Bab 19
Sepulang bekerja, Valentino mendapat panggilan dari Zack. Sahabatnya itu setengah memaksa mengajaknya makan malam. Valentino tidak bisa menolak ajakan itu. Pukul tujuh, ia keluar kantor dan menuju restoran tempat Zack menunggu. Sebelumnya ia mengabari Arista agar tidak menunggunya makan malam. Ternyata istrinya pun sibuk dan tidak akan pulang sebelum pukul sepuluh malam. Valentino menghela napas panjang, menelepon nomor anak tirinya.
"Dhafa, kamu sudah di rumah?"
Dhafa menjawab pelan. "Sudah, Papa."
"Baguslah. Sebaiknya kamu makan dulu, nggak usah nunggu papa dan mama."
"Kenapa? Kalian lembur lagi?"
"Iya, memangnya mamamu nggak bilang?"
"Nggak."
"Mungkin dia lupa. Ingat, jangan lupa makan."
Valentino harus mengingatkan anaknya untuk makan, kalau tidak Dhafa akan menunggu mereka dan sengaja melewatkan makan malam. Ia sudah sering mengingatkan Arista untuk memberi kabar kalau ingin lembur, dengan begitu Dhafa tidak perlu menunggu mereka tapi sepertinya Arista sering lupa. Ia merasa kasihan pada anak tirinya, mempunya orang tua yang terlampau sibuk. Berharap saja Dhafa yang kesepian tidak salah jalan dan pada akhirnya jatuh dalam pergaulan yang tidak semestinya.
Valentino melajukan kendaraan menempuh jalanan yang padat. Mendapati kabar terbaru dari Zack kalau pertemuan diubah ke lounge hotel. Alasan sahabatnya itu adalah ada beberapa orang yang ternyata bergabung dengan mereka. Valentino tidak heran mendengarnya. Zack terkenal ramah dalam bergaul dan banyak orang yang menyukainya. Saat tiba di lounge, sudah ada beberapa orang di sana, termasuk Zack dan juga Isabel. Perempuan itu melambai dengan riang padanya dan Valentino mengangguk ramah.
"Datang juga akahirnya yang kita tunggu-tunggu!" teriak Zack. Valentino mengenyak diri di sampingnya dan Zack berbisik pelan. "Isabel dari tadi tanya soal kamu terus."
"Memangnya kamu menyuruhku selingkuh?" Valentino balas bertanya.
"Tentu saja tidak, tapi aku capek menjawab pertanyaannya. Aku heran kenapa dia terobsesi padamu dari dulu."
Valentino enggan menanggapi perkataan Zack. Hidupnya sudah cukup sulit tampa terlibat dengan urusan perempuan lain. Lagi pula, ia sendiri tidak berminat dengan Isabel. Dari dulu menganggap perempuan itu tidak lebih dari teman biasa. Zack memesan minuman dan Valentino yang belum makan dari siang, memilih untuk mengisi perut lebih dulu. Steak salmon lengkap dengan kentang dan salad menjadi pilihannya. Ia makan dengan lahap, mendengarkan cerita teman-temannya dan sesekali tertawa bersama mereka. Rasanya menyenangkan bisa mengobrol bebas tentang masa lalu, dan melepaskan beban pekerjaan.
"Aku ingat Valentino dulu sering sekali kabur kalau ada cewek yang cariin."
"Ujung-ujungnya malah Zack yang ngajak kenalan."
"Hei, itu namanya memanfaatkan kesempatan!" Zack menyela ucapan teman-temannya dan disambut tawa menggelegar. "Lagipula kita semua tahu kalau Valentino sibuk belajar."
Valentino mengangguk. "Belajar nomor satu."
"Pantas saja sekarang mengelola perusahaan makin maju."
Obrolan bergulir dari percintaan, olah raga, ke perusahaan. Valentino menghabiskan makanannya dan saat mendongak tanpa sengaja pandangannya bersirobok dengan Isabel. Perempuan cantik itu tersenyum padanya, dan ia pun membalas senyuman. Bangkit dari sofa, ia berpamitan untuk merokok di teras. Meninggalkan teman-temannya di meja, Valentino mengambil gelas berisi anggur dan membawanya dengan sebungkus rokok. Menyalakan sebatang rokok, Valentino meletakkan gelas di atas pagar dan mulai menelepon. Ia menunggu dengan sabar hingga suara Nattaya terdengar di telinga.
"Ya Pak."
"Nattaya, kamu sudah makan?" Pertanyaan yang sungguh basi, tapi Valentino ucapkan dengan santai.
"Sudah, Pak. Baru saja."
"Makan apa malam ini?"
"Nggak ada yang istimewa, nasi sama sayur. Ada apa, Pak?"
"Nggak ada apa-apa, memangnya nggak boleh telepon kamu?"
Terdengar helaan napas panjang lalu hening. Sepertinya Nattaya sedang kebingungan. "Pak, nggak lagi mabuk'kan?"
Pertanyaan Nattaya membuat Valentino tergelak. "Kok kamu tahu aku sedang minum anggur. Sayangnya, ini baru gelas pertama dan tidak, aku tidak mabuk, Nat. Baik-baik saja dan bugar."
"Tumben sekali telepon tanya-tanya."
"Nattaya, aku bisa meneleponmu setiap hari kalau memang kamu mau."
Keheningan menyelimuti mereka, Valentino menatap yang diterangi lampu-lampu jalanan. Dari tempatnya berdiri di lantai lima sebuah hotel, pemandangan cukup menjanjikan. Tidak ada pohon, hanya tanaman yang sedang berjuang melawan panasnya udara di dalam pot. Dipangkas rapi untuk memberikan kesan manis dan teduh di teras. Tanaman yang berfungsi untuk hiasan dari pada penghijauan. Suara Nattaya memecah kesunyian.
"Pak, saya tidak mengharapkan apa pun. Terima kasih untuk tawarannya."
"Kenapa?"
"Apanya yang kenapa, Pak?"
"Kenapa kamu tidak ingin mengharapkan apa pun dariku?"
"Seharusnya tanpa perlu saya jelaskan, Anda sudah tahu apa alasannya. Terima kasih untuk teleponnya, selamat malam."
Panggilan diputus, Valentino menghela napas panjang, mengisap rokok dan mengembuskannya ke udara. Nattaya dengan tegas menolak perhatiannya, padahal yang dilakukannya bukan sesuatu yang aneh. Apakah bertanya soal makan malam berarti mengharapkan sesuatu? Valentino sendiri tidak mengerti apa yang diharapkannya dari Nattaya. Selama hampir tujuh tahun menikah, ia selalu setia. Meskipun tidak mencintai Arista, tapi tidak ada keinginan selingkuh dengan perempuan lain. Hidupnya sangat monoton, hanya berkisar tentang pekerjaan. Tidak ada goal atau tujuan hidup lain selain tentang memajukan perusahaan. Nattaya mendadak hadir dalam hidupnya dan menjungkir balikkan ketenangannya.
Sekarang ini, ia sering kali teringat kebersamaannya bersama Nattaya di pantai. Tidak jarang gairahnya terpacu karena kenangan yang muncul dari alam bawah sadar. Merindukan hangatnya pelukan dan cumbuan Nattaya. Mengesampingkan rasa bersalah karena keinginan itu seolah membuatnya menjadi pengkhianat. Valentino tidak tahu lagi, apakah tetap bisa berada di samping Arista sedangkan hati dan di pikirannya dipenuh perempuan lain.
"Sedang melamun? Boleh minta rokoknya?"
Valentino menatap Isabel yang berdiri di depannya. Ia mengulurkan sebungkus rokok dan perempuan itu mengambil satu batang lalu menyulutnya. Keduanya merokok dengan asap menyelubungi udara. Isabel tersenyum padanya.
"Kamu nggak heran lihat aku merokok?"
Valentino menggeleng. "Tidak."
"Kenapa?"
"Di luar sana banyak perempuan merokok, apanya yang aneh? Lagi pula, merokok itu hak pribadi."
"Kamu benar dan aku suka dengan pemikiranmu. Mantan suamiku tidak suka melihatku merokok."
Valentino berdiri diam, ingin berlalu tapi diurungkan karena Isabel kembali berkata. Tidak sopan meninggalkan orang yang sedang bicara.
"Mantan mertuaku juga mencercaku karena aku merokok. Menganggap kalau perempuan merokok tidak akan punya keturunan. Padahal, bukan seperti itu kenyataannya. Suamiku yang impoten itu menutupi semuanya. Sialan!"
"Kenapa kamu tidak jelaskan sendiri masalah ini pada mereka," gumam Valentino.
Isabel mengusap rambutnya. "Sudah, dan mereka tidak mempercayaiku. Entah kenapa dalam rumah tangga, selalu perempuan yang salah."
Valentino tidak mengatakan apa pun, menyesap anggur perlahan dan mendengarkan curahan hati Isabel. Ia berharap ada seseorang menyelamatkannya dari situasi ini. Saat ini ia sedang tidak ingin menjadi laki-laki baik dan perhatian karena takut akan ada masalah. Ia mengetik pesan pada Zack untuk meminta bantuan. Bernapa lega saat suara sahabatnya terdengar.
"Valentino, ngapain lama-lama di sana?"
Valentino melambai lalu berpamitan pada Isabel. Perempuan itu menahanya. "Tunggu, Val. Minggu depan ada perayaan ulang tahunku sekaligus merayakan rumah baru. Aku harap kamu, maksudku bersama yang lain untuk datang. Bisakah?"
Valentino mengedip. "Akan aku coba. Lihat nanti semoga nggak sibuk."
Isabel tersenyum. "Terima kasih, dan aku berharap kamu benar-benar datang."
Duduk kembali di tempatnya dan menandaskan anggur, Valentino merasa lega bisa lepas dari Isabel. ia menepuk paha Zack sebagai tanda terima kasih.
"Dari dulu kamu nggak berubah, masih takut sama perempuan," gumam Zack heran.
Ia bukan takut, tapi tidak ingin menciptakan masalah. Isabel bisa mencari teman atau psikiater untuk mendengarkan keluh kesah dan itu bukan dirinya. Tak lama perempuan itu ikut menyusul masuk. Mereka kembali berbaur seperti semula dan larut dalam percakapan bersama yang lain.
Valentino pulang dalam kondisi setengah mabuk., mendapati istrinya sudah menunggu di kamar. Arista mendongak dari laptop yang terbuka di meja.
"Mabuk, Sayang?"
Valentino menggeleng. "Tidak, hanya minum dua gelas saja. Itu pun dipaksa oleh Zack."
"Banyak yang ikut makan malam?"
"Hanya beberapa teman lama. Kenapa kamu belum tidur?" Valentino melepas pakaiannya dan meletakkan ke dalam keranjang pakaian kotor.
Arista bangkit dari kursi dan menghampiri suaminya. Berjinjit untuk mengecup pipi Valentino dan mengernyit karena bau alkohol.
"Menunggu kamu. Mau berendam? Aku bisa gosok punggungmu."
Valentino melepas pelukan istrinya perlahan. "Tidak, kamu sedang lelah."
"Tapi, aku melakukannya dengan senang hati."
"Lain kali, aku ingin mandi cepat lalu tidur."
Arista mendesah kecewa, selalu seperti ini kejadiannya. Suaminya akan menolak segala bentuk kemesraan yang ditawarkannya. Valentino seolah tidak pernah tertarik untukl bercumbu dengannya. Bertahun-tahun menikah dan ia selalu menerima penolakan dingin dari suaminya. Ia memberanikan diri mengusap kejantanan suaminya. Berharap alkohol membuat suaminya lupa diri. Tangan Valentino menghentikan aksinya.
"Arista, tolonglah."
Arista mendesah, menatap Valentino dengan kebingungan. "Ada apa sebenarnya? Kenapa kamu selalu menolakku?"
Valentino mengusap matanya yang lelah. "Tidak apa-apa, hanya sedang lelah."
"Lelah? Selalu saja kamu mencari alasan untuk itu. Bertahun-tahun kita menikah dan alasanmu selalu sama. Ada apa sebenarnya, Valentino! Apa aku tidak menarik lagi?"
Pertanyaan aneh dan kekanak-kanakan, Valentino menatap istrinya sambil menghela napas panjang. Tentu saja bagi Arista itu adalah pertanyaan penting. Ia sendiri tidak layak menyandang status sebagai suami yang baik, karena memang tidak pernah memperlakukan istrinya dengan layak.
"Maafkan aku Arista. Kamu sangat baik, aku tidak meragukan itu. Hanya saja setelah aku tahu kalau mandul, keinginan untuk bercinta lenyap."
Valentino mengatakan yang sebenarnya, dan keinginan untuk bercinta kembali muncul saat berhadapan dengan Nattaya dan bukan istrinya. Ia merasa dirinya sangat brengsek karena hal itu tapi juga merasa sangat aneh.
"Kenapa begitu? Padahal aku istrimu? Apakah kamu menjalin hubungan dengan perempuan lain?"
"Astaga, tentu tidak Arista. Bukankah kita sering membahas masalah ini. Dari awal kita menikah dan aku tahu ketidakmampuanku, sudah menawarkan solusi untukmu. Kita bisa bercerai biar kamu menemukan laki-laki lain."
"Aku menolak ide itu, ya, memang. Aku hanya berharap kalau kamu berubah."
Vaslentino menggeleng. "Tidak, maafkan aku."
Arista menghela napas panjang, tidak peduli berapa kalipun suaminya meminta maaf, tidak akan mengubah keadaan. Ia menginginkan cinta dan kehangatan, bukan permintaan maaf. Mengesampingkan rasa kecewa, ia bertanya tentang sesuatu yang mengganjal di pikirannya.
"Sayang, apa kamu mengenal Aya?"
Valentino mengernyit. "Siapa Aya?"
"Playan magang di rumah papamu."
"Tidak, aku hanya kenal koki sama tukang kebun. Kenapa memangnya?"
Arista menggigit bibir bawah. "Aya punya anak yang sangat mirip denganmu."
Valentino tersenyum. "Ah, Kenzo? Memang kami mirip, mengejutkan bukan? Tapi, aku bisa pastikan kalau aku tidak mengenal siapa mamanya Kenzo."
Arista berdiri menatap suaminya yang menghilang ke dalam kamar mandi. Ia percaya kalau suaminya tidak mengenal perempuan cantik bernama Aya. Tapi, senyum yang muncul dari bibir suaminya saat menyebut nama Kenzo membuatnya kuatir. Itu membuktikan kalau Valentino juga sudah bertemu dengan bocah itu. Entah kenapa kenyataan itu membuatnya takut. Valentino tidak ada hubungan dengan Kenzo dan Aya, tapi hati kecilnya merasa ada sesuatu antara mereka. Entah sesuatu itu apa, ia tidak mengerti.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro