Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 30

Arista menunggu suaminya pulang dengan hati bimbang. Ia sangat ingin bicara dengan Valentino tentang pertengkaran mereka Minggu lalu. Ingin memberikan penjelasan tentang alasan kemarahannya. Harus diakui kalau dirinya terlalu berlebihan bereaksi dan tidak memberikan kesempatan pada suaminya membela diri. Tadinya ia berpikir Valentino akan mengalah dan mereka kembali berbaikan, nyatanya tidak begitu. Seminggu berlalu dan sikap Valentino makin hari makin dingin padanya. Sama sekali tidak menunjukkan niat untuk berbaikan apalagi bersikap penuh kelembutan. Hari-hari yang dijalanninya seminggu ini bagaikan neraka.

Arista mendesah, mengusap rambut dan duduk dengan kepala ditekuk di antara lutut. Ruang keluarga sangat sejuk karena pendingin udara, tapi hatinya justru sebaliknya. Ada rasa membara tentang keinginan berteriak dan memaki. Menganggap dunianya sangat kejam dengan suaminya yang berlaku semena-mena. Ia hanya ingin menjadi istri dan ibu yang baik, tapi Valentino tidak memberinya kesempatan untuk itu. Belum selesai permasalah Isabel, mereka dihadapkan dengan rintangan baru. Proyek yang terhenti karena regulasi baru dari pemerintah. Sebenarnya Arista mengerti kesulitan Valentino, tapi yang diinginkannya adalah dukungan sang suami. Ia sengaja marah agar Valentino membela dan memberi penghiburan, tapi ledakan emosinya tidak menghasilkan apa-apa selain rasa diam yang yang panjang dan sikap dingin.

Menghela napas panjang, Arista menatap langit-langit rumahnya. Begitu sepi, sunyi, dan dingin di dalam rumah ini. Sebuah tempat yang dihuni keluarga, harusnya hangat dan ceria tapi berbeda dengan rumah mereka. Dhafa belum kembali, tadi pamitan unttuk les. Anak semata wayangnya itu sangat sibuk belajar sampai-sampai sangat jarang di rumah. Kedua orang tua yang lebih mementingkan pekerjaan dari pada anak mereka.

Ia sempat mengatakan pada Arial soal kasih sayang Tohpati yang begitu besar pada anak seorang pelayan dan adiknya memberi peringatan serius.

"Meskipun anak itu bukan darah daging Valentino tapi Pak Tohpati sangat mencintainya. Kamu harus hati-hati. Kebaikan Pak Tohpati bisa dimanfaatkan. Saranku, bicara dengan pelayan itu."

"Mamanya Kenzo? Bicara apa?"

"Katakan padanya untuk pergi dari rumah itu. Kalau perlu menghilang selamanya. Tawarkan uang dalam jumlah yang tidak bisa ditolaknya."

Semula Arista tidak mengerti arah tujuan dari perkataan si adik dan Arial memberinya peringatan serius.

"Kalau Pak Tohpati sangat mencintai anak itu, tidak menutup kemungkinan kalau suamimu juga bisa merasakan hal yang sama. Sebelum terlambat, bisa jadi anak itu akan diadopsi dan mengancam posisi Dhafa, sebaiknya kamu bertindak, Kak."

Dipikir lagi, perkataan Arial sangat masuk akal. Memang sudah semestinya ia bertindak sebelum terlambat. Hubungan dekat antara Valentino dan Tohpati terhadap Kenzo adalah ancaman bagi anaknya. Hal inilah yang membuatnya meredam emosi dan berpikir untuk kembali berbaikan dengan suaminya. Masalah pabrik bisa menunggu, sampai regulasi pemerintah disahkan. Tapi soal Dhafa, jauh lebih penting. Ia tidak akan pernah membiarkan pernikahannya hancur hanya karena kehadiran seorang anak pelayan. Tidak akan pernah terjadi terutama setelah apa yang dilakukannya selama ini.

Arista menatap jam di dinding, sudah pukul tujuh malam dan suaminya tidak menbalas pesan darinya. Ia mencoba menelepon tapi tidak dijawab. Ia menduga Valentino sedang dalam arah perjalanan pulang. Menunggu hingga dua jam tidak ada kabar, ia memutuskan untuk menelepon si asisten. Namun, satu panggilan masuk membuatnya mengurungkan niat. Sebuah nomor tidak dikenal. Ia mengangkat dan berita yang didengarnya membuatnya tercengang.

"Apaaa? Dhafa kecelakaan? Di mana sekarang?"

Dengan tubuh bergetar dan wajah tegang, Arista bergegas ke kamar untuk mengambil tas. Sekali lagi mencoba menelepon Valentino dan tidak dijawab. Setengah menangis bercampur bingung ia menelepon sang mama dan terisak saat tersambung.

"Maaa, Dhafa kecelakaan."

Menyalakan kendaraan, Arista memutuskan untuk pergi bersama sopir. Hatinya terlalu kalut untuk menyetir dan untuk keselamatan diri, lebih baik kalau sopir yang mengantarnya pergi.

**

Tohpati mendengarkan dalam diam semua penjelasan anaknya, termasuk tentang pertama kali bertemu Nattaya dan apa yang mereka sudah lakukan. Ia tidak menghakimi sikap anaknya dan sangat memahami gejolak perasaan Valentino kala itu. Dipaksa menerima fakta kalau mandul dan juga pernikahan yang tidak diinginkan, Valentino melarikan diri dengan mencari kebahagiaan bersama Nattaya. Selama sepekan bersama lalu terpisah tujuh tahun lamanya.

Sebagai orang tua, Tohpati tentu saja mengajarkan nilai moral dan adab, tapi Valentino sudah besar dan menajalani hidupnya sendiri. Tidak ada orang yang bisa lepas dari dosa, termasuk dirinya. Ia tidak akan pernah menyalahkan keputusan anaknya, kecuali tentu saja satu hal. Fakta kalau kini Valentino sudah berkeluarga dan akan menjadi masalah yang membelit keluarga mereka.

"Aku berusaha tidak menyesali diri, Pa. Karena tidak memakai pengaman. Saat itu aku mengira tidak mungkin bisa membuat Nattaya hamil. Tapi ternyata aku salah. Yang aku sesalkan adalah saat Nattaya hamil, dia sendirian berjuang. Keluarganya sangat kurang ajar, tidak punya orang tua untuk bersandar, hidup keras harus dilalui gadis muda yang hamil di luar pernikahan. Aku menanggung rasa bersalah setiap kali mengingat itu, tapi di satu sisi aku juga bahagia karena kami memiliki Kenzo."

Valentino berbalik, menatap sang papa yang duduk di hadapannya. Ia tidak bisa menekan semangatnya yag membumbung, jiwanya yang seakan ingin terbang, dan kebahagian yang membuncah di dada. Ia tidak dapat menekan rasa berbunga-bunga yang menjalar dalam raga. Seolah dirinya dibuat jatuh cinta oleh kehidupan.

"Maafkan aku, Papa. Sudah menjadi anak laki-lakimu yang brengsek!"

Tohpati menggeleng. "Kamu tidak begitu, Val."

"Aku memang seperti itu, Pa. Terlepas dari kebahagiaan yang aku rasakan sekarang, aku merasa sangat brengsek karena merusah hidup dua perempuan, Nattaya dan Arista. Tapi, Paa, aku punya anak. Aku punya Kenzo. Rasanya tidak percaya tapi mukjizat Tuhan itu nyata, Pa."

Valentino mengambil tempat di samping sang papa dan duduk dengan senyum lebar tersungging. Matanya berbinar ceria, menatap dengan cara pandang baru. Ternyata dunia sangat indah dan sama sekali tidak buram seperti pikirannya selama ini. Ternyata rumahnya sangat hangat, menyenangkan, dan kembali terlihat berwarna setelah bertahun-tahun ditinggal oleh sang mama dan adiknya. Mereka menemukan sumber kehidupan baru dan itu adalah Kenzo serta Nattaya.

Tohpati menepuk paha anaknya dengan lembut. "Papa bisa merasakan kebahagiaan yang sama denganmu, Valentino. Seandainya memungkinkan, ingin rasanya papa menggendong Kenzo dan memerkannya pada dunia. Tapi, kita harus sabar bukan? Kita harus memperhitungkan langkah kita dan juga keputusan yang tepat demi kebaikan semua orang. Terutama adalah perasaan istrimu."

Valentino mengangguk. "Iya, itu yang sedang aku pikirkan."

"Jadi, apa langkah pertamamu?"

"Tes DNA tentu saja. Bukan karena aku tidak percaya pada Nattaya, tapi aku ingin mempunya bukti kuat untuk mengajukan gugatan pada dokter. Dengan begitu aku punya alasan kalau Arista marah. Hubunganku dengan Nattaya terjadi sebelum aku menikah. Saat itu kami sama-sama lajang. Dokter mengatakan aku mandul tapi kenyataannya tidak begitu."

"Dokter yang mengetesmu, apakah kamu masih memiliki kontaknya?"

"Dia rekan sejawat Arial. Harusnya tidak masalah kalau ingin bertemu dengannya."

"Bagus, lebih baik kamu tes DNA. Lebih cepat lebih baik tapi kamu harus bicara dulu dengan Nattaya."

"Tentu saja, yang utama adalah bicara dengan Nattaya." Valentino memeluk bahu sang papa dan mendesah. "Paa, apakah tidak ada kekecewaan karena aku menjalin hubungan dengan Nattaya? Kenzo bukan lahir dari perempuan yang Papa inginkan."

Tohpati menghela napas panjang, mamahami ketakutan anaknya. Ia yang dulu memang sangat menjunjung tinggi martabat dan kesetaraan. Pada akhirnya menyadari kalau yang utama adalah menemukan kebahagiaan.

"Papa sudah mengenal Nattaya selama bekerja di sini. Perempuan itu merawat Kenzo dengan baik, menjaga dengan sepenuh hati, dan juga seorang pekerja keras. Nattaya bisa saja datang ke rumah ini dan menuntut keadilan, berikut uang yang banyak untuk kompensasi. Dia punya alasan untuk melakukan itu tapi nyatanya justru sebaliknya. Dia menolak saat aku menawarkannya tinggal di rumah ini, menolak juga saat aku ingin mengadopsi Kenzo. Pantas saja dia hanya ingin kerja setengah hari, rupanya karena ingin menghindarimu. Valentino, papa akan mendukung apa pun keputusanmu."

Valentino mengedip serius pada sang papa. Tersentuh karena dukungan tanpa batas yang diberikan orang tuanya. "Bagaimana kalau aku ingin bercerai dari Arista? Tentu saja perceraian kami tidak ada hubungannya dengan Kenzo."

Tohpati mengingat pertengkaran Arista dan Valentino di kantor saat itu. Dengan mata kepalanya sendiri melihat bagaimana mereka bersilat lidah dengan suara Arista yang keras. Ia tidak buta, bisa melihat kalau hubungan mereka tidak lagi diselimuti cinta. Karena pasangan suami istri yang saling mencintai tidak akan memperlakukan pasangannya seperti musuh.

"Papa tidak akan mengubah keputusan atau pandangan apa pun, Val. Dukungan penuh untukmu."

Valentino tertawa, berterima kasih pada sang papa. Selesai bicara dari hati ke hati dan mencurahkan semua ia merasa dadanya terasa ringan. Bangkut dari sofa ia bergegas ke ruang tengah, tertegun sesaat saat melihat anaknya menunduk di atas karpet. Melangkah dengan cepat, ia menghampiri Kenzo.

"Kenzo, Sayang. Kamu menggambar apa?"

Kenzo mengangkat bukunya. "Gambar Mama."

"Ah, gambar Mama. Papa mau lihat."

Valentino menatap buku di mana ada gambar perempuan yang dimaksud Kenzo. Ia tersenyum, mengangkat tubuh anaknya dan mendekapnya erat-erat. Anak ini adalah belahan jiwanya, ada darahnya yang mengalir dalam nadi Kenzo. Meski tanpa tes DNA ia percaya dengan sungguh-sungguh keberadaan Kenzo, tanpa keraguan sedikitpun.

"Kenzo sayang sama papa tidak?" bisiknya menahan haru.

Kenzo meletakkan kepalanya di bahu Valentino. "Kenzo sayang Papa karena Papa baik."

"Terima kasih, Kenzo. Tetima kasih sudah hadir di dunia ini, Sayang."

Nattaya menatap pemandangan itu dengan terharu. Sekarang ini anaknya benar-benar dipeluk oleh papa kandungnya. Yang membuatnya makin terharu adalah Valentino yang menerima Kenzo tanpa keraguaan sedikitpun. Tohpati pun sama. Laki-laki tua itu muncul dari ruang kerja, menghampiri anak dan cucu yang sedang berpelukan dan bicara dengan wajah semringah.

Beban berat terangkat dari pundak Nattaya. Tidak perlu lagi takut berada di rumah ini, karena anaknya diterima dengan baik di sini. Tidak perlu lagi datang dengan sembunyi-sembunyi karena Kenzo adalah bagian dari rumah ini. Ia memegang janji Valentino untuk tidak memisahkannya dengan Kenzo dan itu cukup membuatnya yakin, kalau mereka akan baik-baik saja di masa depan.

Nattaya menoleh saat terdengar derap langkah dari belakang. Koki menghampiri mereka dan berujar dengan suara bergetar.

"Pak Valentino ada telepon dari Nyonya Arista. Katanya hal penting terjadi dan Pak Valentino diharapkan pergi ke rumah sakit sekarang."

Valentino melepaskan pelukannya pada Kenzo. "Apa yang terjadi?"

"Saya kurang jelas tapi katanya Dhafa kecelakaan."

"Apaa?"

Valentino bergegas pergi ke ruang kerja, mengambil ponsel dan mengernyit saat melihat banyaknya panggilan yang tidak terjawab termasuk beberapa pesan dari istrinya. Ia menjawab salah satu pesan, mengatakan akan segera datang. Ia menyingkirkan untuk sementara rasa bahagia karena berjumpa dengan darah dagingnya. Saat ini seorang anak laki-laki sedang terluka dan sebagai seorang papa sudah kewajibannya untuk datang.
.
.
.
Di Kisah lengkap di Karyakarsa dan Playbook.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro