Lecturer Carlisle [ 3 ] END
Yoksi, balik lagi sama lapaknya Willis, tapi untuk pertemuan terakhir.
Setelah ini jangan cari Willis lagi karena kontraknya udah habis 😘😘😘😘
Happy reading~
***
"Kau terlambat, William."
Suara itu datang bersamaan dengan ketukan heels. Seorang wanita dalam jubah transparan yang menjuntai hingga ke lantai, dengan wine di sebelah tangan berjalan menuruni tangga.
Suaranya terdengar lembut tanpa kemarahan. Namun, semakin lembut suaranya, maka semakin menantang pula situasinya. Terlebih lagi cahaya di ruangan ini nyaris tidak ada, membuat wajah wanita itu hampir sepenuhnya tenggelam dalam kegelapan.
Sehun menggulung bibirnya dengan kepala tertunduk. Tubuhnya berdiri tegap, tapi pandangannya tidak berani menatap seseorang yang sedang berjalan ke arahnya.
Ketika seseorang itu memanggilnya dengan nama William, maka Sehun harus menjadi anjing penurut. Karena memang begitulah peraturannya.
"I'm sorry, Ma'am. I have something to do." Masih dengan kepala tertunduk, Sehun memberanikan diri untuk menjawab.
"Berpesta dengan Nayeon, huh?"
"Tidak!" Sehun membantah kuat tanpa berani menatap lawan bicaranya yang sudah berdiri tepat di depannya. "Aku tidak pergi ke pesta Nayeon. Aku pergi menonton film tadi. Sendirian."
"Aku bersumpah demi Tuhan," kata Sehun menambahkan saat tidak ada respons dari lawan bicaranya.
"Tentu saja aku percaya padamu, William." Suara wanita itu terdengar lembut, begitu juga dengan usapannya di kepala Sehun. "Bayi kecilku ini tidak mungkin berbohong."
Sekarang Sehun bisa tersenyum senang karena satu masalahnya berhasil terlewati. Laki-laki itu pasti akan sangat menderita malam ini kalau sampai ucapannya tidak dipercaya.
Dagu Sehun diangkat perlahan. Pemandangan seorang wanita yang tengah meminum wine disaksikan langsung oleh kedua matanya. Tenggorokannya pun terasa kering ketika menyaksikan betapa indahnya wanita di depannya ini saat sedang meneguk wine-nya.
Sekarang keduanya bertatapan ketika wanita yang tidak lain adalah Lalisa selesai dengan minumannya.
"Kau mau?" Lalisa menawarkan gelas yang sudah kosong pada Sehun, yang anehnya justru malah dijawab dengan anggukan oleh lawan bicaranya.
Lalisa mendekatkan wajah pada Sehun dan menciumnya tepat di bibir, hanya untuk membagikan sisa rasa asam yang memiliki rasa cranberry dan mushroom dari wine yang diminumnya tadi.
Sekarang, Sehun tahu dengan minuman jenis apa yang Lalisa minum sebelumnya. Itu adalah jenis wine kesukaannya, Pinot Noir. Lalisa pasti menunggu kepulangan Sehun hingga memilih Pinot Noir sebagai temannya malam ini.
Lalisa mengecup lembut bibir Sehun saat dirasa sudah cukup memberikan sambutan hangat. Kemudian mundur untuk mengambil botol wine di meja. "Shoes off," titahnya selagi dia menuangkan wine ke dalam gelas.
Sehun langsung melakukannya dengan cepat.
"Your clothes too," tambah Lalisa sebelum dia meninggalkan Sehun untuk kembali menaiki tangga.
Sehun tidak punya pilihan. Dia melemparkan tasnya, lalu melepaskan pakaiannya sambil berjalan mengikuti Lalisa dan membiarkan kain-kain yang semula menempel pada tubuhnya berserakan di lantai.
Lalisa meletakkan gelasnya di meja, lalu membuka laci untuk mengambil gulungan dasi yang merupakan hadiahnya untuk Sehun.
Saat Lalisa berbalik, Sehun sudah menanggalkan semua pakaiannya dan berdiri tegap di depannya, dengan tangan yang disimpan di balik punggung.
"Hands."
Sehun mengulurkan kedua tangannya dan membiarkan Lalisa membuat simpul di sana menggunakan dasi. Ikatan pertama ditarik dengan begitu kencang, membuat Sehun menjerit terkejut.
"Sakit?" tanya Lalisa memastikan.
"Tidak."
Tepat setelah memberikan jawaban, simpul di tangan Sehun sudah selesai. Laki-laki itu tahu apa yang selanjutnya harus dilakukan, tapi dia membutuhkan perintah untuk melakukannya.
"Kneel."
Sehun melakukannya. Dia berlutut di hadapan Lalisa yang masih berdiri di depannya dalam jubah transparan. Kini, dia bisa melihat jelas dalaman seperti apa yang wanita itu gunakan.
Haruskah Sehun menjelaskannya? Sepertinya itu tidak perlu. Cukup ketahui saja kalau Lalisa mengenakan lingerie, dengan tali spaghetti yang terikat di lehernya sebagai penahan. Juga beberapa lilitan di perutnya.
Sebelum Lalisa mengambil duduk, dia lebih dulu meraup sereal dalam genggaman tangannya. Kemudian memberikannya pada Sehun.
Sehun memakan sereal langsung dari tangan Lalisa, di mana kepalanya saat ini mendapatkan usapan lembut dan pujian karena bersikap begitu penurut.
Lidah Sehun menyapu lembut permukaan tangan Lalisa selagi dia memakan serealnya. Ini adalah hal yang biasa untuk Sehun. Mungkin dia sudah melewati hal ini sebanyak ratusan kali.
Sementara Lalisa merasa sedikit geli ketika lidah Sehun menjilat bersih tangannya. Bahkan sampai mengabsen jari-jarinya dengan mulut. Padahal hal itu tidak diperlukan saat ini. Wanita itu menarik rambut Sehun ke belakang saat dirasa tangannya sudah bersih dari sisa sereal.
Sehun terkejut, tapi sensasi inilah yang sejak tadi membayanginya ketika dia mulai memakan serealnya.
"Katakan padaku apa kesalahanmu hari ini, William?" Suara Lalisa masih terdengar lembut, seolah-olah dia sangat mengasihi Sehun, tapi cengkeramannya begitu kuat.
"Pulang terlambat." Sehun menjawab dengan senyum di sudut bibirnya.
Kepala Sehun yang semula menatap langit-langit ditegakkan untuk menghadap Lalisa. "Kita sudah menghapus peraturan jam malammu. Kau lupa?"
"Aku ingat, tapi aku suka setiap kali aku melanggar jam malam itu dan mendapatkan hukuman." Lagi, Sehun tersenyum dengan sudut bibirnya.
Ruangan ber-AC yang langsung menyentuh permukaan kulit membuat tubuh Sehun mendambakan aksi yang lebih menantang.
Jawaban Sehun mendapatkan gelengan pelan dari Lalisa. Wanita itu menyayangkan karena Sehun melanggarnya dengan sengaja.
Melawan perintah Lalisa adalah sebuah pelanggaran dan Sehun baru saja melakukannya dengan memberlakukan jam malam itu untuk dirinya sendiri ketika poin yang satu itu sudah dihapuskan.
Lalisa melepaskan cengkeramannya di rambut Sehun, lalu melayangkan tangannya untuk menampar laki-laki itu. Suaranya terdengar keras dan menggema di dalam ruangan.
Namun, alih-alih mengeluh sakit, Sehun justru malah bersemu, tampak kesenangan saat tubuhnya diberikan rasa sakit. Warna merah di pipinya berbanding terbalik dengan sensasi panas yang mendidihkan darahnya.
"Apa lagi kesalahanmu hari ini, William?"
"Terlalu banyak mengganggumu di kampus."
"Dan kenapa kau melakukannya?"
"Karena kau mengabaikanku belakangan ini. Kau terlalu sibuk dengan pekerjaanmu. Aku tidak suka." Sehun melayangkan keluhannya secara langsung.
Lalisa mulai memahami kenakalan Sehun hari ini. Dia mengusap lembut pipi yang tadi ditamparnya. "Jadi, kau kesepian?"
Sehun mengangguk dalam gumam.
"Then tell me what you want? Spread my legs for you?" Lalisa bertanya dengan serius dan memberikan kemurahan hatinya untuk Sehun karena dia bersimpati atas pengakuan sebelumnya.
"Give me a kiss." Sehun memberikan jawaban yang berbeda dari yang Lalisa duga.
"Just a kiss?"
Sehun mengangguk yakin. Dia memang suka dengan sensasi rasa sakit yang tadi menghantamnya, tapi lebih suka kalau dia mendapatkan ciuman lebih dulu sebelum melanjutkan rasa sakitnya.
Lalisa turun dari sofa dan ikut berlutut di depan Sehun. Kemudian memberikan apa yang laki-laki itu mau. Bibirnya mencium Sehun di tempat sebelumnya, lalu turun ke dagu dan leher.
Wanita itu memberikan gigitan kecil yang tidak terlalu menyakitkan, tapi mampu membuat Sehun mendesah. Ciuman Lalisa turun ke bahu dan berlanjut sampai ke dada, lalu mengigitnya sampai berdarah.
Sehun mengerang. Antara rasa sakit dan kepuasan batin, dia hampir tidak bisa membedakan. Laki-laki itu menyukai sensasi keduanya, terlebih lagi ketika darahnya dijilat tanpa canggung oleh Lalisa.
"Sepertinya aku harus menghukummu, William. Kau melakukan banyak kesalahan hari ini. Kau sadar akan hal itu, kan?"
Sehun mengangguk. Dia memang sengaja melakukan pelanggaran agar bisa memiliki waktu pribadi dengan Lalisa. Kalau tidak begitu, dia tidak akan memiliki waktu untuk bersenang-senang dan hanya bisa merindukan wanita itu tanpa mendapatkan apa-apa.
Lalisa kembali membuka salah satu lacinya untuk mengambil ikat pinggang berbahan kulit. Dia berjalan ke belakang Sehun sambil menghantamkan ikat pinggang di tangannya pada lantai dan pecutannya terdengar begitu mengerikan.
Sehun menelan saliva gugup, tapi di saat yang sama juga merasa sangat bersemangat hingga tenggorokannya kering. Laki-laki itu memperbaiki posisinya dengan menduduki betis dan meletakkan tangannya yang terikat di atas paha. Kemudian menegakkan punggungnya.
"Your safe word?"
"Black pink."
Satu cambukan mendarat di punggung Sehun ketika dia menjawab sembarangan. Laki-laki itu mengerang dalam desahan yang seakan-akan baru saja meledakkan tubuhnya.
"Bukankah kau terlalu banyak bercanda hari ini, William?" Masih dengan suara lembutnya, Lalisa bertanya pada Sehun. "Kau bahkan terus mengatakan tentang pernikahan kita."
"Itu karena aku cemburu," jawab Sehun sambil menyerap sensasi rasa sakit yang baru saja membakar kulitnya. "Kau mengabaikanku dan berjalan berduaan dengan Lecturer Lim. Jake bilang, kalian terlihat serasi."
Lalisa mendengarkan penuturan Sehun tanpa meninggalkan sepatah kata pun. Kemudian kembali mencambuknya. "Tapi bukan berarti kau harus menggodaku dengan membahas masalah pernikahan kita saat kelasku sedang berlangsung, kan?"
"Kau tahu kalau pihak kampus meminta agar pernikahan kita dirahasiakan." Lalisa menambahkan, tidak lupa juga dengan cambukannya.
"Tapi bulan depan aku akan wisuda. Jadi, apa salahnya kalau mereka tahu tentang pernikahan kita?"
"Maka tunggulah sampai wisudamu selesai, William!" Balasan yang Lalisa berikan diiringi dengan satu cambukan lagi. "Di kampus, kau adalah mahasiswa dan aku dosenmu. Kita memiliki batasan yang tidak boleh kau langgar seenaknya."
Satu kalimat yang keluar dari mulut Lalisa, sama dengan satu cambukan di punggung Sehun. Satu jawaban dari Sehun pun, dihargai dengan satu cambukan. Jadi, setidaknya sudah ada sepuluh cambukan yang mendarat di punggung Sehun.
Sehun menoleh ke belakang untuk menatap Lalisa, di mana wanita itu tampak begitu dominan karena berdiri dalam kekuasaan yang penuh. "Bagaimana kalau aku melanggar batasan-batasan itu?"
Lalisa mendecih, kemudian mendorong wajah Sehun untuk kembali menatap ke depan menggunakan ujung heels-nya. "Maka kau harus dihukum, William."
"Aku suka hukuman."
Begitu Sehun mengatakannya, ikat pinggang di tangan Lalisa mulai menghujani punggungnya tanpa jeda. Laki-laki itu harus mempertahankan sikap tegapnya dan menahan serangan bertubi-tubi yang memang dia inginkan.
Punggung Sehun sudah berdarah-darah, tapi dia bertahan lebih lama dari yang Lalisa harapkan. Bahkan ketika tangannya sudah bertumpu di lantai, Sehun masih tidak mengatakan apa-apa dan menahan semuanya, membuat Lalisa panik bukan main.
"Your safe word, William." Lalisa berusaha mengingatkan dengan suara rendah, tapi tidak bisa menghentikan apa yang dilakukannya saat ini selama Sehun tidak mengatakan apa-apa. "William, your safe word!" Lalisa meninggikan suaranya ketika Sehun bungkam.
Sehun harus mengatakannya untuk menghentikan cambukan Lalisa atau laki-laki itu akan mati dalam keadaan mengenaskan malam ini.
"Red velvet." Pada akhirnya, Sehun mengatakan apa yang seharusnya dia katakan sejak beberapa saat yang lalu.
Permainan selesai!
Lalisa membuang cepat ikat pinggang dari tangannya, lalu berlutut di depan Sehun untuk menahan tubuh laki-laki itu.
"Lagi-lagi kau melawanku!" Lalisa membentak, kesal dengan tindakan Sehun yang terus-terusan melanggar peraturan dengan sengaja. "Kenapa kau melakukannya?"
Napas Sehun terengah dengan mata memerah menahan sakit. Namun, di saat yang sama dia merasakan kenikmatan luar biasa dari luka-luka di punggungnya, terlebih saat terkena dinginnya AC. Rasanya cukup perih, tapi juga membuat Sehun senang di saat yang sama.
"Karena aku merindukanmu." Sehun membalas dengan bisikan. Bibirnya yang pucat tampak tersenyum kering.
"Tapi bukan berarti kau harus melawanku seperti ini!" Sekarang, Lalisa menggeram, masih dengan kemarahannya. "Kau tahu kalau ini berbahaya juga untukmu, kan?" Wanita itu mengoceh sambil melepaskan simpul dasi di tangan Sehun dan memeriksa apakah ikatannya meninggalkan bekas atau tidak.
"Ayo, berdiri. Aku akan mengobati lukamu."
Namun, bukanya berdiri seperti yang Lalisa perintahkan, Sehun malah menjatuhkan tubuhnya seolah-olah tenaganya sudah habis tidak bersisa.
"Biarkan aku memelukmu sebentar," kata Sehun meminta izin. Tangannya yang terasa kaku mencoba untuk memeluk Lalisa.
"Kau boleh memelukku sampai pagi, Sehun. Tapi nanti setelah aku mengobati luka-lukamu." Kini, suara Lalisa kembali melembut dan terdengar penuh dengan kasih sayang.
Sehun tersenyum lagi. "Akhirnya kau memanggilku seperti itu lagi. Kau tidak pernah memanggilku seperti itu selama 3 hari belakangan ini."
"Benarkah?"
"Untuk apa aku berbohong?" Sehun membalas persis seperti yang Lalisa katakan di kelas sebelumnya. Kemudian mengerucutkan bibir pertanda protes. "Kau memang benar-benar sibuk dengan pekerjaanmu, Bébé. Sampai-sampai kau melupakanku."
Lalisa ingin membalas pelukan Sehun, tapi punggung laki-laki itu dipenuhi luka. Pasti dia hanya akan menyakiti suaminya kalau membalas pelukannya saat ini.
"Maafkan aku, Sehun. Aku benar-benar tidak sadar telah mengabaikanmu. Pekerjaanku memang agak banyak belakangan ini." Lalisa meminta maaf dengan tulus, dia bahkan mengusap pipi Sehun yang tadi ditamparnya. Kemudian menciumnya dengan lembut. "Tapi aku janji akan meluangkan waktu untukmu saat akhir pekan nanti."
"Kedengarannya menyenangkan."
Lalisa membantu Sehun untuk berdiri, lalu membaringkannya dengan punggung di atas. Dia harus mengobati punggung suaminya yang terluka saat ini.
"Bébé, aku belum mandi dan tubuhku terasa sangat lengket sekarang. Aku tidak akan bisa tidur bahkan kalau tubuh telanjangmu memelukku," kata Sehun saat Lalisa mengambil kotak obat di laci.
Punggungnya dipenuhi dengan luka, tapi kata-kata yang keluar dari mulutnya masih saja terdengar seperti anak nakal. Sehun bahkan tidak peduli kalau dia terlihat begitu menyedihkan karena terkapar di atas kasur dengan kedua tangan di sisi tubuhnya.
"Aku akan menyeka tubuhmu nanti." Lalisa menjawab sambil mengambil benda-benda yang dibutuhkannya dari dalam kotak obat. "Katakan kalau aku menekan lukamu terlalu kuat."
Sehun membalas dengan gumam. Sepertinya laki-laki itu mengantuk sekarang. Dia mendapatkan hukuman yang mengerikan, tapi tidak benar-benar terasa sakit seperti saat pertama kali mendapatkan hukuman ini.
Sekarang, Sehun selalu menikmati hukuman yang Lalisa berikan padanya. Bukannya dia suka dengan rasa sakit, tapi dia terbiasa karena Lalisa.
Wanita itu dari luar terlihat tenang dan lembut, tapi gairah seksualnya tidak seperti kebanyakan orang dan Sehun adalah orang yang bersedia untuk menjadi anjing peliharaan Lalisa dan mempelajari tendensinya.
Itulah kenapa Sehun menyindir Lalisa dengan mengatakan wanita itu tidak pandai memilih suami. Karena pada dasarnya, Sehun tidak berpengalaman dan tidak mengerti apa-apa tentang Lalisa dan seksualitasnya.
Awalnya sulit untuk memahami, apalagi menerimanya. Namun, karena keingintahuan dan rasa sukanya, Sehun mencoba untuk mempelajarinya langsung dari Lalisa dan kenyataannya tidak terlalu buruk.
Terhitung mereka sudah menjalaninya selama hampir 3 tahun, dengan 6 bulan masa pernikahan.
Tampaknya rasa sakit sudah menjadi teman akrab Sehun, hingga dia bisa tertidur ketika punggungnya mendapatkan lebih dari 30 cambukan.
Tubuh telanjangnya dengan punggung yang terluka diselimuti setelah Lalisa selesai mengobatinya.
Wanita itu menatap wajah suaminya yang berusia 6 tahun lebih muda darinya. Kalau mengingat bagaimana perjalanan kisah mereka untuk sampai ke titik ini, rasanya Lalisa ingin tertawa saja.
"Aku akan memberikan hadiah padamu saat akhir pekan nanti," kata Lalisa seraya mengusap lembut kepala Sehun. Kemudian mencium sekali lagi pipi yang ditamparnya. "Jadi, pastikan untuk tidak sakit dalam waktu dekat ini."
Hari semakin malam, Lalisa pun lelah dengan segala kegiatannya hari ini. Ditambah lagi dia harus bangun pagi-pagi besok untuk mengisi kelas pertama.
Jubahnya dia lepaskan, begitu juga dengan lingerie dan heels yang dipakainya. Besok pagi, Lalisa harus meminta maaf pada Sehun karena tidak menyeka tubuhnya seperti yang dia janjikan sebelumnya. Wanita itu hanya bisa memeluk Sehun malam ini.
***
"Berengsek kau, Jake!" Sehun melayangkan umpatannya ketika Jake menepuk keras punggungnya. "Tidak bisakah kau menghampiriku tanpa harus memukul?"
Luka-luka di punggung Sehun masih basah dan pukulan Jake barusan sama sekali tidak membantu lukanya untuk sembuh lebih cepat—meski sudah diobati juga pagi ini.
"Ada apa, Willis? Apa tulangmu sudah mulai rontok sekarang, sampai pukulan seperti itu saja membuatmu merengek seperti bayi?" balas Jake dengan nada menggoda. Tangannya memberikan pukulan-pukulan kecil di punggung Sehun dengan tawa.
"Pergi kau, Bajingan!" Sehun mendorong tubuh Jake agar tidak memukulnya lagi.
Kalau ada yang Sehun butuhkan hari ini, maka itu adalah pelukan Lalisa. Bukannya pukulan Jake.
"Hei, Willis, apa kau terluka?" Jake mengubah candaannya menjadi pembicaraan serius saat Sehun terlihat begitu kesakitan. "Kau terjatuh?"
Sehun membalas dengan gumam malas. "Jatuh dari tangga. Jadi, berhenti memukulku kalau tidak ingin tulangku rontok!"
Jake meringis. Sepertinya Sehun benar-benar kesakitan sekarang, tapi kenapa hanya punggungnya saja yang sakit? Harusnya seluruh tubuh Sehun yang sakit, termasuk tangan dan kakinya.
Menurut Jake, setidaknya tangan Sehun harus patah, dengan kaki yang terkilir. Karena saat jatuh dari tangga, seluruh tubuh Sehun pasti akan berguling, kan? Jadi, kenapa hanya punggungnya saja yang sakit?
"Yah~ Semoga kau cepat sembuh," kata Jake pada akhirnya. Dia tidak lagi memukul punggung Sehun, tapi mengusapnya lembut dengan penuh perhatian.
"Singkirkan tanganmu!" geram Sehun. Jika ada yang tidak dibutuhkannya, maka itu adalah sentuhan Jake saat ini.
Jake segera mengangkat tangannya ke udara, lalu mengambil tempat duduk duluan untuk makan siang hari ini.
"Tapi, Willis, kenapa kau tidak istirahat saja di rumah kalau memang sakit?" Jake bertanya di tengah-tengah kesibukannya bermain ponsel. "Kau tidak memiliki kelas lagi, tapi selalu saja datang ke kampus. Kalau aku jadi kau, aku pasti akan menghabiskan waktu dengan berpesta saja sepanjang hari setelah disibukkan dengan skripsi."
"Haruskah aku menjawab pertanyaan bodohmu ini, Jake? Tidakkah kau melihat jawabannya dengan jelas melalui kedua matamu?" Sehun bertanya dengan sinis.
Dia pikir, Jake ini benar-benar bodoh. Hanya wajah tampannya saja yang menyelamatkan hidup laki-laki itu dari kebodohan yang memang tumbuh bersamanya.
"Ah~ Aku lupa. Matamu itu hanya untuk pajangan saja." Sehun menambahkan dengan nada mengejek yang kental. "Sebaiknya jual saja matamu yang tidak berguna itu, Jake."
Jake mendengkus sebal. Dia pikir, Sehun terlalu kejam siang ini. Sejak tadi, kata-kata yang keluar dari mulutnya penuh dengan makian dan sindiran tajam.
Sehun harus berterima kasih pada makanan yang datang karena langsung mengurungkan niat Jake untuk membalas. Laki-laki itu memutuskan untuk menunda sebentar perang kalimat sarkasmenya dengan Sehun karena harus mengisi perut terlebih dulu.
Saat sarapan, Sehun tidak merasa kesulitan sama sekali karena Lalisa menyuapinya. Namun, siang ini, dia harus berjuang menggerakkan lengannya untuk makan.
Untungnya, Sehun hanya perlu menahan rasa sakitnya, tanpa harus menahan kemarahannya atas ulah-ulah atau celotehan menyebalkan Jake.
"Ngomong-ngomong, Willis, aku sudah mengenalmu selama bertahun-tahun, tapi tidak pernah tahu siapa nama Perancis-mu." Jake menyeletuk ketika teringat akan sesuatu, tepat saat dia membalik alat makannya. Pertanda dia sudah selesai.
"Nama Perancis-ku?"
Jake mengangguk sambil menyeka mulutnya dengan tisu.
"Tidak ada. Aku hanya memiliki nama Inggris."
"Kalau begitu, siapa nama Inggris-mu?"
Sehun tersenyum jail. Karena wisudanya hanya tinggal menghitung hari, sepertinya memberi tahu nama Inggris-nya pada Jake bukan masalah besar.
"Ayahku memberikan nama kota kelahiranku sebagai nama belakang," sahut Sehun apa adanya. "Jadi, tidak banyak yang memiliki nama seperti itu di dunia ini."
"Ya, jadi siapa nama Inggris-mu, Willis? Jangan sampai aku mengulang pertanyaan ini sekali lagi." Jake menegaskan dengan berapi-api.
"William Carlisle." Sehun tersenyum penuh makna. Kalau Jake memahami maksudnya, maka Sehun akan mentraktir laki-laki itu. Tapi kalau tidak, maka lupakan saja kalau mereka pernah berteman selama ini!
Carlisle sendiri merupakan kota di Cumbria, Inggris, yang terletak di pertemuan Sungai Eden, Caldew, dan Petteril.
"Ah~ William Carlisle ...." Jake bergumam sambil mengulang nama yang Sehun sebutkan. "Jadi, Willis adalah singkatan dari William Carlisle?"
Sehun mengangguk dengan mulut terkatup. Faktanya, Jake memang benar-benar bodoh karena sampai detik ini masih saja tidak menyadari petunjuk besar yang diberikan Sehun.
"Aku pergi." Sehun berdiri. Tidak ada gunanya lagi duduk bersama si Bodoh Jake ini.
"William Carlisle. Willis." Jake masih saja menggumamkan nama Sehun saat merasa ada sesuatu yang mengganjal. "Willis. William Carlisle. Carlisle. Car-lisle."
Jake segera menutup mulut dengan tangan saat otaknya yang tidak berguna itu akhirnya menemukan sesuatu. Kemudian dia berdiri hanya untuk memanggil Sehun yang sudah berjalan meninggalkannya.
"Willis! Jadi, kau ...."
Sehun berbalik, lalu meletakkan jari telunjuknya di bibir. Dia bermaksud untuk memberikan kode pada Jake. Apa pun yang ingin Jake katakan, sebaiknya laki-laki itu tidak mengatakannya saat ini.
Rupanya Jake tidak benar-benar bodoh. Laki-laki itu hanya sedikit lambat dalam berpikir saja.
Ketika Sehun berbalik tanpa mengatakan apa pun dan kembali melanjutkan langkahnya, Jake jatuh terduduk di kursinya dengan penuh keterkejutan.
Sekarang, tidak heran kenapa Sehun terlihat begitu berani menggoda sang dosen muda di hadapan yang lain dan tidak jarang juga bersikap kurang sopan. Rupanya laki-laki itu adalah pemilik sah dari dosen muda yang digandrungi para mahasiswa.
"Pantas saja dia menolak Nayeon mati-matian." Jake menggeleng sambil memijat pelipis. Senyumnya perlahan mengembang memenuhi wajah tampannya. "Dasar Bajingan!"
Mari kembali lagi pada Sehun, di mana laki-laki itu kembali menghadiri kelas Lalisa siang ini.
"Kau menghadiri kelasku lagi, Willis." Lalisa menyindir dengan senyum yang tampak begitu kering.
Dia sudah mengatakan pada Sehun agar tidak datang ke kampus kalau hanya untuk menghadiri kelas yang tidak seharusnya laki-laki itu hadiri.
Luka di punggung Sehun masih sangat basah dan Lalisa tidak ingin melihat laki-laki itu berkeliaran di luar hanya untuk sesuatu yang tidak penting.
"I'll be a good boy. Promise." Sehun tersenyum tenang, mencoba untuk mendapatkan izin saat ini.
Mengenai hukuman yang akan didapatkan karena tidak mematuhi perintah Lalisa sebelumnya, Sehun akan mengatasinya sepulang dari kampus nanti.
Jadi, untuk saat ini, tolong biarkan Sehun memperhatikan istrinya yang sedang mengajar. Karena wanita itu tampak begitu menawan saat berdiri di depan kelas dan menjelaskan materi pada mahasiswa/inya.
o—O TAMAT O—o
Dari awal hampir semuanya bisa nebak kalau Sehun – Lisa sebenarnya udah nikah, tapi kayaknya nggak ada yang nyangka kalau di sini Lisa dom, Sehun sub 🤣🤣🤣🤣🤣
Serius sih, aku nulis cerita ini dapat idenya bener-bener instan dan ternyata lumayan seru juga alurnya karena sebelumnya nggak pernah nulis cerita yang "karakter" Lisa sebagai dom dan Sehun sebagai sub 🤣
KARAKTER SEHUN JADI DOM AJA NGGAK PERNAH ASDFGHJKL
Tapi bisa-bisanya aku langsung loncat bikin karakter Lisa yang jadi dom 🤣 karakter-karakter Sehun-ku langsung jatoh mentalnya karena Lisa debut duluan jadi dom.
Rate dulu dong, dari 1-10 bintang, lapaknya Willis dapat bintang berapa?
Kalau udah ngasih bintang buat Willis, ya berarti saatnya untuk lambaikan tangan tanda perpisahan ☺️☺️☺️
Udah ya, lapaknya Willis di tutup di sini. Maaciw karena sudah mengikuti perjalanan kilat Willis dan bu dosen yang sama sekali tidak direncanakan untuk debut 😘😘😘😘
Lumayan dapat 3 chapter dari bahan postingan instagram Lisa yang pada saat itu memang cukup menghebohkan.
Tapi harusnya dibikin vlog sih biar afdol. Khususnya pas lagi kacamataan.
Sudah, sudah, mari hentikan semuanya sampai di sini. Ntar kalau dilanjut terus lapaknya Willis nggak abis-abis.
Dadah~
Bonus kecantikannya bu dosen 😍
17 September 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro