ᴅᴜᴀᴘᴜʟᴜʜ
• sᴇᴄʀᴇᴛᴀʟᴏᴠᴇ •
Sangat menyebalkan, ketika kita menyimpan sebuah tanda tanya abu-abu di kepala.
Sejak pertanyaan yang dilemparkan Andra berhasil membuatku penasaran, laki-laki itu justru dibuat sibuk oleh beberapa anggota BROPELA--Broadcaster Pecinta Alam--yang akan bekerja sama dengan FOGAMA membuat sebuah film dokumenter, sedikit banyak aku dengar bertemakan 'pendidikan toleransi kaki gunung' yang akan mereka lakukan di salah satu dusun Gunung Merbabu.
Aku hanya diam ketika anggota FOGAMA dan BROPELA sibuk dengan konsep yang akan mereka buat. Andra terlihat serius, aku menatapnya lamat-lamat. Ia tidak terlihat mirip sama sekali dengan Andres. Jika Andres akan sesekali tersenyum atau tertawa meski pembahasan serius, Andra tetap pada ekspresi datarnya.
"Apa?" Tiba-tiba Andra menoleh dan mengajukan pertanyaan padaku.
"Eh. Nggak, 'kok. Lanjutin aja. Cuma lagi dengerin kalian aja." Aku tersenyum canggung. Malu rasanya ketika tertangkap basah tengah menatap seseorang diam-diam.
"Ra. Itu senior anak BROPELA yang satu cakep banget. Lo nggak mau kenalan gitu?" Sherly berbisik tepat di telingaku.
Segera saja aku menyikutnya agar diam. Mau diletakkan di mana wajahku jika mereka mendengar perkataan Sherly?
"Ganteng tahu, Ra. Baru semester enam, belom tua-tua amat kaya Kak Ubay." Sherly masih melanjutkan bisikkannya, kali ini ia menutupi perut dengan tas yang ia bawa. Sial! Kenapa Sherly jadi membandingkan Kak Dhyas dengan Andres?
"Yaudah kita lanjut besok, ya. Kasian tuh cewek lo nunggu kelamaan."
Salah satu anggota BROPELA yang berkepala pelontos menunjuk ke arahku dan Sherly. Kami berdua saling tatap, lebih seperti mempertanyakan siapa yang dimaksudnya.
"Kita bukan pacarnya Andra, 'kok! Kita masih single," jawab Sherly ketika anggota BROPELA bangun dari duduk.
Sahabatku yang satu itu sungguh antusias, ia mendekat pada anggota BROPELA yang kami kenal dengan nama Dhyas dan mengajaknya berkenalan.
"Aku Sherly, Kak."
"Dhyas." Singkat saja. Kak Dhyas menerima uluran tangan Sherly.
"Kak Dhyas mau langsung pulang, ya? Aku boleh nebeng nggak?"
Oke! Aku tidak tahu lagi harus berkata apa. Ternyata Sherly benar-benar menargetkan Kak Dhyas menjadi pacarnya, tetapi seharusnya ia melakukan pendekatan secara perlahan.
Aku menepuk dahi ketika melihat kelakuannya. Namun, ternyata permintaan Sherly diamini oleh Kak Dhyas dan mereka keluar bersama. Sepertinya sahabatku akan memiliki status baru nanti.
"Maaf, ya, Ra. Kamu malah jadi dengerin kota ngobrol doang. Kayaknya sore ini kita batal pemotretan, udah kesorean. Aku anter kamu balik, ya?"
Aku mengangguk antusias. Kesempatan bertanya lebih jauh ini tidak akan aku buang begitu saja. Andra merapikan barangnya, jurnal dan beberapa lembar papper ia masukan ke dalam tas, sementara laptopnya ia simpan pada laci meja tanpa ia bawa lagi.
"Kenapa nggak dibawa?"
"Berat."
Hanya itu yang menjadi jawaban Andra sebelum berpamitan dengan anggota yang lain dan mengajakku keluar.
Di jalan aku menimbang bagaimana memulai pertanyaan yang bersarang di kepalaku. Aku takut jika jawabannya justru membuat situasi antara aku dan Andra menjadi canggung.
"Nggak biasanya kamu diem aja, Ra. Pasti kamu mau nanya soal pertanyaan aku tadi, ya?"
"Ehh? Sebetulnya iya, Ndra. Tapi aku bingung mau jelasin gimana. Kamu tau isi kamera itu?"
Andra menggeleng. Berarti? Bukan dia pemiliknya.
"Aku kaget sebetulnya tadi kamera itu ada di kamu. Aku pikir kamu nyolong." Andra sedikit tertawa. Aku memukul pundaknya ketika ia mencoba menahan tawa yang lebih seperti ejekan buatku.
"Tapi aku pikir lagi. Emangnya kamera model begitu cuma ada satu di dunia? Nggak, 'kan? Makanya aku udah biasa aja."
Jadi Andra benar-benar mengira aku mencuri barang si pemilik kamera? Ini tidak bisa dibiarkan! Aku jadi semakin penasaran siapa pemilik kamera yang ada di tasku ini. Jelas bukan Andra pemiliknya, tetapi Andra tahu siapa kemungkinan pemilik kamera ini.
"Emang siapa yang punya kamera kayak gini lagi, Ndra? Sampe kamu mikir aku nyuri lagi." Memang benar, sih, aku mencurinya, tetapi aku melakukan itu bukan dengan kesengajaan. Ini hanya masalah situasi.
"Ubay."
Satu nama itu telak membuat dadaku berdegup lebih kencang dibanding biasanya. Langkahku otomatis terhenti ketika Andra menyebutkan nama Andres. Dari sekian banyak nama, kenapa harus namanya lagi yang terucap di depan wajahku? Seolah nama itu tidak pernah mau hilang dari telinga juga hatiku.
"Kenapa, Ra?" Andra berbalik ketika merasa aku tidak lagi berjalan di sampingnya.
Aku menggeleng dan menatap Andra dengan senyum yang aku paksakan untuk tampil. Andra menatapku dengan kerutan di dahinya kemudian menempelkan punggung tangan pada dahiku.
"Kamu sakit?" tanyanya.
"Nggak, 'kok, Ndra."
Aku mengeluarkan kamera itu dari dalam tas. "Aku bisa minta tolong sama kamu, Ndra?"
"Apa?" Andra memasang tampang bingung.
"Bantu aku cari tahu pemilik kamera ini."
Bola mata Andra melebar. Mungkin ia tidak menyangka bahwa dugaan yang ia anggap sebuah candaan itu ternyata benar. Andra terlihat ragu ketika menerima kamera itu dan membuka galerinya.
"Isinya kamu semua?"
Aku hanya mengangguk.
"Sakit, sih, nih orang. Tapi kalo bener ini punya Kak Ubay ... Apa yang mau kamu tahu, Ra?"
Untuk apa Andra menanyakan hal itu? Apa iti penting di saat seharusnya ada larangan untuk setiap orang yang mengambil gambar orang lain tanpa izin sama sekali?
"Yang pertama aku mau tahu siapa pemilik kamera itu? Yang kedua aku mau tahu kenapa dia jadiin aku objek di kamera itu." Suaraku sedikit mengeras ketika mempertanyakan kembali alasanku.
Andra mengangguk. Kami diam sejenak, sama-sama tenggelam dalam pikiran masing-masing hingga suara ponselku menginterupsi, ternyata ada panggilan telepon dari Kak Nara.
"Hallo, Kak."
"Maura kamu udah pulang?" Begitu pertanyaan Kak Nara ketika aku menerima teleponnya.
"Udah, Kak. Kenapa?"
"Jemput Kakak sama Kak Maudy di Bandara dua jam lagi, ya?"
"Seriusan pulang hari ini? Kok nggak bilang-bilang! Ihh ... Kangen-kangen-kangen!" Aku berseru heboh. Kulihat Andra tersenyum melihatku begitu antusias.
"Iyaaa ... Kakak emang ngangenin, 'kok." Itu kalimat terakhir sebelum Kak Nara pamit karena harus mengambil boarding pass.
"Kak Nara mau pulang?"
Aku mengangguk antusias sebagai jawaban pertanyaan Andra.
"Aku boleh ikut ke bandara? Gimana pun juga Kak Nara tetep temen Ubay."
"Boleh banget! Sekalian deh kamu yang jadi sopirnya." Andra hanya tertawa kemudian mengangguk sebagai respons setuju.
Setelah kami mampir ke rumah untuk mengambil motor, aku dan Andra langsung berangkat ke bandara. Jaraknya memang cukup jauh, apalagi dengan kemacetan di sore hari membuat kami sampai di bandara lebih dari waktu estimasi yang aku perkirakan.
"Kak Nara belum telepon lagi?" tanya Andra. Aku menggeleng meski belum melihat ponsel sejak Kak Nara mematikan sambungan telepon tadi.
Segera kuambil ponsel dari dalam tas dan mengecek notifikasi. Namun, ternyata ada tiga pesan yang dikirim oleh Andres. Ternyata Andres mengabarkan bahwa kakak akan pulang hari ini dan mengajakku untuk menjemputnya.
Aku menatap layar ponsel, hampir-hampir tidak percaya.
"Kenapa, Ra?" tanya Andra lagi ketika aku hanya diam menatap layar ponsel.
"Enggak, Ndra." Aku tersenyum kemudian memutuskan untuk mengabaikan pesan yang dikirim Andres tanpa sama sekali membalasnya.
Sekitar setengah jam. Kak Nara dan Kak Maudy keluar dari pintu dengan dua koper besar yang mereka tarik dari pintu kedatangan domestik. Aku melambai kemudian menghampiri mereka dan memeluk kedua kakakku.
Andra mengikuti, ia menyalami Kak Maudy dan Kak Nara dan mengambil alih koper dari tangan Kak Nara.
Setelah bercakap sebentar kami meninggalkan bandara dan baru sampai di rumah ketika jam sudah menunjukkan pukul delapan malam dan mendapati Andres sudah berada di rumah menyambut kami di depan pintu dengan bingkisan makanan.
"Dari mana aja, Kampret?" Kak Nara melempar kerikil kecil yang ia ambil dari bawah pelataran rumah dan melepar Andres yang sedang duduk.
Aku lihat ia tertawa, matanya menyipit dengan kerutan halus di sekitar ujung matanya. Ya, perasaan ini masih sama, masih menyukai caranya tertawa seperti itu.
"Ya maaf. Tadi kafe rame, gue nggak sempat jemput ke bandara. Sekarang duit lebih penting dari lo, Nar."
Itu alasan Andres disela tawa ketika dilempari koper oleh Kak Nara. Aku memberikan kunci rumah pada Kak Nara. Mata kami sempat bertemu pandang, sebelum ia memutus kontak itu dan beralih menatap Andra kemudian menaikkan alisnya.
"Adeklo udah gede, Bay," bisik Kak Nara yang masih bisa kudengar.
Entah apa maksudnya, tetapi Andres tertawa dan membawa koper Kak Nara masuk tanpa melihatku kembali. Andres masih berusaha menghindariku bahkan sampai detik kepulangan Kak Nara, ia masih bersikap seolah tidak pernah ada sesuatu di antara kita.
Kalau memungkinkan, aku ingin dengan mudah melupakan nama seorang Andres Baihaqi. Namun, kenapa nama itu seolah tidak pernah mau hilang? Apalagi dengan keberadaan kamera itu.
Kali ini, biarkan untuk terakhir kalinya aku berharap jika kamera itu benar-benar milik Andres seperti apa yang dikatakan Andra.
ᴀᴅᴀ ʏᴀɴɢ ᴛᴀʜᴜ sɪᴀᴘᴀ ᴅʜʏᴀs ᴅɪsɪɴɪ?
ᴀᴛᴀᴜ ʙᴀᴄᴀ ᴄᴇʀɪᴛᴀɴʏᴀ ᴅʜʏᴀs ᴅɪ ᴡᴏʀᴋ-ᴋᴜ ʏᴀɴɢ ʟᴀɪɴ :)
ɪʏᴀᴀ... ᴍᴇsᴋɪ ɴɢɢᴀᴋ ᴍᴇɴʏᴀᴛᴜ, ᴍᴇᴍᴀɴɢ ᴄᴇʀɪᴛᴀ ɪɴɪ ᴀᴋᴜ sᴀɴɢᴋᴜᴛ ᴘᴀᴜᴛᴋᴀɴ ᴅɪ ᴄᴇʀɪᴛᴀ sᴇʙᴇʟᴜᴍɴʏᴀ :)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro