༺ Ruang Kisah ༻
[Ruang Kisah - Selir yang Terusir]
.
.
.
KERIUHAN kembali menghiasi ruang makan.
Acara makan malam itu seharusnya selesai dengan baik, tenang, dan damai. Namun sepertinya beberapa hari ke belakang takdir menghendaki hal berbeda.
Berawal dari ketika semua sudah selesai menyantap hidangan dan bersiap untuk beranjak, entah disengaja atau tidak, Mauve yang kurang berhati-hati (menurutnya seperti itu) tersandung sesuatu. Mauve tak ingin asal menuduh, tapi sepertinya Afina sengaja menjulurkan kakinya tadi. Jadilah ia terjerembap keras ke lantai pualam yang keras.
Seolah itu belum cukup, tanpa ia tahu ada seuntaian kain terselip pada gaunnya. Sepertinya hari ini Dewi Keberuntungan sedang tak berbaik hati padanya. Karena ketika kain itu tertarik mengikuti gaunnya, semua benda-benda yang ada di atas meja mendadak ikut tertarik, berjatuhan dengan suara berisik dan pecah berkeping-keping.
Kacau sekali.
Mauve mengaduh. Ia sama sekali tak punya kesempatan untuk bangun apalagi menghindar sebab ada pecahan gelas yang lebih dulu menusuk betisnya. Kulitnya robek seketika dan cairan merah mulai membuat alirannya.
Semua menahan napas melihat keributan itu. Dan ketika suara memekakkan telinga itu selesai, semua mata langsung tertuju pada satu-satunya tersangka penyebab semua kekacauan ini.
Siapa lagi kalau bukan Mauve?
Keempat permaisuri terlihat sangat murka dari siapa pun di ruangan ini, bahkan lebih dari raja sendiri. Tak perlu bertanya alasan, sebab gaun yang kotor sudah bisa menjelaskan semuanya.
Flanna turun tangan lebih dulu. Dengan langkah kaki sarat kemarahan; iris merah yang berapi-api, ia mendekati Mauve yang tengah berusaha berdiri. Tangannya terjulur cepat dan menyentak rambut Mauve kasar, memaksa berdiri. Wanita yang baru ditimpa kesialan itu menjerit, cairan bening mulai memenuhi netranya. Sekarang rasa perih berada di seluruh tubuhnya, termasuk dalam hatinya.
"Berdiri, Sialan!"
Tak ada yang mau menyaksikan kejadian memilukan itu sekalipun mereka tak suka pada Mauve. Para pelayan mengalihkan fokus dengan mulai membereskan pecahan alat dan sisa makanan. Setelahnya pergi dengan dalih ingin membereskan pekerjaan lain. Tidak ada satu pun yang berniat untuk menolong Mauve, bahkan meninggalkannya bersama permaisuri dan raja yang tampak marah.
Ah, padahal luka di betis Mauve sangat memprihatinkan.
"Berdiri!"
Sudah kepalang muak, Flanna menarik gaun Mauve kuat-kuat hingga pada akhirnya wanita itu pun berdiri. Raut wajahnya betul-betul marah, ia seolah buta walau tahu kondisi kaki lawannya sekarang seperti apa.
Semua manusia mempunyai batas, begitu pun Mauve. Kini, ia telah mencapai batasnya dalam menahan rasa sakit. Air matanya tak bisa ia tahan lebih lama, lantas membanjiri pipinya saat itu juga. Desakkan dari Flanna membuatnya memaksakan diri. Miris, berdiri-nya tak pernah sesakit ini sebelumnya.
Mauve berhasil berdiri sekarang walau rasa sakit pada kakinya sudah tak terdefinisi lagi. Dan seolah tak peduli bagaimana perjuangan wanita beriris ungu itu hanya untuk sekadar bangkit, Flanna lebih dulu menamparnya kencang hingga Mauve kembali terjerembap. Jatuh berdebum, menyakitkan.
"Kau wanita bodoh! Sialan, kurang ajar! Beraninya kau mengotori gaun mahalku?! Sini kau—!"
Mauve memejamkan mata, menulikan telinga, sebab yang terdengar selanjutnya adalah umpatan kasar yang baru kali ini diterima Mauve sepanjang hidupnya.
Mauve pasrah saja ketika sekali lagi Flanna menghampirinya dengan wajah berang. Wanita itu menatap takut-takut dan lebih memilih untuk memalingkan wajah sebab Flanna memberikan gestur hendak menampar. Mauve sudah mempersiapkan segala sesuatunya, seperti menabahkan hati dan menahan perih yang akan datang kesekian kalinya. Namun, entah mengapa rasa terkutuk itu tak kunjung datang.
Menoleh hati-hati, Mauve mendapati Flanna mematung. Dengan tangan terangkat hendak menampar, tertahan oleh raja.
Raja Carlton ....
Mauve tidak tahu harus senang atau bersedih, hatinya menghangat untuk sepersekian detik sebelum sadar ia seharusnya jangan terlalu percaya diri.
"Cukup, Flanna. Kau melebihi batasmu." Raja Carlton berujar datar dan dingin. "Pergi ke kamarmu dan temui aku di ruanganku besok. Aku ingin bicara," titahnya mutlak.
Salahkah Mauve jika perlahan merasa lega karena mendengar kalimat tersebut?
Dan wajah wanita yang habis-habisan sudah memaki Mauve itu seketika memucat. Matanya membeliak tak percaya ke arah sang raja. Bibirnya mulai bergetar. Perasaannya mulai bercampur aduk antara kesal, malu, hingga tak bisa berkata-kata lagi.
"T-tapi—"
"Aku bilang, keluar!"
Tiba-tiba hal yang tak terduga terjadi. Tepat setelah kata terakhir diucapkan, cahaya hijau keemasan muncul dari arah raja dan menabrak Flanna, membuat wanita itu terpental hingga pintu ruang makan. Beberapa kursi pun ikut terpelanting, seperti diterjang angin kencang. Kondisi ruang makan yang sudah berantakan, kini benar-benar tampak mengerikan. Seolah baru saja didatangi oleh raksasa pengacau.
Semuanya tercengang menyadari hal apa yang baru saja terjadi. Baik Mauve, Afina, Yin, maupun Haimi, kini tengah memikirkan hal yang sama.
Untuk pertama kalinya, raja menggunakan kekuatannya dan (hampir) mencelakai salah satu permaisurinya.
Para pelayan pun rupanya juga menyaksikan kejadian itu diam-diam, ikut menegang. Sedari tadi mereka ikut penasaran dan mengintip dari luar ruangan. Tentu mereka tak bisa melakukan banyak hal.
Raja Carlton menatap sekilas Flanna yang tengah dibantu oleh pelayan untuk berdiri. Sebelum pandangan nyalangnya beralih ke pada Mauve. Bersamaan di saat itu juga, perasaan Mauve merasa tak enak.
Ah, momen seperti ini lagi.
Dengan langkah tegas dan teratur, Raja Carlton mendekati Mauve. Wanita itu hanya meringis dan berusaha sekali untuk bangun. Jantungnya berdegup kencang. Keringat dingin mulai berembun di kulitnya tanpa alasan jelas. Ia takut.
Pikirannya memendek. Mauve tak tahu mencabut pecahan kaca begitu saja dari kakinya adalah hal yang bagus, namun atas nama refleks, dia melakukannya. Tak perlu waktu lama, wanita itu menyesal setelahnya sebab kini betisnya terasa berdenyut perih.
Jantungnya seakan berhenti berdetak tatkala dilihatnya sepatu mengkilap milik raja tepat di hadapannya. Ia memejam takut-takut dan enggan menoleh. Namun rasanya seperti ada kekuatan tak kasat mata yang berusaha mengendalikannya. Memaksanya untuk mendonga walau rasanya ia tak ingin.
"Berdiri."
Sekarang wanita itu yakin ada kekuatan yang mengendalikan dirinya karena tiba-tiba saja tubuhnya mulai berdiri. Mauve sama sekali tidak merasa ia bertumpu pada kakinya. Namun, rasa sakit itu masih ada mengingat lukanya terbuka cukup lebar.
"Kau ... apa kau tak lelah mengacau terus?" tanya raja dingin. "Kuperhatikan kau selalu ceroboh belakangan ini."
Ada desakkan besar dalam hati Mauve untuk menjawab dan membantah itu semua. Akan tetapi kekuatan raja seolah menyuruhnya untuk tutup mulut. Mauve juga sadar bahwa dirinya tak punya hak untuk melakukan itu di momen ini.
Kedua iris berbeda warna milik Raja Carlton selalu bisa membungkam diri Mauve. Dengan warna keemasan dan hijau cerah, Mauve mengakui bahwa iris itu selalu bisa membuatnya kagum sekaligus takut sebab merasa terintimidasi.
"Aku sudah muak padamu, dan aku pun tak perlu mengatakannya sebab kau pasti sudah tahu jawabannya."
Mauve tercengang dalam diam. Pikirannya mulai berkelana jauh, dan mengeruh. Ia tidak mau terlalu yakin, tapi sepertinya apa yang ia takuti selama ini akan menjadi kenyataan.
"Jadi bagaimana kalau kita akhiri saja?"
Hati Mauve mencelus. Kali ini ia mulai kehilangan kendali dan jantungnya seperti betulan berhenti berdetak.
Iris ungunya membeliak. Memandang lurus tepat di mana kedua netra Raja Carlton yang berbeda warna. Mauve mencoba untuk mencari kebohongan dari apa yang baru saja raja ucapkan, tetapi ia tidak menemukan itu.
"A-apa? Apa maksudmu?" Suaranya mulai bergetar.
Mauve mendesak untuk sebuah jawaban. Tetapi yang didapatinya ketika memandang wajah raja hanyalah kemuakan. Dadanya terasa perih sekali.
Raja Carlton yang menyadari bahwa Mauve menanggalkan keformalitasannya menoleh kesal. Kini persentase kebenciannya pada wanita beriris ungu itu bertambah. Ia tersenyum sinis.
"Ketahui tempatmu, Selir. Dan bicaralah yang sopan kepada rajamu," balasnya dingin.
Raja Carlton hendak pergi dari semua kekacauan ini, tapi tangan Mauve lebih dulu menahannya. Dengan amarah yang memuncak, raja itu 'kelepasan' menggunakan kekuatannya. Alhasil Mauve terdorong ke belakang seolah ada tangan tak tampak yang melakukan demikian. Kembali terjerembap, Mauve meringis pedih.
"Kukira kau mengerti, tapi ternyata masih sama bodohnya." Raja Carlton menatap Mauve sengit. "Kuperjelas sekali lagi. Kita sudah berakhir, Selir. Jadi bawa anakmu yang tak berguna itu dan pergi dari sini!"
Mauve menggeleng tak terima mendengar bentakkan itu. Air mata mulai membanjiri pipinya, ia terisak keras. Permaisuri lain yang menyaksikan peristiwa itu diam-diam tersenyum licik.
Mauve kira hidupnya di sini bisa menjadi lebih baik dan dapat meninggikan nama keluarganya. Tetapi semuanya berjalan mengerikan, ia mendapat aib dan rasa malu. Hanya ia yang tersisa dari keluarganya. Jika ia pergi, maka harus ke mana dirinya kembali?
"Pengawal, bawa dia pergi. Jangan sampai aku melihatnya lagi."
Raja Carlton melangkah keluar ruang makan, diikuti ketiga permaisurinya. Sementara itu pada pengawal baru turun tangan. Mereka menyeret Mauve seperti binatang dan tak menghiraukannya menjerit kesakitan. Kakinya mulai membengkak karena infeksi. Tampilannya sangat kacau.
Dan beginilah akhir kisah Mauve yang menyedihkan hanya karena ia melahirkan bayi perempuan.
satu jejak kamu, berarti banyak buatku ^^
ah, maaf kalau bagian ini agak nganu. drama banget😭
dulu kukira ruang kisah cuma sampai dua atau tiga bab, dikit. tapi pas diketik aku memutuskan buat tulis min 1k buat setiap babnya. dan kayaknya ini bakal sampai lima bab (?) atau lebih.
ruang kisah masih lanjut setelah ini, ya. masih banyak yang belum di-reveal, semoga aja cepet selesai.
oh iya kalau kalian teliti dan masih ingat, apa warna mata asli viona? aku ada tebar clue di bagian ini, semoga nyadar ya hehe.
thats all. pls keep supporting me!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro