Bab 15
Dewina adalah perempuan cantik berumur lebih dari setengah abad. Sebagian hidupnya digunakan untuk mengurus keluarga, kalau pun punya bisnis hanya tertentu saja dan tidak ada kantor khusus. Dewina punya bisnis jual beli berlian dan sudah berlangsung bertahun-tahun dengan klien yang tidak sedikit. Rata-rata kliennya adalah istri pejabat, artis, dan pengusaha.
Saat ini sebagian usahanya ditangani oleh dua asisten khusus, ia sendiri akan turun tangan kalau memang ada kendala. Selama tidak ada masalah, kedua asistennya mampu menangani penjualan dan pembelian dengan baik. Sebagian waktunya lebih banyak dihabiskan di rumah untuk menemani cucu perempuannya dan mengurus keperluan suami, anak perempuan, dan juga menantunya. Dewina tidak keberatan dan justru menyukai kesibukan itu. Saat anak tertuanya datang bersama sang suami, Dewina menyabut dengan gembira.
"Kita makan siang bersama, mama sudah siapkan."
Jelita masih di sekolah, Arial di rumah sakit dan Aji ke kantor. Hanya mereka bertiga makan siang dengan hidangan yang cukup banyak.
"Terima kasih atas hidangannya, Ma." Valentino menyapa sopan. Membuka jas dan menggulung kemeja sebelum mencuci tangan.
Dewina tersenyum. "Mama senang kalian datang. Biar ada teman makan."
"Wah, ada rendang kesukaanku," teriak Arista.
"Makan yang banyak kalau begitu."
"Nanti gemuk gimana?"
"Arista, kamu bisa menjaga tubuhmu bukan? Jadi, jangan takut makan banyak."
"Ah, Mamaa."
Valentino mencoba makan dengan lahap demi menghormati mertuanya yang sudah susah payah menjamu. Ia mencoba menikmati hidangan, meskipun jujur saja merasa sangat lelah untuk mengunyah. Sekarang pukul tiga sore, makan siang yang terlambat dan semua karena pertemuan yang berjalan panjang. Menahan lapar terlalu lama demi ingin makan siang bersama, membuat perutnya seakan menolak untuk diisi. Ia mengunyah perlahan sambil mendengarkan percakapan Arista dan Dewina.
Selesai makan, Valentino berpamitan merokok ke teras samping. Duduk di kursi besi menatap air mancur buatan yang mengelilingi kolam ikan. Taman yang ditata dengan sangat rapi, memberikan kesan asri pada rumah dan juga membuat suasana menjadi teduh. Rumah mertuanya memang punya pemandangan yang sangat menarik dan membuat nyaman.
"Val, kopi kamu. Arista sedang istirahat di kamar."
Dewina duduk di samping Valentino, membawa secangkir kopi.
"Terima kasih, Ma."
Valentino buru-buru mematikan rokoknya, tidak sopan menyulut tembakao saat berada di samping orang tua. Dewina duduk menyilangkan kaki, membiarkan Valentino menyesap kopi hitam tanpa gula yang dibawanya.
"Bagaimana pertemuan hari ini? Lancar semua?"
Valentino meletakkan cangkir berisi kopi. "Iya, Ma. Lancar sejauh ini."
"Bagus kalau begitu, kamu dan Arista memang patner yang cocok untuk berbisnis. Sayangnya tidak berlaku untuk rumah tangga."
Valentino terdiam, ini bukan pertama kalinya Dewina melontarkan pendapat seperti itu dan sepertinya akan terulang kembali. Yang ia lakukan hanya diam dan mendengarkan semua keluh kesah perempuan yang sudah melahirkan istrinya.
"Mama bukannya komplen atau gimana, tapi kenapa pernikahan tanpa anak bisa menjadi tujuan utama Arista? Lalu, untuk apa kalian susah payah bekerja, siang malam membanting tulang kalau tidak punya pewaris?"
Dewina menghela napas panjang, melirik Valentino yang terdiam. Sikap dan sifat Valentino memang sangat baik dan tidak pernah membantah tapi itu saja tidak cukup untuknya.
"Arista masih muda, masih bisa punya anak kalau saja kamu mengijinkan."
Valentino menoleh. "Maa, ijin apa yang Mama minta?"
"Yah, kamu pikirkan saja sendiri, Val. Mungkin buatmu dan papamu, keturunan tidak penting tapi tidak begitu dengan kami. Punya dua cucu tidak cukup, aku menginginkan anak-anak yang banyak dan riuh di rumahku. Arial dan Aji sedang berusaha untuk punya anak kedua, sedangkan kamu dan Arista ternyata sangat mustahil. Kenapa tidak menggunakan cara lain untuk hamil?"
Valentino menghela napas panjang, sekali lagi mencoba bersabar untuk menghadapi sikap mertuanya.
"Valentino, kamu adalah kepala keluarga dan seorang suami. Tidak seharusnya membiarkan istrimu menderita. Bagaimana pun juga, anakku layak bahagia. Punya keluarga utuh dengan anak-anak yang lucu! Dia sudah gagal sekali dalam rumah tangga, menikah dengan orang yang salah. Kenapa harus menikah denganmu, laki-laki mandul!"
Pernyataan yang sangat provokatif dan menyakitkan. Valentino menjaga agar emosinya tidak naik karena perkataan Dewina memang sengaja untuk menyakitinya. Ia mencoba memaklumi dari berbagai sisi, kalau sebagai seorang ibu wajar menginginkan yang terbaik untuk anak perempuannya. Namun, Valentino sendiri tidak merasa sudah membohongi siapa pun. Dari awal sebelum menikah sudah memberitahu kondisinya pada Arista.
"Apa yang Mama inginkan?" tanya Valentino perlahan, terlalu malas untuk menanggapi ocehan dari mertuanya. Masih banyak pekerjaan yang harus dilakukannya, dari pada duduk di sini dan menerima semua tuduhan serta cacian.
Dawina mengangkat bahu. "Entahlah, harusnya kamu mengerti apa yang aku inginkan. Kamu bukan anak kecil, tidak seharusnya membuat istrimu menderita."
"Mama ingin kami bercerai?" Untuk kali ini Valentino bertanya dengan tegas, menatap Dawina tidak berkedip. "Kalau memang itu yang Mama inginkan, aku menyanggupinya."
Dawina terbelalak. "Apa? Kamu ingin bercerai dari anakku?"
Valentino menahan dengkusan. "Bukan aku yang ingin bercerai, tapi Mama yang sepertinya belum bisa menerima keadaanku. Sedari awal aku tidak membohongi siapa pun, Arista tahu semua. Tapi, setiap kali kita bertemu Mama selalu melontarkan kritik bertubi-tubi."
"Oh, jadi kamu menyalahkan aku?"
"Tidaak, Mama benar karena seorang Mama memang seharusnya selalu benar. Hanya saja, aku tidak mau menjadi sasaran kritik terus menerus. Kalau memang Mama merasa Arista tidak bahagia denganku, Dhafa tidak cukup baik berada dalam tanggung jawabku, Mama bisa meminta Arista untuk menceraikanku. Dengan senang hati aku menerimanya."
Perkataan Valentino yang terdengar menantang membuat Dewina murka. Ia berdiri dengan tangan terkepal, wajah memerah marah dan berdecak tidak mengerti. Merasa kalau Valentino sudah menampar mukanya berkali-kali.
"Berani-beraninya kamu menantangku, hah! Ingat, aku ini mertuamu!"
Suara Dewina yang meninggi membuat Valentino menghela napa panjang. Menatap perempuan itu lekat-lekat, ia bangkit dan merapikan kembali jasnya.
"Aku harus kembali ke kantor. Arista bisa tetap istirahat."
"Aku belum selesai bicara. Valentino, duduk!"
"Tidak. Aku tidak akan membiarkan Mama melampiaskan kemarahan padaku. Dari awal, aku sudah jujur dan kalau Mama menginginkan cucu, kenapa tidak bujuk anakmu untuk bercerai dariku? Dari pada mengamuk? Permisi."
Valentino bergegas pergi, dengan hati menahan kemarahan. Salah satu alasan yang membuatnya enggan datang ke rumah ini adalah kemarahan Dewina yang selalu tertuju padanya. Di garasi, ia berpapasan dengan Aji yang baru datang. Laki-laki itu tersenyum padanya.
"Kenapa buru-buru pergi? Tidak ngopi dulu?"
Valentino melambai. "Sudah mengopi. Aku harus ke kantor. Istriku masih di sini, sedang istrahat."
"Oh, oke kalau begitu."
Valentino memundurkan kendaraan dan keluar dari garasi dengan buru-buru. Makin lama berada di rumah ini, makin sesak dadanya. Dalam hatinya sangat salut dengan Aji. Laki-laki itu bisa sabar menghadapi mertuanya yang temperamental. Ia yakin dirinya akan menggila kalau tinggal bersama Dewina selama beberapa lama. Bisa-bisa mereka berdua akan saling cabik dan menyakiti.
**
Sora mendesah, melihat wajah Nattaya penuh bilur dan luka. Meski sudah dikompres tapi tetap terlihat jelas. Wajah yang biasanya selalu cantik dan mulus, kini terlihat membiru karena bekas pukulan dan cakaran.
"Aku heran kamu masih tahan dengan mereka. Kenapa tidak lapor polisi?" gumam Sora. Dagangan sedang sepi pembeli, mereka mengobrol perlahan sambil mencuci mangkok.
"Kasihan Ihsan. Gara-gara istrinya dia nyaris berlutut di depanku untuk minta maaf."
"Halah, apa gunannya minta maaf kalau tidak bisa mengurus istrinya! Perempuan pencemburu, mudah sekali naik darah. Vita tidak tahu kalau selama ini kamu sering meminjami suaminya uang!"
Nattaya menghela napas panjang. "Tidak perlu mengungkit juga. Aku tahu kamu marah, akupun kesakitan tapi gimana? Aku pun mau menghukum Vita dan ibunya, ingat selalu dengan kebaikan Ihsan. Itu menahan niat jahatku."
Sora berdecak, menahan amarah yang ingin menyembur. Ia merasa Nattaya terlalu baik hingga dikira lemah, padahal yang dipikirkan sahabatnya adalah kebaikan yang harus dibalas dengan kebaikan. Demi Ihsna, tidak ingin menyikiti Vita. Padahal, ingin sekali melihat perempuan itu membusuk di penjara. Bagaimana bisa, cemburu dan salah paham pada Nattaya membuatnya buta dan memukuli orang dengan begitu parah.
"Harusnya, sebelum memukulimu, perempuan gila itu memastikan dulu apa benar suaminya dan kamu berselingkuh. Bukan malah mengamuk, dan belakangan baru tahu kalau Ihsan hanya memeriksa matamu yang kelilipan dan bukannya berciuman. Astaga, dia pikir kamu cinta sama Ihsan? Jiah!"
Omelan sahabatanya membuat Nattaya tanpa sadar tertawa. Detik berikutnya ia mengernyit kesakitan. Ini akan berlangsung berhari-hari, persis saat dulu ia sering dianiaya oleh sang bibi. Nattaya tidak habis pikir karena hidupnya selalu dihadapkan dengan para perempuan yang suka melakukan kekerasan.
"Nat, pelangganmu datang."
Sora menyenggol pinggang Nattaya. Duduk di meja kosong ada Valentino yang terlihat rapi dalam balutan pakaian kerja. Selama berhari-hari tidak melihat laki-laki itu, Nattaya merasa dadanya berdebar tak menentu. Ia mencoba tetap tenang, menyesali diri karena Valentino datang saat dirinya penuh luka. Meski begitu ia tidak bisa menghindar.
"Pak, apa kabar? Mau soto apa hari ini?"
Valentino mengernyit, meraih lengan Nattaya dan menatap wajahnya lekat-lekat. "Apa yang terjadi denganmu?"
Nattaya mengusap pipi dengan tangannya yang bebas. "Bukan, Pak. Saya jatuh."
"Jangan bohong! Aku sudah pernah melihatmu babak belur sebelumnya, dan aku tahu kalau ini bukan luka karena terjatuh. Katakan padaku, siapa yang melakukannya? Apa bibimu ada di sini?"
"Tidak, Pak. Bibi tidak ada di sini."
"Kalau begitu siapa? Suamimu?"
"Tidak, su-suami saya ada di luar kota."
"Lalu siapa?"
Pertanyaan Valentino terdengar sangat menuntut dan penuh emosi membuat Nattaya sedikit takut melihatnya. Ia menggeliat, berusaha melepaskan cengkeraman laki-laki itu dari pergelangan tangannya.
"Pak, sakit."
Valentino mendesah dan melepaskan genggamannya. Menarik kursi dan meminta Nattaya duduk lalu memanggil Sora.
"Tolong buatkan aku soto bening pakai lontong, ya, Sora."
"Siap, Pak!"
"Pak, biar saya saja," pinta Nattaya.
"Tidak, kamu tetap duduk di sini." Valentino kembali bertanya pada Sora. "Soto kalian masih banyak?"
"Hari ini masih cukup banyak, Pak. Agak sepi."
"Kalau begitu, semua sisanya aku yang beli. Kamu bungkus dan bagikan untuk tukang ojek atau tukang bersih-bersih di sini."
Sora terperangah dan mengangguk. "Siap laksanakan, Pak."
"Biarkan Sora yang bekerja, kamu duduk di sini menemaniku makan."
Nattaya tidak membantah, menunggu Valentino makan dan mengamati bagaimana laki-laki itu menyantap soto dengan lahap. Tanpa sadar ia tersenyum, bahagia karena Valentino menyukai masakannya. Keinginan liar terbentuk di otaknya, seandainya saja ia bisa memasak setiap hari untuk laki-laki itu pasti akan menyenangkan. Detik berikutnya ia merasa sangat malu, mempunya keinginan yang sangat kurang ajar terhadap laki-laki yang sudah menikah. Hal seperti itu tidak akan pernah terjadi, karena memang tidak ada jodoh antara dirinya dan Valentino.
"Selesai dagang, biar Sora membawa barang-barang pulang. Kamu ikut aku."
Nattaya mengedip bingung. "Kemana, Pak?"
"Ke rumah sakit."
"Untuk apa?"
"Periksa luka-lukamu tentu saja, untuk apa lagi?"
"Pak, saya baik-baik saja."
"Itu menurutmu, tapi kenyataan yang terlihat kamu babak belur, Nat! Cobalah untuk tidak membantah. Semua yang aku lakukan ini demi kebaikanmu. Kalau luka-lukamu tidak diobati akan infeksi. Kamu mau begitu?"
Nattaya menggeleng dan Valentino mengangguk puas. "Bagus kalau kamu mengerti. Sekarang, aku memberimu waktu untuk membantu Sora. Aku menunggumu di sini."
Sikap dan perhatian Valentino pada Nattaya layaknya seorang suami pada istri. Apakah laki-laki itu tahu dan mengerti yang diperbuatnya? Bagaimana menjelaskan kalau Nattaya bisa melakukan semuanya sendiri tanpa bantuannya? Menatap Valentino yang duduk tenang sambil merokok, Nattaya tidak punya pilihan lain selain mengukti kemauan laki-laki itu. Ke rumah sakit tidak akan lama, ke dokter memerlukan waktu sebentar untuk periksa. Nattaya yakin akan mampu berada di samping laki-laki itu tanpa rasa gugup yang setiap kali dirasakan.
.
.
Di Karyakarsa update bab 73-76.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro