Bab 9
Valentino membelai lembut tubuh telanjang yang sedang tertidur di sampingnya. Perempuan muda yang menyerahkan begitu saja semua harga diri hanya demi menemaninya. Ia harusnya merasa malu karena memperalat seorang gadis untuk melampiaskan kemarahan, kesedihan, dan juga rasa takutnya. Ia menggunakan tubuh Nattaya hanya untuk membuktikan kalau mampu bersetubuh, bahkan terbakar gairah. Meskipun oleh dokter dinyatakan mandul.
Valentino masih tidak percaya dengan hasil pemeriksaan itu. Bagaimana mungkin ia mandul? Sedangkan kedua orang tuanya tidak. Tapi, kemandulan secara umum juga bukan karena keturunan. Mendatangi rumah sakit dengan niat memeriksakan diri sebelum menuju jenjang pernikahan, nyatanya membuatnya harus menelan pil pahit.
Ia menyusuri lekuk pinggang yang ramping dengan pinggul yang bulat dan padat. Tubuh yang benar-benar sempurna untuk dipuja. Selama beberapa waktu ini bersama, ia bukan hanya memuja tubuh tapi juga sikap dan pembawaan Nattaya yang lembut. Seolah ingin menumpahkan semua ego, ia mengajak Nattaya bercinta tanpa henti dan tidak peduli waktu.
"Kalau pun nanti kita menikah tanpa punya anak, aku nggak masalah. Asalkan kamu juga menerima keadaanku, Val. Aku mencintaimu dari pandangan pertama, bisa kamu katakan aku gila tapi begitu kenyataannya. Ayo, kita bangun rumah tangga tanpa paksaan dari orang tua."
Perkataan dan janji Arista justru membuat Valentino tertekan. Tidak dipungkiri kalau mereka akan menikah tanpa cinta, murni karena bisnis. Ia bahkan lebih suka kalau Arista menolak tapi ternyata salah. Perempuan itu mau menerima dirinya apa adanya. Kenapa? Bukankah masih banyak laki-laki lain yang bersedia menikahnya? Memberinya anak-anak lucu yang menggemaskan. Kenapa justru dengan laki-laki mandul sepertinya?
"Melamun, Pak?"
Nattaya mendadak bangun, menatap Valentino dengan matanya yang lebar.
"Lapar atau ingin sesuatu?"
"Tidak, aku hanya sedang berpikir." Jemari Valentino meremas dada Nattaya dengan lembut. "Apa kamu yakain bisa lepas dari keluargamu yang jahat itu?"
"Sejujurnya tidak terlalu yakin, tapi harus dicoba. Setidaknya uang dari Anda bisa sangat membantu."
"Aku kuatir sama kamu."
"Terima kasih, Pak. Anda baik sekali. Tidak banyak orang kaya seperti Anda."
"Tidak, Nattaya. Aku sama sekali tidak baik. Mana ada laki-laki baik yang memanfaatkan tubuh perempuan untuk pemuas nafsu?"
"Tapi menurut saya, Pak Valentino sangat baik. Terima kasih, Pak."
Sebuah ucapan terima kasih yang membuat Valentino terkesan dan teringat hingga sekarang. Ucapan tulus yang membuat Valentino tinggi hati dan merasa tidak melakukan hal salah dengan tidur bersama di luar norma pernikahan. Dulu, dirinya memang sebajingan itu.
**
"Sayang, kamu belum bangun? Sudah hampir pukul tujuh."
Panggilan Arista membangunkan Valentino dari mimpi panjang. Ia menggeliat, mengerjap dan pemandangan pertama yang dilihatnya adalah jendela yang tertutup gorden tebal. Ruangan remang-remang dari cahaya lampu tidur. Valentino mendesah lalu bangkit perlahan. Arista duduk di samping ranjang, tersenyum manis dalam balutan setelan kerja putih.
"Sepagi ini kamu sudah siap?" tanya Valentino dengan suara serak.
"Ada meeting di perusahaan cabang. Papa baru memberitahu tadi malam."
"Oh, dengan perusahaan farmasi?"
"Benar, Aji akan menemaniku. Sebenarnya adikku juga harusnya ikut, kamu tahu Arial sulit sekali mencari waktu libur. Maklum dokter spesiali. Padahal ini ada kepetingan keluarga juga."
Valentino menjejakkan kaki di lantai, menguap lalu menghela napas panjang. "Adikmu memang hanya berminat di kedokteran, itulah kenapa masalah perusahaan kamu dan adik iparmu yang menangani."
Arista bangkit dari ranjang, mengambil remote untuk membuka gorden. Valentino baru sadar kalau di luar sedang hujan deras.
"Aku sebenarnya ingin kamu yang menangani masalah farmasi."
Valentino menggeleng. "Bukan bidangku, tapi aku bisa membantumu memeriksa dokumen dan dana."
Arista tersenyum. "Terima kasih, Sayang. Aku harus pergi sekarang. Bisakah aku minta tolong antar Dhafa sekalian ke sekolah? Sopirnya hari ini nggak masuk karena sakit."
"Aku akan antar Dhafa sekalian, nggak usah kuatir."
Arista mendekati Valentino dan mengecup pipinya. "Aku jalan dulu."
Valentino menatap punggung istrinya yang menjauh sebelum masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Menatap bayangannya di kaca, ia mengucurkan air hangat dari kran. Membasuh wajah perlahan dan kembali teringat dengan mimpinya. Bertahun-tahun ia selalu mimpi yang sama, tentang Nattaya dan perjalanan mereka hingga terpisah. Kini setelah bertemu kembali, ia bermimpi semakin sering.
Setelah mengguyur tubuh dan kepala dengan air hangat ia merasa segar kembali. Berpakaian dengan cepat, mengernyit memandang hujan yang tidak berhenti. Teringat pada Nattaya. Apakah perempuan itu tidak berjualan hari ini? Tidak mungkin menerjang hujan bukan? Nattaya tidak sebodoh itu. Tapi, bagaimana kalau berjualan adalah sumber kehidupan mereka? Harusnya perempuan itu tidak perlu berusaha keras karena ada suami yang menafkahi. Valentino merasa dirinya bodoh, mengkuatirkan istri orang lain. Keluar kamar ia mendapati Dhafa sudah menunggunya.
"Kamu sudah sarapan?" tanyanya.
Dhafa mengangguk. "Sudah, Pa."
"Ayo, jalan."
Dhafa kelas delapan di sebuah sekolah international. Memakai kacamata dan tidak banyak bicara. Meski begitu, sikapnya dengan Valentino selalu sopan dan tidak pernah membantah. Anak itu duduk di sebelah Valentino dengan buku terbuka di pangkuan. Jalanan sedikit terhambat karena curha hujan cukup deras.
"Memangnya matamu nggak sakit baca buku di mobil?" Valentino membuka percakapan.
Dhafa menggeleng, menaikkan kacamatanya. "Ada ujian nanti."
"Sekolahmu sibuk sekali. Memangnya nggak ada waktu istirahat?"
"Minggu libur."
"Kamu di rumah tetap aja belajar. Dhafa, sesekali kamu perlu bergaul. Mencari teman dan sebagainya, jangan terlalu memaksakan diri."
"Ya, Papa."
Valentino melirik anak tirinya, meskipun mengatakan setuju tapi yakin kalau Dhafa tidak akan mengikuti kata-katanya. Arista menuntut terlalu banyak dan memberi tekanan terlalu tinggi untuk anaknya. Harus menjadi nomor satu, tidak boleh kalah dengan anak orang lain. Sedikit saja nilai turun, Arista akan mengomel panjang lebar pada Dhafa. Sering kali ia merasa sangat kasihan pada anak laki-laki yang beranjak dewasa tapi dipaksa untuk bertindak tidak sesuai umurnya.
Valentino menghentikan kendaraan di teras sekolah yang terlindungi dari hujan. Membuka dashboard dan memberikan uang pada anaknya.
"Jajan yang banyak hari ini. Kamu terlalu kurus."
Dhafa mengedip bingung. "Pa, aku sudah dapat uang jajan dari Mama."
"Papa tahu, tapi hanya sedikit. Hari ini, kamu coba jajan yang banyak. Lagi hujan, makan yang hangat-hangat. Ayo, ambil!"
Dhafa mengambil uang dari Valentino, mengucapkan terima kasih dengan lirih sebelum keluar dari mobil. Setelah memastikan Dhafa turun, Valentino mengunci pintu dan meluncur ke jalanan yang basah. Menyalakan radio untuk mengetahui arus lalu lintas. Ia melewati sekolah taman kanak-kanak di mana beberapa anak turun dari kendaraan yang mengantar, seketika teringat akan sang papa.
"Kenzo itu bocah yang lucu. Kalau papa adopsi, kira-kira mamanya setuju nggak, ya?"
Valentino bertanya-tanya, seperti apa mama dari Kenzo. Kenapa bisa melahirkan anak semirip dengannya hingga membuatnya bingung. Suatu saat nanti Valentino akan bertemu langsung dengan Kenzo dan orang tuanya.
**
Nattaya tidak ingin merutuki cuaca, karena meskipun hujan yakin ada rejeki di setiap tetesnya. Ia menatap gerobak yang tertutup rapi di samping mobil tua milik Sora. Berniat untuk membuka gerobak saat hujan sedikit mereda tapi ternyata tidak ada tanda-tanda ke arah sana. Justru semakin siang semakin lebat. Sora duduk di sampingnya berpangku tangan. Mereka berteduh di kios buah, menatap hujan turun dengan pikiran mengembara.
"Nat, kamu tahu nggak cita-citaku saat kecil dulu apa?" tanya Sora.
Nattaya menggeleng tapi menjawab pelan. "Dokter mungkin."
"Bukaan, mana mau aku jadi dokter? Belajar terus menerus bikin capek. Aku punya cita-cita nemu duit sekarang di jalan. Eh, salah bukan sekarung tapi sekoper. Bayangin, berapa banyak isinya."
"Cita-citamu halu sekali."
"Memang, tapi siapa yang nggak mau kaya? Contohnya kayak gini, kita udah keluar modal ternyata nggak bisa jualan."
"Hujan, anggap rejeki nomplok."
Sora mengusap wajah dan berdecak. "Betapa optimisnya kamuuu, hebaat."
"Harus. Meskipun dipaksa keadaan."
Nattaya diam-diam mendesah, mengingat tentang tagihan-tagihan yang harus dibayarnya Minggu ini. Token listrik, uang sekolah anaknya, iuan RT, dan banyak lagi. Ia menghela napas, mengingat akan mengambil tabungan untuk menutupi kekurangan. Belum lagi rongrongan dari Vita yang membuatnya pusing tujuh keliling.
"Apa kita terima saja tawaran Pak Tohpati?" tanya Nattaya dengan suara rendah.
Sora menghela napas panjang. "Jujur saja aku mau, tapi gimana sama kamu? Kalau kamu kerja di sana, kemungkinan untuk bertemu Pak Valentino yang tampan dan menawan itu sangat besar. Aku nggak mau kamu terlibat sama perasaan dari masa. Takut membuatmu susah."
"Kamu benar juga. Tapi, kalau misalnya kita kerja setiap hari hanya dua jam saat siang, bagaimana?"
"Ide bagus, nanti kita tanya Pak Tohpati."
Hujan sedikit mereda dan akhirnya berhenti di pukul delapan tiga puluh. Terlalu siang untuk berjualan tapi lebih baik bisa menjual makanan biarpun sedikit dari pada tidak sama sekali. Ternyata benar pikiran Nattaya, kalau hujan bisa jadi membawa berkah. Di saat dingin, para pengunjung pasar kebanyakan ingin makanan hangat. Mereka membeli soto, dan dalam waktu satu jam sudah nyaris tandas.
"Hujan-hujan kalian tetap jualan?"
Suara teguran membuat Nattaya berjingkat kaget. Menatap Valentino yang berdiri dalam balutan jas hujan.
"Pak, kenapa ada di sini?" tanyanya kaget.
"Lapar, dingin, dan ingin makan soto. Buatkan aku satu."
Nattaya sungguh tidak habis pikir, kenapa saat basah dan hujan seperti ini laki-laki itu rela datang ke tempat ini hanya untuk makan soto. Memangnya di dekat rumahnya tidak ada yang berjualan soto? Ia membuat semangkok lengkap dengan lontong dan meletakkan di hadapan Valentino.
"Pak, sepertinya mau hujan lagi. Masih mendung soalnya. Sebaiknya makan agak cepat."
"Kamu mengusirku?" Valentino berucap cepat, memeras irisan jeruk ke mangkoknya.
"Astaga, padahal saya hanya memperingatkan, Pak!"
"Ya sudah, kamu kerja sana. Aku mau menikmati sarapanku."
Nattaya menatap tidak habis pikir pada laki-laki yang kini makan dengan lahap. Ia bertanya-tanya apakah Valentino sengaja datang untuk membeli sotonya atau memang kebetulan berada di sekitar sini? Kenapa begitu banyak kebetulan pada mereka? Pikiran Nattaya terpecah saat seorang laki-laki muda berjaket kulit datang untuk membeli dua puluh bungkus soto. Sora mengatakan tinggal sedikit, tidak sampai sepuluh dan pemuda itu mengulurkan uang.
"Kalau begitu besok aku ambil 30 bungkus, ini uang mukanya."
"Hah, kenapa pakai uang muka segala?"
Pemuda itu tertawa lirih, rambutnya yang agak panjang tertiup angin. "Biar kalian percaya kalau aku beneran mau beli. Namaku Dicky, kalau boleh tahu nama Kakak siapa?"
Kali ini pertanyaan ditujukan pada Nattaya yang sedang menatap mangkok bersih. "Nattaya."
"Ah, nama yang indah. Hallo, Nattaya."
Sora mendengkus. "Dicky, kamu bilang mau tanya nama kami. Tapi, sama sekali nggak noleh ke aku."
Dicky menatap Sora dengan tidak enak hati. "Nama Kakak siapa, ya?"
"Tidak usah basa-basi. Besok soto bisa diambil di jam buka, atau kamu mau lebih pagi?"
Dicky berpikir sesaat. "Ada nomor ponsel nggak? Aku bisa kirim pesan dulu, jadi Nattaya bisa siapain baru aku ambil."
Sora memberikan nomor ponselnya pada pemuda itu. "Tadi manggilnya 'kak' sekarang udah pakai nama aja. Cepat amat gerakanmu, Dicky!"
Dicky tertawa keras dengan wajah memerah, berpamitan pada Nattaya sebelum pergi dan berjanji kalau besok sebelum datang akan mengirim pesan lebih dulu.
"Terima kasih uang DP-nya Dicky," ucap Nattaya.
"Sama-sama Nattaya. Senang rasanya bisa berbisnis bersama kalian."
Saat pemuda itu pergi, Nattaya mengiringi langkahnya dengan senyuman lebar. Uang muka dari Dicky lebih dari cukup untuk modal esok hari. Ia menghitung cepat dan terdiam saat Sora menyenggol rusuknya.
"Nat, kamu hampiri Pak Val sana."
Nattaya menatap meja Valentino yang sedang makan. "Kenapa?"
"Dari tadi dia melihat ke arah sini terus. Soto udah habis, aku saja yang merapikan. Kamu ajak dia ngobrol sana."
Nattaya menuruti perkataan Sora. Menghampiri Valentino sambil membawa sebungkus kerupuk udang dan meletakkan di depan laki-laki itu.
"Nggak pakai kerupuk, Pak?"
Valentino mendongak, menatap Nattaya lekat-lekat. "Senang, ya, dagang."
"Ya, lumayan Pak hasilnya."
"Hasilnya lumayan atau karena punya penggemar banyak?"
Valentino terdiam setelah melontarkan sindiran. Menyadari kalau dirinya terlalu jauh bertindak.
.
.
.
Di Karyakarsa update bab 41-44.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro