Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

ᴇɴᴀᴍ

• sᴇᴄʀᴇᴛᴀʟᴏᴠᴇ •

"Aku perhatiin dari kita keluar kafe kamu diem aja, Ra." Aku mengerjap, menatap Andra yang sudah menatapku dengan tatapan khawatir.

"Ehh, nggak, 'kok. Cuma lagi nikmatin perjalanan aja tadi," jawabku disertai senyum agar Andra tidak merasa terlalu khawatir.

Baru pukul tiga sore, motor Andra sudah sampai di pelataran Taman Fatahillah. Awalnya kami hanya berdua, sebelum kemudian bergabung dengan beberapa anak FOGAMA yang duduk-duduk di depan pelataran Kafe Batavia.

"Aku Maura, Maura Athaya. Bisa panggil Maura, bisa panggil Athaya." Begitu canggung rasanya ketika aku memperkenalkan diri.

Sementara anak FOGAMA yang lain mengangguk sembari tersenyum membalas. Salah satu anggota FOGAMA yang memperkenalkan namanya Joni berceletuk. "Jadi ini yang disebut-sebut bidadari FKOM?"

Aku tersenyum canggung. Bidadari apanya? Mereka tidak tahu saja di rumah kakak menganggap tidak ada laki-laki yang mau denganku. Terlebih keduanya kompak meledek ketika tahu aku sama sekali belum pernah berpacaran.

Mungkin karena tahu aku tidak nyaman dengan bahasan seperti itu, Andra memulai topik pembicaraan baru. "Gimana soal konsep yang mau kita ambil semuanya udah setuju? Apa ada yang mau dibantah atau ditambahin?"

Yang lain kompak menggeleng, beberapa mengacungkan jempol untuk menjawab pertanyaan laki-laki berjaket parka warna army itu.

"Tapi, Ndra. Anak UKM modelling ngabarin kalo mereka nggak bisa datang hari ini." Itu Rafli, salah satu anggota UKM FOGAMA

"Maksudnya?" Pertanyaan Andra menginterupsi.

"Berarti kita butuh model pengganti dong?" tanya Joni. "Kita, 'kan, nggak nyiapin itu kemarin, lagi pula kemarin udah cocokin jadwal sama UKM sana. Berarti hari ini kita cancel ambil gambar? Susah lagi izin sama pihak UPK setempat belum lagi ke PTSP."

"Maura aja jadi gantinya gimana? Ngegantiin anak UKM modelling yang batal datang ke sini."

Aku? Kenapa Rafli jadi meminta aku yang bertanggung jawab dengan ketidakhadiran model mereka?

"Maksudnya kalau Maura jadi modelnya, gimana?"

Aku menelan ludah. Bagaimana jadinya jika aku yang bahkan tidak pernah mengambil foto selfie saja dapat menjadi seorang model? Tapi bagaimana caranya aku menolak permintaan anggota FOGAMA. Meski baru mengenal, aku tetap tidak enak hati untuk menolak.

"Gimana, Maura?" Rafli bertanya lagi untuk memastikan idenya.

"A-aku belum pernah jadi model sebelumnya."

"Ya makanya dicoba! Aku yakin bakal bagus hasilnya kalau kamu yang jadi model." Rafli terlihat antusias, dia duduk mendekat kemudian memperlihatkan gambar-gambar yang menjadi konsep mereka kali ini. Beberapa gambar dengan gedung-gedung serupa latar sebuah cerita dengan warna tone yang sama, terlihat menarik dengan gaya model traveller vintage yang mereka buat dalam sketsa kasar.

"Dicoba aja, Maura. Siapa tau hasilnya bagus dan lo malah bisa jadi model beneran." Joni mengusulkan. "Lagian nanti editing-nya bakal dibantuin sama kakaknya si Andra, 'kok. Pasti hasilnya bakal bagus."

"Andres?" aku berucap spontan. "Maksudku Kak Ubay." Buru-buru aku koreksi panggilan itu ketika melihat Andra menatapku dengan tatapan kaget.

"Kamu tahu nama asli Ubay, Ra?" tanya Andra.

"Ya tahulah! Kak Nara yang ngenalin Kak Ubay sama aku." Aku beralasan. Menatap Andra dengan sikap senatural mungkin.

"Nggak biasanya. Biasanya nggak banyak yang tau nama asli kakak. Dia lebih suka dipanggil Ubay dibanding Andres. Kata Kak Nara, bahkan beberapa teman kantor mereka aja ada yang nggak tau nama Andres." Andra menjelaskan.

Baru aku mau bertanya tentang hal lebih dalam, pertanyaan Rafli kembali menyambar. "Gimana, Ra? Mau nggak jadi model kita?"

"Tapi kalo hasilnya jelek jangan salahin aku, ya?"

Rafli mengacungkan kedua jempol tangannya ke depan wajahku. Sementara Andra menatapku seolah tidak yakin.

"Kamu serius?" Benarkan apa yang aku bilang. Dia pasti menanyakan keseriusanku.

"Iya, nggak apa. Lagian itung-itung aku belajar sesuatu, 'kan, kata kamu."

Andra tersenyum kemudian mengucapkan kata terima kasih karena aku mau membantu penyempurnaan konsep anggota FOGAMA.

****

Sudah satu jam berlalu, aku mulai kehabisan gaya--lelah lebih tepatnya. Mungkin, aku tidak pernah terbiasa dengan sorot lensa seperti ini, tetapi tawaran tidak langsung akan lebih dekat dengan Andres membuatku berpikir ulang. Aku harus terlihat jika ingin mendapat perhatiannya.

Matahari mulai turun, menyisakan keemasan pada lembar pertama langit Jakarta. Jalan utama semakin mengular kendaraan, Stasiun Jakarta Kota semakin padat dan Taman Fatahillah semakin ramai. Kami tiba di spot foto terakhir, yaitu Toko Merah.

Bangunan ini digadang-gadang sebagai bangunan tertua di Kota Tua Jakarta dan terkenal karena warnanya yang merah mencolok diantara bangunan lain, sehingga mencuri perhatian bagi siapapun yang datang untuk mengambil gambar untuk media sosial.

Aku berdiri di antara dua jendela tinggi khas arsitektur zaman kolonial. Dengan menghadap ke samping dan wajah seolah tertawa, anggota FOGAMA yang lain mengambil gambar dari posisi bawah agar kakiku terlihat lebih jenjang.

Aku menoleh ke belakang ketika mendengar seruan Andra untuk mengganti gaya. Bermaksud mengambil foto dengan gaya menoleh ke belakang, atensiku justru teralih pada seorang penjual permen gula yang dibentuk menyerupai banyak bentuk.

"Woah ... gila! Seriusan nih Maura baru pertama kali pemotretan?" Joni berseru. Ia menggelengkan kepala ketika melihat layar display pada kamera DSLR yang tergantung di lehernya.

"Bagus-bagus banget loh, Ra. Asli! Bakat lo jadi model." Ia memperlihatkan hasil jepretannya.

"Besok-besok kalo ada sesi pemotretan nggak usah minta UKM lainlah! Ajak Maura aja. Lumayan nggak mesti cocokin jadwal sama selebgram sok ngartis itu," ucap Rafli tanpa mengalihkan pandangan dari display kamera yang ia genggam.

"Julid banget lo, Raf." Joni menggeplak kepala Rafli. Andra hanya tersenyum tanpa mengeluarkan sepatah kata pun dari bibirnya.

Aku juga hanya melihat sekilas kemudian tersenyum sebelum kembali menatap kakek tua pedagang permen gulali itu. Ingatanku kembali pada kejadian dua tahun lalu, foto anak dengan permen loli yang Andres berikan.

Menghela napas kecewa, aku mulai berpikir. Mungkin Andres lupa dengan kejadian yang menurutnya tidak penting itu. Kejadian itu, hanya membekas padaku saja, tidak padanya.

Bahkan, disaat semua langkah yang aku ambil hanya dengan alasan agar aku dapat lebih dekat dengannya, ia justru memeluk perempuan lain di depan mataku tanpa merasa bersalah atau canggung sama sekali. Apa itu artinya aku harus segera melupakan Andres? Apa perempuan itu yang akhirnya akan dipilih Andres untuk menemaninya memulai hari hingga sisa-sisa hidupnya? Apa mungkin aku bisa melupakan Andres semudah ia membuatku jatuh?

Pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam kepala entah kenapa membuat dadaku penuh sesak. Hingga aku menyadari, aku sudah terlalu dalam jatuh pada Andres dan tidak tahu bagaimana cara agar bisa kembali.

"Maura?"

Aku tersentak ketika Andra memegangi pundakku. Ternyata sudah lebih dari satu menit aku melamun sembari melihat penjual permen itu.

"Kamu nggak apa?" tanyanya dengan raut wajah khawatir. Sepertinya Andra tipikal laki-laki yang mudah khawatir dengan hal-hal kecil.

"Nggak apa, Ndra. Sebentar, ya," aku menjawab singkat kemudian berlari kecil meninggalkan Andra menuju kakek tua penjual permen gulali, membeli beberapa dagangannya dan kembali bergabung dengan FOGAMA.

"Ndra, boleh minta tolong sebentar, nggak?" Andra menghentikan pergerakannya yang tengah melepas lensa dari badan kamera.

"Apa?"

"Fotoin aku sekali lagi." Aku mengacungkan jari telunjuk kemudian bergerak menuju bangunan di sebelah Toko Merah. Bangunan tua yang bercat putih gading, membawa satu permen gulali dan berpose seolah aku seorang anak kecil--sama persis dengan lembar foto yang pernah Andres berikan padaku.

Andra yang mengerti permintaanku langsung mengencangkan lensa kameranya kembali kemudian mengarahkannya padaku. Laki-laki itu sempat menghitung mundur sebelum cahaya blitz menyapaku ketika ia menekan tombol rana.

"Lagi?" tanyanya.

Aku menggeleng sebagai jawaban dan tersenyum pada Andra ketika teman satu kelasku itu mengangguk dan melepas lensa kameranya sebelum memasukkan pada tas hitam khusus.

"Nanti aku minta hasilnya boleh, 'kan?"

"Boleh." Andra menyampirkan tas kotak hitamnya. "Mau yang udah diedit atau yang belum?"

Aku berpikir sejenak. "Kalau aku lihat proses editing-nya boleh?"

"Boleh banget, Ra! Berarti sekarang kita makan dulu aja gimana? Abis itu baru otewe ke rumah lo, Ndra." Joni bersuara.

"Kakak gue nggak ada di rumah. Paling kalo sore gini adanya di kafe. Mau ke sana aja?" tawar Andra pada anggota FOGAMA.

"Lah ngeditnya?" tanya Rafli.

"Ya, di kafe. Kakak gue punya kamar di kafenya, alatnya juga lengkap. Jadi bisa kita pake buat edit di sana."

"Boleh. Jadi di kampus lusa tinggal finishing aja, 'kan?" Joni menjentikan jari kemudian menggerakkan kepala mengajak yang lain segera pergi dari area Toko Merah.

Mungkin--bisa dibilang--peluang yang aku dapat untuk lebih dekat dengan Andres sangat kecil. Namun, aku tidak akan diam saja. Aku bertekad, Andres harus mengetahui tentang perasaanku.

ᴀᴅᴀ ʏᴀɴɢ ᴍᴀsɪʜ sᴜᴋᴀ ʟɪʜᴀᴛ ᴊᴀᴊᴀɴᴀɴ ᴘᴇʀᴍᴇɴ ɪɴɪ?
ᴀᴛᴀᴜ ᴀᴅᴀ ʏᴀɴɢ ᴘᴇʀɴᴀʜ ғᴏᴛᴏ ᴅɪ ᴛᴏᴋᴏ ᴍᴇʀᴀʜ ᴋᴀʏᴀ ᴍᴀᴜʀᴀ?

ᴋʟɪᴋ ᴠᴏᴛᴇ ᴋᴀʟᴏ ᴋᴀʟɪᴀɴ ᴜᴅᴀʜ ᴘᴇʀɴᴀʜ ғᴏᴛᴏ ᴅɪ ᴛᴏᴋᴏ ᴍᴇʀᴀʜ. ᴛᴀᴘɪ ᴠᴏᴛᴇ ᴊᴜɢᴀ ᴋᴀʟᴏ ʙᴇʟᴜᴍ, ᴍᴀsᴀ ɴɢɢᴀᴋ ᴠᴏᴛᴇ sɪʜ...

ᴅᴀɴ sᴇʟᴀᴍᴀᴛ ᴍᴇᴍʙᴀᴄᴀ sᴇᴍᴜᴀɴʏᴀ

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro