Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 22

Tohpati mengusap punggung Kenzo dengan lembut dengan bibir membaca cerita dari buku yang bergambar di depannya. Posisi Kenzo sungguh lucu, telungkup setengah mengantuk sementara Tohpati memakai kacamata baca dan bersila di sampingnya. Mereka menempati kamar pribadi si kakek yang besar dan luas dengan aroma khas serupa pohon pinus segar.

Tohpati membaca cerita kelinci dan kura-kura dengan suara lembut menenangkan. Sesekali terdiam saat tercetus pertanyaan dari bibir Kenzo. Anak itu akan mengungkapkan pendapatnya kalau dirasa tidak setuju dengan cerita. Membuat Tohpati terkadang sedikit kewalahan menjawabnya.

"Cerita sudah selesai dan kamu kenapa belum tidur?"

Tohpati menutup buku dan meletakkan di atas nakas. Jam dinding menunjukkan pukul sepuluh malam. Kenzo memalingkan wajah, menatap Tohpati dengan matanya yang bulat.

"Kakek, kenapa Mama harus kerja? Kenapa Ayah nggak bantu Mama kerja?"

Tohpati sedikit kebingungan mendengar pertanyaan Kenzo. Ia berusaha mengingata tentang perempuan muda yang mempunya satu anak laki-laki dan kalau tidak salah ingat, sudah menjanda. Ia memikirkan hati-hati jawaban untuk bocah laki-laki yang menatapnya penuh harap.

"Karena ayah Kenzo sudah tidak bersama kalian lagi. Orang-orang dewasa kalau tidak bersama, tidak bisa saling bantu. Kenzo mengerti?"

Kenzo mengangguk. "Karena Ayah sudah punya bayi dari Bibi Vita."

"Benar, itu sebabnya. Kamu kenal Bibi Vita?"

"Kenal, orangnya galak. Kenzo suka dimarahi."

"Kenapa Bibi Vita suka marahi Kenzo?"

"Nggak tahu, katanya Kenzo anak si jalang. Apa itu si jalang, Kakek?"

Tohpati terdiam mendengar makian kasar dari perempuan bernama Vita untuk Nattaya. Apakah Vita tidak mengerti soapn santun dalam menjaga perkataan saat di depan anak-anak? Bagaimana bisa seorang perempuan dan juga seorang ibu tapi berkata kasar pada anak orang lain. Suami Vita berarti ayah Kenzo, darah daging suaminya yang seharusnya menjadi anak juga. Sebuah pernikahan berakhir bukan berarti hubungan baik tidak boleh lagi terjalin.

"Kenzo, tidak boleh menanyakan kata-kata kasar itu pada Mama, ya? Nanti Mama sedih."

"Iya, Kakek."

"Nggak usah dengar apa kata Bibi Vita. Kalau dia marah dan galak-galak, Kenzo jangan ambil hati. Maksud kakek, nggak boleh sedih."

"Iya, Kakek."

Tohpati berbaring di samping Kenzo dan kembali menepuk punggungnya perlahan. Berharap agar anak kecil yang tidak mengerti apa-apa ini, segera tidur dan beristirahat. Dengan begitu tidak lagi memikirkan tentang makian untuk si mama atau pun juga kemarahan perempuan bernama Vita. Saat menyadri kalau Kenzo sudah terlelap, Tohpati menyelimuti tubuh kecil itu. Berbaring terlentang dengan otak sibuk berputar. Sebenarnya ia tidak pernah ingin memisahkan ibu dan anak, tapi besok akan dicoba bicara dengan Nattaya. Apakah boleh mengadopsi Kenzo? Dengan begitu anak kecil yang lucu ini tidak perlu lagi bergaul dengan orang-orang yang sembarangan berucap kasar.

Tohpati terlelap dengan otak dan hati dipenuhi keinginan tentang mengadopsi Kenzo. Bila perlu ia akan membayar Nattaya dengan uang yang sangat banyak untuk memuluskan keinginannya.

**

Nattaya melepaskan diri dari cengkeraman Valentino. Tersenyum pada para tamu yang menatap mereka dengan pandangan ingin tahu. Sepasang laki-laki dan perempuan berdiri intim di kegelapan, tentu saja mereka menaruh curiga.

"Mari, cemilannya, Tuan, Nona?"

Nattaya bersikap seolah tidak terjadi apa-apa, menyapa ramah pada para tamu. Sapaannya membuat Valentino tersadar. Mengembuskan napas panjang, menyugar rambut dan berlalu tanpa kata. Sibuk memaki diri sendiri yang larut dalam suasana pesta dan membuyarkan nalarnya. Valentino duduk di samping Zack, mengambil sebatang rokok dan mengisapnya. Berpikir untuk meninggalkan pesta lebih cepat, tapi sebagian hatiya menolak karena tidak ingin meninggalkan Nattaya di tempat seperti ini.

"Kenapa kamu kelihatan akrab sekali dengan perempuan itu? Apa yang kalian bicarakan?" tanya Zack ingin tahu.

Valentino menatap temannya lekat-lekat, meraih sekaleng bir dingin di atas meja dan meneguknya sampai tandas. "Perempuan itu adalah teman kencanku selama sepekan. Dulu sekali, kami pernah bersama."

Zack ternganga, menatap Valentino dengan terbelalak. "Ja-jadi dia itu?"

Valentino mengangguk. "Iya, itu dia."

"Gila, pantas saja kamu nggak bisa lupa. Cantik, muda, dan sexy. Meskipun memakai seragam pelayan tetap saja terlihat cantik. Kamu merayunya?"

"Memang, dan dia menolakku."

Zack lagi-lagi mengalami keterkejutan yang dasyat. Menatap Valentino dengan terheran-heran. Tidak menyangka kalau sahabatnya yang biasa kaku dan pendiam, ternyata menyimpan keinginan gila. Valentino terkenal sebagai suami setia, tidak mudah tergoda pada perempuan manapun bahkan Isabel yang cantik. Namun, pertahanannya runtuh karena perempuan dari masa lalu. Segala harga diri dan kesombongan Valentino terlibas oleh rasa yang muncul dari perempuan muda berseragam pelayan.

"Val, sadarkan dirimu. Ingat, ada Arista."

"Tanpa kamu harus ingatakan aku juga tahu ada Arista."

"Bagus kalau begitu, jangan sampai pernikahanmu goyah karena perempuan itu. Siapa namanya?"

"Nattaya."

"Nama yang bagus, dan sepertinya dia juga perempuan baik-baik. Terlepas dari apa yang sudah kalian lakukan dulu. Jangan gegabah Val."

Peringatan sahabatnya membuat Valentino mengembuskan napas panjang. Ia mengerti kenapa Zack kuatir dan sejujurnya ia pun juga tidak kalah takut dengan keinginannya sendiri. Obsesinya pada Nattaya seolah membutakan nurani. Ia sudah punya istri, kehidupan pernikahannya baik-baik saja selama ini. Semua menjadi berbeda semenjak Nattaya datang kembali dalam hidupnya. Ia ingin menyalahkan nasib dan takdir yang seolah bermain-main dengan hidupnya tapi dalam hal ini yang harus disalahkan adalah dirinya sendiri.

"Val, apa kamu mengerti maksudku?" Zack menekankan kata-katanya sekali lagi. Melihat Valentino diam dan tidak merespon memaksanya untuk memberi peringatan. "Jangan menghancurkan hidup kalian demi affair."

Valentino menghela napas panjang, terbatuk karena asap dan kali ini meminta air mineral dari pelayan yang lewat. Ia perlu menjernihkan pikiran dan berada di dalam pesta yang hiruk pikuk membuatnya kalut. Menangkap pandangan Zack, ia mengangguk berkali-kali.

"Yaa, aku akan ingat kata-katamu, tenang saja."

Zack terlihat lega dan kembali terlibat percakapan dengan teman yang lain. Isabel mendatangi mereka, sengaja duduk di samping Valentino. Menyodorkan minuman dingin.

"Ayo, bersulang!"

Ajakan Isabel ditolak secara halus oleh Valentino. "Aku akan bersulang tapi tidak bisa menandaskan minuman. Terlalu banyak minum alkohol akhir-akhir ini membuat perutku mual dan kepala pusing."

"Apa kamu ingin istirahat?" tanya Isabel. "Di atas ada kamar. Ayo, aku antar ke sana."

"Tidak usah repot-repot. Tidak separah itu."

"Syukurlah kalau begitu."

Valentino ingin ditinggal sendiri tapi Isabel memaksanya untuk bercakap-cakap. Zack yang mengerti posisinya membalikkan tubuh dan terlibat percakapan dengannya dan Isabel. Dengan kondisi otak dan hati yang tidak menentu, ia ingin sendiri dan menyingkir saat tuan rumah mengajak bicara adalah hal yang tidak sopan. Valentino memaksa dirinya untuk tetap bertahan di samping perempuan yang menatapnya penuh pemujaan.

Nattaya berkeliling hingga kakinya pegal. Sesekali ia berkelit dari tamu laki-laki yang mencoba merayunya. Tak segan tangan mereka bergerak jahil dan Nattaya sebisa mungkin menolak dengan halus. Selama bekerja pikirannya tidak pernah lepas dari Kenzo. Rasanya sungguh aneh berjauhan dengan anaknya di waktu tidur. Mereka tidak pernah seperti ini sebelumnya. Satu jam lalu ia memberanikan diri mengirim pesan pada Tohpati dan kabar tentang anaknya yang sudah terlelap membuatnya tenang. Tidak salah kalau Kenzo berada di bawah pengawasan Tohpati. Laki-laki tua itu mengerti dengan benar bagaimana menjaga seorang cucu.

Nattaya tanpa sadar mendesah, tidak ingin memikirkan hal yang belum terjadi. Entah bagaimana reaksi Tohpati kalau sampai tahu Kenzo adalah darah dagingnya. Pandangan Nattaya tertuju di sofa dan melihat bagaimana Isabel bicara akrab dengan Valentino. Sebagai sesama perempuan ia bisa melihat ketertarikan tuan rumah pada Valentino. Tidak mengherankan mengingat Valentino termasuk laki-laki yang sangat tampan. Banyak perempuan dipastikan jatuh cinta dan terkadang tidak peduli dengan status. Nattaya menyingkirkan pikirannya tentang Valentino dan Isabel, masuk ke dapur untuk mengisi ulang baki. Terdengar percakapan antar pelayan, tentang minuman, makanan, dan juga tingkah para tamu.

"Ada yang mengusap bokongku. Lihat aja kalau diulangi, aku pukul nanti."

"Aku diberi tips, lucu, ya?"

Nattaya mendengarkan dalam diam percakapan mereka. Mencari Sora tapi tidak menemukan di mana sahabatnya. Ia kembali ke tempat pesta dan bertemu Isabel di ruang tengah.

"Tunggu, siapa namamu?" tanya perempuan itu.

"Nattaya, Nyonya."

Isabel mengangguk, menatap Nattaya dari atas ke bawah. "Dengarkan aku, Nat. Sebenarnya aku tidak punya banyak teman dari yang bukan kalanganku. Makanya, kalau kita bisa mengobrol seperti ini harusnya menjadi hal membanggakan untukmu."

Nattaya terdiam, bingung dengan maksud Isabel. Menatap perempuan yang kini tersenyum cerah, ia menunggu.

"Begini, tadi kamu bilang kalau Valentino itu langganan sarapan di warungmu?"

Nattaya mengangguk tanpa kata.

"Kamu juga tukang bersih-bersih paruh waktu. Berarti kita berjodoh." Isabel tertawa riang. "Maksudku adalah, aku bisa memberimu pekerjaan tetap di rumahku, dengan gaji yang memadai tentu saja. Dengan satu syarat kamu mengajariku masak segala jenis soto yang kamu jual itu. Bagaimana? Penawaranku menarik bukan?"

Nattaya berdiri kikuk setelah mengerti dengan niat Isabel yang begitu jelas tapi gamblang.

"Tapi, Nyonya. Saya tidak bisa menjadi pembersih tetap di rumah ini."

"Kenapa?"

"Sudah banyak pekerjaan dan harus membagi waktu."

"Bagaimana dengan memberiku kursus masak soto? Aku ingin sesekali mengundang Valentino datang kemari. Kamu harusnya bisa membantuku."

Nattaya meneguk ludah gugup. "Pak Valentino hanya pelanggan biasa dan dia—"

"Sudah menikah. Aku tahu tentu saja. Tapi, aku banyak mendengar gosip kalau pernikahan mereka tidak berjalan sebagaimana mestinya." Isabel mendekat, berbisik penuh rahasia pada Nattaya. "Aku juga banyak mendengar desas-desus tentang kenapa mereka tidak punya keturunan. Well, aku akan membuktikan sendiri, siapa yang mandul antara Valentino dan Arista! Karena itu, kamu harus membantuku Nattaya. Dilarang menolak!"

Nattaya tercengang dengan cara Isabel yang sungguh memaksa. Ia bernapas lega saat perempuan itu pergi untuk menyapa tamu lain. Berdiri termangu di tengah ruangan, Nattaya memikirkan perkataan Isabel. Pernikahan Valentino dan istrinya tidak harmonis. Bisa jadi karena tanpa keturunan. Apakah laki-laki itu tidak berniat memeriksakan diri ke dokter lain? Bukankah harusnya ada anak mengingat si istri sebelumnya adalah janda anak satu? Sibuk dengan pikirannya, Nattaya kembali bekerja.

Pesta usai nyaris dini hari. Untungnya Nattaya sudah mengirim pesan penuh permintaan maaf pada Tohpati. Merasa sangat tidak enak hati karena merepotkan laki-laki itu. Para tamu mulai meninggalkan rumah di pukul dua dini hari. Beberapa di antaranya bertahan di sofa atau tergeletak di setiap tempat yang bisa untuk merebahkan diri. Isabel pun mabuk, naik ke atas dan tidak turun lagi.

Dipandu oleh kepala pelayan, mereka membersihkan sisa-sisa pesta. Setelah cukup rapi, menerima pembayaran untuk hasil kerja. Uang yang didapat sangat sepadan dengan kerja keras. Tidak lupa, Sora membungkus makanan sisa untuk keluarganya. Nattaya yang terlalu lelah hanya ingin pulang.

"Nattaya, aku menunggumu di ujung jalan."

Sebuah pesan muncul di ponsel saat Nattaya keluar dari pagar. Ia membalas segera.

"Untuk apa, Pak?"

"Mengantarmu pulang. Cepat kemari!"

Dengan tidak enak hati, Nattaya mengatakan pada Sora kalau Valentino menunggunya. Sahabatnya itu menggeleng kecil tapi tidak mengatakan apa pun. Melangkah perlahan menyusuri jalanan lebar yang mulai sepi, Nattaya memeluk tubuhnya yang sedikit menggigil karena angin pagi. Ia melihat kendaraan Valentino terparkir di pinggir jalan. Mendekat dan membuka pintu depan.

"Paak, saya bisa pulang sendiri. Untuk apa menunggu."

Valentino tidak mengatakan apa pun, setelah Nattaya menutup pintu merenggut pundaknya. Tidak memberi kesempatan pada Nattaya untuk mengelak, Valentino melumat bibir perempuan itu dengan penuh gairah.
.
.
.
.
Tersedia di google playbook.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro