Bab 1
Pintu kaca berdentang terbuka. Seorang laki-laki dengan jas panjang mengedarkan pandangan ke sekeliling bar yang cukup sepi. Ada beberapa meja kayu bundar yang tersebar di ruangan beraroma tembakau. Beberapa kursi kayu, diletakkan di dekat meja. Ada belasan pengunjung, dengan bir di depan mereka dan beberapa minum cocktail. Laki-laki itu menghela napas panjang, berdiri termangu cukup lama. Seolah tidak yakin kenapa bisa masuk ke tempat seperti ini. Orang-orang yang ada di sini terlihat santai, tanpa tawa ataupun kata, hanya minum dan mendengarkan musik yang mengalun dari stereo. Tidak seperti bar pada umumnya yang sangat riuh dengan musik, di sini cenderung tenang. Laki-laki itu hendak membalikkan tubuh, ingin pergi ke bar yang lain saat suara perempuan menyapa dari balik meja bartender. Perempuan yang sedari tadi sosoknya tidak terlihat dan kini muncul dengan senyum di wajah.
"Selamat malam, selamat datang, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?"
Laki-laki itu mengedip, bingung apakah ingin melanjutkan langkah dan berbalik. Perempuan berseragam hitam putih itu kembali menyapa.
"Ingin minum kopi dicampur sedikit brandy, Tuan? Itu akan bagus untuk tubuh."
Campuran minuman yang unik, laki-laki itu memutuskan untuk mencobanya. Menarik kursi dan bicara dengan suara parau pada perempuan muda di hadapannya.
"Kalian menjual kopi?"
"Kami menjual segala minuman. Kalau Anda haus dan sekedar ingin minum jus, kami pun bisa menyediakan."
"Unik, biasanya bar hanya menyediakan soft drink dan alkohol."
Perempuan itu tersenyum, lesung pipinya terpampang jelas. "Bar ini bukan tempat biasa. Lapar tidak, Tuan?"
"Kalau aku lapar, apa yang bisa kalian sediakan?"
Pertanyaan laki-laki di depannya membuat bartender perempuan itu terdiam. Mengamati sekilas pada pakaian rapi, tata bahasa terpelajar, dan juga wibawa yang kuat, jelas laki-laki ini bukan orang biasa. Rayt wajah yang sedikit muram dengan titip kelelahan di bawah mata.
"Seandainya Tuan itu perempuan, saya akan menawarkan mi instand rebus dengan irisan cabai dan juga telur setengah matang. Tapi, karena Tuan laki-laki, saya menawarkan sup ayam panas atau burger dengan isian daging dan keju."
Laki-laki itu menyesap kopinya perlahan. "Pilihan yang menarik. Karena seharian aku belum makan, berikan burger daging itu."
"Double steak burger, Tuan akan menyukainya. Saya jamin."
Perempuan itu menghilang untuk bicara pada koki, dan kembali saat ada pengunjung lain. Seorang anak muda yang menyapa dengan suara yang ceria.
"Nattaya, aku ingin minum coctktail segar!" Pemuda itu mengambil dompet dan membanting di meja. "Aku punya uang. Ayo, buatkan aku cocktail."
Perempuan yang dipanggil Nattaya muncul, mengambil dompet dari atas meja dan memeriksanya. Menyeringai dengan ekpresi kurang ajar yang bercampur geli.
"Ihsan, bawa uangmu pergi. Sana, beli makanan buat ibumu sebelum dia datang mematahkan lehermu karena membeli alkohol."
Pemuda bernama Ihsan mencebik, duduk dengan kepala tertunduk di antara lengan. "Padahal aku pingin coba cocktail buatanmu yang lezat itu."
"Lain kali, kalau dapat bonus dari kantor. Sana, pulang!"
Laki-laki yang sedang minum kopi tidak dapat menyembunyikan senyum geli, saat melihat pemuda belia yang diusir oleh bartender. Alih-alih menjual alkohol untuk uang, perempuan itu malah mengusir karena menganggap pemuda itu lebih membutuhkan uang untuk ibunya. Sebuah sikap yang menarik. Ia menyukainya ketegasannya.
"Silakan, Tuan. Double steak burger."
Meletakkan kopinya, laki-laki itu menatap burger di depannya. Tidak menyangka ternyata sangat menggiurkan dan menerbitkan air liur. Ia menangkup burger dan menggigitnya. Aroma daging asap dari steak bercampur kecu dan mayo, ditambah dengan roti yang lembut. Burgernya memang benar-benar lezat.
"Enak, Tuan?" tanya perempuan itu.
"Sangat enak. Kalau boleh tahu namamu siapa? Nattaya?"
"Benar, nama saya Nattaya. Dengan huruf t double. Kata almarhum mama, artinya abadi. Dari bahasa sansekerta."
"Wow, nama yang kerena. Mamamu memilih nama yang tepat."
"Tuan namanya siapa? Nggak adil kalau hanya saya yang memperkenalkan diri."
"Valentino Rajasa."
"Nama yang tampan, persis seperti pemiliknya."
Pujian Nattaya membuat Valentino terdiam, menikmati burger sembari mengamati bagaimana Nattaya bekerja. Sesekali pengunjung datang meminta dibuatkan minum dan perempuan itu akan bergerak cepat, meracik minuman. Selalu tersenyum menyapa pelanggan dan menunjukkan lesung pipinya. Benar-benar perempuan yang menarik, bukan hanya wajahnya yang cantik tapi juga sikapnya yang ceria. Apakah perempuan itu pernah merasakan kesedihan dan kehilanga? Atau perasaan kosong dan merasa tidak berdaya? Sepertinya dilihat dari sikap yang periang, semua kegelisahan itu tidak pernah dirasakan.
"Nattaya."
Valentino coba-coba memanggilnya dan Nattaya tersenyum cerah. "Ya, Tuan. Ingin minum yang lain?"
"Air mineral."
Sebenaranya Valentino hanya ingin memanggil nama perempuan itu. Nattaya adalah nama dengan pengucapan yang indah dan ia menyukainya. Tidak terasa ia duduk di bar selama dua jam, menghabiskan kopi dan satu burger besar beserta air mineral. Saat hendak pergi, Nattaya mengatakan hal yang menggelitik hati.
"Sampai jumpa besok Tuan Valentino. Jangan lupa mampir kalau Anda ingin makanan dan minuman hangat. Saya akan membuatkan."
Valentino meninggalkan bar dengan pikiran mengembara. Perkataan Nattaya seolah undangan untuknya agar kembali lagi. Bisa jadi perempuan itu mengatakan hal yang sama pada semua pelanggan. Kemungkinan besar juga hanya basa-basi karena ia memberi tips yang cukup banyak. Bukankha Nattaya sama saja seperti pegawaiu restoran, bersikap ramah pada semua pelanggan.
Valentino berdiri di pinggir jalanan yang ramai dan mengedarkan pandangan ke sekitar. Pandangannya tertuju pada sepeda mini yang diparkir dekat pohon. Tidak menyangka kalau di era modern seperti ini masih ada yang menggunakan sepeda. Tatapannya menyapu deretan bangunan yang terdiri atas toko, restoran, dan bar, berjejer rapi. Pengunjung berjalan di sepanjang trotoar. Kebanyakan rata-rata anak muda dengan segala keceriaan mereka. Anak muda yang belum merasakan pahitnya hidup dan hanya menjalani hari ini.
Memutuskan untuk menyusuri trotoar, Valentino melangkah perlahan sambil mengamati toko pakaian, restoran cepat saji, dan hanya melihat tanpa berminat menghampiri. Saat ia hampir tiba di tempat parkir, ponselnya berdering. Menghela napas panjang saat melihat nama yang tertera. Memutuskan untuk membiarkan saja sampai dering selesai. Saat ini ia sedang tidak ingin berdebat. Kepalanya penuh dengan masalah. Pulang ke hotel lalu tidur adalah keinginan terbesarnya. Sialnya, ponselnya tidak berhenti berdering dan membuatnya muak.
**
Nattaya menutup bar di pukul tiga pagi. Tersenyum cerah karena hari ini banyak mendapatkan tips, terutama dari Valentino. Laki tampan dengan wajah murung, yang makan dan minum dalam diam. Tidak seperti pengunjung lain yang cenderung berisik saat minum alkohol, Valentino hanya diam dan memperhatikan keadaan. Bisa jadi kopi bercampur brnady tidak cukup kuat untuknya., Nattaya tidak berani menduga karena laki-laki itu tidak meminta hal lain.
Menyusuri jalanan yang mulai sepi, Nattaya mengambil sepeda yang terparkir di dekat pohon, mengucapkan selamat tinggal pada tiga rekan kerjanya dan mulai mengayuh sepeda menembus udara pagi yang dingin dan menusuk. Ia bersiul sepanjang jalan yang diterangi lampu. Pukul tiga pagi tapi kota seakan tidak pernah tertidur. Masih banyak anak muda berlalu lalang dengan motor atau mobil mereka, berpasangan dan berkelompok di bar atau klub yang buka 24 jam. Suara musik mengalun kencang menebus malam.
Setelah mengayuh kurang lebih dua kilo meter, Nattaya mengarahkan sepeda ke dalam gang yang cukup sempit. Sangat kontras dengan area pertokoan yang rapi, mewah, dan ramai. Gang ini cenderung sepi dengan rumah-rumah berhimpitan satu sama lain. Besarnya gang hanya cukup untuk dua motor dan tidak bisa dilewati mobil. Nattaya menghentikan sepedanya di depan rumah bercat kuning. Membuka pagar besi pendek yang berkarat dengan hati-hati. Sangat berharap kalau penghuninya tidak terbangun. Sayangnya, keinginannya tidak menjadi nyata. Saat pintu ruang tamu dibuka, sepasang laki-laki dan perempuan menatapnya dari sofa reyot. Si perempuan berumur empat puluh tahun dengan rambut ikal kemerahan, memakai daster untuk menutup tubuhnya yang besar. Berdiri dengan tangan kanan menengadah, sementara tangan kirinya memegang rokok.
"Aku menunggumu hingga nyaris tidur karena kelelahan. Mana uang?"
Nattaya memegang tas hitam di bahunya dan menggeleng. "Bibi, kemarin malam sudah minta uang."
"Aku butuh sekarang!"
"Ta-tapi, ini untuk bayar utang, Bi."
"Halah, banyak mulut. Mana uang!"
Nattaya berusaha mempertahkankan tas hitam miliknya sementara si bibi berusaha untuk merampasnya. Ia tidak bisa membiarkan ta situ lepas. Semua uangnya ada di sana dan membutuhkannya untuk membayar utang-utang. Mana bisa ia memberikan uang pada si bibi yang seakan tidak pernah puas ingin mendapatkan uang darinya. Nattaya berteriak kesakitan saat ujung rokok yang menyala mengenai lengannya. Meski begitu ia tetap mencengkeram tas. Laki-laki di sofa berujar malam.
"Lama sekali tindakanmu Mariana. Butuh bantuan?"
Si bibi yang bernama Mariana mendengkus. "Tidak perlu! Aku mengerti cara memberinya pelajaran. Gadis sialan!"
Mariana melayangkan pukulan ke wajah dan bahu Nattaya, membuat gadis itu terdorong ke belakang. Tidak cukup hanya itu, Mariana mengambil tongkat kayu dan memberikan pukulan bertubi-tubi ke wajah, bahu, lengan, dan kaki Nattaya. Menghajar tanpa ampun hingga gadis itu terduduk dengan wajah dan tubuh berdarah.
"Harusnya, kamu memberikan uang sialan itu dari tadi. Dengan begitu, aku tidak perlu merampasnya. Gadis bodoh!"
Nattaya mengusap darah di ujung bibir, terasa anyir dan asin. Berusaha untuk tidak menangis meskipun hati dan tubuhnya terasa sakit. Ia tidak akan memberikan kepuasan pada Marian dan merasa menang karena sudah menghajarnya. Perempuan itu melemparkan dompet dan tas kosong padanya. Uang sudah berpindah dan kini berada di tangan Mariana.
"Ayo, kita ke warung Bang Jay. Banyak minuman baru!"
Si laki-laki bangkit, diikuti Mariana.
"Coba si bodoh itu membawakan kita minuman, jadi irit. Tidak perlu membeli lagi."
Si laki-laki tergelak, melirik ke arah Nattaya yang berjuang untuk bangkit dari lantai kotor.
"Jangan harap, Sayang. Kamu lupa kalau di sana minuman mahal. Lagi pula, di warung Bang Jay kita bisa bermain kartu."
Mariana menatap suaminya lalu tergelak. "Benar juga. Ayo, kita pergi. Sebelum anak buah Bang Jay mendatangi kita. Ngomong-ngomong, kita punya utang."
Keduanya pergi secepat kilat, dengan membawa uang hasil keringat Nattaya. Tidak peduli pada Nattaya yang berjalan sempoyongan menuju kamar mandi. Membuka pintu dan masuk. Tanpa membuka pakaian, mengambil gayung dan mengguyur tubuhnya dengan air dingin. Rasa nyeri menyengat, dari bibir yang berdarah dan kulit yang terluka. Nattaya tidak peduli, sangat berharap kalau rasa sakit akan menmgambil alih nyawanya. Sayangnya, kesakitan itu justru penambah derita. Ia tidak mati, meskipun berdiri gemetar. Tetap hidup dengan luka bukan hanya di tubuh tapi juga hatinya.
"Maaa, ba-bagaimana aku menjalani hidup?" rintihnya dengan suara perlahan, sebelum ambruk ke lantai kamar mandi yang basah dan dingin, menangis tersedu pada dirinya yang lemah dan tidak berdaya.
**
Valentino ragu-ragu sesaat di depan bar. Entah kenapa di antara banyak tempat yang bisa dikunjungi, ia ingin kembali kemari. Ada sesuatu di bar yang membuatnya ingin mencicipi sekali lagi. Mungkin kopi dengan campuran brandy, bisa jadi burger dengan double steak yang lezat, ataupun senyum ramah milikl Nattaya.
Hari ini ia mengalami banyak sekali tekanan pekerjaan. Pulang lebih awal ke hotel bukan bagian dari rencanannya karena saat sendirian ia merasa kesepian dan hampa. Lebih baik kalau ke bar untuk mengobrol dan mengisi perut. Membulatkan tekat ia membuka pintu dan disambut sapaan Nattaya.
"Selamat malam, selamat datang."
Valentino melangkah lurus ke arah meja bartender dan tertegun melihat Nattaya. "Apa yang terjadi? Kenapa wajahmu penuh luka?"
Nattaya tersenyum dengan ujung bibir dan pipi memar. "Luka ini bukan sesuatu yang serius, Tuan. Ingin minum apa malam ini?"
Valentino berpikir sesaat. "Cocktail. Kata mereka cocktalimu sangat lezat."
Nattaya mempersilakan Valentino duduk. "Silakah mengambil tempat. Cocktail pesanan Tuan akan saya buat."
Duduk terdiam menatap punggung Nattaya, Valentino mengerti kalau sesuatu yang serius terjadi pada perempuan itu.
.
.
.
Di Karyakarsa update bab 1-4
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro