Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 6

Tohpati tidak mengerti, apa yang membuat langkahnya terhenti. Pekerja di rumah mengatakan jaga kebersihan yang disewanya sedang bekerja. Ia ingin sekali bertemu mereka demi memperingatkan untuk berhati-hati dalam bekerja, tapi niatnya musnah. Ia mendapati duduk di hadapan anak laki-laki dengan buku gambar di tangan. Ia mengambil buku itu dan mengamati gambarnya. Seorang ibu, anak, dan kucing yang melingkar di atas meja. Gambar dengan warna-warna cerah tapi memikat.

"Gambarmu bagus," puji Tohpati. Mengembalikan buku pada si anak. "Siapa namamu?"

"Kenzo."

"Nama yang bagus."

"Kakek siapa?" tanya Kenzo.

Tohpati tersenyum. "Kakek tinggi di sini."

"Ooh, ini rumah Kakek?"

"Benar sekali."

"Mama di dalam lagi kerja. Kenzo suruh nunggu di sini, nggak boleh ganggu Mama lagi kerja."

Untuk ukuran anak umur enam tahun, bahasa dan sopan santu Kenzo sudah sangat bagus. Pengucapan kata-katanya juga jelas dan sama sekali tidak kidal. Tohpati merasa harus memberikan sesuatu. Entah kenapa anak kecil di depannya sangat memikat hati.

"Kamu mau minum susu cokelat? Kakek punya susu yang enak."

Kenzo terdiam, menatap Tohpati tidak berkedip. "Tapi, Mama bilang nggak boleh sembarangan terima makanan."

"Benar itu, tapi kakek bukan orang lain. Mamamu kerja sama kakek, jadi kita bukan orang lain. Ayo, rapikan buku-bukumu, kita minum susu sama makan kue manis."

Kenzo menuruti ajakan Tohpati. Keduanya bergandengan tangan menuju teras samping. Tohpati memanggil pelayan dan minta dihidangkan susu dingin serta kue muffin. Ternyata Kenzo suka sekali muffin strawberry. Menikmati kue manis itu dengan gembira dan makan dengan lahap.

"Kenzo suka muffin ini?"

Kenzo mengangguk. "Strawberry enak."

"Susu rasa strawberry juga suka?"

"Suka. Kenzo suka semua strawberry."

Tohpati menghela napas panjang, merasa sangat keheranan. Bukan hanya wajah yang sama, bahkan kebiasaan makan pun tidak berbeda. Ia ingat sangat kecil dulu, Valentino suka segala sesuatu dengan rasa strawberry. Berbeda dengan adiknya yang cenderung suka rasa cokelat.

Tohpati menujuk sosok Sora yang terlihat dari tempat mereka duduk. Perempuan itu tersenyum kecil dan sibuk mengelap kaca.

"Apa itu mamamu?" Tohpati bertanya.

Kenzo menggeleng, mulutnya penuh dengan makanan. "Bukan."

"Oh, mamamu di atas?"

"Iya."

Tohpati salut dengan perempuan pekerja keras yang rela membawa anaknya juga. Kenzo sangat penurut dan tenang, sama sekali tidak bandel seperti anak seumuran. Bisa dikatakan kalau Kenzo mengerti sang mama sedang bekerja jadi tidak boleh menganggu. Melihat Kenzo makan dengan lahap, Tohpat tergerak untuk mencoba kue. Hal yang jarang sekali dilakukan, mengingat giginya tidak tahan kalau makan terlalu manis. Hari ini, hatinya sedang gembira dan makan dengan lahap. Sesekali menjawab pertanyaan Kenzo tentang binatang, tumbuhan atau apapun yang terpikir di kepala anak itu.

Dua jam kemudian Nattaya muncul di teras samping, terbelalak saat melihat anaknya duduk santai di kursi empuk berhadapan dengan laki-laki tua. Ia sudah melihat foto laki-laki itu di dinding bersama Valentino dan bisa menyimpulkan siapa dia.

"Kami sudah selesai, Pak." Sora yang bicara.

Tohpati menatap dua perempuan muda yang berdiri di depannya. Tersenyum dengan telapak tangannya mengusap rambut Kenzo.

"Kerja kalian bagus dan bersih."

"Terima kasih, Pak." Sora yang menjawab dengan wajah berseri-seri. Melirik Nattaya yang sedari tadi terdiam. "Semoga Anda puas dengan kerja kami."

Tohpati mengangguk. "Sangat puas, terutama karena ditemani anak tampan ini. Lain kali kalau kalian datang, aku mau Kenzo ikut lagi."

"Baik, Pak," sahut Sora.

Nattaya menghela napas panjang, berusaha menghilangkan rasa gugupnya. Yang ada di depannya dalah papa dan dari Valentino. Ia tidak ingin orang itu mengenal Kenzo. Tapi, sekarang dirinya dilarang bertindak gegabah. Kalau terlihat jelas menolak pasti menimbulkan tanda tanya. Akhirnya ia memutuskan untuk berpura-pura tidak tahu. Toh, papa Valentino tidak mengenalnya. Ia tersenyum, mengulurkan tangan pada anaknya.

"Kenzo, ayo, kita pulang."

Kenzo mengangguk, turun dari sofa dan menghampiri sang mama. "Mama, keu dari Kakek enak."

Tohpati tertawa lirih. "Kalau Kezo suka, nanti datang lain kali kakek bikini yang banyak. Kenzo mau?"

"Iya, Kakek."

"Jangan lupa, ikut kemari lagi kalau Mama kerja, ya?"

Kenzo mengangguk dan Nattaya yang menjawab sopan. "Pak, terima kasih atas kebaikannya untuk anak saya."

Tohpati melambaikan tangan. "Ah, bukan apa-apa. Anakmu sangat lucu dan menggemaskan, aku suka sama dia. Bawa lagi kalau kalian kemari."

Sora terbelalak. "Berarti, kami bisa datang lagi untuk kerja, Pak?

"Tentu saja," jawab Tohpati tegas. "Kalian bisa datang seminggu dua kali dan ingat, bawa Kenzo."

"Baik, Pak. Pasti kami bawa Kenzo."

Nattaya menggeleng dengan tidak enak hati. "Pak, biasanya kalau kami kerja Kenzo bersama tetangga. Tapi hari ini tetangga sedang pergi, jadinya terpaksa kami bawa."

"Nggak masalah, lain kali nggak usah dititip. Selama kalian kerja, Kenzo bisa temani aku ngobrol."

Segala macam kata yang hendak keluar dari bibir Nattaya tertahan. Tidak tega mendengar nada penuh pengharapan dari laki-laki tua di hadapannya. Tohpati sangat berharap untuk bertemu Kenzo lagi. Apakah laki-laki itu bisa merasakan ada sesuatu yang tidak biasa antara dirinya dengan Kenzo, atau murni hanya menyukai anaknya? Nattaya tidak mengerti.

"Pak, jarang-jarang ada yang suka kalau kerja bawa anak. Biasanya pada protes." Sora berujar sambil tertawa.

Tohpati menepuk keras kedua pahanya. "Wah, aku termasuk berbeda. Kenapa? Di rumah ini aku tinggal sendiri. Anakku tinggal bersama istri dan anak, jadi kalian bawa Kenzo aku dengan senang hati menemaninya bermain."

Setelah mengucapkan janji untuk membawa Kenzo datang lagi lain hari, hati Nattaya dibuat bingung sepanjang jalan pulang. Gamang antara senang dan sedih. Senang karena bisa menemukan jejak Valentino, tapi juga sedih karena mendapati laki-laki itu sudah menikah. Ia memikirkan perkataan Valentino dulu, kalau memang sedang tahap mempersiapkan pernikahan dengan janda anak satu. Perempuan cantik, menawan, dan sama-sama dari keluarga kaya. Mereka memang cocok satu sama lain, berbeda dengan dirinya yang orang biasa dan miskin.

**

Valentino mendengarkan cerita papanya dengan heran. Tidak biasanya sang papa bicara tentang orang lain dengan begitu menggebu-gebu, terlebih ini soal anak kecil. Memuja dan memuji setinggi langit, membuat Valentino penasaran dengan sosok si bocah kecil.

"Dia mirip sekali kamu, Val. Matanya, bentuk wajah dan cara terseyum. Hanya saja dia punya lesung pipi yang samar. Oh ya, kesukaannya pun sama suka makanan dengan rasa strawberry. Hahaha, papa merasa seperti kembali ke masa lalu saat kamu masih kecil."

Valentino teringat dengan seorang perempuan berlesung pipi. Tersenyum di ponselnya. "Papa kelihatan cocok dengan pekerjaan mereka."

"Bukan hanya cocok tapi juga suka. Sayangnya, mereka hanya kerja part time. Bersih-bersih ini sampingan, mereka punya pekerjaan lain kalau nggak salah jualan sarapan atau apa, tadi papa kurang jelas saat mereka cerita."

Mereka bicara hingga tiga puluh menit lamanya dan selama itu pula yang paling banyak disebut adalah Kenzo, anak dari petugas kebersihan part time. Valentino tidak dapat menahan tawa mendengar papanya bercerita seperti laki-laki yang sedang kasmaran. Bedanya ini adalah anak kecil dan bukan perempuan muda serta sexy.

"Sayang, kami pulang."

Arista muncul, bersama seorang anak laki-laki memakai kacamata gagang bulat yang beranjak dewasa. Anak itu mendekati Valentino dan menyapa dengan suara pelan.

"Papa, Dhafa pulang."

Valentino mengangguk. "Istirahatlah, kalian sudah kenyang'kan?"

"Sudah, Pa. Aku ke kamar dulu."

Valentino selalu memuji sikap anak tirinya yang sopan. Meskipun tahu kalau dirinya bukan papa kandung tapi Dhafa memperlakukannya dengan sopan. Ia sendiri secara perlahan mencoba menjalin keakraban dengan anak itu. Memang tidak seakab anak dan orang tua kandung, tapi juga tidak saling membenci. Lagipula Valentino beranggapan, anak sebaik Dhafa memang layak disukai.

"Dhafa, langsung mandi, Sayang dan keramas. Sudah dua hari kamu nggak keramas!" teriak Arista.

Dhafa menoleh eesaat sebelum meneruskan langkah ke lantai dua. "Ya, Ma."

"Kamu senyum-senyum sambil terima telepon. Dari siapa?" tanya Arista. Mengenyakan diri di samping suaminya.

Valentino tertawa lirih, hal yang jarang terjadi mengingat laki-laki itu selalu murung. Tawa yang cukup membuat Arista terperanjat.

"Sayang, kamu tertawa?"

"Oh, Maaf. Tadi yang telepon Papa. Dia bicara tentang petugas kebersihan dan anaknya yang lucu. Hanya itu."

"Hanya itu dan kamu tertawa?"

"Tertawa karena mendengar cara Papa bercerita." Valentino menatap istrinya lekat-lekat. "Bagaimana dengan orang tuamu? Mereka baik-baik saja?"

Arista mengangguk. "Mereka kirim salam. Oh ya, tadi sore aku ke lokasi yang akan dijadikan pabrik bersama Aji dan menurutku layak untuk dipertimbangkan."

Valentino menatao istrinya lekat-lekat lalu mengangguk singkat. "Akan aku pertimbangkan."

"Terima kasih, Sayang."

Valentino pamit untuk mandi sementara Arista bergegas ke dapaur. Untuk memberi perintah tentang apa yang akan dimasak esok hari. Mengecek menu sarapan, makan siang, dan makan malam. Termasuk daftar barang yang akan dibelinya. Saat ia kembali ke kamar mendapati suaminya sudah pulas. Menghela napas dan mendekati ranjang, ia mengusap lembut wajah suaminya yang tampan. Tujuh tahun menikah dan mereka masih seperti orang asing. Arista tidak tahu kapan suaminya akan membuka hati untuknya. Apakah ia harus menunggu tiga, lima, atau tujuh tahun lagi? Arista tidak tahu dan yang bisa dilakukan sekarang adalah menjadi istri yang baik untuk suaminya.

**

Valentino tidak sempat sarapan. Hanya menyapa singkat anak dan istrinya di meja makan lalu terburu-buru ke mobil.

"Ada janji dengan seorang distributor besar. Siang dia harus ke bandara makanya bertemu pagi begini."

"Di mana tempatnya?" tanya Arista.

"Tidak jauh dari komplek rumah Papa ada pasar modern. Nah' di sana tempatnya. Aku pergi dulu, nggak bisa temani kalian sarapan."

Arista menantap kepergian suaminya sambil menghela napas panjang. Menoleh ke arah anak laki-lakinya yang sedang makan roti.

"Papamu selalu sibuk, Dhafa. Bukankah dia papa yang baik dan bertanggung jawab bukan?"

Dhafa mengangguk kecil, tidak mengatakan apa pun dan menandaskan rotinya. Ia mengerti yang dimaksud sang mama dan tidak membantahnya. Valentino memang sangat pendiam tapi harus diakui sebagai orang tua yang baik, bahkan pada dirinya yang hanya anak tiri.

Sepanjang jalan Valentino tidak berhenti menelepon. Meminta kliennya menunggu sebentar karena sepertinya ia akan terlambat 10 menit karena macet. Untunglah ketakutannya tidak menjadi kenyataan, meskipun macet tapi tidak parah dan tiba dengan tepatr waktu.

Rapat dimulai membahas detil harga dan kualitas barang. Berlangsung selama satu jam penuh dan diakhiri dengan detil kerjasama baru. Setelah itu klien berpamitan ke bandara dan Valentino yang tersadar kalau belum sarapan, merasa perutnya keroncongan. Tadinya ia ingin membeli sarapan cepat saji. Pukul sembilan harusnya masih ada. Tapi, memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar pasar. Sudah lama sekali ia tidak bersantai meskipun hanya sekedar mencari sarapan.

Membiarkan mobilnya tetap terparkir di halaman kantor distributor, Valentino melangkah ke arah samping pasar yang ramai. Di bawah pohon-pohon rindang, ada banyak gerobak yang menjual makanan. Ia melihat satu per satu sebelum memutuskan ingin sarapan apa. Sebuah gerobak kecil warna biru laut yang tersambung ke mobil tua, menarik perhatiannya. Gerobak itu menjual berbagai sarapan berupa aneka soto dan gorengan. Aroma harum menguar dari panci besar berisi kuah. Valentino memutuskan untuk mampir. Seorang perempuan yang wajahnya semula tertutup gerobak, menoleh ke arahnya dan menyapa.

"Pagii, mau sarapan apa?"

Valentino tertegun, begitu pula perempuan itu. Mereka saling mengenali satu sama lain. Valentino menahan napas, memanggil lirih.

"Nattaya ...."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro