Bab 16
Nattaya sebenarnya tidak ingin ke rumah sakit tapi Valentino memaksa dan Sora mendesak. Sahabatnya itu merasa kuatir melihat luka-lukanya. Takut kalau luka-luka itu infeksi bila tidak mendapat perawatan yang benar.
"Biar aku yang jemput Kenzo dari sekolah. Nanti selesai dari rumah sakit, kamu ambil dia."
Nattaya tentu saja berterima kasih dengan semua kebaikan Sora. Tidak banyak yang bisa ia berikan untuk sahabatnya itu selain janji untuk saling menyayangi selamanya. Sora bukan hanya sahabat tapi juga saudara sejati.
"Katakan yang jujur, siapa yang memukulimu."
Pertanyaan Valentino membuat Nattaya tersadar dari lamunan. Ia melirik laki-laki di belakang kemudi yang begitu tampan dan berwibawa.
"Perseteruan antar perempuan." Nattaya memutuskan bicara jujur dan menyembunyikan sebagian dari fakta. "Tetangga, sudah lama merasa iri dan dengki dan kebetulan saya tidak ada suami. Maksud saya suami nggak ada di rumah. Dia menganggap suaminya ada main sama saya, padahal suaminya datang untuk meminjam uang." Suara Nattaya melemah.
"Lalu?"
Nattaya menghela napas panjang. "Lalu, dia datang bersama ibunya dan mengeroyokku. Untung beberapa warga melihat kalau tidak, entahlah."
"Perempuan bar-bar!" maki Valentino. "Kamu diam saja? Tidak ada niat melapor?"
"Tidak, Pak. Suaminya datang meminta maaf, bersujud di depan saya. Ya sudah, saya anggap masalah selesai."
Valentino berdecak. "Nattaya, kamu terlalu lembut jadi orang."
Nattaya menghela napas panjang. Mengikuti amarah tentu saja ia ingin melaporkan Vita dan ibunya, tapi mengerti kalau itu tidak akan menyelesaikan masalah. Lebih baik ia memikirkan cara lain untuk bertahan di lingkungan yang keras.
Kendaraan berhenti di lampu merah yang padat. Nattaya menatap pedagang asongan dan pengamen yang membajiri jalanan. Menyadari kalau hidupnya jauh lebih enak dari pada mereka. Tidak ada yang harus disesali yang terjadi. Asalkan dirinya dan Kenzo tidak kekurangan, maka semua baik-baik saja.
"Suamimu kerja apa? Berapa lama kalian menikah?"
Pertanyaan dari Valentino membuat Nattaya melongo. Ia meneguk ludah menatap laki-laki itu. Valentino menoleh heran.
"Kok diam? Tidak ada yang aneh dengan pertanyaanku bukan?"
Nattaya menghela napas panjang, berusaha menyusun kata-kata yang tepat. Valentino orang yang sangat perhatian terhadap hal-hal kecil dalam hidupnya, tidak boleh terlalu banyak menjejali dengan kebohongan, kalau terbongkar akan panjang urusannya.
"Anak laki-laki, Pak Sekolah paud dan menikah sudah enam tahun tapi sekarang sedang renggang."
Valentino mengernyit. "Anakmu sudah besar juga. Paud itu kisaran umur empat tahun, ya? Kenapa pernikahan kalian renggang? Ada masalah?"
"Ya, begitulah, Pak."
"Kerja apa dia? Suamimu itu."
"Admin di sebuah perusahaan." Untuk kali ini ia membicarakan pekerjaan Ihsan.
"Begitu rupanya. Tapi, memang pernikahan tidak ada yang mulus. Aku dan istriku pun sama."
Setelah itu mereka terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Satu hal yang mengganjal pikirannya adalah soal istri Valentino. Apakah perempuan itu tidak tahu kalau suaminya ternyata tidak mandul? Apakah selama menikah mereka benar-benar saling mencintai pada akhirnya? Nattaya memberanikan diri bertanya.
"Pak, anak masih satu?"
Valentino mengangguk. "Ya, anak tiri. Mana bisa aku menambah anak, kamu tahu aku mandul."
Itu tidak benar. Kamu tidak mandul, Pak. Kenzo itu anakmu. Nattaya ingin meneriakkan semua isi hatinya tapi menyimpan rapat-rapat dalam hati. Selama pernikahan Valentino tidak ada masalah, ia tidak berhak ikut campur. Tidak ingin menjadi penyebab keretakan orang lain.
"Apa kamu tahu kepahitan menjadi laki-laki yang mandul?" Suara Valentino terdengar lembut di dalam mobil. "Tidak peduli berapa banyak harta dan keuntungan yang kita dapatkan, orang tidak akan menghargainya. Dianggap tidak cukup jantan."
Perkataan Valentino membuat Nattaya kesal. Ia menyergah dengan kesal. "Mana ada! Pak Valentino jantan kok!"
Pembelaan Nattaya membuat Valentino terdiam. Melirik Nattaya yang kini menunduk menahan malu. Kenangan masa lalu mereka kembali berkelebat dan membuatnya tanpa sadar tersenyum.
"Tentu saja aku jantan, Nat. Kamu sudah membuktikannya sendiri."
Kurang ajar dan provokatif, Valentino sengaja berkata seperti itu pada Nattaya yang tertundu malu. Jujur saja Valentino merasa senang dengan pembelaan Nattaya. Setelah mengalami serangan mental karena perkataan mertuanya, mendengar pembelaan Nattaya sungguh melegakan hatinya. Apakah ini artinya kalau egonya sedang diusik dan membutuhkan pembuktian? Sayangnya ia tidak bisa bicara lantang soal itu, karena kenyataannya memang tidak demikian.
"Maafkan perkataanku yang kurang ajar, Natt," gumam Valentino penuh sesal saat kendaraan memasuki area rumah sakit.
Tidak ada yang harus dimaafkan, Nattaya mengerti kalau Valentino sedang membela diri. Memang kenyataannya di masa lalu mereka pernah punya hubungan, meskipun pada awalnya berdasarkan uang tapi Nattaya menyadari kalau dirinya jatuh cinta setengah mati dengan Valentino. Menyimpan cinta bertahun-tahun, tidak peduli dengan waktu yang datang dan pergi. Bahkan hingga kini, cintanya masih tetap utuh dan tidak berkurang. Meski begitu cukup tahu diri untuk tidak menyimpan banyak harapan. Cukup mencintai dalam diam.
Setelah memarkir kendaraan, Valentino mendaftarkan Nattaya ke IGD untuk mendapatkan penangan secara cepat. Dokter yang memeriksa seorang perempuan paruh baya dan terus menerus menggerutu.
"Kalian suami istri, kenapa bertengkar sampai saling pukul."
Nattaya bertukar pandang bingung dengan Valentino yang duduk dikursi tak jauh dari ranjang periksa.
"Harusnya bisa saling menjaga emosi. Dalam rumah tangga sudah biasa kalau berbeda pendapat."
Valentino mengernyit. Ia tidak merasa sebagai suami yang menyakiti istri tapi yakin sekali kalau dokter ini sedang mengomel padanya. Padahal bukan dirinya yang membuat Nattaya babak belur. Dokter itu berbalik, menunjuk ke arah Valentino yang kebingungan.
"Ingat, ya. Sekali lagi kamu membuat masalah dan istrimu babak belur seperti ini. Aku yang akan minta istrimu lapor polisi. Camkan itu!"
Diucapkan dengan lantang dan penuh ancaman, membuat Valentino bergidik ngeri. Terlebih ada gunting yang tajam di tangan si dokter. Ia memilih untuk diam dari pada kena masalah. Setelah si dokter pergi, Nattaya tidak dapat menahan tawa. Menatap Valentino yang terdiam, Nattaya tergelak.
"Maaf, Pak. Sepertinya si dokter salah paham."
Valentino berdecak. "Heran. Masa dokter itu nggak bisa lihat kalau aku laki-laki yang lembut dan perhatian. Mana mungkin melakukan kekerasan pada perempuan."
"Dokter salah paham, Pak. Dikira kita suami istri."
"Soal itu nggak masalah. Aku kesal saja dimarahi karena dianggap memukulmu."
Nattaya mengulum senyum, mendengar gerutuan Valentino. Saat perawat memeriksa luka-lukanya, Valentino berpamitan keluar untuk menerima panggilan. Dari tempat tidurnya, ia bisa melihat punggung laki-laki itu. Terlihat serius menerima telepon. Valentino mengobankan waktunya yang berharga untuk merawat dan mengurusnya. Hati Nattaya dibuat makin berdebar karenanya. Bagaimana kalau setelah ini ia makin tidak bisa melepaskan diri dari laki-laki itu? Bagaimana kalau ke depannya ia makin berharap? Bukankah itu salah dan dosa?
"Suaminya tampan sekali, Kak. Saya jadi iri. Ingin punya suami yang tampan juga."
Perkataan perawat sungguh berbanding terbalik dengan dokter yang penuh ancaman. Pujian itu membuat Nattaya tanpa sadar tersenyum. Harus diakui kalau Valentino memang sangat tampan dan berwibawa. Sosoknya sungguh mendominasi dan banyak perempuan dibuat terpesona. Perawat di depannya adalah salah satu korban peson Valentino.
Setelah mendapat perawatan dan juga resep obat, Valentino mengajak Nattaya ke apotik.
"Kamu duduk saja, biar aku yang antri."
Valentino menunjuk deretan kursi plastik, sedangkan ia sendiri menuju loket untuk antri. Menunggu obat selesai dipersiapkan, ia duduk di sebelah Nattaya.
"Selesai ini, kita makan siang dulu."
"Pak, apa nggak kelamaan?"
"Kelamaan kenapa?"
"Anda harus kerja. Saya merasa tidak enak sudah menyita waktu Pak Val. Pasti banyak pekerjaan menumpuk dan tertunda gara-gara mengantar saya."
Valentino mendesah, bersedekap dengan kedua tangan berada di dada. "Nattaya, kamu sepertinya lupa aku ini siapa."
Nattaya mengedip bingung. "Maksudnya, Pak?"
"Aku ini direktur, kalau pun tidak ada di tempat ada banyak anak buah yang bisa diperintah. Lagi pula, laporan setiap waktu ada di mejaku. Kenapa kamu yang takut?"
Nattaya menggaruk pelipisnya yang gatal. Menyadari kesalahannya. Ia berniat menyatakan rasa sungkannya, tapi Valentino justru membulinya. Padahal niatnya baik, malah terlihat kalau dirinya yang bodoh.
"Siap Pak Direktur. Maaf, saya lupa dengan siapa bicara," gumamnya setengah tertawa.
Valentino mengulurkan tangan untuk mengusap rambut Nattaya. "Anak baik. Terus begitu, nanti aku makin sayang."
Nattaya mengedip bingung dan terkejut, begitu pula Valentino. Keduanya saling pandang dan tersadar saat loket memanggil nomor antrian Valentino.
"Obat sudah didapat. Ayo, kita makan."
Valentino merangkul bahu Nattaya dan membimbingnya menuju kantin. Ia sengaja melakukan kontak fisik, karena tidak ingin Nattaya berlalu dengan cepat. Kalau bisa ditunda satu jam demi kebersamaan mereka, Valentino akan menundanya. Ia memang laki-laki brengsek yang menyukai perempuan lain saat sudah menikah, untuk sekarang ini ia belum siap melepaskan kebrengsekannya.
**
Arial keluar dari ruang konferensi bersama beberapa kolega. Hari ini ia sengaja datang ke rumah sakit ini untuk undangan seminar. Banyak dokter dari berbagai rumah sakit yang juga datang kemari. Semuanya dengan niat sama, untuk menambah pengetahuan.
"Rasanya masih tidak percaya kalau dokter Arial bersedia kemari."
Seorang perempuan muda menjabat tangan Arial dengan penuh antusias. Dokter itu paktek belum lama dan merasa perlu menambah ilmu dari yang lebih berpengalaman. Arial dengan senang hati membagi pengalaman.
"Seiring berjalannya waktu, menjumpai bermacam-macam pasien, maka pengalaman akan makin banyak."
"Terima kasih, saya akan selalu ingat itu. Bagaimana kalau kita ke ruang untuk bersantap, Dok? Tempat agak jauh dari sini karena pihak rumah sakit menginginkan suasana bersantap yang santai di hall samping. Menghadap langsung ke taman."
"Wah, ide bagus. Sekalian refreshing."
Mereka bertukar tawa, Arial gembira bisa menambah pertemanan. Selama ini waktu kerjanya yang panjang membuatnya karang mempunyai interaksi sosial. Mereka sedang tertawa mendengarkan kelakar seorang dokter tua tentang pasien penderita jantung, saat sepasang laki-laki dan perempuan melintas di ujung lorong. Arial mengerjap, untuk memastikan apa yang dilihatnya. Itu adalah kakak iparnya. Ia meminta ijin untuk mengejar pasangan itu dan terhenti di persimpangan karena kehilangan jejak.
Arial menghela napas, celingak-celinguk di antara orang-orang yang berlalu lalang. Matanya yakin itu adalah Valentino, tapi siapa perempuan yang dirangkulnya? Perempuan itu jelas-jelas bukan Arista. Berdiri bingung di tengah keramaian, Arial kehilangan jejak. Ia menggeleng, kini tidak yakin dengan pandangannya.
Arial tersenyum saat namanya dipanggil. Ia bergegas menghampiri rombongannya. Sesekali menoleh ke belakang hanya untuk memastikan kalau pandangannya tidak salah. Hatinya menyangkal kalau itu Valentino, tapi matanya tidak salah mengenali.
.
.
Di Karyakarsa sebentar lagi ending.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro