Bab 24
Nattaya baru terlelap saat pintunya digedor dari luar. Ia baru saja bermimpi tentang Ihsan, Vita, lalu Valentino yang muncul tenggelam dalam pikiran. Teriakan Sora terdengar panik di pendengarannya. Ia bergegas bangun dengan kepala pening karena kurang tidur. Mengerjap sesaat sebelum bergegas membuka pintu. Sora masuk dan melontarkan berbagai cacian disertai dengan keluhan.
"Brengsek! Preman kurang ajar! Bisa-bisanya mereka mengerjai kita. Kamu tahu, Nat? Tempat kita dagang ditutup sama preman-preman itu pakai kayu. Ya Tuhan, bagaimaa besok kita bisa berdagang? Uang yang mereka minta sangat banyak, kita nggak sanggup memberinya."
"Dari mana kamu dapat kabar itu?" tanya Nattaya.
Sora menunjukkan ponselnya. "Mereka dengan sengaja mengirim foto-foto sekaligus pemberitahuan kalau kita tidak bisa menempati lapak untuk jualan. Sial! Rasanya ingin kubunuh mereka semua."
Sora mengenyakkan diri di kursi reyot. Mengusap wajah dengan Nattaya berdiri gamang di depannya.
"Gimana, Nat? Penghasilan kita berkurang kalau tidak dagang. Takutnya, kalau dagang di tempat lain belum tentu ramai. Aku juga tidak mau memberi para preman itu uang, sama saja dengan pemerasan. Tapi, Ya Tuhaaan. Aku bingung, Naaat!"
Nattaya duduk di samping Sora. Sama bingungnya menghadapi situasi sekarang. Penghasilan yang semula cukup untuk hidup, kini terenggut begitu saja oleh sekelompok orang yang menginginkan uang. Ia menghela napas panjang, memikirkan jalan keluar.
"Kalau memang kamu mau tetap dagang di sana, aku bisa mengambil uang tabungan."
Sora menggeleng seketika. "Tidaak! Kamu hidup berdua dengan Kenzo. Kalian juga membutuhkan uang untuk hidup."
"Tapi—"
"Tetap tidak. Aku tidak mau memberi uang pada mereka karena akan meminta terus menerus. Lebih baik kita mencari pekerjaan yang lain."
Keduanya duduk berdampingan dengan pikiran kusut. Kantuk yang sedari tadi dirasakan Nattaya, menghilang begitu saja karena kabar dari Sora. Ia teringat bantuan yang ditawarkan Valentino untuk menyewa ruko baru. Tergoda untuk menerima lalu teringat akan besarnya resiko yag dihadapi. Sepertinya mereka harus memikirkan cara lain untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Kalau tidak Sora akan kesulitan menghidupi keluarga.
"Sora, bagaimana kalau kita terima tawaran Pak Tohpati?"
Sora menoleh cepat. "Tapi, itu berisiko untukmu."
Nattaya tersenyum. "Tidak, kalau kita bisa membagi waktu. Maksudku adalah kerja saat siang saja dan pulang sore hari. Dengan begitu kecil kemungkinan bertemu dengan Valentino."
Sora menggigit bibir. "Kamu yakin?"
"Yakin, dari pada kita harus membayar uang untuk preman? Lebih baik uang kita gunakan untuk hal lain. Adik-adikmu perlu biaya sekolah."
Senyum Sora perlahan mengembang. Meriah jemari Nattaya dan menggenggamnya. "Terima kasih untuk pengertiannya, Nat. Aku memang membutuhkan uang untuk adik-adikku. Kalau memang kamu tidak keberatan bekerja penuh di rumah Pak Tohpati, saat menjemput Kenzo nanti sebaiknya kita bicara langsung dengan beliau."
Nattaya mengangguk, berpamitan untuk mandi dan berganti pakaian. Sora akan mengantarnya menjemput Kenzo. Rumah terasa sepi tanpa kehadiran anaknya. Saat mereka beriringan keluar, terdengar teriakan dari seberang jalan.
"Oi, ada yang bau tapi nggak ada wujud!"
"Biasa, si jalang baunya melebihi bangkai tikus!"
Sora menggertakkan gigi, ingin melabrak Vita dan sang mama yang meneriaki Nattaya tapi tangannya ditahan.
"Jangan cari masalah, please."
"Mereka yang cari masalah."
"Memang, abaikan saja. Lebih penting mencari uang."
"Bisa-bisanya kamu tetap tinggal di lingkungan ini? Kalau aku jadi kamu, sudah pindah jauh-jauh."
"Aku punya keinginan itu, tapi nanti. Sekarang uang untuk yang lain dulu. Lagipula, kalau memang nanti benar kerja di rumah Pak Tohpati, sepertinya aku akan mencari kontrakan yang lebih dekat. Ngomong-ngomong, itu komplek elit. Jangan-jangan mahal."
Nattaya bergidik ngeri, membayangkan harus membayar uang dalam jumlah yang sangat banyak untuk tempat tinggal. Padahal ia sedang giat menabung untuk membayar sekolah anaknya. Dengan penghasilan tidak menentu setiap bulannya, akan lebih menenangkan kalau punya tabungan.
"Ngomong-ngomong apa yang terjadi tadi pagi saat Pak Valentino mengantarmu?"
"Tidak ada apa-apa, hanya saja Ihsan memergoki kami. Saat pulang kembali ke gang, tanpa sengaja bertemu Vita. Begitulah ceritanya."
"Hah, rumit sekali hidupmu, Nat!"
"Memang, dan semoga keuanganku lancar jadi bisa lepas dari gang ini segera."
Mereka menuju mobil Sora yang terparkir di pinggir jalan, membicarakan tentang uang, kontrakan, Vita dan juga Ihsan.
**
Arista menemani mama dan adiknya ke spa. Sudah lama mereka tidak melakukan perawatan tubuh dan mengambil kesempatan saat Arial libur, ketiga pergi bersamaan. Saat tubuhnya dilulur dan dipijat, ia memencet satu nomor dan diterima dalam dering ketiga.
"Bagaimana?"
Terdengar suara seorang perempuan. "Pesta tadi malam diadakan di rumah Isabel. Dari yang saya selidiki, perempuan itu bercerai dari suaminya dan pindah ke rumah baru. Jumlah tamu sekitar 50 orang, menurut para penjaga komplek. Pesta berakhir nyaris dini hari."
Panggilan diakhiri dan sejumlah foto masuk ke ponselnya. Arista menatap foto itu satu per satu. Ia mengenali beberapa orang yang ada di foto. Zack serta Isabel. Saat menikah dan beberapa kali bertemu Isabel. Dari dulu ia selalu punya dugaan kalau perempuan itu menyukai suaminya dan ternyata benar. Yang ia tahu Valentino tidak pernah tertarik dengan Isabel. Lalu dengan siapa Valentino berciuman?
"Kenapa wajahmu murung sekali?"
Arial muncul dalam balutan handuk. Menatap sang kakak yang sibuk dengan ponsel. Arista sama seperti dirinya, hanya berbalut handuk di tubuh dan rambut. Seorang perempuan sedang memanikur kuku kakinya.
"Kita sedang lulur dan bersantai tapi wajahmu sama sekali tidak terlihat santai."
Arista menghela napas panjang, meletakkan ponsel dan menatap adiknya lekat-lekat. Sang mama sedang ada di ruangan sebelah, sibuk menata rambut.
"Suamiku tadi malam ke pesta."
"Bukannya syukuran rumah baru?"
"Memang, dan aku baru tahu kalau ternyata rumah itu milik Isabel."
Arial mengernyit. "Isabel ini, apakah teman lama kakak ipar? Sepertinya kamu pernah cerita."
"Memang, dan aku juga baru tahu kalau dia menjanda. Apa kamu tahu yang terjadi tadi pagi saat saumiku pulang?"
Arista menjeda ucapan, menghela napas panjang. Merasa malu untuk bercerita tapi rasanya sungguh menyesakkan.
"Bibir suamiku terluka dan berdarah. Sepertinya bekas gigitan."
Arial ternganga, duduk di samping sang kakak. "Mana mungkin? Kita semua tahu bagaimana Kak Valentino. Tidak mungkin dia berselingkuh!"
"Itulah yang aku pikirkan, tapi sekarang aku benar-benar kuatir. Terutama karena Isabel itu sudah menjanda. Menurutmu apakah terjadi sesuatu di antara mereka? Kalau bukan dengan Isabel, lalu dengan siapa?"
"Jangan berasumsi berlebihan, Kak. Tenangkan dirimu dan harus yakin kalau suamimu tidak mungkin macam-macam."
Arista ingin sekali keyakinannya kembali, tapi teringat dengan bibir suaminya yang bengkak dan sekarang keraguannya muncul. Saat ia pergi, suaminya sedang tidur dan sengaja mengunci pintu kamar. Padahal ia berniat untuk mengamati luka-luka itu lebih dekat. Sayangnya, tidak mungkin dilakukan.
Perawatan Arista selesai lebih dulu. Setelah mandi dan berganti pakaian, ia bersiap ke salon untuk perawatan wajah. Sang mama dan Arial masih sibuk dengan urusan mereka. Ia sendirian ke ruang sebelah. Diberikan tempat duduk eklusif. Dua perempuan bersiap membantunya. Ia baru merebahkan tubuh di kursi panjang saat pintu membuka.
"Ups, rupanya aku salah ruangan."
Arista menatap perempuan yang berdiri di pintu. Mereka mengenali satu sama lain dan perempuan itu tersenyum kecil.
"Ah, ternyata ada Arista di sini. Apa kabar, Darling? Aku tebak suamimu pasti sedang tidur sekarang. Pesta di rumahmu memang melelahkan tapi juga menyenangkan."
Isabel tersenyum licik pada istri Valentino. Tidak menyangka akan bertemu dengan Arista di tempat ini. Sungguh hal yang tidak terduga.
Arista bangkit perlahan, menatap Isabel tidak berkedip. Benaknya berpikir cepat, apakah harus memukul Isabel lebih dulu atau mencambak rambutnya.
"Tidak punya malu, merayu suami orang lain," desisnya.
Senyum Isabel lenyap, kali ini menyeringai dengan sikap menantang. "Suami orang lain itu adalah laki-laki tampan yang memesona. Arista, aku mendengar banyak gosip tentang pernikahan kalian. Selama tujuh tahun menikah sama sekali tidak punya keturunan. Benarkah Valentino mandul?"
Arista menjawab lantang. "Bukan urusanmu."
"Hah, sayangnya aku yang penasaran ini sangat ingin tahu. Kira-kira, kalau aku rayu Valentino dan dia mau, apakah aku bisa hamil atau tidak?"
"Menjijikan!"
"Ups, tidak usah mengamuk. Aku hanya ingin mengutarakan pikiranku. Aristaa, berhati-hatilah, Sayang."
Dengan tawa lirih, Isabel berbalik dan meninggalkan Arista. Perkataan yang diucapkan Isabel sangat merendahkan dirinya. Ia tidak percaya kalau suaminya bergaul dengan perempuan seperti itu. Bangkit dari kursi, Arista memukul meja dan membuat barang-barang salon berantakan.
"Sialaan! Perempuaan jalang! Lihat saja pembalasanku nanti!"
**
Tiba di rumah Tohpati, setelah memeluk dan mencium Kenzo, Nattaya mulai bekerja. Kali ini membersihkan lantai dasar. Tohpati sedang pergi ke suatu tempat dan Kenzo mengikuti sang mama sambil berceloteh gembira.
"Mama, kata Kakek aku akan dibelikan sepeda."
"Kenzo mau sepeda?"
"Mauu! Kenzo bisa jalan-jalan di taman."
"Baiklah, nanti mama belikan."
"Nggak usah, Mama. Nanti Kakek yang akan beli sepeda untuk Kenzo."
Nattaya menghentikan pekerjaannya, menghampiri Kenzo dan berjongkok di depannya. "Sayang, kita tidak boleh merepotkan orang lain."
"Iya, Mama."
"Kalau Kenzo mau sepeda, biar nanti mama yang beli."
"Mama janji?"
"Tentu saja. Mama janji."
Setelah mendapat kepastian, Kenzo berlari ke arah halaman. Tukang kebun memanggilnya dan mengatakan ada layangan untuknya. Nattaya menatap anaknya yang bermain layangan dengn senyum terkulum. Kelelahan yang dirasakannya sirna saat melihat keceriaan anaknya. Ia sanggup menghadapi kejamnya dunia asalkan bersama Kenzo.
Tohpati pulang dengan membawa banyak barang, dari makanan hingga kebutuhan rumah tangga dan meminta koki untuk menyimpan barang-barang itu di gudang. Setelah itu ia meminta dibuatkan teh dan memanggil Nattaya untuk menemaninya di teras samping.
"Wajahmu terlihat sangat lelah. Kurang tidur tadi malam?"
Nattaya memegang kedua pipinya dan mengangguk. "Iya, Pak. Kebetulan pekerjaan selesai saat pagi."
"Hah, jadi kamu belum tidur?"
"Sudah, Pak. Beberapa jam istirahat sudah cukup. Semua karena kebaikan hati Pak Tohpati. Kalau tidak ada yang menjaga Kenzo, entah bagaimana kami."
Tohpati menyesap tehnya dan memandang perempuan muda yang menunduk dengan wajah menyiratkan kelelahan dan mata yang bersinar muram. Perempuan yang menjalani kerasnya hidup.
"Kalian sudah pikirkan tawaran untuk bekerja di sini?"
Nattaya mengangkat kepala dan mengangguk. "Iya, Pak. Saya dan Sora memutuskan anak bekerja di rumah ini kalau Anda berkenan."
Tohpati terbelalak lalu terkekeh. "Tentu saja aku mau. Kamu dan Sora adalah pekerja yang rajin dan teliti. Dengan adanya kalian, rumahku akan lebih bersih. Jadi, mulai kapan kalian bisa bekerja?"
"Besok pagi bisa, Pak. Mungkin menunggu Kenzo pulang sekolah. Kami akan bekerja full seperti orang-orang lain."
"Bagus-bagus, makin cepat makin baik. Bila perlu Kenzo bisa pindah ke Paud yang lebih dekat dari sini. Bukankah rumah kamu sekarang mengontrak?"
"Iya, Pak."
"Kalau kamu mau, kalian bisa pindah ke rumah ini. Ada banyak kamar untuk kalian tempati."
Tawaran Tohpati sungguh tidak disangka-sangka, membuat Nattaya tercengang sampai tidak bisa bicara. Bagaimana bisa ia tinggal di rumah ini? Pertemuan dengan Valentino akan semakin tidak terelakkan. Ia belum siap untuk membuka rahasia tentang Kenzo.
Nattaya menelan ludah dengan gugup. "Pak, saya ti-tidak bisa tinggal di sini."
Tohpati berdehem. "Apa alasannya? Kamu tetap tinggal sebagai pelayan dan Kenzo akan menemaniku setiap hari. Apakah itu berlebihan?"
"Tapi, Pak—"
"Bagaimana kalau aku mengadopsi Kenzo? Kalau memang tidak bisa menjadi cucu, menjadi anakku juga tidak apa-apa. Kelak nama belakang Kenzo adalah Rajasa dan dia akan punya hak sama dengan anakku Valentino. Bagaimana, Aya?"
Permintaan Tohpati membuat Nattaya kebingung. Bagaimana ia harus memberitahu Tohpati kalau Kenzo tidak bisa diadopsi. Darah yang mengalrir dalam nadi Kenzo adalah darah Valentino. Tidak mungkin anak diadposi menjadi adik. Nattaya tidak bisa membiarkan itu terjadi.
~
Cerita ini sedang PO. Bisa dipesan di olshop langganan dari tanggal 25 Okt, sampai 2 Nov.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro