༺ Ruang Kisah ༻
[Ruang Kisah - Kehormatan untuk Iris]
.
.
.
SUDAH tiga bulan semenjak kedatangan Mauve di Pegunungan Putih. Selama itu juga ia hidup sederhana dan membaur dengan warga di sana yang sangat ramah. Mauve mengikuti saran Fa untuk merahasiakan identitas sebenarnya agar tidak terjadi kesalahpahaman maupun perpecahan.
Iris-nya pun sudah tumbuh lebih baik sekarang. Fa membantu merawatnya dengan penuh kasih sayang sementara Raan yang tampak begitu senang bisa merasakan rasanya mempunyai seorang adik.
Bila dilihat sekilas, Mauve bahagia sekali dengan kehidupan barunya ini yang sederhana namun menyenangkan. Rasanya seperti semua kesulitannya telah berakhir, dan ia berada di tempat yang seharusnya. Dengan cepat, ia melupakan peristiwa-peristiwa menyedihkan yang dulu sempat terjadi padanya.
Ah, inikah yang dinamakan akhir bahagia?
Suara keriutan pintu pondok mengakhiri lamunan singkat Mauve. Kepalanya refleks menoleh dan mendapati Fa muncul dengan jubahnya yang penuh butiran salju. Langit di luar menggelap, pertanda akan turun badai. Angin dingin berhembus ke dalam pondok sebelum akhirnya Fa menutup pintu kembali.
Mauve bangkit dari duduknya, tersenyum cerah. "Kau sudah pulang, aku cukup khawatir tadi. Apa kau butuh minuman hangat?"
"Tidak perlu," tolak beliau sambil menggeleng pelan. "Mauve, kita perlu bicara."
Tentu saja sebuah tanda tanya besar langsung timbul di kepala Mauve. Wanita itu menanggapi dengan anggukan kecil sebelum duduk di tempatnya semula, diikuti Fa.
Mauve memperhatikan Fa yang tampak mencari keberadaan sesuatu. Ketika Mauve mulai paham, barulah ia berkata, "Raan sudah tertidur, Iris juga."
Fa melonggarkan wajahnya, merasa sedikit lega. Pandangannya kini beralih menatap Mauve lurus. Raut wajahnya terlihat biasa saja, tetapi mengetahui bahwa punggung Fa menegak, Mauve rasa ini pertama kalinya Fa seserius ini padanya.
"Ada apa?" tanya Mauve membuka percakapan.
"Apa kau sudah mendengar kabarnya?"
Dahinya mengerut. "Kabar apa?"
"Menilik dari reaksimu, kurasa kau belum mengetahuinya." Fa berujar pelan.
"Sepertinya begitu." Mauve diam sejenak, berpikir. Tetapi seingatnya tidak ada kabar baru hari ini. "Ada apa?"
Hening. Mauve menunggu Fa bersuara tetapi yang didengar hanyalah retihan kayu bakar di perapian. Ia sama sekali tak punya ide tentang kabar apa yang hendak disampaikan Fa, jadi ia menunggu saja. Tetapi digantungkan dengan rasa penasaran seperti ini mendesaknya untuk mencari tahu.
Mauve sempat melayangkan pandangannya ke arah perapian untuk beberapa saat hingga ia mendengar Fa buka suara.
"Aku merasa buruk jika memberitahukan ini kepadamu. Seharusnya mereka yang memberitahukannya."
Bibir Mauve menerbitkan seulas senyum. "Katakan saja. Aku tak keberat—"
"Raja jatuh sakit."
Mauve merasa jantungnya berhenti berdetak untuk beberapa saat. Ia mematung dengan wajah tercengang. Tidak ada kata-kata yang keluar darinya.
Melihatnya membuat Fa merasa bersalah. Wanita tua itu menunduk dalam. Tidak semestinya ia mengabarkan ini pada Mauve karena seharusnya ia mendengarnya langsung dari pihak kerajaan. Tetapi mengetahui keadaan Mauve sekarang, Fa tidak punya pilihan. Mauve harus tahu mengenai hal ini.
Percayalah, mengetahui kabar orang terdekatmu dari bibir orang lain itu tidak enak.
"Maafkan aku, seharusnya kau mendengarnya dari pihak kerajaan, dan—"
"Tidak apa, tak perlu merasa bersalah, kau melakukan hal yang benar." Mauve tersenyum menenangkan.
Fa termenung melihat reaksi Mauve pada kabar ini, dadanya terasa sesak, padahal wanita muda itu yang mengalami ini semua. "Apa kau tidak khawatir?"
Sebuah pertanyaan sederhana yang mampu mengusik hingga relung hatinya. Kini jiwanya benar-benar terguncang mendengar kabar itu. Ingin sekali rasanya Mauve pergi dan merawat suaminya itu. Namun mendadak kilasan peristiwa bagaimana mereka memperlakukan dirinya kembali terbayang. Amarah mulai mengaburkan rasa ibanya.
"Untuk apa aku khawatir?" Mauve tertawa kasar. "Mereka bahkan baik-baik saja tanpa diriku."
Mauve mencoba baik-baik saja, tapi sialnya, hatinya tidak demikian. Ia terguncang. Sulit sekali rasanya untuk membohongi diri sendiri saat ini. Sekeras apa pun ia mengelak, Mauve merasa khawatir.
"Penduduk di sini sudah mengetahuinya, para pedagang yang memasok barang dari pulau sana yang membawa kabarnya," jelas Fa tanpa diminta. "Katanya keadaan di sana sedang cukup kacau dan—"
"Seharusnya kau tak perlu memperjelasnya, Fa." Mauve berkata datar. "Hanya kata 'sakit', bagiku sudah cukup."
"Tapi kau berhak mendengar—"
"Untuk apa? Aku sudah bukan siapa-siapa!"
Setelah mengucapkan kalimat itu dengan nada tinggi, baik Mauve maupun Fa sama-sama terhenyak. Beliau terkejut bukan main mendengar bentakan dari Mauve, tetapi wanita beriris ungu itu juga sama terkejutnya mengetahui dirinya lepas kendali. Seketika perasaan bersalah meliputi dirinya, kepalanya tertunduk dalam.
"Maaf, aku tidak bermaksud."
Fa menggeleng. "Itu salahku."
Suasana kembali hening. Mauve masih menunduk dengan wajahnya yang menggelap. Tangannya saling bertaut dan bergerak-gerak resah. Fa diam sejenak, memikirkan bagaimana sebetulnya kondisi wanita dihadapannya ini. Setelah menimang-nimang berapa saat, beliau memutuskan untuk buka suara.
"Apa kau membencinya?"
Mauve mendongak sesaat, memandang Fa, sebelum akhirnya kembali tertunduk. "Tidak. Aku hanya ... masih belum bisa menerima semua ini."
Bohong sekali jika Mauve bilang ia tidak khawatir atau membenci raja. Bagaimana pun, ia pernah menjadi bagian dari hidupnya dan memiliki rasa. Mauve tak pernah dendam, hanya masih belum bisa menerima semua perlakuan kasar yang ia sempat terima.
Kali ini ia tidak bisa membohongi dirinya. Tetapi Mauve tidak ingin terlihat seperti seorang pengemis cinta dan perhatian. Namun, ia justru tampak menyedihkan dengan berpura-pura membenci mereka.
Sepertinya Fa mulai paham bagaimana kondisi Mauve saat ini. Seulas senyum tipis pun terbit darinya, wanita tua itu bantu menguatkan.
"Apa aku boleh memberimu saran?" tanyanya yang dibalas dengan anggukan pelan Mauve.
"Kau harus pergi ke sana, walau tak mau."
Mauve sudah membulatkan tekadnya, ia tidak akan pergi ke sana. Lantas ia menggelengkan kepalanya dengan tegas pada Fa. Keputusannya sudah bulat.
"Jangan lakukan itu untukmu," kata beliau yang membuat Mauve kembali bingung. "Lakukan demi Iris."
"Iris?"
Fa mengangguk. "Mereka sedang kacau di sana, kudengar juga sedang meributkan tentang putra mahkota. Kau tahu apa artinya itu?"
Mauve terdiam.
"Jika kau tidak mau ambil 'bagian'mu, maka ambillah 'bagian' Iris."
Wanita muda itu tertegun. Entah mengapa tiba-tiba seluruh jiwa raganya membenarkan hal itu. Harusnya Mauve tidak boleh lupa, sebab Iris-lah satu-satunya alasan baginya untuk terus hidup.
Tapi mengapa ia bertindak egois dan melupakan anak semata wayangnya? Ibu macam apa ia?
Saat itulah tekad bulatnya goyah. Bagai sebuah kewajiban, ia membatalkan keputusannya itu. Ini memang terkesan labil, tetapi andai saja Mauve memikirkan Iris dan menyadari pemikiran Fa lebih awal sebelum beliau mengingatkannya sendiri, mungkin tindakannya akan berbeda.
Mauve menyenyap sejenak. Kali ini bukan karena lamunan, melainkan kepalanya mendadak sibuk memikirkan sebuah rencana. Membuat keputusan lain, tentu yang harus menguntungkan anaknya, Iris.
"Aku akan berangkat," kata Mauve tegas sambil bangkit; Fa tersenyum mendengarnya. "Malam ini juga."
Senyum Fa luntur seketika. "Apa?"
"Tidak ada waktu untuk menunda," imbuhnya. Saat ini Mauve sibuk ke sana kemari untuk mempersiapkan segala yang diperlukan. "Pagi tadi aku mendengar bahwa ada kapal barang terakhir yang akan berangkat ke sana malam ini. Jika itu benar, maka aku akan menumpang."
"Tapi, Mauve—"
Wanita muda itu mengambil sejumlah uang dan memakai jubahnya. Sebelum Fa selesai bicara, Mauve lebih dulu menghampirinya, memeluknya. Mauve tersenyum singkat. Di saat itulah beliau tahu bahwa ia tidak bisa menahan Mauve untuk ini.
"Aku titip Iris, ya?"
Tepat setelah mengatakan itu, Mauve pergi tanpa berbicara apa pun lagi.
Di luar sedang turun hujan salju, tapi kondisinya masih belum separah badai. Mauve rasa ia masih bisa mengendalikan rencananya asal ia bergegas.
Sebelum ia benar-benar pergi, ada sebuah tempaf yang ia kunjungi terlebih dulu. Dahulu, sekali pun Mauve tak pernah berpikir untuk mengunjungi tempat seperti ini. Tetapi semenjak di sini, mengunjungi kuil menjadi suatu kewajiban baru baginya.
Di pelataran kuil yang dingin nan sepi, Mauve menginjakkan kakinya. Tepat di depan patung Dewi Keberuntungan ia bersimpuh. Tangannya saling bertaut, kepalanya menunduk, matanya terpejam. Angin malam meniup tudung jubahnya hingga terbuka, tampaklah rambut hitam legamnya yang mulai dipenuhi butiran salju.
Dengan kesungguhan hati, ia berdoa. Berharap untuk kali ini saja keberuntungan berpihak padanya. Di tengah doa tulusnya, Mauve merasa seperti mendengar bahwa Dewi keberuntungan menjawab doanya. Bahkan ia sampai tersentak saking terkejutnya, doanya tersudah.
Mauve ingin menganggap itu hanya angin lalu, tetapi suara di kepalanya saat itu terlalu jelas untuk sekadar kebetulan.
Tak ingin berlama-lama, Mauve menyudahi doanya. Ia meninggalkan kuil dengan rasa bingung masih bersemayam di hatinya. Ia memutuskan untuk tidak memikirkannya terlalu jauh.
Dan dari sinilah ia akan mengakhiri segalanya. Dengan mantap, Mauve melangkah ke arah pelabuhan. Tebalnya salju yang menutup jalan tak mampu menghambatnya. Ia merapatkan jubahnya di malam bersalju ini serta menguatkan hati.
Mauve tahu ini tak akan mudah. Tetapi ia tahu bahwa tindakkannya saat ini adalah benar. Setidaknya begitulah yang dikatakan Dewi Keberuntungan tadi padanya.
"Kapalmu akan menuju Kerajaan, bukan? Apa aku boleh menumpang?"
"Kalau tidak salah kau kerabatnya Nenek Fa, bukan begitu?" tanyanya yang dibalas anggukan oleh Mauve. "Baiklah, aku izinkan, karena Nenek Fa sering sekali berbuat baik padaku."
Untuk saat ini mari berharap bahwa Dewi Keberuntungan betul-betul mendengar doanya dan menjawabnya secara langsung. Mauve memang sama sekali tak tahu bagaimana ini semua akan berakhir, tetapi setidaknya ia sudah melakukan semua yang ia bisa.
Pada semua hal yang telah terjadi padanya, Mauve berjanji hanya untuk fokus pada tujuan utamanya dan takkan menghiraukan orang lain. Tak penting jika lukanya selama ini takkan sembuh bila belum melakukan hal setimpal pada orang yang pernah menyakitinya, karena kini Mauve akan memperjuangkan satu hal,
kehormatan untuk Iris.
satu jejak kamu, berarti banyak buatku ^^
gaes, aku ikut montaks chalice loh, ayo gas ke cerita teenfic aku. semoga suka, ya!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro