Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 21

Dawina mengupas apel dan mengirisnya menjadi beberapa potong. Meletakkan di atas piring porselen putih dengan beberapa garpu kecil. Berkumpul bersama anak dan cucunya di ruang tengah adalah kebahagiaan di akhir Minggu. Dawina melirik Arista yang sibuk dengan ponsel. Dhafa sedang mengajari Jelita bermain teka-teki di atas karpet. Ia menepuk lembut paha Arista, memberi tanda untuk menemaninya ke teras.

"Kalian jangan main terus, dimakan apelnya." Dawina berujar lembut pada cucunya.

Dhafa mengacungkan jempol sedangkan Jelita mengangguk. Keduanya kembali sibuk dengan permainan. Arista mengikuti sang mama duduk di teras, menjauh dari pendengaran anak-anak.

"Ada apa, Ma?"

"Kemana suamimu? Kenapa hanya kamu dan Dhafa yang datang?"

"Valentino pergi bersama Zack ke pesta."

"Dia ke pesta tanpa mengajakmu? Suami macam apa itu?"

Celaan sang mama membuat Arista mengembuskan napas panjang. Memang bukan rahasia lagi kalau sang mama tidak pernah menyukai Valentino. Menganggap kalau suaminya tidak cukup baik untuknya dan Dhafa.

"Maa, Valentino bekerja tanpa henti selama seminggu penuh. Berangkat dari pagi pulang malam. Jadi, wajar saja kalau pesta sesekali. Lagi pula, itu hanya pesta syukuran rumah baru. Bukan pesta glamour atau gila-gilaan."

"Tetap saja pesta. Harusnya kamu ikut."

"Aku tidak mau, Mama. Memang sudah rencana ingin menginap di sini bersama Dhafa. Kalau kedua orang tuanya ke pesta, kasihan anak itu."

Dawina menahan celaan demi anak dan cucunya. Dari awal ia tidak pernah setuju pernikahan antara Valentino dan anak sulungnya. Meskipun berstatus janda tapi Arista masaih muda dan cantik. Dengan karir dan kedudukan yang bagus di perusahaan, banyak laki-laki yang rela mengantri untuknya. Sayangnya, anak perempuannya justru menginginkan Valentino. Ada banyak calon yang disodorkan sang papa, pilihannya tetap tertuju pada laki-laki yang bahkan tidak bisa memberikan keturunan.

"Mama tidak tahu apa yang kamu lihat dari dia. Selain kaya dan tampan, tidak ada lagi yang bisa dibanggakan."

"Bukankah itu yang utama, Ma? Kaya dan tampan. Tidak banyak laki-laki baik yang punya dua hal itu. Mama harus akui keunggulan Valentino."

"Tapi, dia mandul!"

"Sudahlah, Maa. Kita semua tahu tentang itu. Aku tidak keberatan, kenapa Mama terus menerus mengungkitnya? Kalau ingin punya cucu lagi, Mama bisa minta dari Arial dan Aji!"

Dawina terdiam mendengar pembelaan Arista pada Valentino. Menurutnya si anak sulung memang cinta buta dengan suaminya. Sungguh hal yang tidak dimengerti karena banyak pilihan lain di luar sana. Tidak sedikit kolega dan kenalannya yang mengaku sangat menyukai Arista, ingin menjadi besan dan keluarga. Sayangnya, anaknya selalu menolak mereka.

"Jangan sampai kamu menyesal nanti, Arista. Ingat, bagaimana suami pertamamu bukan? Mama merasa Valentino tidak berbeda jauh dengan mantanmu."

Arista menggeleng. "Mereka berbeda, Ma. Valentino tidak pernah bersikap kasar padaku."

"Memang, tapi juga tidak menunjukkan sikap hangat dan penuh cinta. Selama hampir tujuh tahun kalian menikah, tidak sekalipun mama lihat kalian bermesraan layaknya suami istri. Apa pembelaanmu Arista?"

Tidak ada pembelaan apa pun, karena memang seperti kenyataannya. Arista bahkan tidak bisa berkata-kata lagi tentang sikap dingin suaminya. Jujur saja ia menginginkan kehangatan dan kemesraan tapi Valentino tidak bisa memberikan itu. Dari awal menikah sampai sekarang, mereka tidak terlihat layaknya suami istri. Lebih seperti pasangan hidup bersama.

"Maa, aku tahu itu. Tapi—"

"Tapi apa? Kamu terlalu cinta sampai buta?"

"Ini bukan hanya soal cinta tapi banyak hal."

"Perusahaan? Aku sudah menawarkan perceraian pada suamimu dengan catatan kerja sama perusahaan tetap berjalan."

Arista terbelalak. "Maaa, apa-apaan, sih?"

Dawina mendengkus dengan wajah keruh. "Suamimu menerima, Arista. Asalkan aku bisa membujukmu. Lihat bukan? Dia bahkan tidak berusaha untuk mempertahankanmu. Lalu, kenapa kamu masih membelanya? Kenapaaa?"

"Ma, Va,entino butuh waktu."

"Berapa lama lagi? Seumur hidup itu lama Arista. Jangan menyia-nyiakan umur dan waktu."

"Tapi, Ma. Kami sedang mencoba."

Dawina berdecak tidak puas melihat sikap keras kepala anaknya.

"Arista, saran mama hanya satu. Cintai dirimu sendiri sebelum terlambat. Laki-laki itu tidak pantas untukmu."

Dawina meninggalkan anaknya termenung di teras. Sudah cukup yang ingin dikatakannya, sekarang tergantung pada Arista untuk memutuskan. Ia yakin Arista masih punya hati dan pikiran layaknya perempuan normal.

Arista terdiam dengan rasa sakit hati menguasainya. Ia tidak menyangka kalau Valentino akan berkata seperti itu pada mamanya. Mereka menikah karena perjodohan tapi hatinya berharap dan ingin sekali dihargai kalau memang tidak dicintai. Sayangnya, makin hari Valentino menunjukkan sikap yang sebaliknya. Menatap langit gelap tanpa taburan bintang, Arista menghela napas panjang. Pembicaraan dengan sang mama membaut suasana hatinya memburuk. Ia menoleh saat terdengar suara-suara. Arial datang bersama Aji dan sekarang sedang menyapa anak-anak. Rasa iri mengusaianya, karena tidak mendapatkan kesempatan yang sama dengan adiknya untuk punya pasangan yang saling mencintai. Sedari dulu bisa dikatakan kalau dirinya tidak pernah beruntung dalam cinta.

Suasana hatinya makin memburuk saat satu pesan diterimanya. Seperti biasa dari nomor tidak dikenal yang cukup memancing kemarahannya.

"Mantan istriku yang cantik dan binal? Apa kamu tidak merindukan bersetubuh dengan liar? Aku tahu kamu menyukainya. Ditelanjangi, dijilat, dan dibuat tidak berdaya. Dasar jalang!"

Arista mengepalkan tangan dengan geram, memblokir nomor itu dan memutuskan untuk mandi. Mengguyur kepala dengan air hangat akan membantunya berpikir jernih. Ia bangkit dari kursi, menuju tangga dan saat melewati adiknya hanya melirik tanpa menyapa.

**

Valentino masih tidak percaya melihat Nattaya ada di rumah Isabel. Ia duduk di sofa bersama Zack dan yang lain, dengan ujung matanya mengikuti gerakan Nattaya. Perempuan itu berdiri tidak jauh dari Isabel. Mengikuti kemana pun tuan rumah pergi dengan membawa baki berisi cemilan. Kali berikutnya ia melihat Sora yang membawa baki berisi minuman. Ia tidak menyangka kalau mereka bekerja sebagai pelayan juga, apakah hasil berdagang tidak mencukupi?

Isabel yang melihatnya melempar senyum pada Nattaya, bertanya apakah mengenal perempuan itu secara pribadi. Nattaya yang menjawab pertanyaan itu.

"Pak Valentino adalah pelanggan warung soto saya, Nyonya."

Jawaban Nattaya bukan kebohongan karena memang begitu kenyataannya. Ia menjadi pelanggan tetap soto dan sering datang hanya sekedar untuk menikmati cita rasa masakan traditional itu. Isabel pun tidak mencurigai mereka dan tersenyum puas dengan jawaban Nattaya.

"Ah, ternyata begitu. Valentino menyukai soto? Wah-wah, tahu begitu aku sediakan soto juga di pesta ini." Isabel berkata antusias.

Valentino tidak memperpanjang percakapan itu. Mengambil cemilan dari baki Nattaya dan berjalan mengukuti Zack ke ruang tengah. Percakapan riuh bergulir di sekitaranya dengan musik menghentak dan membuat kaki tanpa sadar bergoyang. Harusnya ia menikmati pesta malam ini tapi perhatiannya justru tidak bisa lepas dari Nattaya.

"Aku tidak tahu kalau ada penjual soto secantik itu." Zack berseloroh, dengan mata tertuju pada Nattaya. "Bagaimana kamu bisa mengenalnya?"

Valentino tidak tahu apakah harus jujur dengan sahabatnya atau tidak. Ia mempertimbangkan kata-kata yang ingin diucapkannya. Zack adalah sahabatnya yang paling setia dan juga dekat.

"Kamu ingat tentang ceritaku dulu?" ujarnya pelan.

Zack mengernyit. "Yang mana?"

"Soal gadis yang menghabiskan waktu sepekan denganku."

"Oh, ya. Itu kisah masa lalumu. Apa hubungannya dengan perempuan cantik itu?"

Percakapan mereka terjeda saat Isabel datang. "Kenapa kalian di sini. Ayo, ke taman samping. Ada banyak minuman di sana."

Valentino enggan beranjak tapi saat melihat Nattaya mengikuti Isabel ke teras samping, mau tidak mau bangkit. Zack dengan ramah menyapa setiap orang yang dikenalnya. Tamu malam ini bukan hanya teman dekat saja tapi juga beberapa relasi Isabel. DJ musik berpindah dari ruang tengah ke teras samping yang berdekatan dengan kolam. Suasana makin riuh setelah Isabel memberi sambutan dan minuman yang diedarkan semakin banyak.

"Kita kerja sampai jam berapa?" tanya Nattaya pada Sora yang kebetulan melewatinya.

Sora menggeleng. "Nggak tahu. Harusnya jam 12. Kenapa?"

"Takut kemalaman jemput Kenzo."

"Bukannya besok pagi baru pergi jemput?"

"Entahlah, ini pertama kalinya Kenzo menginap di luar."

"Nattaya, anakmu sedang bersama kakeknya, bukan orang lain. Harusnya kamu tidak usah takut. Lagi pula, aku melihat Pak Valentino di sini. Ternyata dunia benar-benar sempit."

Nattaya mengangguk. "Memang, aku sendiri kaget lihatnya."

Seorang tamu memanggil Sora untuk meminta tisu. Nattaya berdiri dengan baik di tangan kanan, siap untuk berkeliling saat Valentino mendekat. Laki-laki itu tidak mengatakan apa-apa. Hanya mengambil cemilan dari baki dan berdiri di hadapannya. Di antara gelegar musik, suara tawa dan hiruk pikuk pesta, mereka bertatapan. Nattaya hendak mengatakan sesuatu saat Valentino mengambil gelas berisi minuman dari pelayan yang lewat dan menenggaknya.

"Aku menawarimu pertolongan, dan kamu lebih memilih menjadi pelayan pesta?"

Nattaya mengedip. "Pak, ini kerja dadakan dan harus dilakukan."

"Kenapa?"

"Sesuai kesepakatan."

"Dengan siapa?"

"Teman-teman tentu saja."

Valentino berdecak tidak puas. Jawaban-jawaban Nattaya terdengar tidak masuk akal untuknya. Bagaimana mungkin bekerja sebagai pelayan bisa dilakukan secara mendadak dan terlebih hanya untuk menolong teman? Sungguh di luar nalar.

"Padahal, kalau tadi pagi kamu menerima tawaranku, tidak harus bekerja sampai selarut ini dan di tempat pesta pula."

"Tidak ada yang salah dengan pesta ini. Pak Valentino pun ada di sini."

"Aku tamu."

"Saya tahu, Pak. Di sini saya hanya pelayan. Anda mau makan yang lain? Biar saya ambilkan."

Suasana mendadak gelap saat DJ mematikan lampu dan menyalakan penerangan lain yang lebih redup dengan banyak warna. Valentino meraih lengan Nattaya dan membawanya ke sudut yang lebih gelap dan tidak terlihat. Berdiri berdekatan dengan panas tubuh yang menguar di antara pori-pori, Nattaya berusaha untuk berkelit tapi Valentino menahan lengannya.

"Pak, apa-apaan ini?" bisiknya panik.

Musik kembali menggelegar, Valentino mengabaikan dan menatap Nattaya di antara keremangan.

"Kenapa kamu keras kepala, Nat. Harusnya sebelum menolak, kamu bertanya lebih dulu apa yang akan aku minta sebagai imbalan dari bantuan. Bukan sesuatu yang akan menyulitkanmu."

Nattaya menggeleng perlahan. Menyadari betapa tajam tatapan Valentino bahkan dalam keremangan. Seperti srigala buas yang sedang mengintai mangsa. Laki-laki di depannya, entah kapan berubah menjadi sangat keras kepala dan suka memaksakan kehendak. Ia ingat bertahun lalu saat Valentino menawarkan sejumlah uang untuk mereka bersama, sama sekali tidak ada paksaan dan bujuk rayu. Semuanya berjalan sesuai kesepakatan dan kemauan bersama. Kenapa sekarang berubah? Cenderung pemaksa dan menuntut.

"Pak, terima kasih tawarannya tapi—"

"Tapi apa? Kamu harus menolak?"

"Iya, karena saya tidak ingin kembali terjebak dalam siatuasi sulit. Pak, sekarang berbeda dengan kondisi bertahun lalu. Kita berdua tidak lagi sama."

Valentino terdiam, mengulurkan tangan untuk mengusap bagian samping tubuh Nattaya. Dari lengan, ke punggung tangan, lalu pinggang yang ramping. Bisa dirasakan saat Nattay berjengit kaget. Sentuhannya membuat Nattaya kebingungan dan ia ingin memanfaatkan itu. Meremas pinggang Nattaya dengan lembut, ia berujar dengan suara serak.

"Aku tahu kalau kondisi kita sudah berbeda. Kamu dengan suami dan anak, aku dengan istriku. Lalu, bagaimana kalau aku ingin menjadi laki-laki brengsek yang melanggar norma. Apakah kamu tidak ingin bersamaku, Nat?"

Nattaya terdiam, kaget mendengar perkataan Valentino. Tidak percaya kalau laki-laki seperti Valentino akan mengucapkan permintaan yang memandang rendah dirinya dan juga sangat kurang ajar. Ia menghela napas saat mencium aroma alkohol yang cukup kuat dari bibir Valentino. Laki-laki mabuk yang terbawa perasaan dan juga situasi. Ia harus pergi dari sini sebelum semuanya menjadi runyam.

"Pak, kita bicara lagi kalau Anda sedang sadar. Alkohol membuat otak Anda sedikit tidak waras."

Valentino menggeleng. "Tidak, Nat. Aku waras, sadar dengan apa yang aku ucapkan!"

"Pak, menawarkan istri orang lain untuk menjalin hubungan gelap bukan permintaan yang waras!"

Nattaya berujar dengan sedikit emosi dan terdiam saat Valentino menjawab. "Memang, aku gila semenjak bertemu lagi denganmu. Aku mengakui itu, Nat. Kenapa jadi begini? Apa yang terjadi sebenarnya?"

Percakapan yang aneh dan membingungkan. Nattaya kehabisan kata-kata untuk membalas ucapan Valentino. Laki-laki mabuk yang menginginkan dirinya masuk dalam situasi yang merendahkan mereka berdua.
.
.
.
.
.
.Tersedia di google play book.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro