Bab 18
Kamar yang remang-remang berpendingin ruangan yang disetel dengan sangat rendah, menjadi hangat karena percintaan yang panas. Sepasang laki-laki dan perempuan mendesah, saling bercumbu dengan penuh nafsu dan bergairah.
Arial berusaha untuk melayani suaminya dengan sepenuh hati, bercinta dengan kehangatan pasangan dan penuh keintiman seperti dulu. Kesibukan membuatnya nyaris melupakan kewajiban seorang istri untuk melayani suaminya dan sekarang, saat hari libur seperti ini sudah seharusnya kalau mereka menghabiskan waktu bersama. Ia mendesah, mengusap punggung suaminya yang basah oleh keringat. Pahanya terbuka dengan otot mengencang sementara kejantanan suaminya keluar masuk dengan cepat.
"Aku selalu menginginkan hal seperti ini, dan sulit sekali mendapatkannya, Sayang."
Suara Aji terdengar serak, berbisik di telinganya. Arial tersenyum dengan perasaan bersalah. "Maafkan aku."
Aji mengangkat wajah. "Kenapa meminta maaf?"
"Tidak cukup baik menjadi istrimu."
Aji tersenyum, mengecup bibir istrinya. "Siapa bilang? Kamu istri terbaik. Sex dilakukan sesekali seperti ini juga menyenangkan."
Aji mengangkat tubuh dan percintaan terhenti. Ia membalik tubuh istrinya, menyentuh bagian paha yang lembab. Tersenyum saat sentuhannya membuat sang istri mengerang.
"Kamu menyukainya?"
Arial mendesah. "Tentu saja."
"Kalau begitu, kamu nikmati saja."
Aji menyentuh istrinya dengan intim. Jemarinya bergerak untuk memberi kenikmatan pada Arial. Ia tahu kalau istrinya sangat menyukai sentuhan intim di area sensitifnya. Saat istrinya mencapai kenikmatan sekarang gilirannya. Masih dengan posisi Arial menelungkup ia menyatukan kembali tubuh mereka dan bercinta dengan cepat, kuat, dan panas.
Selesai bercinta, keduanya berpelukan untuk meredakan napas yang memburu dan mendinginkan hasrat. Aji mengecup lembut bibir istrinya, jemarinya mengusap tubuh Arial. Mengagumi bagaimana istrinya tetap terlihat langsing dan bugar meskipun sudah melahirkan satu anak. Bisa jadi kesibukan Arial dengan segudang pekerjaan yang menumpuk, membuat istrinya selalu bergerak dan itu adalah salah satu kunci menjaga kebugaran tubuh.
"Apakah kamu akan libur seharian?"
Arial mengangguk. "Harusnya, iya. Ingin mengajak anak kita berbelanja. Kasihan, sang mama selalu sibuk dan anak kita melakukan semua hal dengan papa atau neneknya."
"Anak kita tahu kalau orang tuanya sibuk."
Aji melepaskan pelukan, mengambil pakaian tidur sang istri. Ia sendiri mengambil celana. Sebentar lagi waktu anaknya pulang sekolah dan tidak bagus kalau terpergok sedang bermesraan. Selesai memakai pakaian, ia bergerak ke arah jendela dan membuka gorden. Kamar seketika terang benderang.
Arial mendesah, menatap sosok suaminya yang tampan dengan tubuh tegap. Aji dari dulu selalu menjadi pujaan para perempuan. Banyak yang ingin bersama Aji tapi cinta mereka mengalahkan semua godaan itu. Arial sendiri dari pandangan pertama sudah jatuh cinta dengan suaminya dan tidak berubah sampai sekarang.
Ia selalu bersyukur Aji tidak pernah banyak menuntut perhatian darinya. Suaminya mengerti kalau kesibukannya sebagai dokter sangat menyita waktu. Aji bahkan rela tinggal serumah dengan orang tuanya, agar anak mereka mendatka perhatian dan kasih sayang yang cukup.
"Aku ingin punya anak satu lagi."
Aji berbalik dari jendela dan kembali mendekati istrinya. Meraih jemari Arial dan mengecupnya. Arial tersenyum.
"Aku juga berharap hal yang sama. Papa dan Mama menginginkan banyak cucu di rumah ini. Sayang sekali hanya kita yang bisa diharapkan."
"Kalau begitu kita harus bekerja keras, Sayang."
Arial tertawa lirih. "Seandainya saja melahirkan anak bisa semudah itu. Aku dengan senang hati ingin memberikan cucu yang banyak untuk orang tuaku, masalahnya adalah aku sibuk dan kamu juga sibuk. Aku sering berandai-andai, kalau saja Kak Valentino tidak mandul tentu pernikahan mereka akan memberikan banyak cucu."
Aji mendesah. "Itu hal yang tidak bisa kita atur, Sayang. Aku yakin kalau mereka sebenarnya juga menginginkan anak."
"Memang, kakakku meskipun tidak mengatakannya dengan terang-terangan tapi aku tahu yang dirasakannya. Tapi, bagaimana lagi, cinta mengalahkan segalanya. Arista sungguh-sungguh jatuh cinta dengan Valentino, tidak peduli kalau mereka bersama tidak akan ada keturunan."
Arial bangkit dari ranjang, bergumam ingin ke kamar mandi. Mendadak teringat sesuatu ia kembali menjatuhkan tubuh di ranjang.
"Sayang, beberapa hari lalu aku seperti melihat kakak iparku di rumah sakit tapi menggandeng perempuan lain."
Aji mengernyit. "Valentino?"
"Iya, Kak Vale. Aku kejar dan berusaha untuk menajamkan pandangan tapi sayangnya, tidak ketemu."
"Mungkin kamu salah lihat, Sayang. Setahuku Valentino bukan tipe laki-laki seperti itu."
"Memang, makanya aku ragu. Tapi, wajah dan sosoknya mirip sekali bahkan pakaiannya juga. Masa, iya, aku salah lihat?"
Arial memiringkan kepala, terlihat kebingungan dan tersentak saat Aji mendorong tubuhnya ke kamar mandi.
"Sebaiknya kamu mandi, biar pikiranmu tenang. Anggap saja kamu salah lihat karena kita berdua tahu bagaimana Valentino. Tidak mungkin dia berselingkuh dari Arista."
"Ya, ya, anggap saja aku salah lihat."
Meski berkata begitu, Arial tetap tidak bisa menghapus bayangan itu. Karena entah kenapa ia sangat penasaran dengan peristiwa waktu itu. Suatu hari nanti, ia akan bertanya langsung pada Valentino.
**
Arista menatap penuh selidik pada perempuan di depannya. Ia tidak pernah melihat pelayan baru ini di rumah. Mengamati dari atas ke bawah, perempuan muda ini terhitung sangat cantik meskipun berpakaian sederhana dengan tubuh kotor karena tanah.
"Kenapa diam? Apakah kamu benar pelayan di sini?"
Nattaya menggeleng. "Bu-bukan, Nyonya. Saya hanya pekerja paruh waktu untuk membersihkan rumah."
"Oh, pantas saja tidak pernah lihat kamu di sini. Papa mertuaku ada?"
"Ada, Nyonya. Di dalam."
Tanpa menoleh lagi, Arista meninggalkan Nattaya. Langkah anggun, dengan wajah cantik yang terpoles sempurna, Nattaya merasa Arista benar-benar menawan. Kenyataan seketika menamparnya. Perempuan berkelas adalah pasangan cocok untuk Valentino. Rasanya sungguh menggelikan saat dirinya pernah berharap kalau laki-laki itu menyukainya. Tidak akan ada cinta antara si miskin dan si kaya, itu hanya kejadian di sinetron. Sedangkan hidupnya sekarang bukan sedang berakting.
Aroma parfum Arista tertinggal di udara bahkan saat sosok perempuan itu tidak lagi terlihat. Rasa rendah diri menghantam Nattaya seketika, Tersenyum dengan hidung mengendus aroma harum, ia tersadar seketika. Anaknya masih di dalam. Entah apa yang terjadi kalau Arista melihat Kenzo yang sangat mirip dengan Valentino. Ia berusaha menenangkan diri, tidak masalah kalau Arista melihat anaknya.Perempuan itu tidak akan mencurigai apa pun karena tahu kalau Valentino mandul.
**
Tohpati yang berada di ruang kerja dikejutkan dengan kedatangan menantunya. Ia bergegas keluar dan menyambut Arista di ruang keluarga.
"Waah, Arista. Papa senang kamu datang berkunjung."
Arista tertawa riang. "Maafkan aku, Papa. Jarang datang karena banyak kesibukan. Aku mengantrakan ginseng untuk Papa. Bagus untuk kesehatan."
Tohpati menerima pemberian Arista dengan wajah berseri-seri. "Wah, gingseng ini benar-benar bagaus. Sampaikan salamku untuk papamu. Kamu ada waktu menemani orang tua ini minum teh?"
"Tentu saja, Papa. Tapi, bisa nggak aku minum kopi saja?"
"Tentu, kebetulan aku juga ingin kopi."
Arista duduk di sofa dengan kening mengernyit. Menatap tumpukan mainan anak-anak di atas karpet. Setahunya di rumah ini tidak ada anak kecil, lalu kenapa ada mainan? Apakah ini milik orang lain yang tertinggal? Masalahnya adalah jumlah yang banyak dan tidak mungkin pemiliknya tidak tahu kalau ada yang tertinggal. Ia sibuk dengan pikirannya sampai tidak menyadari tatapan Tohpati.
"Arista, ada apa?"
Arista menggeleng. "Nggak ada apa-apa, Papa. Ngomong-ngomong, apa Papa sehat? Sendirian di rumah takut nggak ada yang mengurus."
Tohpati tergelak. "Tentu saja aku sehat. Papa mertuamu ini tidak lupa olah raga."
"Papa tidak ada niat tinggal bersama kami? Dhafa dan Valentino akan senang kalau Papa mau."
Tohpati menggeleng. "Tidak usah. Bukan karena Papa tidak suka tinggal bersama kalian. Tentu saja papa senang kalau bisa menemani Dhafa. Tapi, rumah ini harus ditempati dan dirawat, ada banyak kenangan dari mamanya Valentino, tidak boleh hilang."
Arista menghela napas panjang. "Papa benar. Rumah ini sangat bernilai tinggi karena kenangannya."
"Memang, makanya papa tidak akan pernah meninggalkan rumah ini. Suamimu sendiri nggak kurang-kurang bujuk papa biar tinggal bersama kalian." Tohpati menghela napas panjang. "Tapi, meskipun tinggal terpisah asalkan kamu dan Valentino sering datang, papa sudah senang. Lain kali bawa Dhafa, papa mau memberikan sesuatu padanya."
"Iya, Pa. Lain kali datang saat Dhafa libur."
"Kakek ...."
Arista terperanjat saat dari pintu terdengar suara anak kecil. Ia mengerjap, menatap anak laki-laki yang terlihat baru bangun tidur. Dengan rambut berantakan dan mata sayu memandang Tohpati. Ternyata benar ada anak laki-laki di rumah ini. Yang membuat Arista lebih kaget lagi adalah sambutan Tohpati yang begitu penuh kasih sayang pada anak itu.
"Kenzo sudah bangun?"
Kenzo mengangguk kecil dan menghapiri Tohpati sambil mengucek mata.
"Sini, duduk sama kakek."
Arista memperhatikan bagaimana anak kecil itu duduk di samping Tohpati. Tanpa canggung meletakan kepalanya di bahu mertuanya. Dengan penuh kasih sayang Tohpati mengusap wajah dan rambut anak itu lalu menarik kepalanya untuk berbaring di atas pangkuan. Yang membuat Arista lebih terkejut lagi adalah wajah anak itu. Tampan dan menggemaskan, serta mirip sekali dengan Valentino.
"Anak siapa dia, Pa?" tanya Arista.
Tohpati tersenyum. "Anak pekerja paruh waktu. Mamanya bekerja jadi tukang bersih-bersih di sini."
Arista mengerjap. "Papa baik sekali."
"Hahaha, untuk hiburan Arista. Lagi pula, Kenzo anak yang baik dan penurut. Kamu pasti lihat keanehan bukan? Wajah anak ini, mirip sekali dengan suamimu saat masih kecil dulu."
Ternyata bukan hanya dirinya yang salah melihat, bahkan mertuanya juga menyadari kemiripan itu. Apakah itu penyebab Tohpati sangat menyayangi si anak? Bukan hanya karena sikap dan sifatnya yang baik tapi juga kemiripan dengan Valentino?
"Papa ingin mengadopsi anak itu?"
Tohpati menggeleng. "Tidak. Aku tidak ingin memisahkan anak ini dengan mamanya. Yang bisa aku lakukan adalah membujuk si mama untuk bekerja di rumah ini secara regular, dengan begitu Kenzo akan ada di sini setiap hari. Tidak seperti sekarang, setiap minggu datang hanya dua atau tiga kali."
"Bukannya kalau diadopsi anak ini akan terjamin? Si mama harusnya bahagia."
"Bagaimana, ya, bilangnya. Papa memang memang sangat sayang dengan Kenzo, tapi anak ini pasti lebih sayang pada mamanya. Jadi, biarkan keadaan seperti sekarang saja. "
Arista terdiam, mengamati bagaimana Kenzo bermanja-manja dengan Tohpati. Sedikit rasa iri menguasainya. Dulu saat Dhafa dibawa ke rumah ini untuk pertama kalinya, umurnya saat itu hampir sama dengan Kenzo. Tapi sikap Tohpati tidak seperti sekarang. Meskipun ramah tapi kehangatan yang tulus tidak terlihat. Kenapa dengan anak orang lain, yang notabene seorang pelayan mertuanya bahkan lebih sayang dan perhatian?
"Mama anak ini apakah perempuan yang memakai celana abu-abu dan kaos hitam Papa?"
Tohpati mengangguk. "Benar, kamu pasti lihat Aya di depan. Itu mamanya Kenzo. Masih muda memang."
Bukan hanya muda tapi juga sangat cantik. Tidak heran kalau anaknya sangat tampan. Yang mengherankan kenapa Kenzo bisa begitu mirip dengan Valentino? Jangan-jangan ada sesuatu yang tidak diketahuinya. Arista menepis prasangka buruk itu dari pikirannya dan membuang jauh-jauh segala kecurigaan. Ia tahu persis bagaimana kondisi suaminya dan lebih baik untuk tidak mencurigainya.
Ia berpamitan pulang pada mertuanya. Tohpati berpesan sebelum ia pergi untuk sering-sering datang. Arista mengangguk dan berbasa-basi sebelum melangkah ke pintu. Terdengar suara Tohpati yang merayu Kenzo untuk makan. Begitu lembut dan perhatian, bahkan tidak segan menggendong anak itu masuk. Wujud nyata cinta kasih si kakek pada seorang cucu laki-laki. Arista menuruni tangga depan menuju garasi. Terhenti saat melihat Nattaya membungkuk di depan pot. Perempuan itu berkonsetrasi menanam bunga hingga tidak menyadari kedatangannya.
"Aya!" Arista memanggil keras.
Nattaya tidak menoleh, sampai tukang taman datang tergopoh-gopoh memberitahuinya. "Aya, Nyonya Arista memanggilmu."
Nattaya terperangah, menoleh ke aras Arista yang menunggu. Ia buru-buru bangkit dan mencopot sarung tangan. "Nyonya, ada yang bisa dibantu?"
Arista menatap Nattaya dari atas ke bawah. Tubuh yang ramping, wajah cantik, dan lesung pipi yang terlihat samar-samar saat bicara.
"Aya, itu namamu bukan?" tanyanya.
Nattaya mengangguk. "Iya, Nyonya."
"Aya, kamu kenal suamiku?"
Pertanyaan Arista membuat Nattaya terkejut. Ia menatap perempuan di depannya lalu menggeleng perlahan. Sementara jantungnya berdetak keras dan berkhianat dengan apa yang dikatakannya.
"Ti-tidak, Nyonya."
Arista memiringkan kepala. "Belum pernah bertemu suamiku?"
Nattaya menggeleng sekali lagi. "Be-belum Nyonya."
"Kenapa jawaban kamu tidak tegas? Aku tanya sekali lagi, kamu kenal suamiku atau tidak?"
"Tidak, Nyonya!"
Nattaya memberanikan diri menjawab keras, semua dilakukannya demi kebaikan bersama. Tidak mungkin berterus terang pada Arista kalau ia pernah tidur dengan Valentino. Tidak ada gunanya menyakiti perempuan yang begitu cantik dan setia pada Valentino. Lebih baik kalau menguburkan masa lalunya untuk selama-lamanya.
Arista mengangguk kecil dan berlalu tanpa kata. Jawaban Nattaya memang tidak memuaskannya tapi untuk sekarang sudah cukup. Meski begitu satu hal yang membuatnya tenang adalah, Valentino tidak mungkin mengenal seorang perempuan rendahan.
Setelah Arista berlalu, Nattaya mengembuskan napas lega. Ia sangat berharap tidak kagi bertemu dengan perempuan itu. Salah satu alasan yang membuatnya tidak ingin bekerja di rumah ini adalah tidak ingin bertemu dengan Valentino dan juga istrinya.
Suara Kenzo membuat Nattaya tersadar akan sesuatu. Sepertinya pertanyaan perempuan tadi berkaitan dengan anaknya. Arista pasti bertemu dengan Kenzo dan bisa melihat kemiripan dengan Valentino. Pikiran Nattaya berkecamuk seketika. Apakah pertemuan mereka menjadi pertanda sesuatu atau hanya dirinya yang terlampau menduga? Ia membuang jauh-jauh semua pikiran dan prasangka buruk, duduk kembali menghadap pot dan berusaha fokus pada tanaman serta pot di depannya.
Di Karyakarsa sudah ending, playbook meluncur Minggu depan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro