Bab 31
Seorang laki-laki berdiri menghadap jendela yang terbuka. Dari lantai 10, pemandangan yang terlihat di luar hanya lampu-lampu jalanan dan langit pekat tanpa bintang. Suara kendaraan terdengar bersahutan menembus gendang telingannya. Ia mengisap rokok dengan kuat, membiarkan titik abu mengotori tubuh telanjangnya. Sengaja berdiri depan jendela demi meredam gejolak tubuh yang seolah tidak berhenti untuk bersetubuh. Ia melirik perempuan yang tergolek di ranjang dengan ponsel di tangan. Mereka berada di kamar ini hampir lima jam dan selama itu pula bercumbu tanpa henti.
Ia sangat menyukai tubuh hangat perempuan. Menginginkan kelembutan mereka. Melesakkan diri ke dalam inti tubuh perempuan, mendengar mereka mendesah dan mengerang adalah kebanggan untuknya. Tidak peduli kalau erangan itu palsu atau pun orgammes mereka dibuat-buat untuk menyenangkannya. Selama ia mampu membayar, para perempuan itu harus membuatnya senang.
Di antara semua petualangan cintanya, yang paling teringat justru perempuan pertama yang ditidurinya. Perempuan cantik, rupawan dengan tubuh menggiurkan. Saat itu ia benar-benar mabuk kepayang pada perempuan itu. Bisa dikatakan takluk dan menyerah tanpa perlawanan, memuja penuh cinta dan rela menjadi budaknya. Memalukan semuanya dengan bahagia demi agar perempuan cantik itu tetap berada di sampingnya. Pada akhirnya kenyataan menghantamnya dengan keras.Membuat hatinya retak dan patah.
Perempuan pujaannya itu sangat pandai bermain cinta tapi juga mahir bersandiwara. Kemampuan perempuan itu dalam hal sex belum ada yang berhasil mengalahkan sejauh ini. Siapa sangka di balik keanggunannya, ternyata tersimpan hasrat yang membara. Ia tersenyum kecil mengingat masa-masa itu dan senyumnya hilang kala hal menyakitkan juga terbersit di kepala.
"Om, sudah selesai belum?"
Suara perempuan dari ranjang menyadarkannya. Ia berbalik, meniup rokoknya hingga mati dan membuangnya keluar melalui jendela.
"Kamu menyerah?" Suaranya terdengar serak.
Perempuan muda di atas ranjang tersenyum, menyingkap selimut yang menutupi tubuh dan duduk mengangkang. "Bukannya Om bilang akan ada bonus setiap kali kita bermain?"
"Yeah, tentu saja, Manis."
Perempuan muda itu meletakkan tangan di atas dadanya dan mengusap perlahan hingga putingnya mengeras. Jarinya merambat dari dada ke selangkangan dan mendesah.
"Aku sudah basah, Om. Siap kapan saja."
Si laki-laki tertawa. "Dasar binal! Tapi, aku suka dengan perempuan yang binal dan jalang seperti kamu." Ia mengambil dompet dari dalam tas, mengelurkan beberapa lembar uang dan melemparkannya pada si perempuan. "Ayo, makin jalang kamu, makin aku tertantang."
Si perempuan tertawa genit, menggosok dirinya makin cepat dan menjerit saat tubuhnya dibalik dan tanpa kemesraan, laki-laki itu menyatukan tubuh mereka. Ia hanya bisa mengerang, mencoba menikmati setiap sentuhan demi uang. Laki-laki yang sekarang menungganginya sangat kasar dan sama sekali tidak ada kelembutan dalam kontak fisik mereka. Sering kali ia merasa perih dan nyeri, tapi harus bertahan demi uang. Selama uang mengalir lancar, ia bisa menahan apapun.
"Dasar perempuan binal!"
Si perempuan menjerit saat laki-laki di atasanya menarik rambutnya ke belakang, di lanjut dengan pukulan di bokong dan gigitan di bahu. Entah apa yang terjadi tapi laki-laki ini seolah kehilangan kendali saat bersetubuh.
"Perempuan-perempuan kurang ajar, memang layak menerima balasan!"
Suara percintaan yang nyaring, diiringi dengan jerit kesakitan dan juga desah penuh kepuasan, membuat kamar menjadi lubang neraka yang panas dan penuh kemaksiatan.
**
Valentino tiba di rumah sakit hampir pukul sepuluh malam. Ia melihat orang-orang berkerumun di depan ruang operasi. Ia setengah berlari menghampiri Arista dan mengusap bahunya.
"Bagaimana keadaan Dhafa?"
Semua menoleh, tersadar dengan kedatangannya dan Arista masuk ke dalam pelukannya lalu menangis. "Masih kritis, dokter sedang berusaha menyelamatkannya."
Valentino tercengang. "Apa yang terjadi? Ba-bagaimana bisa Dhafa kecelakaan?"
"Aku tidak tahuuu, polisi mengatakan tabrak lari."
Arista kembali menangis dan Valentino mencoba menenangkan istrinya. Hatinya terasa sakit seketika. Meskipun bukan anak kandung tapi ia menyayangi Dhafa. Tidak pernah menginginkan hal buruk menimpa anak itu. Dhafa yang pendiam, penurut, dan pintar adalah cerminan anak baik. Di umurnya yang sedang menginjak remaja, Dhafa tidak pernah terlibat dalam sesuatu kegiatan yang berbahaya. Kecelakaan ini sungguh peristiwa tragis yang tidak pernah disangka.
Dhafa bukan hanya seorang anak melainkan kebanggan keluarga Arista. Sebagai cucu laki-laki tertua, Dhafa sangat disayang dan dimanjakan keluarga besar Arista. Kedua kakek neneknya memanjakan dan mencintai tanpa batas. Wajar kalau semua orang merasa hancur karena keadaan Dhafa.
Arista sudah berhenti menangis, mengangkat kepala dari bahu Valentino. "Dari mana saja kamu. Sulit sekali menghubungimu."
"Aku tidak kemana-mana, ada di rumah Papa dari sore."
"Kenapa tidak mengangkat telepon?"
"Oh, aku meletakan ponsel di dalam tas dan asyik bicara dengan Papa di ruang kerja. Maafkan aku datang terlambat."
Arista terisak, menghapus air mata dengan tisu. Menatap suaminya dengan pandangan buram karena air mata. "Ada Kenzo di rumah papamu?"
Valentino tidak menjawab, menatap istrinya dengan heran. Di saat seperti ini Arista justru bertanya soal Kenzo.
"Arista, kenapa tanya itu?"
Arista mencengkeram jari suaminya. "Kenapa menghindar? Jawab saja! Tidak usah berusaha menutupi!"
"Iyaa, ada Kenzo di rumah Papa. Sudah puas? Ada apa kamu ini? Dhafa sedang berjuang di dalam sana!"
Arista melepas cengkeramannya dan berbalik, berdiri memunggungi suaminya yang tercengang. Ia sendiri tidak tahu apa yang terjadi dengannya, tapi rasa kesalnya muncul setiap kali nama teringat Kenzo. Suaminya bahkan sulit dihubungi karena ada anak itu. Ia membayangkan tawa dan canda Valentino bersama Tohapti serta Kenzo. Bermain bersama seperti papa dan anak. Terlalu larut dalam kebersamaan dengan anak itu sampai Valentino melupakan keluarganya. Rasa cemburu serta marah menyergap Arista. Di saat dirinya membutuhkan, seharusnya yang ada di sampingnya Valentino dan bukan keluarganya yang lain.
Perdebatan mereka tidak luput dari perhatian keluarga Arista. Dawina menatap masam pada Valentino dengan mata basah. Valentino yang datang terlambat saat cucunya mengalami hal kritis. Ia tidak mengerti apa yang dilakukan Valentino sampai melupakan keluarganya. Tanpa sadar ia mendengkus dan terdengar oleh suaminya.
"Maa, tahan diri."
Teguran Darmawan membuat Dawina menunduk. "Jangan kuatir, Pa. Aku bisa menahan diri."
"Syukurlah. Ingat, cucu kita sedang berjuang."
"Ya, Pa. Tentu saja aku ingat, meskipun merasa sangat marah tapi aku bisa menahannya."
Darmawan memeluk tubuh istrinya. Ia tahu kalau istrinya sedang kesal pada Valentino yang datang terlambat. Arial yang sibuk bahkan menyempatkan diri untuk mengurus Dhafa, Aji meninggalkan pekerjaannya begitu saja dan begitu pula dirinya. Tapi keberadaan Valentino justru dipertanyakan. Ia jadi ingin tahu, kesibukan apa yang sedang dilakukan menantunya itu sampai-sampai sulit untuk dihubungi. Terlambat datang dua jam, itu sangat besar artinya bagi Dhafa.
Darmawan menatap Valentino yang bersandar pada dinding, di sebelahnya Arista menunduk menekuri lantai. Keduanya baru saja berpelukan dan bertangisan, lalu kini berdiri terpisah seperti dua orang asing. Sangat berbanding terbalik dengan Aji dan Arial yang tidak pernah lepas dari berpegangan tangan. Ia tahu di dunia banyak pasangan tidak romantis, dirinya dan Dawina pun sama tapi apa yang terjadi dengan hubungan pernikahan anak sulungnya sungguh memprihatinkan. Ia menjadi ragu dengan tujuannya untuk menikahkan mereka dulu. Menghela napas panjang, Darmawan berusaha memfokuskan pikirannya. Cucunya sedang sekarat dan ia malah terombang-ambing dalam rasa marah.
Pintu ruang operasi terbuka, dokter mengabarkan kalau keadaan Dhafa stabil dan akan akan dipindah ke ruangan perawatan khusus. Semua orang bersyukur, Arial memeluk Arista dan keduanya bertangisan dalam bahagia. Begitu pula Darmawan dan istrinya. Valentino mengusap wajah dengan tangan gemetar, perasaannya menjadi lebih tenang. Ia duduk di kursi besi dan menunduk dengan kedua tangan berada di kepala.
"Syukurlah Dhafa baik-baik saja."
Valentino mendengar suara Aji yang duduk di sebelahnya. Wajah laki-laki pucat dan terlihat matanya memerah. Rupanya, Aji sama kuatirnya dengan dirinya. Dhafa memang anak yang baik, disayangi semua orang.
"Ya, aku lega dia bisa melalui semua ini."
"Dia anak yang kuat."
"Memang, Dhafa anak yang hebat."
Aji mendesah, menyandarkan kepala pada dinding. Menatap Arial dan Arista yang masih berpelukan. Mereka menunggu Dhafa keluar dari ruang operasi.
"Arista sedari tadi sangat panik, untung kamu datang."
Valentino menatap istrinya dengan rasa bersalah. "Aku terlambat."
"Tidak masalah, yang penting Dhafa baik-baik saja. Kamu pasti sibuk sampai tidak tahu ada telepon masuk."
"Memang, dan aku merasa bersalah pada Dhafa."
Aji tersenyum, menepuk pundak Valentino. "Sekarang kita semua bisa tenang."
Valentino belum tenang sepenuhnya, perasaan bersalah masih menggayut dalam benaknya karena terlambat datang. Ia harusnya bisa datang lebih awal, tapi saat itu baru menerima berita yang mengejutkan. Saat tahu kalau Dhafa kecelakaan, tanpa pikir panjang bergegas ke rumah sakit. Padahal niat awalnya ingin mengantar Nattaya dan Kenzo pulang. Ia merogoh ponsel, satu pesan dari sang papa muncul.
"Papa sudah mengantar Kenzo dan Nattaya. Semoga Dhafa baik-baik saja."
Valentino membalas cepat. "Dhafa sudah stabil. Apakah Papa masuk ke rumah mereka?"
"Iya, kontrakan kecil di dalam gang yang sempit. Tidak heran saat Nattaya dimaki-maki anakmu bisa mendengarnya. Semoga papa bisa membujuk Nattaya untuk pindah."
"Iya, Pa. Semoga saja."
"Salam untuk mertua dan istrimu, sampaikan keprihatinan papa. Besok papa ke rumah sakit untuk menjenguk."
Valentino memasukkan ponsel ke dalam saku, di sampingnya Aji tersenyum. "Pesan dari Pak Tohpati?"
Valentino mengangguk. "Papaku tanya kabar Dhafa."
"Kakek yang baik dan perhatian, Dhafa benar-benar anak yang beruntung punya keluarga yang memperhatikannya."
Perkataan Aji berbanding terbalik dengan perasaan Valentino. Saat ini, ia merasa sebagai seorang papa yang tidak cukup bertanggung jawab. Valentino dan Aji bangkit bersamaan saat pintu ruang operasi dibuka dan Dhafa didorong keluar. Mereka mengikuti hingga menuju ruang perawatan khusus.
**
Pagi yang sibuk seperti biasa, Nattaya membantu anaknya memakai seragam sekolah. Setelah itu menyuapi sarapan berupa nasi dan telur ceplok. Kenzo makan dengan lahap, setelah menghabiskan segelas susu digandengn Nattaya keluar dari rumah.
"Mama, apa kita ke rumah Kakek hari ini?" tanya Kenzo penuh harap.
Nattaya menggandeng anaknya menyusuri gang yang ramai. "Iya, Sayang. Nanti siang kita ke rumah Kakek."
"Asyik, bisa main sepeda lagi."
"Kenzo suka main sepeda?"
"Suka, Mama. Kenzo juga suka gambar sama Papa."
Nattaya mengulum senyum, mengingat kebersamaan antara Kenzo dan Valentino. Panggilan 'papa' yang dilayangkan anaknya pada Valentino benar-benar mencerminkan hubungan mereka. Bukan sekedar panggilan biasa. Tohpati bahkan menyarankan agar dirinya membawa Kenzo tinggal bersama mereka di rumah itu.
"Kenzo itu cucuku, sudah semestinya tinggal bersamaku, Nattaya."
Percakapan mereka dilakukan di mobil. Nattaya yang duduk bersebelahan dengan Tohpati, merasa sangat kikuk. Sementara Kenzo tertidur pulas di tengah mereka.
"Paak, Anda sama sekali tidak ragu dengan saya? Maksud saya adalah, bisa jadi saya hanya mengaku-ngaku soal Kenzo."
Tohpati menggeleng. "Kalau anakku yakin, aku juga yakin. Meski begitu, Kenzo tetap harus tes DNA. Bukan karena kami tidak percaya, tapi demi membantu Valentino. Kamu tahu bukan keadaannya di masa lalu? Saat dokter yang memeriksanya mengatakan dia mandul?"
"Iya, Pak. Saya tahu soal itu."
"Anakku kehilangan rasa percaya diri dan gairah hidup mendengar kabar itu. Pernikahan dengan Arista pun dilakukan demi menyenangkanku. Valentino anak yang baik, tidak ingin membuatku kecewa. Karena itu, tes DNA wajib dilakukan demi membantunya. Aku yang bicara agar kamu tidak tersinggung."
Nattaya menggeleng, tersenyum dengan tulus. "Paak, saya sama sekali tidak merasa tersinggung. Saya mendukung penuh kalau memang harus tes DNA. Selain untuk membantu Pak Valentino juga untuk menghilangkan semua keraguan."
"Terima kasih, Nattaya. Kamu perempuan yang sangat baik hati. Maafkan anakku karena memberimu kesulitan. Tidak bersamamu saat mengandung Kenzo. Saat itu kamu pasti menderita."
"Penderitaan yang saya rasakan sebanding dengan kebahagiaan saat Kenzo lahir, Pak. Saya justru bersyukur bertemu dengan Pak Valentino saat hidup saya berantakan. Pak Valentino mengulurkan pertolongan dan memberikan saya hadiah, seorang anak yang sangat tampan. Satu-satunya keluarga yang saya miliki."
"Nattaya, sekarang keluargamu bukan hanya Kenzo tapi juga ada kami."
Nattaya tidak bisa berkata-kata mendengar pengakuan Tohpati atas dirinya dan Kenzo. Laki-laku tua yang bijaksana menyodorkan bukan hanya kasih sayang tulus sebagai orang tua tapi juga uluran ikatan keluarga. Bisa saja Tohapti hanya menerima kenzo dan tidak memperhitungkannya tapi ternyata salah. Tohapti juga menganggapnya keluarga. Berarti ketakutannya selama ini tidak terbukti.
Setelah anaknya masuk ke ruang kelas, Nattaya memutuskan kembali ke rumah. Biasanya ia ke pasar lebih dulu untuk membeli sayur atau lauk untuk makan malam. Tapi, Tohpati mengatakan agar mereka selalu makan malam bersama. Ia bersenandung kecil, menyusuri gang yang padat. Menyapa orang-orang yang berpapasan dengannya. Mengernyit saat di depan pagar kontrakan ada beberapa laki-laki berseragam. Apakah terjadi sesuatu selama ia pergi? Padahal ia mengantarkan anaknya tidak lebih dari setengah jam saja.
Langkah Nattaya terhenti, saat seorang perempuan berpakain lusuh muncul di antara laki-laki berseragam. Perempuan itu menyeringai dan menunjuk dengan telunjuknya yang kotor.
"Paaak, itu anak saya. Akhirnya saya menemukannya!"
Jantung Nattaya serasa berhenti berdetak saat Mariana menghambur padanya. Mimpi buruk yang selama bertahun-tahun dikubur kini kembali bangkit dalam hidupnya.
.
.
Cerita lengkap bisa dapatkan di Karyakarsa dan Playbook.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro