik.

"Maura, ya?"

Aku kaget ketika perempuan itu dengan begitu fasih menyebutkan namaku, segera aku mengembangkan senyum untuk membalas sapaannya.

"Kakak siapa?"

"Lupa, ya? Aku Imel. Temen satu kantor Nara dulu. Sekarang sih udah nggak. Kamu makin cantik aja. Persis banget sama Maudy."

"Cantik Maura kalo kata gue sih. Dia fotogenik loh, Mel." Andres menambahkan.

Wajahku memerah mendengar pujian yang dilayangkan Andres. Seperti ada ribuan kupu-kupu beterbangan di perut, aku tidak bisa menyembunyikan senyum.

"Ke atas, yuk, Ra. Udah ditungguin sama Andra sama yang lain juga." Andres menunjuk anak tangga kemudian mempersilahkan aku dan Imel menaikinya terlebih dahulu.

Kini, kami duduk mengitari meja kayu jati segi empat. Di atasnya ada dua laptop milik Andres yang biasa ia gunakan untuk mengedit foto atau video.

Aku hanya diam ketika Andres menjelaskan perihal tahap penggunaan Lightroom pada Andra yang duduk di sebelahnya. Sementara Imel yang duduk di sebelah Andres di sisi satunya, sesekali membantu Andres dengan menjelaskan pada Rafli tentang kegunaan Control Distortion pada kamera DSLR.

Aku menghela napas sepelan mungkin, menghabiskan sisa-sisa batu es yang mencair dari es kopi. Sejak duduk limabelas menit lalu, jujur saja suasana hatiku buruk, hanya duduk melamun menatap seorang perempuan yang jauh di atasku duduk bersama laki-laki yang aku sukai. Berkali-kali aku mengalihkan perhatian dengan memainkan ponsel, mengirimi Sherly chat yang tidak juga dibaca olehnya, kemudian bergerak resah.

Apa aku harus sadar jika aku tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Imel? Imel hebat. Dia cantik, cerdas juga cekatan. Sementara aku? Hanya seorang mahasiswa yang bahkan nilai akademisnya tidak dapat dibanggakan.

Aku pernah kalah dalam lomba debat, kalah dalam lomba menari ketika sekolah dasar, bahkan kalah dalam mendapat perhatian almarhum Ibu dari Kak Maudy ketika merengek meminta barangnya. Namun, tidak pernah segelisah saat ini. Hari ini, aku kalah, bahkan disaat lawanku tidak merasa melawanku sama sekali.

"Maura!" Joni meneriakkan namaku ketika aku tidak juga menjawab pertanyaannya. "Heh! Cakep-cakep ngelamun aja. Mikirin apa sih? Jodoh? Ada di depan mata!"

Tanpa sadar aku menggebrak meja karena tersinggung dengan apa yang dikatakan Joni. Jujur saja, aku tidak pernah suka dengan seseorang yang bercanda dengan mengatakan jodoh semudah itu. Bagiku itu adalah hal sensitif dan tidak seharusnya dibuat candaan. Mungkin buat kalian aku berlebihan, tapi seseorang dapat memiliki privasinya masing-masing bukan?

Aku menyelempangkan tas kemudian bangun dari duduk dengan membawa bekas kap kopi yang masih bersisa air. Andra mencekal tanganku ketika aku melangkah menjauhi mereka. "Mau ke mana, Ra."

"Aku pulang, Ndra. Toh udah nggak ada lagi yang harus aku lakuin di sini." Aku terus melangkah diikuti Andra.

"Aku anter, ya. Udah malam juga kalo kamu pulang sendirian." Andra mengambil jaket parka yang tadi sempat ia gantungkan sebelum suara Joni menginterupsi.

"Lo marah sama omongan gue, Ra? Maaf deh. Nggak maksud apa-apa, 'kok." Joni akhirnya ikut berdiri disusul Rafli, Andres juga Imel.

"Nggak, 'kok. Lagi badmood aja. Udah malem, aku capek, Jon." Aku mengarahkan senyum pada Joni kemudian menatap Andra yang sudah memakai jaketnya kembali. "Kamu juga, Ndra. Aku jalan kaki aja. Nggak enak kalo diliat Kakak kamu anter aku malem-malem."

"Udah nggak apa. Dianter Andra aja, Ra. Lagian Nara sama Maudy juga pasti ngerti kalo Andra yang anter kamu." Imel mendekat kemudian menepuk pelan bahuku untuk memberi pengertian. Sementara Andres hanya diam tidak berkomentar apa pun.

"Nggak deh, Kak. Kalo Kak Imel kenal Kak Nara harusnya Kak Imel tahu kenapa aku nolak."

"Iya juga sih." Imel tertawa. Mungkin perempuan ini lebih mengenal Kak Nara dari yang aku kira. "Tapi nggak apa dong. Kali aja Nara sama Ubay bakal jadi saudara kalo kamu sama Andra jadian."

"Kak Imel apaan sih." Andra akhirnya bersuara.

Aku tidak begitu menghiraukan perkataannya dan kembali melangkah ke arah pintu sebelum Imel kembali menahan dan aku menyentaknya hingga sisa air batu es yang mencair tumpah ke bajunya.

"Ma-maaf, Kak. Aku nggak sengaja."

Hanya itu yang bisa aku ucapkan ketika melihat Andres menghampiri Imel dan memberikan jaketnya untuk mengelap baju Imel yang basah.

"Kamu jangan kaya anak kecil begitu dong, Ra!" Sentakan Andres membuat nyaliku menciut. Aku hanya mengucapkan kata maaf sebelum benar-benar pergi dari sana.

Beberapa karyawan di lantai satu menyunggingkan senyum ketika aku melewatinya. Aku membalas, kemudian kembali menunduk hingga melewati pintu kaca dan berjalan lurus keluar area parkir ruko untuk pulang. Namun, ketika sampai di parkiran. Seseorang mencekal tanganku keras. Aku berusaha mengelak, menutupi air mata yang tanpa sengaja jatuh ketika Andres membentakku.

"Kamu nangis?"

Aku buru-buru mengelap air mata dari wajah, memalingkan pandangan dari orang yang ada di depanku.

"Kenapa kamu pergi gitu aja? Harusnya kamu minta maaf dulu yang benar sama Imel! Kenapa sekarang malah kamu yang nangis?"

Aku tidak menghiraukan perkataannya. Sekarang semuanya jelas. Hanya karena perkara air yang tidak sengaja aku tumpahkan--yang bahkan tidak lebih dari tiga puluh ml--Andres semarah itu padaku. Sebegitu pentingkah perempuan bernama Imel itu? Oke! Aku tidak akan peduli juga dengan hal itu.

Namun, haruskah ia mengejarku hanya untuk sebuah permintaan maaf yang bahkan sudah aku ucapkan dua kali? Dan ketika melihatku menangis, ia bahkan hanya memasang tampang bingung seolah itu bukan hal besar baginya.

"Kakak mau aku minta maaf kaya gimana lagi?" Aku memberanikan diri menatap Andres. Mendongak, mengadu pandanganku dengan bola matanya. "Aku udah bilang maaf dua kali. Belum cukup? Kak Ubay mau aku sujud minta maaf? Ayo! Aku bakal sujud sama dia kalo itu bikin Kakak puas!"

Entah kenapa aku jadi meledak-ledak sendiri. Membayangkan betapa berharganya Imel di mata Andres membuat dadaku penuh sesak. Tanpa sadar aku kembali menangis kemudian menundukkan kepala di hadapan Andres. Aku lemah. Mungkin, setelah ini aku tidak akan punya muka bertemu dengan Andres dikemudian hari. Sementara laki-laki itu hanya diam, tidak menjawab atau bahkan bergerak satu inchi pun dari sejak aku meneteskan air mata. Aku merasa semakin buruk di hadapannya.

"Kalo nggak ada yang mau Kakak salahin lagi, aku pulang."

Aku berbalik, menjauhinya dan berjalan di trotoar yang diterangi lampu jalan. Aku putuskan, mulai malam ini aku akan melupakan Andres, melupakan kenangan dua tahun lalu, melupakan khayalan yang kubangun dua tahun jika saja aku bertemu kembali dengannya. Inikah yang dinamakan sakit hati? Ketika tidak ada luka, tetapi ada satu buah rasa yang sama sekali tidak dapat kalian jelaskan.

"Naik, Maura. Udah malam." Tiba-tiba saja motor Andres sudah ada di sampingku.

Mencoba menahan rasa malu yang hinggap di dalam dada, aku menggeleng kemudian terus berjalan meninggalkan Andres yang masih memarkirkan motornya tepat di samping trotoar.

"Udah malam, Maura." Ia kembali mencekal tanganku. Aku balas menepis, kemudian mendorongnya pelan agar menjauh. Namun, ketika aku mendorongnya. Andres yang masih memegangi tanganku tanpa sengaja mendorongku hingga terjatuh dan menabrak tiang jalan.

"Maura!"

Teriakan Andres seolah membuat gendang telingaku pecah. Aku terjerembab hingga celana yang kukenakan kotor karena aspal jalan. Aku meringis ketika merasakan sakit pada tangan kananku. Ternyata ada noda darah dari telapak tangan yang mengelupas sementara nyerinya lebih terasa pada bagian punggung tangan.

"Kamu nggak papa? Kakak minta maaf. Ayo kita ke klinik dulu!" Andres berseru panik sembari membantuku bangun.

"Nggak usah, Kak. Aku pulang aja." Aku masih tetap pada pendirianku.

"Tapi kamu luka, Maura," katanya mencoba memberi pengertian. Raut wajahnya berubah panik dan memeriksa luka di tanganku. "Yaudah pulang. Tapi Kakak anter kamu, ya."

Kali ini aku mengangguk. Tidak mungkin juga aku pulang dengan berjalan kaki dengan kondisi seperti ini.

Glosarium :

Thawing : Proses perubahan suhu, dari beku ke suhu normal
(Biasanya paling lama dua jam sebelum bakery siap dioven)

FIFO : First In First Out, proses memisahkan barang, akan yang masuk lebih dulu diproses dan dijual untuk mencegah barang kadaluwarsa

Control Distorsi : Menu pada kamera untuk mengurangi tahang saat pemotretan dengan lensa sudut lebar. Dan mengurangi efek lengkung pada lensa sudut panjang.

ʏᴀᴀᴀʜ ᴘᴏᴋᴏᴋɴʏᴀ sᴇᴋɪᴀɴ ᴘᴇɴᴊᴇʟᴀsᴀɴ ʏᴀɴɢ ᴛɪᴅᴀᴋ ᴊᴇʟᴀs ɪɴɪ ᴡᴋᴡᴋᴡᴋ...
ᴋɪʀᴀ-ᴋɪʀᴀ ɪʟᴍᴜ ᴀᴘᴀ ʏᴀɴɢ ᴋᴀʟɪᴀɴ ᴅᴀᴘᴀᴛ ᴅɪ ᴄᴇʀɪᴛᴀ ɪɴɪ? ᴀᴘᴀᴋᴀʜ ᴛɪᴅᴀᴋ ᴀᴅᴀ ᴡᴋᴡᴋᴡᴋ

ʙᴀɪᴋʟᴀʜ, ɴɪᴋᴍᴀᴛɪ sᴀᴊᴀ ᴄᴇʀɪᴛᴀɴʏᴀ!
ᴊᴀɴɢᴀɴ ʟᴜᴘᴀ ᴠᴏᴛᴇ ᴄᴏᴍᴍᴇɴᴛɴʏᴀ, ᴋᴀʀᴇɴᴀ ɪᴛᴜ ʙɪᴋɪɴ ᴀᴋᴜ sᴇɴᴀɴɢ

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro